Senin, 19 Oktober 2015

Tuhan dan Kebenaran



Metafora "Tuhan" dan Kebenaran
oleh
Muhammad Dudi Hari Saputra
Roland Barthes setidaknya pernah berkata bahwa semiotika itu tidak hanya terkait dengan bahasa, namun juga seluruh kehidupan kita.Pernyataan ini sangat menggelitik, karena semiotika membahas terkait tanda dan simbol, yang merupakan konstruksi akal dan kesepakatan (non-hakiki).Yang membuat saya berfikir, apakah Barthes bermaksud bahwa hidup ini juga non-hakiki, sebagaimana falsafah islam memandang bahasa sebagai wujud yang non-hakiki pula ?
Menarik pernyataan Prof. Sugiharto bahwa kebenaran itu hanya pada "the thing itself" atau "das ding an sich " atau "nafs al-amar".Karena ketika kebenaran itu sampai pada kepada manusia, maka manusia melakukan proses penafsiran, dan penafsiran ini menggunakan bahasa, yang dibentuk oleh pengetahuan dan pengalaman manusia, yang akan membatasi "kebenaran" itu sendiri pada sekat bahasa.Ketika kita ingin mengucap kebenaran yang universal, misalnya "Tuhan", kata Tuhan ini pun hanya terkait pada bahasa dan bangsa tertentu yang menggunakan nya, sedangkan pada bangsa yang menggunakan bahasa berbeda akan tidak memahami apa itu kata "Tuhan", atau misalnya ada sekelompok orang dari negara tetangga yang ingin mensucikan "Tuhan" tapi malah semakin membatasi nya, bahwa kata "Allah" itu hanya untuk agama tertentu saja.
Dari sini kita akan memahami bahwa, hal yang kita anggap "universal" sekalipun akan tersekat oleh partikularitas pemahaman manusia, seperti melihat gerak, yang kita lihat hanya gerakan nya, bukan penggerak nya (the dance, not the dancer), atau sekedar bayangan pada cermin, bukan realitas yang dipantulkan oleh cermin (liyan).Sehingga timbul pertanyaan, mampukah manusia mengetahui sesuatu sebagaimana sesuatu itu sendiri ? atau mengetahui realitas sebagaimana realitas itu sendiri ?Dalam filsafat barat jawabnya adalah hampir "tidak mungkin", walau ada usaha seperti dari Derrida misalnya yang mencoba menemukan "trace" dari jejak bayangan realitas itu.
Lalu bagaimana dengan falsafah islam: setidaknya proses kehadiran pengetahuan melalui dua "metode", pertama adalah pengetahuan hushuli yaitu kehadiran pengetahuan melalui perantara (seperti bisa melihat karena mata, bisa memahami karena akal, dsb.) dan kedua adalah pengetahuan hudhuri yaitu pengetahuan yang hadir tanpa perantara (seperti aku "Ada", pengetahuan ttg wujud).Saya sempat mengira bahwa pengetahuan hudhuri inilah yang mampu memahami realitas sebagaimana realitas itu sendiri, ternyata tidak, karena keluasan pengetahuan hudhuri tergantung kepada keluasan subjek penerima nya. (sebenarnya ada jawaban yang lebih dalam, tapi sengaja tidak saya sampaikan, agar teman-teman lebih penasaran).Jika begitu, makin kuatlah dalil bahwa mustahil mengetahui realitas sebagaimana realitas itu sendiri, sebagaimana mustahil nya mengetahui Tuhan sebagaimana Tuhan itu sendiri, kecuali pengetahuan Tuhan pada diri Nya sendiri.
Lalu, bagaimana cara kita mengetahui kebenaran itu ?
Mursyid saya pernah menjelaskan perihal rahasia titik Ba' dari bismillah (Ba' nya sengaja tidak saya jelaskan, cukup ismi' nya saja), ismi atau asma bermakna "nama", "tanda", "tajalli/bayangan" atau "manifestasi", sehingga kita memahami Nya dari nama Nya saja, bukan diri Nya, tapi dari nama Nya itu sudah menunjukkan keberadaan Nya. Sehingga ungkapan Engkau, Nya, Dia, Tuhan, Elia dsb. nya kepada "Tuhan" mustahil meng-antrophomis (memanusiakan) Tuhan, melainkan hanya "metafora", "majazi" atau "manifestasi" dari pemahaman manusia yang terbatas dan juga "metafor" ini kepada yang tak terbatas itu.
Imam Ali ra.: orang yang tidak mempercayai "Tuhan", sebenarnya mempercayai "Tuhan" dengan "Nama" yang lain.laisa kamislihi syaii'un (tidak sama dengan apapun)
subhanallahi ama yasiifun (maha suci Allah dari segala yg disifatkan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diabolisme Salman Rushdie dan Ahok

ANTARA SALMAN RUSHDIE DAN AHOK Oleh: Dr. Adian Husaini Tahun 1988, dunia Islam digegerkan oleh seorang bernama Salman Rushdie. Kisahnya ...