TUGAS
TERSTRUKTUR: DOSEN PEMBIMBING:
Tafsir Tematik Aqidah Ade Jamaruddin,SS.M.A
KONSEP MAKRIFAT PIKIRAN MANUSIA
DENGAN ALLAH
DITINJAU DARI ASMAUL HUSNA DAN
SIFAT-NYA
MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI
TUGAS MATA KULIAH TAFSIR TEMATIK AQIDAH
DEBRI KOESWOYO
ZULBAIDA
FAKUTAS USHULUDDIN JURUSAN AQIDAH
FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN
SYARIF KASIM RIAU
2015
KATA PENGANTAR
Alhamdullilah,segala puji bagi Allah
SWT yang telah memberikan karunia-Nya kepada kami dalam menyelesaikan makalah
ini. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada baginda alam kita Muhammad SAW. Yang
telah mengajak manusia kejalan yang benar ,sehingga terwujudnya agama yang
benar. Makalah yang berjudul Konsep Makrifat Pikiran Manusia Dengan Allah
Ditinjau Dari Asmaul Husna Dan Sifat-Nya disusun guna semakin mendekatkan diri
kita kepada Allah SWT melalui akal yang diberikan oleh-Nya.
Kami
menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran
dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan
makalah ini. Disini kami sebagai penyusun juga menyampaikan ucapan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan membimbing
kami dalam penyusunan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Pekanbaru. Oktober 2015
Penyusun
Daftar Isi
Kata pengantar ..................................................................................................................... 2
Daftar isi................................................................................................................................. 3
BAB I
Pendahuluan
Latar Belakang....................................................................................................................... 4
Rumusan Masalah.................................................................................................................. 4
Tujuan Penulisan.................................................................................................................... 5
BAB II
Pembahasan
A.
Makrifat kepada
Allah melalui pikiran......................................................................... 6
B.
Makrifat
Kepada Allah Melalui Asmaul Husna dan Sifat-Nya....................................... 8
C.
Kemustahilan
Mengetahui Zat Allah.......................................................................... 12
D.
Sifat-Sifat
Allah…………………………….………………………………………..16
E.
Mengenal Asma Wa
Shifat Allah SWT………………….…………………………..21
BAB
III Penutup
kesimpulan ............................................................................................................................ 24
Daftar pustaka....................................................................................................................... 25
BAB I
PENDAHULUAN
a.
Latar Belakang
Sebagai wahyu
Allah yang diturunkan kepada seluruh umat manusia melalui nabi Muhammad Saw
untuk menjadi petunjuk dalam menjalani kehidupan ini, al-Qur’an berisi
ayat-ayat yang secara etimologis berarti “tanda-tanda” yang melingkupi berbagai
aspek kehidupan manusia, termasuk aspek pengetahuan. Secara global pengetahuan
manusia dapat diklasifikasikan ke dalam dua jenis, yaitu ilmu dan ma‘rifah.
Sebagian pakar mengidentifikasikan ‘ilm (ilmu) sebagai pengetahuan yang
diperoleh melalui olah nalar atau logika disebut, dan ma’rifah sebagai
pengetahuan yang diperoleh melalui olah batin dan kontemplasi.[1]
Dalam dunia
Islam, ilmu bermula dari keinginan untuk memahami wahyu yang terkandung dalam
al-Qur’an dan bimbingan Nabi saw. mengenai wahyu tersebut. Al-‘ilm sendiri
dikenal sebagai sifat utama Allah Swt. Secara prinsipil pandangan al-Qur’an
tentang ilmu dapat diketahui dari analisis wahyu pertama yang diterima Nabi
saw. yaitu surah al-‘Alaq ayat 1-5. Hal yang ditekankan sehubungan dengan
kelima ayat tersebut antara lain bahwa ajaran Islam sejak awal meletakkan
semangat keilmuan pada posisi yang amat penting.
Banyaknya
ayat al-Qur’an dan hadis Nabi saw. Tentang ilmu antara lain memberi kesan bahwa
tujuan utama hidup ini adalah memperoleh ilmu tersebut. Iqra’ merupakan
simbol pengetahuan ilmu dan bi ismi Rabbik adalah simbol
pengetahuan ma’rifah. Iqra’ tanpa bismi Rabbik sama dengan ilmu
tanpa agama, dan bi ismi Rabbik tanpa iqra’ sama dengan agama tanpa
pengetahuan. Pencapaian ketakwaan tidak mungkin diraih kecuali dengan ilmu dan
ma’rifah.[2] Di
samping itu, kemuliaan manusia yang dinilai dengan ketakwaannya, juga dinilai
dengan sumber ketakwaannya tersebut, yaitu ilmu dan ma’rifat. Maka, betapa besar
perhatian dan penekanan ajaran Islam terhadap nilai ilmu dan ma’rifat. Kata
ilmu dalam al-Qur’an tidak hanya menyangkut persoalan-persoalan ajaran agama
dan alam akhirat, tetapi menyangkut pula masalah-masalah lain (dunia dan
keduniaan). Banyaknya ayat al-Qur’an yang berbicara mengenai ilmu dan ma‘rifah
menjadikan hal ini penting untuk dikaji. Fungsi al-Qur’an bukan hanya sebatas
untuk dibaca, tetapi juga sebagai media dialog dengan orang-orang yang berakal
untuk berpikir tentang hal-hal yang mereka dengar dan mampu berdialog aktif
serta berperan aktif dalam pembentukan pola pikir manusia.[3]
b.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
makrifat kepada Allah dengan pikiran?
2.
Bagaimana
makrifat kepada Allah dengan memahami Nama-nama dan sifat-sifat Allah?
3.
Bagaimana
kemustahilan mengetahui Zat Allah?
4.
Apasajakah
sifat-sifat Allah Ta’ala?
c.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
memahami dan makrifat kepada Allah
dengan pikiran
2.
Untuk
memahami makrifat kepada Allah dengan memahami Nama-nama dan sifat-sifat Allah.
3.
Untuk
memahami kemustahilan mengetahui Zat Allah
4.
Untuk
mengetahui sifat-sifat Allah Ta’ala
BAB II
PEMBAHASAN
Dari segi
bahasa Ma’rifat berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifat yang artinya
pengetahuan dan pengalaman.[4]
Dan dapat pula berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu
yang lebih tinggi daripada ilmu yang bisa didapati oleh orang-orang pada
umumnya. Ma’rifat adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang
bersifat zahir, tetapi lebih mendalam bathinnyadengan mengetahui rahasianya.[5]
Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat
ketuhanan dan hakikat itu satu dan segala yang maujud berasal dari yang satu.[6]
A. Makrifat
Kepada Allah Melalui Pikiran
Kata
ma‘rifah merupakan kata bahasa Arab dalam bentuk mashdar mim yang
akar katanya terdiri dari ع - ﺭ - ف huruf. Dalam Mu‘jam Maqayis al-Lugah, lafal
tersebut memiliki dua makna dasar, yaitu sesuatu yang berurutan satu sama lain
secara kontinyu atau sudah menjadi kebiasaan dan makna kedua adalah ketenangan
dan kedamaian.[7]
Ibrahim Mushthafa mengatakan bahwa makna ma‘rifah adalah sesuatu yang
dicapai dengan salah satu anggota indra.[8]
قُلِ انْظُرُوا
مَاذَا فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا تُغْنِي الْآيَاتُ وَالنُّذُرُ عَنْ
قَوْمٍ لَا يُؤْمِنُونَ(101)
Artinya: ““Katakanlah, Perhatikan
olehmu semua apa-apa yang ada di langit dan bumi.” (Q.S Yunus: 101)
أَفَمَنْ شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَهُ
لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَى نُورٍ مِنْ رَبِّهِ فَوَيْلٌ لِلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ
مِنْ ذِكْرِ اللَّهِ أُولَئِكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ(22)
Artinya: Maka Apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya
untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan
orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang
telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. mereka itu dalam kesesatan yang
nyata. (QS.
Al-Zumar, 39: 22)
Dua ayat tersebut sama-sama berbicara tentang
cahaya Tuhan. Cahaya tersebut ternyata dapat diberikan Tuhan kepada hamba-Nya
yang Dia kehendaki. Mereka yang mendapatkan cahaya akan dengan mudah dapat
mendapat petunjuk hidup, sedangkan mereka yang tidak mendapatkan cahaya akan
mendapatkan kesesatan hidup. Dalam makrifat kepada Allah, yang didapat seorang
sufi adalah cahaya. Dengan demikian, ajaran makrifat sangat dimungkinkan
terjadi dalam Islam, dan tidak bertentangan dengan al-Quran.[9]
Selanjutnya
di dalam hadis kita jumpai sabda Rasulullah yang berbunyi:
كُنْتُ خَزِنَةً خَافَيَةً اَحْبَيْتُ اَنْ اُعْرَفَ
فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ فَتَعَرَّفْتُ اِلَيْهِمْ فَعَرَفُوْنِي
Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang
tersembunyi (ghaib), Aku ingin memperkenalkan siapa Aku, maka Aku ciptakanlah
makhluk. Oleh karena itu Aku memperkenalkan diri-Ku kepada mereka. Maka mereka
itu mengenal Aku. (Hadits Qudsi).
Hadits tersebut memberikan petunjuk bahwa Allah dapat dikenal oleh
manusia. Caranya dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini menunjukkan
bahwa ma’rifat dapat terjadi, dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.[10] Firman Allah
dalam Q.S Al Fajr 27-28:
يَاأَيَّتُهَا النَّفْسُ
الْمُطْمَئِنَّةُ(27 ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ
رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً(28))
Artinya: “Hai
nafsu (jiwa) yang tenang (suci). Kembalilah kamu kepada Tuhanmu dengan (hati)
yang ridha dan diridhai.”
Sesungguhnya telah jelas tersampaikan pada ayat
diatas bahwa sesungguhnya jiwa yang tenang adalah jiwa yang senantiasa kembali
kepada Tuhannya baik dalam kondisi lapang maupun sempit, susah ataupun senang,
ragu maupun yakin, dan berbagai situasi serta kondisi jiwa yang kompleks. Manusia
yang senantiasa sadar Allah dan fokus Allah, maka jiwa dan bathinnya akan
senantiasa terjagakan oleh curahan cahaya kesucian Sang Ilahi dengan atas
kehendakNya. Sehingga dalam setiap aktifitas gerak hati, pikir maupun tubuh,
mengalir cahaya kemurnian nan termuliakan dengan atas kehendak Allah. Itulah
manusia yang berada dalam dimensi keridhaan Allah yang sebenar-benar
keridhaanNya dengan atas kehendakNya.[11]
Alat
yang digunakan untuk ma’rifat telah ada dalam diri manusia yaitu Qalbu (hati),
qalbu selain alat untuk merasa juga alat untuk berfikir. Bedanya Qalbu dengan
akal ialah bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang
Tuhan.[12]
Sedangkan Qalbu bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada dan jika dilimpahi
cahaya Tuhan bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Qalbu yang telah
dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkaian zikir dan wirid
secara teratur akan dapat mengetahu rahasia-rahasiaTuhan, yaitu saat hati
tersebut disinari cahaya Tuhan. Proses sampainya qalbu pada cahaya Tuhan ini
erat kaitannya dengan dengan konsep takhalli, tahalli, tajalli.[13]
Takhalli
yaitu mengosongkan diri dari akhlak yang tercela dan perbuatan maksiat melalui
tobat, selanjutnyaTahalli yaitu menghiasidiri dengan akhlak yang mulia dan amal
ibadah. Sedangkan Tajalli adalah terbukanya hijab sehinggatampak jelas cahaya
Tuhan. Dengan limpahan cahaya Tuhan itulah manusia dapat mengetahui
rahasia-rahasia Tuhan. Dengan demikian ia dapat mengetahui apa-apa yang tidak
bisa diketahuimanusia biasa. Orang yang sudah mencapai makrifat akan memperoleh
hubungan langsung dengan Allah.[14]
B.
Makrifat Kepada Allah Melalui Asmaul Husna dan
Sifat-Nya
Ada beberapa i’tiqod (keyakinan) yang
seharusnya menjadi pegangan dan keyakinan seorang muslim mengenai asma’ wa
shifat (nama dan sifat Allah). Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah-
mengatakan:
لَا يُوصَفُ اللَّهُ إِلَّا بِمَا وَصَفَ بِهِ
نَفْسَهُ ، أَوْ وَصَفَهُ بِهِ رَسُولُهُ ، لَا يُتَجَاوَزُ الْقُرْآنُ
وَالْحَدِيثُ
“Allah tidaklah disifati kecuali dengan apa
yang Allah sifatkan pada diri-Nya sendiri atau yang disifatkan oleh Rasul-Nya.
Hendaklah tidak mensifati Allah selain dari Al Qur’an dan Al Hadits.
Shahih Bukhari
حَدَّثَنَا
أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنْ
الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ
اسْمًا مِائَةً إِلَّا وَاحِدًا مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
Telah bercerita kepada kami [Abu Al Yaman] telah mengabarkan kepada
kami [Syu'aib] telah bercerita kepada kami [Abu Az Zanad] dari [Al A'raj] dari
[Abu Hurairah radliallahu 'anhu] bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Sesungguhnya Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama,
seratus kurang satu. Siapa yang menghitungnya (menjaganya) maka dia akan masuk
surga".
Madzhab salaf dalam mengimani sifat Allah
adalah menetapkan dan memahaminya secara zhohir (tekstual), mereka menolak
menyebutkan hakikat (kaifiyah) sifat tersebut dan mereka tidak melakukan tasybih
(menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk).
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ
مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ(180)
Artinya: hanya milik
Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul
husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam
(menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan mendapat Balasan terhadap apa yang
telah mereka kerjakan.(al-A’raf:180)
وَهُوَ الَّذِي يَبْدَأُ الْخَلْقَ
ثُمَّ يُعِيدُهُ وَهُوَ أَهْوَنُ عَلَيْهِ وَلَهُ الْمَثَلُ الْأَعْلَى فِي
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ(27)
Artinya: dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan,
kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkan kembali itu
adalah lebih mudah bagi-Nya. dan bagi-Nyalah sifat yang Maha Tinggi di langit
dan di bumi; dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Ruum: 27)
Keyakinan
tentang sifat Allah seperti keyakinan tentang Dzat-Nya. Maksudnya, sifat, dzat,
dan perbuatan Allah tidak serupa dengan apapun. Karena Allah memiliki dzat
secara hakiki dan dzat-Nya itu tidak serupa dengan dzat apapun selain-Nya, maka
demikian pula sifat-sifat Allah yang ada di dalam al-Quran dan as-Sunnah. Allah
menyandang sifat-sifat tersebut secara hakiki dan tidak serupa dengan
apapun.Semua nama Allah adalah baik dan sama sekali tidak ada yang buruk,
karena nama-nama itu menunjukkan dzat yang memiliki nama tersebut yaitu Allah.
Nama-nama itu menunjukkan sifat-sifat kesempurnaan yang tidak
mengandung kekurangan sedikitpun dari segala sisi.
Allah Ta’ala
berfirman:
فَاطِرُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ جَعَلَ
لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ
فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ(11)
Artinya: tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan
melihat. (Q.S.as-Syura:11).
Mengenai
pernyataan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni di atas juga kita jumpai dalam
perkataan ulama lainnya. Imam Ahmad bin Hambal –rahimahullah- mengatakan,
لَا
يُوصَفُ اللَّهُ إِلَّا بِمَا وَصَفَ بِهِ نَفْسَهُ ، أَوْ وَصَفَهُ بِهِ
رَسُولُهُ ، لَا يُتَجَاوَزُ الْقُرْآنُ وَالْحَدِيثُ
“Allah
tidaklah disifati kecuali dengan apa yang Allah sifatkan pada diri-Nya sendiri
atau yang disifatkan oleh Rasul-Nya. Hendaklah tidak mensifati Allah selain
dari Al Qur’an dan Al Hadits.”[15]
Dalam
pernyataan di atas yang tentu saja hasil dari penelitian dan penyimpulan Al
Qur’an dan As Sunnah, kita dapat mengatakan bahwa i’tiqod yang mesti diyakini
seorang muslim adalah sebagai berikut.[16]
Pertama: Hendaklah seseorang menetapkan nama
bagi Allah sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala dalam kitab-Nya
dan ditetapkan oleh Rasul-Nya melalui lisannya.
Kedua: Penetapan nama dan sifat Allah di
sini tanpa melakukan tahrif dan ta’thil serta tanpa melakukan takyif dan
tamtsil.
Tahrif
adalah menyelewengkan makna nama atau sifat Allah dari makna sebenarnya tanpa
adanya dalil. Seperti mentahrif sifat mahabbah (cinta) bagi Allah menjadi
irodatul khoir (menginginkan kebaikan).
Ta’thil
adalah menolak nama atau sifat Allah. Seperti menolak sifat tangan bagi Allah.
Takyif
adalah menyebutkan hakekat sesuatu tanpa menyamakannya dengan yang lain.
Seperti menyatakan panjang tangannya adalah 50 cm. Takyif tidak boleh dilakukan
terhadap sifat Allah karena Allah tidak memberitahukan bagaimana hakekat
sifat-Nya dengan sebenarnya.
Tamtsil
adalah menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Seperti menyatakan Allah
memiliki tangan dan sama dengan tanganku.
Keempat hal ini terlarang dalam mengimani nama
dan sifat Allah. Karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan
Melihat.” (QS. Asy Syura: 11)
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia” adalah bantahan terhadap orang yang melakukan
takyif dan tamtsil, yaitu yang menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk atau
menyebutkan hakekat sifat Allah padahal yang mengetahuinya hanyalah Allah.[17]
وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“dan Dia-lah
yang Maha Mendengar dan Melihat” adalah bantahan untuk orang yang melakukan
tahrif dan ta’thil. Karena dalam ayat ini Allah menyatakan bahwa Allah memiliki
sifat mendengar dan melihat. Makhluk pun memiliki sifat mendengar dan melihat,
namun tentu saja kedua sifat Allah ini berbeda dengan makhluk. Oleh
karenanya, kedua sifat tersebut tidak boleh ditahrif (diselewengkan) maknanya
dan tidak perlu dita’thil (ditolak maknanya). Sebagaimana hal ini juga berlaku
untuk sifat-sifat Allah lainnya.[18]
Shahih Bukhari
حَدَّثَنَا
عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَفِظْنَاهُ مِنْ أَبِي
الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رِوَايَةً قَالَ لِلَّهِ
تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ اسْمًا مِائَةٌ إِلَّا وَاحِدًا لَا يَحْفَظُهَا أَحَدٌ
إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَهُوَ وَتْرٌ يُحِبُّ الْوَتْرَ
Telah
menceritakan kepada kami [Ali bin Abdullah] telah menceritakan kepada kami
[Sufyan] dia berkata; Kami hafal dari [Abu Az Zinad] dari [Al A'raj] dari [Abu
Hurairah] secara periwayatan, dia berkata; "Allah memiliki sembilan puluh
sembilan nama, seratus kurang satu, tidaklah seseorang menghafalnya melainkan
ia akan masuk surga, dan Dia adalah witir dan menyukai yang ganjil."
Ketika memahami sifat Allah pun mesti seperti itu. Hendaklah
kita memahami secara zhohir, sesuai makna yang tertangkap dalam benak kita
tanpa kita takwil (palingkan) ke makna lainnya tanpa adanya indikator atau
dalil. Inilah yang diperintahkan dalam Al Qur’an ketika kita memahami ayat Al
Qur’an. [19]Coba
kita perhatikan ayat-ayat berikut ini. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ
الْعَالَمِينَ (192) نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ
الْأَمِينُ (193) عَلَى
قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ (194) بِلِسَانٍ
عَرَبِيٍّ مُبِينٍ (195)
“Dan sesungguhnya Al Qur’an ini benar-benar diturunkan
oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke
dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang
yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. Asy
Syu’ara: 192-195). Dalam ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ
تَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya
Kami menjadikan Al Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya).”
(QS. Asy Syu’ara: 195). [20]
Ayat
ini pun demikian yaitu menjelaskan bahwa Al Qur’an itu diturunkan dengan bahasa
Arab yang mudah dipahami secara zhohir, tanpa perlu dipalingkan ke makna
lainnya.[21]
Begitu
pula Allah Ta’ala memerintahkan agar kita mengikuti apa yang Allah turunkan,
artinya sesuai yang kita pahami di benak kita. Allah Ta’ala berfirman,
اتَّبِعُوا
مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ
أَوْلِيَاءَ
“Ikutilah
apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (QS. Al A’rof: 3)[22]
C. Kemustahilan Mengetahui Zat Allah
Sesungguhnya
hakikat dzat Tuhan tidak dapat diketahui oleh akal. Akal tidak akan mampu
mengetahui hakikat-Nya. Sebab dzat Tuhan memang tidak dapat dijangkau oleh akal
pikiran. Manusia tidak dibekali sarana untuk menjangkaunya. Sesungguhnya akal
manusia meskipun kecerdasan dan kemampuannya untuk mengetahui sesuatu telah
mencapai puncaknya, namun ia sangat terbatas dan sangat lemah untuk mengetahui
hakikat berbagai hal. Akal tidak mampu mengetahui (hakikat) jiwa manusia itu
sendiri. Pengetahuan tentang jiwa masih merupakan salah satu persoalan yang
sulit dipecahkan oleh ilmu pengetahuan maupun filsafat. Akal tidak mengetahui
hakikat cahaya. Padahal cahaya merupakan barang yang paling tampak dengan
sangat jelas.
Ketidakmampuan Mengetahui Hakikat Sesuatu
Tidak Berarti Menafikan Keberadaannya. Keterbatasan akal pikiran, kelemahan untuk
mengetahui hakikat sesuatu, dan ketidakmampuan akal untuk mengetahui hakikat
jiwa manusia tidaklah berarti menafikan keberadaannya. Kelemahan akal untuk
mengetahui hakikat cahaya tidak berarti menafikan adanya cahaya yang memancar
di berbagai ufuk. Kelemahan akal pikiran untuk mengetahui hakikat atom tidaklah
menunjukkan bahwa atom-atom yang membentuk benda-benda itu tidak ada. Demikian
pula semua benda yang tidak mampu diketahui hakikatnya oleh akal pikiran manusia.
Demikian pula mengenai Dzat Tuhan. Bila manusia tidak mampu mengetahui
hakikatnya, maka tidak berarti bahwa Dia tidak ada, bahkan Dia ada dan
keberadaan-Nya jauh lebih kuat dari segala yang ada.
أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ
هُمُ الْخَالِقُونَ(35) أَمْ خَلَقُوا السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ بَل لَا
يُوقِنُونَ(36)
Artinya:
“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun, ataukah mereka yang menciptakan
diri mereka sendiri? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi?
Sebenarnya mereka tidaklah meyakini apa yang mereka katakan.” (QS. Ath-Thuur [52] : 35-36)
Mengenal
Zat (Entitas) Tunggal
Penelusuran sifat-sifat ketuhanan dimulai dengan bukti
eksistensi konsep Tuhan sebagai Ada (dengan ”A” besar) yang Niscaya (juga
dengan ”N" besar) atau Niscaya Ada (Wajib al-Wujud).[23]
Ada yang Niscaya adalah sesuatu yang tidak mungkin dipikirkan ketidakadaannya.
Coba pikirkan bagaiman sesuatu yang ada itu tidak ada, pastilah kita akan
menemui kontradiksi. Jadi, Niscaya Ada alias Wajib al-Wujud itu adalah
keber-Ada-an yang dipastikan wujudnya. Namun, ini hanya membuktikan sebuah
keber-Ada-an itu adalah ada yang semua orang tahu. [24]
Kemutlakan Tunggal adalah inti
ajaran Islam. Tuhan adalah pencipta semua wujud yang lahir dan batin. Tuhan
adalah Wujud Mutlak, yang menjadi sumber dari semua wujud-wujud yang lain.[25]
Dengan demikian, semua wujud yang lain adalah nisbi belaka, sebagai bandingan
dari Wujud Hakiki atau Zat yang Mutlak. Karena itu, Eksistensi Tuhan bukan
untuk dilihat tapi untuk diketahui, sebab melihat Tuhan dengan mata kepala
adalah mustahil. Manusia hanya dapat mengetahui Tuhan dengan mata hati tanpa
dapat menggambarkan dengan suatu yang bertempat dan berbentuk.[26]
Pengakuan
terhadap keesaan Tuhan identik dengan pengerahan persoalan ini kepada Tuhan
yang menciptakannya dan yang menguasainya. Tidak ada pencipta selain-Nya. Semua
sebab-sebab itu meningkat kepada-Nya dan kembali kepada kekuasaan-Nya. Kita
mengetahui-Nya hanya lantaran kita muncul daripada-Nya. Inilah penafsiran
pernyataan yang dimunculkan oleh para shadiqin: ”Ketidakmampuan
menemukan persepsi, itulah persepsi” (’Ajz al-idrak idrak).
Dalam keadaan tidak mungkin melihat Tuhan, yang harus
diketahui manusia ialah usaha terus-menerus dan penuh kesungguhan (mujahadah)
kepada-Nya. Ini diwujudkan untuk merentangkan garis lurus antara diri manusia
dengan Tuhan. Garis lurus itu merentang sejajar secara berhimpitan dengan hati
nurani.[27]
Karena kemahaesaan-Nya dan kemutlakan-Nya, wujud Tuhan
adalah wujud kepastian. Justru Tuhanlah wujud yang pasti. Abu Hanifah berkomentar,
tidak pantas manusia berbicara tentang Zat Allah Swt. Sebab ia telah
tercukupkan dengan mengenal dan memahami sifat-sifat-Nya yang telah
difirmankan.[28]
Persepsi kemanusiaan tidak dibolehkan berbicara sifat-sifat ketuhanan
berlandaskan pada akal semata. Tepat di titik ini, kelemahan manusia dalam
memahami Wujud Eksistensial Allah Swt. teruraikan. Manusia hanya mampu memahami
sifat-sifat-Nya, bukan Wujud eksistensial-Nya. [29]
Memahami
Sifat-sifat Allah
Sifat adalah kata bahasa Arab yang merupakan derivasi dari
kata wasf (shifat) yang telah diindonesiakan. Sifat dapat
diartikan sebagai sebuah sebutan yang dapat menunjukkan keadaan suatu benda.[30]
Atau lebih mudahnya, sifat adalah ciri-ciri sesuatu. Dapat juga dipahami, sifat
adalah sebuah ciri-ciri (amârah) yang melekat pada diri seseorang dan
dapat digunakan sebagai sarana identifikasi.
Dalam ilmu teologi, term sifat menjadi faktor fundamen yang
mempengaruhi perbedaan dalam menentukan sifat-sifat Allah. Para mutakallim
(teolog) mengartikan sifat adalah suatu unsur selain zat dan tidak harus nampak
di luar zat. Pengertian semacam ini mendorong seseorang berpandangan bahwa
sifat wajib Allah Swt. berjumlah dua puluh, sementara teolog yang
mendefinisikan sifat sebagai unsur di luar zat dan harus nyata adanya, mendorongnya
berpendapat bahwa hitungan sifat wajib-Nya hanya berjumlah tujuh.[31]
Bagi manusia yang berpikir dan berjiwa sehat akan mengakui
eksistensi Wujud Tuhan, bahkan meniscayakan Wujud-Nya. Karena fitrah yang
terkandung dalam hati nurani dan rasio di kepala, memaksakan mengenal Hakikat
Tunggal. Disamping, kalau mau sadar dan merenungi format kemanusiaan, dari
aspek lahir (jism) dan aspek batin yang meliputi nyawa, nalar, atau
unsur hewani, nabati, debu, pasir, batu, udara, angkasa, air hujan, durasi
waktu; ada siang ada malam, semua itu menjadi indikasi-indikasi akan Wujudnya
Tuhan.
Makanya, Allah Swt. berfirman surat al-Anfal [8]: 22-23:
إن شر
الدواب عند الله الصم البكم الذين لا يعقلون ولو علم الله فيهم خيرا لاسمعهم ولو
أسمعهم لتولوا وهم معرضون
“Sesungguhnya seburuk-buruknya mahkluk berkaki (dabbah)
di sisi Allah adalah orang yang tuli dan bisu, yaitu orang-orang yang tidak mau
berpikir. Seandainya Allah akan memberi kebaikan terhadap mereka, maka Ia
membuka pendengaran mereka. Dan ketika Ia telah membuka pendengaran mereka,
maka mereka menolak dan berpaling”.
Meski keajaiban-keajaiban tampak di depan mata, tapi Wujud
Allah Swt. tidak dapat diketahu oleh manusia. Eksistensi Tuhan adalah samar (ghaib)
menurut mata manusia dan jangkauan nalar. Kendati demikian, dengan mengetahui
tanda-tanda kebesaran-Nya maka nalar akan dapat menjangkau Wujud Tuhan.
Seandainya Ia berkehendak lain, dalam arti tidak memperkenalkan kepada manusia
melalui daya nalarnya, maka siapapun tidak akan menemukan Eksistensi-Nya.[32]
Tapi bukti kosmologis memberi
sumbangan pengetahuan kepada kita, bahwa Ada yang Niscaya itu memang benar dan
nyata. Keniscayaan Wujud Tuhan terejawantah di balik keunikan-keunikan dan
keanekaragaman bentuk ciptaan-Nya. Nalar tidak dapat menerima kondisi tidak
adanya Pencipta ciptaan-ciptaan itu. Keberadaan ciptaan menunjukkan Wujudnya
Sang Pencipta, atau menurut konsep Aristotelian, Ia dibahasakan sebagai Prima
Causa (Penyebab Utama) atas keberadaan setiap yang ada.[33]
D.
Sifat-sifat
Allah Ta’ala
Allah Swt sebagai Maha pencipta alam semesta
ini, selain memiliki asmaul husna (nama-nama yang baik), juga memiliki
sifat-sifat luhur yang merupakan penetapan dari kesempurnaan ketuhananNya serta
keagunganNya.
sifat-sifat yang menjadi miliki Allah Ta’ala
itu, diantaranya ada yang disebut sifat-sifat salbiah dan diantaranya lagi ada
yang disebut sifat-sifat tsubutiah.
a)
Sifat-sifat salbiah
Sifat salbiah yaitu yang menarik atau
meniadakan dari Allah Ta’ala akan sifat- sifat yang tidak sesuai, tidak layak,
tidak cocok dengan kesempurnaan DzatNya. Adapun yang termasuk dalam golongan
sifat-sifat salbiah, yaitu
Awal dan akhir:
Allah SWT adalah Maha Awwal yakni Maha Dahulu.
Artinya bahwa Allah SWT tidak ada permulaan bagi wujudnya. Jadi wujud atau
adanya Allah Ta’ala tidak pernah didahului oleh ketiadaan sebelumya.
Allah SWT adalah Maha Akhir yakni Maha
Belakang. Artinya tidak ada akhir atas penghabisan bagi WujudNya. Allah adalah
maha kekal dan puncak keakhiranNya.
Oleh sebab itu, maka Allah Ta’ala itu Maha
Azali yakni sudah ada sejak zaman azali yaitu zaman sebelum adanya sesuatu
apapun selain Dia sendiri, juga Dia adalah Maha Abadi yakni kekal untuk
selama-lamanya. Allah Ta’ala tidak pernah didahului oleh ketiadaan sebelumya
dan tidak pernah dihinggapi oleh kerusakan atau kebinasaan, sebab Allah Ta’ala
itu memang wajibul wujud yakni wajib
adaNya. Dalam hal ini Allah berfirman:
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ
وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ(3)
Artinya:
Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin]; dan Dia Maha
mengetahui segala sesuatu. (Q.S. al-Hadid: 3)[34]
Allah
Ta’ala tidak serupa dengan sesuatu:
Diantara
sifat-sifat Allah
Ta’ala lainya ialah bahwa Allah itu tidak serupa dengan sesuatu apapun. Dia
tidak menyamai segala yang merupakan makhlukNya ini dan tidak sesuatu makhluk
pun yang menyamai Dia.
فَاطِرُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ جَعَلَ
لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الْأَنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ
فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ(11)
Artinya: …tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan
melihat.(Q.S. Syura:11)[35]
Allah Ta’ala adalah Maha Esa:
Allah Ta’ala adalah
Maha Esa, baik dalam DzatNya, SifatNya serta Af’alNya. Allah Ta’ala berfirman:
لَوْ أَرَادَ اللَّهُ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا
لَاصْطَفَى مِمَّا يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ سُبْحَانَهُ هُوَ اللَّهُ الْوَاحِدُ
الْقَهَّارُ(4)
b)
Sifat-sifat tsubutiah
Adapun
Sifat-sifat tsubutiah (sebagai ketetapan keadaan Allah Ta’ala) yaitu:
Kuasa (qudrah):
Allah Ta’alaitu
adalah Maha Kuasa, tidak lemah sedikitpun untuk melakukan sesuatu. Apa yang tampak di alam semesta ini, tidak
lain hanyah sebagai penjelmaan dari sifat kuasa dan agungnya Allah Ta’ala.
وَهُوَ
الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ وَلَهُ اخْتِلَافُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ أَفَلَا
تَعْقِلُونَ(80)
Artinya: dan
Dialah yang menghidupkan dan mematikan, dan dibawah kekuasaanNya pula adanya pertukaran
malam dan siang. Maka Apakah kamu tidak menggunakan aqalmu”? (al-Mukminun: 80)[37]
Berkehendak (Iradah):
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ
الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ(68)
Artinya: dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia). (al-Qashas: 68).
Mengetahui (ilmu):
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي
السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ
رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ
وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ
بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ(7)
Artinya: tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah
mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? tiada pembicaraan rahasia antara
tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. dan tiada (pembicaraan antara) lima
orang, melainkan Dia-lah keenamnya. dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah
yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di
manapun mereka berada. kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari
kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
segala sesuatu. (al-mujadalah 7)
Hidup (Hayat)
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لَا
يَمُوتُ وَسَبِّحْ بِحَمْدِهِ وَكَفَى بِهِ بِذُنُوبِ عِبَادِهِ خَبِيرًا(58)
Artinya: dan
bertawakkallah kepada Allah yang hidup (kekal) yang tidak mati, dan
bertasbihlah dengan memuji-Nya. dan cukuplah Dia Maha mengetahui dosa-dosa
hamba-hamba-Nya (Q.S.al-Furqan:
58)
Berfirman (Kalam)
Artinya: dan (kami telah mengutus) Rasul-rasul
yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan
Rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. dan Allah telah
berbicara kepada Musa dengan langsung.(Q.S. an-Nisa’:164)[38]
Mendengar (Sama’) dan Melihat (Bashar)
قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي
تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ
تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ(1)
Artinya: Sesungguhnya Allah telah mendengar Perkataan wanita yang
mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada
Allah. dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah
Maha mendengar lagi Maha melihat. (Q.S.
al-Mujadalah: 1)[39]
E. Menerapkan
Makrifat Dalam Kehidupan
Apabila hati
sebagai sentral pengetahuan, maka cara memperoleh pengetahuan (makrifat) harus
terkonsentrasikan pada hati. Ada beberapa cara untuk memperoleh makrifat:[40]
1. Mujahadah, yakni kesungguhan niat dan
kesungguhan usaha menuju pencapaian makrifat.
2. Menghapus sifat-sifat tercela.
3. Mengkonsentrasikan diri pada Allah dengan
sepenuh hati.
وقيل لأبي يزيد: بماذا وجدت هذه
المعرفة؟ فقال: ببطن جائع وبدن عار
“Ketika Abi
Yazid ditanya: Dengan apa anda mendapatkan makrifat? Dia menjawab dengan perut
lapar dan badan telanjang”.
Ungkapan di
atas menunjukkan bahwa makrifat dapat diperoleh melalui riyadlah (latihan) dan
mujahadah (usaha dengan sepenuhnya). Makrifat tidak diperoleh melalui berdebat
maupun proses pengambilan kesimpulan dengan berbagai dalil. Makrifat hanya
diperoleh melalui amal nyata.[41]
Seseorang tidak akan menyaksikan dan menyentuh mutiara yang ada di dasar lautan
apabila tidak menyelam di dalamnya. Demikian juga ia tidak akan menyaksikan
hal-hal yang bersifat ketuhanan tanpa mengamalkan sesuatu ilmu atau syari’at.[42]
Semakin seseorang mengalami dan mengamalkan ia akan ditunjukkan oleh Allah
dengan berbagai perbendaharaan (ilmu) yang sebelumnya tdak diketahui. Itulah
sebabnya semakin adalam amaliyah dan ibadah seseorang maka Allah akan
membukakan pintu-pintu ilmu yang semakin menambah keyakinannya.[43][6]
Tidak semua
orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai kepada tingkatan makrifat.
Karena itu, Shufi yang sudah mendapatkan makrifat, memiliki tanda-tanda
tertentu, sebagaimana keterangan Dzun Nun Al-Mishriy yang mengatakan, ada
beberapa tanda-tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah sampai kepada
tingkatan makrifat, antara lain:
a. Selalu memancarkan cahaya makrifat padanya
dalam segala sikap dan perilakunya. Karena itu sikap wara’ selalu ada pada
dirinya.
b. Tidak menjadikankepuusan pada sesuatu yang
berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran
Tasawuf belum tentu benar.
c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak
buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
Dari sinilah
kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak membutuhkankehidupan yang mewah,
kecuali tingkatan kehidupan yang hanya menunjang kegiatan ibadahnya kepada
Allah SWT, sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa makrifat
yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena
merasa selalu bersama-sama dengan Tuhannya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sebenarnya
makrifat kepada Allah Swt adalah seluhur-luhur makrifat dan bahkan yang
semulia-mulianya, sebab makrifat kepada Allah itulah yang merupakan asas atau
fundamen yang diatasnya didirikanlah segala kehidupan kerohanian.
Untuk
bermakrifat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai dua cara yaitu dengan
menggunakan aqal fikiran dan memeriksa dengan teliti apa-apa yang diciptakan
oleh Allah Ta’ala yang berupa benda-benda yang beragam ini dan dengan memakrifati
nama-nama serta sifat-sifat-Nya.
Maka dengan
menggunakan aqal fikiran dari satu sudut dan dengan memakrifati nama-nama serta
sifat-sifat Allah dari sudut lain akan dapatlah seorang itu bermakrifat kepada
Tuhannya dan ia akan memperoleh petunjuk kearah itu.
DAFTAR PUSTAKA
Azra,
Azyumardi dkk, Ensiklopedia Islam, Jilid III, Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve
Cholidi,
Ensiklopedi al-Qur’an: Kajian Kosa Kata, Jilid I, Cet. I; Jakarta:
Lentera Hati, 2007
Jumantoro, Totok
dan Samsul Munir Amin, Kamus IlmuTasawuf, Wonosobo: Amzah, 2005
Mahjuddin,
Akhlaq-Tasawuf, Jakarta: Kalam Mulia, 1991
Muhammad
al-Gazali, al-Qur’an Kitab Zaman Kita, Penerj. Masykur Hakim, Cet. I;
Bandung: Mizan, 2008
Mulyono dan Bashori, Studi Ilmu Tauhid
atau Kalam, Malang: UIN Maliki Press, 2010
Nasiruddin, Muhammad, Pendidikan Tasawuf, Semarang: Rasail Media
Group, 2009
Nata, Abuddin, Akhlak
Tasawuf , Jakarta:Rajawali Pers, 2009
Rusli, Ris’an,
Tasawuf dan Tarekat Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, Jakarta: Rajawali
Pers, 2013
Sabiq, Sayid, Aqidah Islam, Bandung: Diponegoro, 2006
Taisir al-Karim al-Rahman fi Tafsir
Kalâm al-Mannân,
'Abdurrahman Nashir al-Sa'di
Maqalat al-Islamin, jil. 1, hal. 225; Silahkan lihat,
Ja'far Subhani, Muhadharat fi al-Milal wa al-Nihal, jil. 2
Muhammad Thahir al-Tunisi, At-Tahrîr wa at-Tanwîr ,
vol. 3 (Tunisia: Dar al-Tunisiyah, 1984)
[1] Azyumardi Azra
dkk., Ensiklopedia Islam, Jilid III, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, h. 161.
[2] Cholidi, Ensiklopedi
al-Qur’an: Kajian Kosa Kata, Jilid I, (Cet. I; Jakarta: Lentera Hati, 2007),
h. 330.
[3] Muhammad
al-Gazali, al-Qur’an Kitab Zaman Kita (Penerj. Masykur Hakim, Cet. I;
Bandung: Mizan, 2008 M). h. 36.
[4]Mahjuddin, Akhlaq-Tasawuf,
(Jakarta: Kalam Mulia, 1991), hlm. 119-120
[5]Totok Jumantoro
dan Samsul Munir Amin, Kamus IlmuTasawuf, (Wonosobo: Amzah, 2005), hlm.
142
[6] Op.Cit hlm 76
[7] Ibid hlm 97
[8] Muhammad
Nasiruddin, Pendidikan Tasawuf, (Semarang: Rasail Media Group, 2009),
hlm. 101-102
[9] Ris’anRusli,
Tasawuf dan Tarekat Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2013), hlm. 66-67
[10] Abuddin Nata, Akhlak
Tasawuf (Jakarta:Rajawali Pers, 2009), hlm. 229-230
[12]
Mulyono dan
Bashori, Studi Ilmu Tauhid atau Kalam(Malang: UIN Maliki Press, 2010),
h.7
[13] Muhammad Nasirudin, Op.Cit hal 78
[14]
Mahjuddin, Akhlaq-Tasawuf,
(Jakarta: Kalam Mulia, 1991), hlm. 116
[16]
A. Syihab, Akidah Ahlus Sunnah, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2004), hlm. 71
[17] Djaliel,Abd.Maman,Tasawuf Tematik (Bandung:CV
Pustaka Setia,2003) hlm. 23
[18]
At-Tunis, At-Tahrîr wa at-Tanwîr , vol. 3.
[19]
Muhammad Thahir al-Tunisi, At-Tahrîr wa at-Tanwîr , vol. 3
(Tunisia: Dar al-Tunisiyah, 1984), 342.
[20]
Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 13 (Beirut: Dar Shadir, tt), hlm 268.
[21]
Hadariansyah Ab,
Pemikir-pemikir teologi dalam Sejarah Pemikir Islam (Banjarmasin: Antasari
Press, 2008), hal 58
[22]
Op.Cit hlm 268
[23]
Ibid hlm 267
[24]
Maqalat al-Islamin, jil. 1, hal. 225; Silahkan lihat,
Ja'far Subhani, Muhadharat fi al-Milal wa al-Nihal, jil. 2, pasal
6.
[25]
Ibid hlm 231
pasal 6
[26] Mahmud,Halim,Abdul,Tasawuf diDunia islam ( Bandung:Pustaka
Setia,2002) hlm 34
[27]
Op.Cit hlm 23
[29]
Ibid Hlm 69
[30]
Nurdin, M. Amin, 2011, Sejarah Pemikiran Islam(Jakarta:
Teruna Grafika). Hal. 27
[31]
Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam
Islam, (Jakarta: Logos, 1996), hlm. 143
[32]
Mahjuddin,
Akhlaq-Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 1991), hlm. 119-120
[33]
Ris’anRusli,
Tasawuf danTarekat Studi Pemikiran dan Pengalaman Sufi, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2013), hlm. 66-67
[40]
Mahjuddin,
Akhlaq-Tasawuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 1991), hlm. 119-120
[41]Abuddin Nata, Akhlak
Tasawuf (Jakarta:Rajawali Pers, 2009), hlm. 229-230
[42]
Ahmad Musthafa Al Maraghi, Tafsir
Al Maraghi, (Semarang: Tahaputra, 1989), hlm. 20-21
[43]Mohammad
Nasirudin, Pendidikan Tasawuf,.... hlm. 105-106
Tidak ada komentar:
Posting Komentar