Minggu, 18 Oktober 2015

Sejarah Perkembangan Aliran Murji'ah


SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PANDANGAN ALIRAN MURJI’AH


  


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Setelah wafatnya Rasulullah mulai timbul banyaknya pergejolakan yang timbul dalam kalangan umat. Setiap Pemerintah atau Khalifah yang berkuasa berusaha untuk meminimalisir dari pemberontakan tersebut.Dari gejolak yang timbul dari umat menimbulkan berbagai firqoh (kaum) dalam kalangan umat Islam sendiri. Salah satu firqoh tersebut ialah kelompok Murji’ah. Dalam konteks historis lahirnya Murjiah pada akhir abad pertama Hijrah pada saat Ibukota kerajaan Islam dari Madinah pindah ke Kuffah kemudian pindah lagi ke Damaskus. Ini dipicunya adanya pergejolakan yang timbul dalam politik imamah atau khilafat pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan yang kemudian berkelanjutan pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Sehingga pada tragedi terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan yang dilakukan oleh Abdullah bin Salam menjadi pembuka yang dinyatakan kaum Muslimin membuka bencana baginya yang tidak akan tetutup sampai hari Kiamat.[1]
Aliran Murji’ah yang lahir memiliki pemikiran tersendiri dalam berperndapat yang mana menjadi pegangan tersendiri dalam mengambil suatu keputusan dan tindakan. Kaum murji’ah adalah kaum yang tidak mau turut campur dalam pertentangan antara kaum yang keluar dari ali dan setia pada ali dan menyerahkan penentuan kafir atau tidaknya kaum yang bertentangan tadi kepada Tuhan.
B.     Rumusan Masalah
Melalui makalah ini, penyusun memaparkan beberapa rumusan masalah, sebagai berikut :
1.      Bagaimana sejarah munculnya aliran Murji’ah?
2.      Apa saja doktrin pada aliran Murji’ah?
3.      Apa saja sekte dalam aliran Murji’ah beserta ajaran-ajarannya?

C.    Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini ialah
1.      Mengetahui sejarah munculnya aliran Murji’ah
2.      Memaparkan doktrin- doktrin yang terdapat pada aliran Murji’ah
3.      Menjelaskan ajaran-ajaran dari sekte-sekte aliran Murji’ah


BAB II
PEMBAHASAN

A.     Etimologi  Murji’ah
Kata Murji’ah berasal dari kata irja atau arja’a yang berarti penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a juga memiliki arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Oleh karena itu, murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.[2]
KataMurji’ah” berasal dari kata “arja’a” atau “arja” yang mempunyai beberap pengertian diantaranya:[3]
Ø    “Penundaan”,“Mengembalikan”umpamanya bagi orang yang sudah mukmin. Tapi berbuat dosa besar sehinggga matinya belum bertaubat, orang itu hukumanya di Tunda, dikembalikan Urusanya kepada Allah kelak.
Ø    “Memberi pengharapan”. Yakni bagi orang Islam yang melakukan dosa besar tidak dihukum kafir melainkan tetap mukmin dan masih ada harapan untuk memperoleh pengampunan dari Allah.
Ø    “Menyerahkan”maksudnya menyerahkan segala persoalah tentang siapa yang benar dan siapa yang salah hanya kepada keputusan Allah kelak.

Dari beberapa pengertian diatas bisa kita menyimpulkan tentang pengertian dari Murji’ah. Adapun yang di maksud kaum Murji’ah di sini ialah suatu golongan atau kaum orang-orang yang tidak mau ikut terlibat dalam mengkafirkan tehadap sesama umat Islam seperti dilakukan kaum Khawarij yang mengatakan bahwa semua yang terlibat dalam tahkim adalah kafir, dan mengatakan bahwa orang Islam yang berdosa besar juga kafir. Bagi mereka, soal kafir atau tidaknya orang-orang yang terlibat dalam tahkim dan orang Islam yang berdosa besar, kita tidak tahu dan tidak dapat menentukan sekarang. Mereka mempunyai pandangan lebih baik menangguhkan penyelesain persoalan tersebut dan menyerahkanya kepada keputusan Allah di hari kemudian yakni pada hari perhitungan sesudah hari Kiamat nanti. Karena mereka berpendirian menangguhkan atau menunda persoalan tersebut, mereka kemudian disebut kaum Murji’ah.[4]

B.     Latar Belakang Munculnya Aliran Murji’ah

1.      Persoalan Politik
            Kaum Murji’ah ditimbulkan oleh persoalan politik sama halnya dengan kaum Khawarij, tegasnya persoalan kholifah yang membawa perpecahan dikalangan umat Islam setelah terbunuhnya Usman Ibn Affan. Seperti telah dibahas, kaum Khawarij pada mulanya adalah penyokong Ali tetapi kemudian menjadi musuhnya. Karena adanya perlawanan ini, kelompok yang setia pada Ali bertambah keras dan kuat membelanya dan merupakan satu golongan lain yang disebut Syi’ah. Akan tetapi mereka sama-sama menentang kekuasaan Bani Umayyah, tetapi dengan motif yang berbeda.[5]
            Dalam permusuhan inilah muncul satu aliran baru yang bersikap netral yang tidak ikut dalam kafir-mengkafirkan yang terjadi pada golongan tersebut. Bagi merekan golongan yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu, mereka tidak mengeluarkan pendapat siapa yang salah dan benar dan lebih baik menunda penyelesaian hingga hari perhitungan di depan Allah. Dengan demikian, kaum Murji’ah adalh kaum yang tidak ikut campur dalam pertentangan tersebut dan mengambil sikap menyerahkan penentuan kafir atau tidaknya orang-orang yang bertentangan tersebut kepada Allah.[6]
            Ada beberapa teori tentang kemunculan Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagsan irja atau arja’a dikembangkan oleh sebagian sahabat untuk menjamin persatuan dan kesatuan umat Isam ketika terjadi pertikaian politik antara Khawarij dan Syi’ah. Diperkirakan Murji’ah muncul bersamaan dengan kemunculan Khawarij dan Syiah. [7]
            Teori lain mengatakan bahwa Murji’ah muncul pertama kali sebagai gerakan politik oleh cucu Ali, yaitu Al-Hasn bin Muhammad Al-Hanafiyah, sekitar tahun 695. Teori lain menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Muawiyah, dilakukan tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Muawiyah. Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, kubu yang pro dan kubu yang kontra. Kubu yang kontra akhirya keluar dari Ali, yakni kaum Khawarij.[8]
            Khawarij berpendapat bahwa Tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an atau dalam pengertian tidak bertahkim berdasarkan hukum Allah dikatakan dosa besar dan pelakunya dihukumi dengan kafir sama dengan perbuatan dosa besar lainnya, seperti: berzina, riba, membunuh tanpa alasan, durhaka kepada orang tua, dan menfitnah wanita baik-baik. Pendapat tersebut ditentang sekelompok sahabat yang kemudian disebut Murji’ah. Murji’ah mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah dia akan diampuni atau tidak.[9]

2.      Persoalan Ketuhanan
Dari permasalahan politik, mereka kaum Mur’jiah pindah kepada permasalahan ketuhanan (teologi) yaitu persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum khawarij, mau tidak mau menjadi perhatian dan pembahasan pula bagi mereka. Kalau kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir bagi orang yang membuat dosa besar, kaum Murji’ah menjatuhkan hukum mukmin.
Pendapat penjatuhan hukum kafir pada orang yang melakukan dosa besar oleh kaum Khawarij ditentang sekelompok sahabat yang kemudian disebut Mur’jiah yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah dia akan mengampuninya atau tidak.
Aliran Murji’ah menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu di hadapan Tuhan, karena hanya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar masih di anggap mukmin di hadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosar besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mengucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu, orang  tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir.[10]
Dinamakan Murji’ah karena golongan ini menunda atau mengembalikan tentang hukum orang Mukmin yang berdosa besar dan belum bertaubat sampai matinya, orang itu belum dapat dihukum sekarang. Ketentuan persoalannya ditunda atau dikembalikan kepada Allah SWT. di hari akhir nanti





C.    Pokok-Pokok Ajaran Murji’ah

1.      Ajaran Tentang Iman
Menurut Ahlus Sunnah bahwa iman itu terdiri dari tiga unsur, yaitu membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan, dan menyertainya dengan amal perbuatan seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan lain-lain. Keimanan Dapat bertambah dan berkurang. Bertambah dengan melakukan ketaatan kepada Allah, serta berkurang dengan bermaksiat.
Sedangkan kebanyakan golongan Murji’ah berpendapat bahwa iman ialah hanya membenarkan dengan hati saja. Apabila seseorang beriman dengan hatinya, maka dia adalah Mukmin dan Muslim, sekalipun lahirnya menyerupai orang Yahudi atau Nasrani dan meskipun lisannya tidak mengucapkan dua kalimat syahadat. Mengikrarkan dengan lisan dan amal perbuatan, itu bukan bagian dari iman.[11]
Kemudian sebagian dari golongan Murji’ah berpendapat bahwa iman itu terdiri dari dua unsur, yaitu membenarkan dengan hati dan mengikrarkan dengan lisan. Membenarkan dengan hati saja tidak cukup, dan mengikrarkan dengan lisan saja pun tidak cukup, tetapi harus dengan bersama kedua-duanya, supaya seseorang menjadi mukmin. Karena orang yang membenarkan dengan hati dan menyatakan kebohongannya dengan lisan tidak dinamakan mukmin.
Gassan al-Kufi (tokoh Murji’ah) beranggapan bahwa “iman adalah mengenal Allah dan Rasul-Nya, serta mengakui apa-apa yang telah diturunkan Allah, dan yang dibawa oleh Rasul-Nya. Karenanya, iman itu tidak dapat bertambah atau berkurang”.[12]
Secara umum kelompok Murji’ah menyusun teori-teori keagamaan yang independen, sebagai dasar gerakannya, yang intisarinya sebagai berikut[13]
1.  Iman adalah cukup dengan mengakui dan percaya kepada Allah dan Rasulnya saja. Adapun amal atau perbuatan, tidak merupakan sesuatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap sebagai mukmin walaupun ia meninggalkan apa yang difardhukan kepadanya dan melakukan perbuatan-perbuatan dosa besar.
2.  Dasar keselamatan adalah iman semata-mata. Selama masih ada iman dihati, maka setiap maksiat tidak akan mendatangkan mudharat ataupun gangguan atas diri seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia hanya cukup dengan menjauhkan diri syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.

2.      Ajaran Tentang Dosa Besar
            Bertitik tolak dari ajaran Iman diatas maka perbuatan dosa besar menurut Murji’ah tidak akan berhubungan dengan keimanan. Antara iman dan amal tidak saling membatalkan karena keduanya berdiri sendiri-sendiri. Walaupun Murji’ah menganggap dosa besar tidak mempengaruhi iman tetapi pelaku dosa besar tetap dipandang sebagai orang yang berdosa yang harus mendapat hukuman dari Allah.
            Hukuman bagi orang-orang yang berdosa besar diserahkan kepada alllah kelak di hari kiamat. Ditangguhkannya hukuman bagi pelaku dosa besar karena masih ada kesempatan untuk bertobat dan mendapat ampunan dari Allah SWT kecuali perbuatan syirik namun apabila ia bertobat sebelum meninggal maka statusnya tetap sebagai mukmin. Oleh karena itu pelaku dosa besar tidak dapat langsung dihukum sebagai kafir.[14]
3.Ajaran Tentang Kufur
Konsep- konsep kufur menurut Murji’ah sejalan dengan konsepnya tentang iman. Kekafiran seseorang tergantung oleh factor keimananya dan sama sekali tidak berhubungan dengan amal. Oleh Karena itu, perbuatan dosa tidak dapat dijadikan alasan untuk mengkafirkan seseorang. Orang Islam hanya dipandang kfir kalau dia tidak mengucapkan dua kalimah syahadat atau tidak mengakui lagi Allah sebagai Tuhannya dan Muhammad sebagai Rasulnya.[15]

D.    Tokoh- Tokoh Aliran Murji’ah
      Pemimpin utama golongan Murji’ah ialah Hasan bin Bilal al-Muzni, Abu Sallat al-Samman, dan Darar bin Umar. Untuk mendukung perjuangan Murji’ah dalam mengembangkan pendapatnya pada zaman Bani Umayyah muncul sebuah syair terkenal tentang iktikad dan keyakinan Murji’ah yang gubah oleh Tsabiti Quthnah. Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi perbedaan pendapat di kalangan pengikut Murji’ah sehingga aliran ini pecah menjadi beberapa sekte, ada yang moderat, ada pula yang ekstrim.[16]

a.       Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib
b.      Sa’id bin Zubair (seorang wara’ dan zuhud termasuk tabi’in)
c.        Abu Hanifah (Imam Mazhab)
d.         Abu Yusuf
e.        Muhammad bin Hasan
E.     Pembagian Aliran Murji’ah
1.      Golongan Moderat
Ialah golongan yang berpendapat bahwa orang Islam yang berdosa besar tidak Kafir dan ia tidak akan kekal di dalam neraka, akan tetapi di sikasa di dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang pernah ia lakukan, dan kemudian setelah menjalani siksaan ia akan keluar dari neraka. Dan bisa saja jika dosanya di ampuni Tuhan, maka ia sama sekali tidak masuk neraka.[17]
                2.  Golongan Ekstrim.
Ialah golongan yang berpendapat iman ialah keyakinan di dalam Hati. Apabila seseorang di hatinya telah meyakini tidak ada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad rasul Allah, meskipun ia meyatakan kekafiran dengan lidah, menyembah berhala, mengikuti agama Yahudi, dan Nasrani, memuja salib, mengakui trinitas, kemudian mati, orang seperti ini tetap mukmin yang sempurna imannya di sisi Allah dan ia termasuk golongan Ahli Surga.
Selanjutnya golongan Murji’ah Ekstrim terpecah kepada beberapa golongan, antara lain:[18]
1.      Al Jahmiyah
Adalah para pengikut Jahm bin Shafwan. Dan golongan ini berpendapat bahwa orang Islam yang percaya kepada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan ia tidak menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya di dalam hati, bukan pada bahagian lain dari tubuh manusia. Bahkan orang seperti ini juga tidak menjadi kafir, walaupun ia menyembah berhala, menjalankan ajaran-ajaran agama Yahudi atau agama Kristen dengan menyembah salib, menyatakan percaya pada trinitas, kemudian mati. Orang demikian bagi Allah tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna imannya.
2.      Al Shalihiyah
Adalah para pengikut Abu al Hasan Shalih Ibnu ‘Amar Al Shalih. Golongan ini berpendapat, iman ialah mengenal Tuhan dan kufr ialah tidak mengenal Tuhan. Menurut golongan ini, sembahyang tidaklah merupakan ibadah kepada Allah, karena yang di sebut ibadah ialah iman kepada-Nya, dalam arti mengenal Tuhan. Lebih dari itu golongan ini berpendapat bahwa sembahyang, zakat, puasa, dan haji hanya menggambarkan kepatuhan dan tidak merupakan ibadah kepada Allah. Yang di sebut ibadah hanyalah iman. Iman tidak bertambah dan tidak berkurang.
3.      Al Yunusiyah
Adalah pengikut Yunus Ibnu ‘Aun Al Numairi. Menurut golongan ini iman ialah mengenal Allah, hati tunduk pada-Nya, meninggalkan rasa takabbur, dan mencintai-Nya dalam hati. Apalagi yang tersebut ini terhimpun pada diri seseorang maka ia adalah seorang mukmin. Sedangkan yang sealin dari itu bukanlah termasuk iman. Oleh karena di dalam pandangan kaum Murji’ah, yang di sebut Iman  itu hanyalah mengenal Tuhan, golongan Al Yunusiyah berkesimpulan bahwa melakukan maksiat atau pekerjaan-pekerjaan jahat tidak merusak iman seseorang.
4.      Al Ubaidiyah
Golongan ini adalah pengikut ‘Ubaid Ibnu Mahran Al Muktab. Dan dalm pandangan golongan ini ,mereka berpendapat jika seseorang mati dalam keadaaan beriman, dosa-dosa dan perbuatan jahat yang di kerjakan tidak akan merugikan bagi yang bersangkutan. Perbuatan jahat banyak atau sedikit, tidak merusak iman. Sebaliknya, perbuatan baik, banyak atau sedikit, tidak akan merubah atau memperbaiki kedudukan orang yang musrik atau orang yang kafir.
5.      Al Ghassaniyah
Adalah pengikut Ghassan Al Kufi. Golongan ini berpendapat, iman ialah mengenal Allah dan Rasul-Nya serta mengakui apa yang di turunkan Allah kepada Rasul secara global, tidak secara rinci. Iman itu bisa bertambah dan tidak bisa berkurang. Selain itu golongan ini juga berpendapat, jika seseorang mengatakan: “saya tahu bahwa Tuhan Mengharamkan memakan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah itu adalah kambing ini atau yang selainya”, maka orang tersebut tetap mukmin. Dan jika seseorang mengatakan: “ Saya tahu bahwa tuhan mewajibkan haji ke Ka’anh, tetapi saya tidak tahudimana letaknya ka’bah itu, apakah di India atau di tempat lain”,  orang demikina juga tetap mukmin.

F.     Dalil-Dalil Nash Kelompok Murji’ah

Dalil yang di ambil dalam mendukung pemikirannya adalah Firman Allah dalam Alquran[19], Q.S. Az-Zumar : 53
 قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Artinya: Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.  (Q.S. Az-Zumar : 53)
Nash yang dijadikan keimanan dan kekufuran seluruhnya terletak pada hati adalah:[20]
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ ۖ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ أُولَٰئِكَ حِزْبُ اللَّهِ ۚ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya: Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung. (Q.S. Al-Mujadalah : 22)

مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya: Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (Q.S. An-Nahl : 106)


Dalil dari Sunnah mereka berhujjah dengan sebagian hadits dan atsar, yang secara dhahir menunjukkan atas perintah untuk menjauhi syirik dan keberadaan iman  dalam  hati  seseorang untuk menggapai kejayaan dan  keridhaan Allah:
مَنْ مَاتَ يُشْرِكُ بِالله ِشَيْئا دَخَلَ النَّارَ.   قَالَ إِبْنُ مَسْعُوْدٍ:  وَقُلْتُ أَنَّا مَنْ مَات  لَا يُشْرِكُ بِالله ِشَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّة
Artinya:  Barang siapa yang mati dalam keadaan menyekutukan Allah dengan sesuatu maka ia akan masuk neraka”, Ibnu Mas’ud berkata: “Saya katakan: “Barang siapa yang mati dalam keadaan tidak menyekutukan Allah maka ia masuk Jannah.”





























BAB III
PENUTUP

A.    SIMPULAN
       Kaum Murji’ah ditimbulkan oleh persoalan politik, tegasnya persoalan Kholifah setelah terbunuhnya Usman Ibn Affan. Diantara pertikaian antara golongan yang setia pada Ali dan keluar dari Ali, munculah satu aliran yang bersikap netral yang tidak ikut dalam kafir-mengkafirkan yang terjadi antara golongan tersebut. Golongan yang bersifat netral ini disebut Kaum Murji’ah. Kaum Murji’ah penentuan hukum kafir atau tidaknya orang yang terlibat dalam pertentangan antara Ali dan Muawiyah kepada Allah kelak di hari akhir.  Kaum Murji’ah dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : Murji’ah Moderat dan Murji’ah eksterm.

B.  SARAN
Pada hakikatnya semua aliran tersebut tidaklah keluar dari Islam, tetapi tetap Islam. Dengan demikian tiap umat Islam bebas memilih salah satu aliran dari aliran-aliran teologi tersebut, yaitu mana yang sesuai dengan jiwa dan pendapatnya. Hal ini tidak ubahnya pula dengan kebebasan tiap orang Islam memilih madzab fikih mana yang sesuai dengan jiwa dan kecenderungannya. Disinilah hikmah sabda Nabi Muhammad SAW: “perbedaan paham dikalangan umatku membawa rahmat”. Memang rahmat besarlah kalau kaum terpelajar menjumpai dalamIslam aliran-aliran yang sesuai dengan jiwa dan pembawaannya, dan kalau pula kaum awam memperoleh dalamnya aliran-aliran yang dapat mengisi kebutuhan rohaninya.













DAFTAR PUSTAKA
Abri, Ali. 1997. Ilmu Kalam. Pekanbaru: CV. Fajar Harapan
           Ahmad, Muhammad. H. Drs, Tauhid Ilmu Kalam, CV Pustaka Setia , Bandung, 1998.
                 Abu Zahrah, Imam Muhammad. 1996. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. (Jakarta: Logos)
Harun Rozak, Abdul. 2001. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia
Hadariansyah Ab.Pemikir-pemikir teologi dalam Sejarah Pemikir Islam. Banjarmasin: Antasari   Press, 2008.
            Hanafi,Ahmad. Teologi Islam/Ilmu Kalam. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1974.
Ibn ‘Abd Al-karim, Muhammad. Al-Syahrastani, Ahmad. 2004. Al-Milal wa Al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Islam. Bandung: Mizan Pustaka.
            Mulyono dan Bashori. Studi Ilmu Tauhid atau Kalam.Malang: UIN Maliki Press, 2010.
Nasution,  Harun.Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press, 1986.
---------------------1972.  Teologi Islam. Jakarta: UI Press
Syihab, Z.A. 2004. Akidah Ahlus Sunnah. Jakarta: Bumi Aksara
Kholid Syamhudi, Pengaruh Buruk Pemikiran Murji'ah, 2008, http://almanhaj.or.id/ diakses tanggal 15 September 2015












[1] Mulyono dan Bashori, Studi Ilmu Tauhid atau Kalam(Malang: UIN Maliki Press, 2010), h.117
[2] Rozak Abdul, 2001,Ilmu Kalam (Bandung:CV Pustaka Setia). Hal. 56 
[3] Hadariansyah Ab, Pemikir-pemikir teologi dalam Sejarah Pemikir Islam (Banjarmasin: Antasari Press, 2008), hal 58.
[4] Ahmad Hanafi, Teologi Islam/Ilmu Kalam(Jakarta: PT Bulan Bintang, 1974),h. 10-11.
[5] Nurdin, M. Amin, 2011, Sejarah Pemikiran Islam(Jakarta: Teruna Grafika). Hal. 27
[6] Ibid
[7] Thahir Taib Abd Mu’in, Ilmu Kalam( Jakarta: wijaya), 1981.Hal 8
[8] Ibid
[9] Ahmad Muhammad. H. Drs, Tauhid Ilmu Kalam, CV Pustaka Setia , Bandung, 1998.
[10] Nasution Harun,2010,Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta: UI-Press). Hal. 24

[11] Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1996), hlm. 143
[12] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 152-156
[13] Kholid Syamhudi, Pengaruh Buruk Pemikiran Murji'ah, 2008, http://almanhaj.or.id/ diakses tanggal 15 September 2015

[14] Ali Abri. 1997. Ilmu Kalam (Pekanbaru: cv. Fajar Harapan) hlm 19
[15] Ibid hlm 20
                [16] Harun Nasution, Teologi Islam ( UI Press: Jakarta) hlm 23
[17] Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm 160-161.
[18] Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan(Jakarta: UI-Press, 1986), h. 26.
[19] Ibn ‘Abd Al-karim, Muhammad. Al-Syahrastani, Ahmad. 2004. Al-Milal wa Al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Islam. (Bandung: Mizan Pustaka) hal 215

[20] .A. Syihab, Akidah Ahlus Sunnah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 71

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diabolisme Salman Rushdie dan Ahok

ANTARA SALMAN RUSHDIE DAN AHOK Oleh: Dr. Adian Husaini Tahun 1988, dunia Islam digegerkan oleh seorang bernama Salman Rushdie. Kisahnya ...