TUGAS
TERSTRUKTUR: DOSEN PEMBIMBING:
Tafsir Tematik Aqidah Dr.
Agustiar.,M.A
TAFSIR MAUDHUI QADHA DAN QADAR
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Tafsir Tematik Aqidah

DEBRI KOESWOYO
ZULBAIDA
ANI ROHMATUL JANNAH
ZAINUDDIN
JAHRA
FAKUTAS USHULUDDIN
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2015
KATA PENGANTAR
Alhamdullilah,segala puji bagi Allah
SWT yang telah memberikan karunia-Nya kepada kami dalam menyelesaikan makalah
ini. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada baginda alam kita Muhammad SAW. Yang
telah mengajak manusia kejalan yang benar ,sehingga terwujudnya agama yang
benar. Makalah yang berjudul Konsep Makrifat Pikiran Manusia Dengan Allah
Ditinjau Dari Asmaul Husna Dan Sifat-Nya disusun guna semakin mendekatkan diri
kita kepada Allah SWT melalui akal yang diberikan oleh-Nya.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih
jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Disini
kami sebagai penyusun juga menyampaikan ucapan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan membimbing kami
dalam penyusunan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak
yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir.
Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Pekanbaru. Oktober 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata pengantar ...................................................................................................................... i
Daftar isi................................................................................................................................. ii
BAB I Pendahuluan
A. Latar
Belakang.............................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................... 1
C. Tujuan
Penulisan........................................................................................................... 1
BAB II Pembahasan
A.
Pengertian Qadha
dan Qadar....................................................................................... 2
B.
Beriman
Kepada Qadha dan Qadar............................................................................... 3
C.
Kebebasan Kehendak
Manusia..................................................................................... 4
D.
Kehendak Tuhan dan
Kehendak Manusia.................................................................... 7
E.
Hikmah Beriman
kepada Qadha dan Qadar................................................................. 9
BAB
III Penutup
Kesimpulan ........................................................................................................................... 11
Daftar pustaka....................................................................................................................... 12
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Agama Islam terdiri dari enam rukun iman. Yang mana keenam
rukun iman tersebut wajib kita imani untuk sempurna iman kita sebagai hamba
Allah SWT dan ummat Rasulullah. Namun, ada beraneka ragam pemahaman masalah
keimanan tentang rukun iman. Dalam makalah ini kami fokus ke pembahasan tentang
keimanan terhadap qadha dan qadar dengan melihat dari pandangan dari beberapa
kalangan dan kelompok Islam.
Persoalan Qadha dan Qadar tidak habis-habisnya di bicarakan
orang hingga sekarang dan tidak ada kesepakatan pendapat. Perbedaan pendapat
dalam soal tersebut terutama karena adanya beberapa ayat Al Qur’an yang
pengertian lahirnya saling bertentangan di suatu pihak, beberapa ayat
menetapkan pertanggungan jawab manusia atas perbuatannya. Di pihak lain
beberapa ayat lainnya menyatakan bahwa Tuhan yang menjadikan sesuatu. Dengan
latar belakang hal tersebut maka penulisan ini akan mencoba untuk memberikan
tafsiran dari masing-masing ayat tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian qadha dan qadar ?
2.
Bagaimana kehendak manusia didalam Al- Qur’an?
3.
Bagaimana Kehendak Allah dan Kehendak Manusia didalam
al-Qur’an?
4.
Apa hikmah beriman kepada Qadha dan Qadar?
C.Tujuan
Penulisan
1. Menjelaskan pengertian qadha dan
qadar
2. Menjelaskan dan memaparkan ayat
al-Qur’an yang berhubungan dengan kehendak manusia
3. Menjelaskan dan memaparkan ayat
al-Qur’an yang berhubungan dengan kehendak Allah dan kehendak manusia
4. Menjelaskan hikmah beriman kepada
Qadha dan Qadar
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Qadha dan Qadar
Kata القضاء secara bahasa adalah “menyempurnakan sesuatu (perkara)
melaksanakan dan menyelesaikannya, baik perkara itu berupa ucapan, amalan,
kehendak (kemauan), ataupun yang lainnya”. Kata القدر secara bahasa adalah “menjelaskan
keterangan jumlah atau memberi pengertian kadar ukuran tertentu” [1].
Kalangan ulama ilmu aqidah menyebutkan beberapa makna qadha
dan qadar yang berkaitan dengan syari’at. Di sini kami memilih dua tafsir, yang
kami nilai lebih tepat dengan zahir al-Qur`an dan as-Sunnah.
Pendapat pertama dari pernyataan Abu al-Hasan al-Asy’ari
dari kalangan ulama aqidah yang kondang, dan dari kalangan Jumhur Ahlu
as-Sunnah [2].
1.
Al-Qadha adalah iradat Allah yang bersifat azali yang
berkaitan dengan segala sesuatu, sesuai dengan keberadaan-Nya. Seperti
iradah-Nya yang azali menciptakan manusia di muka bumi.
2.
Al-Qadar, yaitu penciptaan Allah akan sesuatu dengan kadar
ukuran yang tertentu dengan qadha, zat/jenis, dan sifatnya, perbuatan dan
keadaannya, waktu dan tempat serta sebab-sebabnya”. Misalnya, Allah mengadakan
manusia di muka bumi sesuai dengan apa yang telah ditentukan-Nya melalui
qadha-Nya.
Pendapat kedua dinukil dari al-Maturidiah (pengikut Abu
al-Mansyur al-Maturidi, ulama pakar ilmu tauhid) [3].
1.
Al-Qadha yaitu penciptaan yang mengacu kepada pembentukan.
Misalnya Allah menciptakan manusia dalam bentuknya, sesuai iradah azali.
2.
Al-Qadar yaitu
penakaran/penentuan yakni menjadikan sesuatu dengan iradah pada kadar yang
telah ditentukan sebelum keberadaannya. Misalnya, iradah allah di alam azali
untuk menciptakan manusia dalam bentuk khusus dan wujud tertentu, dan waktu
yang ditentukan
Macam-macam Takdir:
1.
Taqdir
Mu’allaq
Taqdir
mu’allaq adalah taqdir Allah swt yang masih dapat diusahakan kejadianya oleh
manusia. Sebagai contoh dalam kehidupan ini, kita sering melihat dan mengalami
sunnahtullah,hukum Allah yang berlaku di bumi ini,yaitu hukum sebab akibat yang
bersifat tetap yang merupakan qada dan qadar sesuai kehendak swt. Seperti, bumi
brputar pada porosnya 24 jam sehari; bersama bulan, bumi mengitari bumi kurang
lebih 365 hari setahun; bulan mengitari bumi setahun {356 hari}; air kalau
dipanaskan pada suhu 100 celsius akan mendidih, dan kalau didinginkan pada
suhu. Akan menjadi es ; matahari terbit disebelah timur dan tenggelam disebelah
barat; dan banyak lagi contoh lainnya, kalau kita mau memikirkannya.
2. Taqdir Mubram
Taqdir
mubram ialah taqdir yang pasti terjadi dan tidak dapat dielakkan
kejadiannya.dapat kita beri contoh nasib manusia,lahir, kematian, jodoh dan
rizkinya,terjadinya kiamat. dan sebagainya. Qada’qadar Allah swt yang
berhubungan dengan nasib manusia adalah rasia Allah swt.hanya Allah swt yang
mengetahuinya.
B.
Beriman kepada Qadha dan Qadar
Iman kepada qadha
dan qadar merupakan suatu akidah yang dibina oleh Islam berdasarkan keimanan
kepada Allah dan ditegakkan atas pengetahuan yang benar terhadap zat-Nya yang
Mahatinggi, asma-Nya yang utama, dan sifat-Nya yang mulia, dan tidak diragukan
lagi bahwa Islam telah memastikan bagi Allah itu sifat-sifat kesempurnaan, dan
sifat-sifat keagungan dan keindahan, begitupun sebutan-sebutan untuk
penghormatan dan menyampaikan puji-pujian. Dan dalam semua ini dalil akal cocok
dan sesuai dengan dalil naql. Kemudian sifat-sifat kesempurnaan yang wajib bagi
Tuhan dari segala wujud ini, yakni Tuhan yang mencipta lalu menyempurnakan
ciptaan-Nya, dan menentukan ukuran dan memberikan bimbingan-Nya, diperinci dan
diuraikan [4].
Maka di
antara hal-hal yang seharusnya diimani dan diyakini sepenuh hati ialah bahwa
milik Allah lah sifat-sifat: ilmu, iradad yang tidak terbatas, qadrad yang
sempurna, dan bahwa Allah SWT. Melakukan apa yan dikehendaki-Nya dan mengetahui
apa yang dilakukan-Nya itu. Dan berdasarkan sifat-sifat inilah berdirinya
aqidah terhadap qadha dan qadar. Dan tanpa diragukan lagi, iman kepadanya
merupakan bagian yang menyempurnakan dan melengkapi keimanan kepada Allah[5].
C.Kebebasan Kehendak Manusia
2.
Surat Al-Ra’ad/ 13 : 11
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ
مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِنَّ
اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ
دُونِهِ مِنْ وَالٍ(11)
Artinya:
“Bagi manusia
ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di
belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak
merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka
tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka
selain Dia.”[6]
Asbabun Nuzul ayat ini masih bersangkut paut dengan ayat yang ke 8
sampai ke 13 dan kemudian berhubungan kepada ayat yang ke 31 [7].
Yaitu mengetengahkan sebuah hadits :
Imam Thabrani dan lain-lainnya mengetengahkan
sebuah hadis melalui Ibnu Abbas r.a., bahwasanya Arbad bin Qais dan Amir bin
Thufail datang ke Madinah menemui Rasulullah saw.
Lalu Amir bin Thufail
berkata, "Hai Muhammad! Hadiah apakah yang akan engkau berikan
kepadaku, jika aku masuk Islam?"
Rasulullah saw.
menjawab, "Engkau akan mendapatkan sebagaimana apa yang didapat oleh
kaum Muslimin yang lain, dan engkau pun akan menerima seperti apa yang mereka
alami?"
Lalu Amir berkata lagi, "Apakah
engkau akan menjadikan aku sebagai penggantimu sesudahmu?"
Rasulullah saw.
menjawab, "Hal tersebut bukan untukmu dan bukan untuk
kaummu."
Lalu mereka berdua
keluar dari majelis Rasulullah saw.
Setelah mereka keluar,
lalu Amir berkata kepada Arbad, "Bagaimana kalau aku menyibukkan diri
Muhammad dengan berbicara kepadanya, kemudian dari belakang kamu tebas dia
dengan pedangmu?"
Arbad setuju dengan usul
tersebut, lalu keduanya kembali lagi menemui Rasulullah saw.
Sesampainya di sana Amir
berkata, "Hai Muhammad! Berdirilah bersamaku, aku akan berbicara
kepadamu."
Kemudian Amir berbicara
kepadanya, dan Arbad menghunus pedangnya; akan tetapi ketika Arbad meletakkan
tangannya pada pegangan pedangnya, tiba-tiba tangannya lumpuh.
Dan Rasulullah saw.
melirik kepadanya serta melihat tingkahnya itu dengan jelas, lalu beliau
berlalu meninggalkan mereka.
Maka
setelah itu keduanya pergi, dan ketika mereka berdua sampai di kampung Ar-Raqm,
lalu Allah mengutus halilintar kepada Arbad untuk menyambarnya, maka halilintar
itu membunuhnya. Kemudian turunlah firman-Nya,
اللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَحْمِلُ كُلُّ
أُنْثَى وَمَا تَغِيضُ الْأَرْحَامُ وَمَا تَزْدَادُ وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ
بِمِقْدَارٍ(8)
"Allah mengetahui apa yang dikandung
oleh setiap perempuan..." (Q.S. Ar-Ra'd 8) sampai dengan firman-Nya,
وَيُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ
وَالْمَلَائِكَةُ مِنْ خِيفَتِهِ وَيُرْسِلُ الصَّوَاعِقَ فَيُصِيبُ بِهَا مَنْ
يَشَاءُ وَهُمْ يُجَادِلُونَ فِي اللَّهِ وَهُوَ شَدِيدُ الْمِحَالِ(13)
"Dan Dialah Tuhan Yang Maha keras siksa-Nya."
(Q.S. Ar-Ra'd 13).
Menurut
Qadariyah, dalam ayat ini, bahwa iman dan kafir dari seseorang tergantung pada
orang itu, bukan lagi kepada Tuhan. Ini suatu bukti bahwa manusialah yang
menentukan, bukan Tuhan. Dalam segi tertentu Qadariyah mempunyai kesamaan
ajaran dengan Mu’tazilah. Jadi istilah Qadariyah dinisbatkan kepada faham ini,
bukan berarti faham ini mengajarkan percaya pada taqdir, justru sebaliknya
faham Qadariyah adalah faham pengingkaran taqdir [8].
Perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan
pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatannya.
Lantas bagaimana dengan daya? Apakah diciptakan Tuhan untuk manusia, atau
berasal dari manusia sendiri? Mu'tazilah dengan tegas mengatakan bahwa daya
juga berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia ialah tempat
terciptanya perbuatan.jadi, Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia. Aliran
Mu'tazilah mengecam keras faham yang mengatakan bahwa Tuhanlah yang
menciptakan perbuatan. bagaimana mungkin, dalam satu perbuatan akan ada dua
daya yang menentukan?. Dengan faham ini, aliran mu'tazilah mengaku Tuhan
sebagai pencipta alam, sedangkan manusia berpihak sebagai pihak yang berkreasi
untuk mengubah bentuknya [9].
Adapun
pandangan tafsir terhadap ayat ini ialah :
Dengan
mengartikan مَا pada
perkataan مَا بِقَوْمٍ danمَا pada perkataan مَا بِأَنْفُسِهِمْ dengan makna nasib,
sehingga makna lengkap ayat di atas adalah : "Sesungguhnya Allah tidak
merubah nasib sesuatu kaum sehingga mereka merubah nasib mereka sendiri
".
مَا dalam ayat di atas secara bahasa adalah isim mausul yang berarti sesuatu, apa
saja. Secara mufradat tidak ada bermakna nasib [10].
مَا dalam ayat di atas secara bahasa adalah isim mausul yang berarti sesuatu, apa
saja. Secara mufradat tidak ada bermakna nasib [10].
Lalu apa makna مَا pada ayat di atas ?
Ayat al-Qur’an adakalanya menafsirkan ayat lainnya yang kurang jelas, demikian dijelaskan dalam Ulumul Qur’an. Oleh karena itu, mari kita perhatikan ayat yang lain yang mirip dengan ayat ini, yaitu dalam Surat al-Anfal : 53
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ
مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ(53)
Artinya: “Yang
demikian itu (siksaan Allah) adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak
akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum,
hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri (dengan
berbuat maksiat) dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.(Q.S. al-Anfal : 53)”[11]
Apabila kita
sesuaikan dengan maksud ayat 53 Surat al-Anfal di atas, maka jelaslah bagi kita
bahwa مَا
pada perkataan makna مَا بِقَوْم adalah
bermakna nikmat, bukan nasib [12].
Dengan
demikian, maksud ayat ayat 11 Surat ar-Ra’d dan ayat 53 Surat al-Anfal adalah
pada adatnya, Allah tidak mencabut nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada
sesuatu kaum, selama kaum itu tidak merubah ketaatan dan bersyukur kepada Allah
kepada perbuatan maksiat.
2.Surat al-Kahfi/ 18: 29
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ
شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ
Artinya : ““Katakanlah kebenaran dari Tuhanmu, barang siapa yang
mau beriman maka berimanlah dan barang siapa yang mau kafir maka kafirlah”.
(QS. Al-Kahfi : 29).
Menurut Qadariyah, dalam ayat ini,
bahwa iman dan kafir dari seseorang tergantung pada orang itu, bukan lagi
kepada Tuhan. Ini suatu bukti bahwa manusialah yang menentukan, bukan Tuhan.
Setelah memberikan peringat-Nya pada
ayat-ayat sebelumnya kepada Rasulullah Saw, Allah Swt menurunkan ayat tersebut,
yang memerintahkan Nabi untuk mengumumkan bahwa kebenaran adalah milik-Nya.
Jangan sesalkan keadaan orang-orang kafir, bacalah apa yang telah diwahyukan
padamu dan buatlah dirimu sabar sehingga engkau bisa menyertai orang-orang
beriman yang fakir [13].
Lalu katakanlah kepada orang-orang kafir yang tenggelam pada
kenikmatan dunia bahwa kebenaran adalah milik Tuhan dan dari-Nya. Selebihnya
engkau tak perlu melakukan apa-apa; barang siapa yang ingin beriman maka akan
beriman dan barang siapa ingin kafir maka ia akan kafir. Kekufuran mereka tidak
akan membahayakan kita dan iman mereka pun tidak akan memberi manfaat buat
kita. Karena iman dan pahalanya serta kufur dan siksanya semua itu kembali
kepada diri mereka sendiri. Oleh itu apapun yang mereka mau harus mereka pilih [14].
Dengan penjelasan lain, manusia bebas memilih jalan kufur atau iman
dan tak ada satupun yang memaksanya untuk memeluk Islam.
D.Kehendak Allah dan Kehendak Manusia
1.
Surat
As-Shafaat/ 37: 96
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ(96)
Artinya:
“"Tuhan menciptakan kamu apa yang kamu perbuat". (Q.S.
Ash-Shaffat [37]:96)
Wama ta'malun pada ayat
diatas di artikan al-Asy'ari dengan apa yang kamu perbuat dengaN
demikian, ayat ini mengandung arti Allah menciptakan kamu dan
perbuatan-perbuatanmu dengan kata lain, dalam faham Asy'ari, yang mewujudkan kasb
atau perbuatan manusia sebenarnya adalah Tuhan sendiri [15].
Pada prinsipnya aliran asy'ariyah
berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia
tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya. Allah menciptakan perbuatan untuk
manusia dan menciptakan pula pada diri manusia, daya untuk melahirkan perbuatan
tersebut. Jadi, perbuatan di sini adalah ciptaan Allah dan merupakan kasb
(perolehan) bagi manusia. Dengan demikian kasb mempunyai pengertian penyertaan
perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini berimplikasi bahwa perbuatan
manusia di barengi oleh daya kehendaknya, dan bukan atas daya kehendaknya [16].
Dalam tafsir Jalalain ayat tersebut diartikan . (Padahal Allahlah yang telah menciptakan kalian dan apa yang
kalian perbuat itu") yakni tentang apa yang kalian pahat dan hasil pahatan
kalian itu, karenanya sembahlah Dia dan esakanlah Dia. Jadi dimaksud ialah
perbuatan kaum pada masa nabi Ibrahim yang membuat patung, dan Allah mengecam
perbuatan mereka.
2.Surat Ar-
Ra’d/ 13 : 26
اللَّهُ يَبْسُطُ
الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ وَفَرِحُوا بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا
الْحَيَاةُ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا مَتَاعٌ(26)
Artinya: “Allah meluaskan rezki dan
menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan
kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan
akhirat hanyalah kesenangan (yang sedikit).(QS.Ar-Ra’ad/ 13: 26)[17]
Allah melapangkan dan menyempitkan rezeki
hamba-Nya itu adalah berdasarkan hikmah-Nya serta pengetahuan-Nya tentang
masing-masing hamba- Nya itu. Allah menganugerahkan rezeki yang banyak kepada
hamba-Nya yang kafir kepada-Nya. Dan sebaliknya, kadang Allah menyempitkan
rezeki bagi hamba yang beriman kepada-Nya untuk menambah pahala yang kelak akan
mereka peroleh di akhirat [18].
E.Hikmah Beriman Kepada Qadha dan
Qadar
Hikmàh - Dengan beriman kepada qadha dan qadar, banyak hikmah yang
amat berharga bagi kita dalam menjalani kehidupan dunia dan mempersiapkan diri
untuk kehidupan akhirat. Hikmah tersebut antara lain: [19]
1. Melatih Diri untuk Banyak Bersyukur dan Bersabar
Seseorang yang beriman kepada qadha dan qadar, apabila dia mendapat keberuntungan, maka ia akan bersyukur, karena dia beranggapan bahwa keberuntungan itu merupakan nikmat Allah yang harus disyukuri. Sebaliknya apabila terkena musibah maka ia akan sabar, tawakal, pasrah, karena hal tersebut merupakan ujian dari Allah.
Firman Allah dalam QS. An-Nahl ayat 53 :
Artinya :“ dan apa saja nikmat yang ada
pada kamu, maka dari Allah( datangnya), dan bila ditimpa oleh kemudratan, maka
hanya kepada-Nya lah kamu meminta pertolongan. ”
2. Menjauhkan Diri dari Sifat Sombong dàn Putus Asa
2. Menjauhkan Diri dari Sifat Sombong dàn Putus Asa
Seseorang yang tidak beriman kepada qadha dan qadar, apabila memperoleh keberhasilan, ia menganggap keberhasilan itu adalah semata-mata karena hasil usahanya sendiri. Ia pun merasa dirinya hebat. Apabila ia mengalami kegagalan, ia mudah berkeluh kesah dan berputus asa , karena ia menyadari bahwa kegagalan itu sebenarnya adalah ketentuan Allah.
Firman Allah SWT dalam QS. Yusuf ayat 87
يَابَنِيَّ اذْهَبُوا فَتَحَسَّسُوا مِنْ يُوسُفَ وَأَخِيهِ وَلَا
تَيْئَسُوا مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِنَّهُ لَا يَيْئَسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا
الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ(87)
Artinya
: " Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan
saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada
berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir. "
3.
Memupuk
Sifat Optimis dan Giat Bekerja
Manusia tidak mengetahui takdir apa yang terjadi pada dirinya. Semua orang tentu menginginkan bernasib baik dan beruntung. Keberuntungan itu tidak datang begitu saja, tetapi harus diusahakan. Oleh sebab itu, orang yang beriman kepada qadha dan qadar senantiasa optimis dan giat bekerja untuk meraih kebahagiaan dan keberhasilan itu.
Firman Allah dalam QS Al-Qashas ayat 77
وَابْتَغِ فِيمَا ءَاتَاكَ اللَّهُ
الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا
أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ
لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ(77)
Artinya: " Dan carilah pada apa yang
telah dianugerahkan oleh Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. "
4. Menenangkan Jiwa
Seseorang yang beriman kepada qàdha dan qadàr senaniasa mengalami ketenangan jiwa dalam hidupnya, sebab ia selalu merasa senang dengan apa yang ditentukan Allah kepadanya. Jika beruntung atau berhasil, ia bersyukur. Jika terkena musibah atau gagal, ia bersabar dan berusaha lagi.
Firman Allah dalam QS. Al-Fajr ayat 27-30
Artinya:"
Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang tenang lagi
diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masuklah kedalam
surga-Ku."
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dengan
beriman kepada Qadha dan Qadar maka kita akan lebih beriman kepada Allah SWT,
dimana ada beberapa hal didunia ini yang memang sudah digariskan oleh Allah SWT
dan kita tidak dapat mengubahnya seperti kelahirannya, maut, rezeki, dan jodoh.
Namun bukan berarti dengan garis ketetapan tersebut kita menjadi manusia yang
tidak pernah berusaha, ketetapan tersebut sebuah kepastian. Namun, dengan usaha
kitalah lah kepastian itu baru dapat diraih. Berserah diri kepada Allah sangat
baik dalam masalah Ibadah dan rasa ikhlas dalam bekerja, agar keberhasilan
ataupun kegagalan yang kita dapatkan maka hanya berserah dirilah kepada Allah
setelah usaha yang kita lakukan tersebut.
[1] Abu
Abdurrahman Ali bin as-Sayyid al-Washifi, Qadha
dan Qadar, Cet. Pertama,(Jakarta Selatan, Pustaka Azzam, 2005), hlm.
51.
[2]
A. Syihab,
Akidah Ahlus Sunnah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), hlm. 45
[3]
Ibid
[4]
Mulyono dan
Bashori, Studi Ilmu Tauhid atau Kalam(Malang: UIN Maliki Press, 2010),
h.27
[5]
Ibid
[6] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,
(Jakarta: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009), h. 68
[7]
Ahmad Muhammad Yusuf, Ensiklopedi Tematis
Ayat Al-Qur’an dan Hadits,(Jakarta: Widya Cahaya, 2009), hlm. 336.
[8]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran
Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: Universitas Indonesia,1986), hlm 33.
[9]
Ibid
[11]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,
[12]
Op.Cit
[13]
Rozak
Abdul, 2001,Ilmu Kalam (Bandung:CV Pustaka Setia). Hal. 56
[14]
Nurdin, M. Amin, 2011, Sejarah Pemikiran Islam(Jakarta:
Teruna Grafika). Hal. 27
[15]
Ahmad Hanafi, Teologi
Islam/Ilmu Kalam(Jakarta: PT Bulan Bintang, 1974),h. 10-11.
[16]
Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam
Islam, (Jakarta: Logos, 1996), hlm. 143
[17]
Syaamil Al-Qur’an (Terjemah Per Kata Type Hijaz).( Jakarta:
PT. Syaamil International.2007), hlm 345
[18]
Abu Nizhan, Al-Qur’an Tematis, (Bandung:
Mizan Pustaka,2011) hlm 242.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar