Metafora
"Tuhan" dan Kebenaran
oleh
oleh
Muhammad
Dudi Hari Saputra
Roland
Barthes setidaknya pernah berkata bahwa semiotika itu tidak hanya terkait
dengan bahasa, namun juga seluruh kehidupan kita.Pernyataan ini sangat
menggelitik, karena semiotika membahas terkait tanda dan simbol, yang merupakan
konstruksi akal dan kesepakatan (non-hakiki).Yang membuat saya berfikir, apakah
Barthes bermaksud bahwa hidup ini juga non-hakiki, sebagaimana falsafah islam
memandang bahasa sebagai wujud yang non-hakiki pula ?
Menarik
pernyataan Prof. Sugiharto bahwa kebenaran itu hanya pada "the thing
itself" atau "das ding an sich " atau "nafs al-amar".Karena
ketika kebenaran itu sampai pada kepada manusia, maka manusia melakukan proses
penafsiran, dan penafsiran ini menggunakan bahasa, yang dibentuk oleh
pengetahuan dan pengalaman manusia, yang akan membatasi "kebenaran"
itu sendiri pada sekat bahasa.Ketika kita ingin mengucap kebenaran yang
universal, misalnya "Tuhan", kata Tuhan ini pun hanya terkait pada
bahasa dan bangsa tertentu yang menggunakan nya, sedangkan pada bangsa yang
menggunakan bahasa berbeda akan tidak memahami apa itu kata "Tuhan",
atau misalnya ada sekelompok orang dari negara tetangga yang ingin mensucikan
"Tuhan" tapi malah semakin membatasi nya, bahwa kata "Allah"
itu hanya untuk agama tertentu saja.
Dari sini
kita akan memahami bahwa, hal yang kita anggap "universal" sekalipun
akan tersekat oleh partikularitas pemahaman manusia, seperti melihat gerak,
yang kita lihat hanya gerakan nya, bukan penggerak nya (the dance, not the
dancer), atau sekedar bayangan pada cermin, bukan realitas yang dipantulkan
oleh cermin (liyan).Sehingga timbul pertanyaan, mampukah manusia mengetahui
sesuatu sebagaimana sesuatu itu sendiri ? atau mengetahui realitas sebagaimana
realitas itu sendiri ?Dalam filsafat barat jawabnya adalah hampir "tidak
mungkin", walau ada usaha seperti dari Derrida misalnya yang mencoba
menemukan "trace" dari jejak bayangan realitas itu.
Lalu
bagaimana dengan falsafah islam: setidaknya proses kehadiran pengetahuan
melalui dua "metode", pertama adalah pengetahuan hushuli yaitu
kehadiran pengetahuan melalui perantara (seperti bisa melihat karena mata, bisa
memahami karena akal, dsb.) dan kedua adalah pengetahuan hudhuri yaitu
pengetahuan yang hadir tanpa perantara (seperti aku "Ada",
pengetahuan ttg wujud).Saya sempat mengira bahwa pengetahuan hudhuri inilah
yang mampu memahami realitas sebagaimana realitas itu sendiri, ternyata tidak,
karena keluasan pengetahuan hudhuri tergantung kepada keluasan subjek penerima
nya. (sebenarnya ada jawaban yang lebih dalam, tapi sengaja tidak saya
sampaikan, agar teman-teman lebih penasaran).Jika begitu, makin kuatlah dalil
bahwa mustahil mengetahui realitas sebagaimana realitas itu sendiri,
sebagaimana mustahil nya mengetahui Tuhan sebagaimana Tuhan itu sendiri,
kecuali pengetahuan Tuhan pada diri Nya sendiri.
Lalu, bagaimana cara kita
mengetahui kebenaran itu ?
Mursyid saya
pernah menjelaskan perihal rahasia titik Ba' dari bismillah (Ba' nya sengaja
tidak saya jelaskan, cukup ismi' nya saja), ismi atau asma bermakna
"nama", "tanda", "tajalli/bayangan" atau
"manifestasi", sehingga kita memahami Nya dari nama Nya saja, bukan
diri Nya, tapi dari nama Nya itu sudah menunjukkan keberadaan Nya. Sehingga
ungkapan Engkau, Nya, Dia, Tuhan, Elia dsb. nya kepada "Tuhan"
mustahil meng-antrophomis (memanusiakan) Tuhan, melainkan hanya
"metafora", "majazi" atau "manifestasi" dari
pemahaman manusia yang terbatas dan juga "metafor" ini kepada yang
tak terbatas itu.
Imam Ali ra.:
orang yang tidak mempercayai "Tuhan", sebenarnya mempercayai
"Tuhan" dengan "Nama" yang lain.laisa kamislihi syaii'un
(tidak sama dengan apapun)
subhanallahi ama yasiifun (maha suci Allah dari segala yg disifatkan)
subhanallahi ama yasiifun (maha suci Allah dari segala yg disifatkan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar