Senin, 23 November 2015

Kritik Bryan S. Turner Terhadap Sintesa Max Weber Feodalisme Pemimpin Muslim



KRITIK BRYAN S. TURNER TERHADAP MAX WEBER DALAM PANDANGAN FEODALISME ISLAM

Di Ajukan Sebagai Salah Satu Tugas Mata Kuliah Sosiologi Agama
Oleh Dr. Husni Thamrin.M.Si

uin.jpeg

DEBRI KOESWOYO
11431101321

FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2015
KATA PENGANTAR
            Alhamdullilah,segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya kepada saya dalam menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada baginda alam kita Muhammad SAW. Yang telah mengajak manusia kejalan yang benar ,sehingga terwujudnya agama yang benar. Makalah yang berjudul Kritik Bryan S. Turner Terhadap Max Weber dalam Pandangan Feodalisme disusun guna mengetahui bagaimana pandangan kedua tokoh tersebut dalam melihat Islam.
Saya menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Disini kami sebagai penyusun juga menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan membimbing kami dalam penyusunan makalah ini.
            Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

                                                                                                 Pekanbaru. November 2015



                                                                                                             Penyusun









DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………………..          i
Daftar Isi ………………………………………………………………………….         ii
BAB I Pendahuluan
A.    Latar Belakang ……………………………………………………………         1    
B.     Rumusan Masalah ……………………………………………………….          1    
C.     Tujuan Penulisan …………………………………………………………          1    
BAB II Pembahasan
A.    Pandangan Max Weber Tentang Islam ………………………………….          2
B.     Pengertian Feodalisme, Sultanist, dan Patrimonial ……………………….         3
C.     Max Weber dan Feodalisme Islam ………………………………………          4
D.    Relevansi Feodalisme di Era Kerajaan Islam di Indonesia ……………….         6
                                                                                                                            
BAB III Penutup
           Kesimpulan ……………………………………………………………….          8
Daftar Pustaka ……………………………………………………………………         9

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kajian Max Weber tentang Islam tidak pernah dilakukannya secara optimal. Bahkan uraian-uraiannya tentang Islam pun tampak hanya sebagai pelengkap terhadap kajian utamanya perihal “Protestan Ethic”. Mungkin, inilah yang kemudian mendorong Weber untuk meninggalkan kajian sosiologinya terhadap Islam jauh sebelum ia mampu menyentuh seluruh aspek-aspek keislaman.
Penelitian weber tertuju pada Islam hanya pada dua hal, yakni; etika Islam awal (abad ke-7) dan struktur birokrasi (patrimonialisme dalam latar feodalisme Islam). Salah satu pengkritik setianya ialah Bryan S. Turner, seorang Profesor Sosiologi di Universitas Flinders Australia Selatan, dengan gemilang ia menunjukkan keanehan-keanehan Weber dalam menerapkan metode sosiologinya. Menurutnya nama Weber yang sebesar itu dapat mudah terjebak dalam interaksionisme dan terlalu ringan tangan memasukkan penilaian yang subjektif. Makalah ini dibuat berdasarkan karya Bryan S. Turner yang diterjemahkan menjadi “Sosiologi Islam: Suatu Analisa atas Tesis Sosiologi Weber”. Dan khususnya membahas pandangan argument  Max Weber tentang feodalisme Islam. Suatu analisis yang berbeda dimana mendudukan konsep feodalisme tersendiri dan dibangun atas dasar terciptanya feodalisme itu.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Pandangan Max Weber Terhadap Islam ?
2.      Apa pengertian Feodalisme, Sultanist, dan Patrimonial ?
3.      Bagaimana Max Weber membangun argument tentang Feodalisme Islam ?
4.      Bagaimana relevansi pendapat Max Weber dalam Feodalisme Islam di Era Kontemporer saat ini ?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Menjelaskan dan memaparkan pandangan Max Weber terhadap Islam
2.      Menjelaskan pengertian Feodalisme, Sultanist, dan Patrimonial
3.      Menjelaskan dasar argument Max Weber tentang Feodalisme Islam
4.      Menjelaskan dan memaparkan relevansi pendapat Max Weber dalam Feodalisme Islam di Era Kontemporer


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pandangan Max Weber Tentang Islam
Islam dalam pandangan Weber adalah sebuah agama monoteistik. Monoteistik akhir dari tradisi Ibrahim (Abrahamic Religions) yang kemudian bergeser menjadi semacam agama yang yang menekankan ‘prestise sosial’. Berbeda dengan sekte Calvinis Puritan, Islam tidak memiliki afinitas teologis dengan pengembangan kapitalisme. Islam dianggap Weber sebagai agama ‘kelas prajurit’, mempunyai kecenderungan pada ‘kepentingan feodal’, berorientasi pada ‘prestise sosial’, bersifat ‘sultanistis’, dan bersifat ’patrimonial birokratis’, serta tidak mempunyai ‘prasyarat rohaniah bagi (pertumbuhan) kapitalisme’[1]. Weber percaya bahwa ajaran Islam mempunyai sikap anti akal dan sangat menentang pengetahuan, terutama pengetahuan teologis [2].
Perintah-perintah religius hukum suci tidak diarahkan pada tujuan konversial dalam konteks pertamanya. Tujuan utamanya adalah perang hingga para pengikut agama-agama kitab asing akan membayar upeti (jizyah), yaitu hingga Islam tumbuh dalam puncak skala sosial dunia dengan meminta upeti dari agama-agama lainnya. Sehingga Islam adalah agama para petualang yang diorientasikan kepada nilai-nilai penaklukkan dan perampasan yang bersifat duniawi.[3]
  Cara Weber dalam menafsirkan dan memperlakukan islam secara faktual sangatlah lemah, tidak seperti tesa khususnya Calvinisme, yang mula-mula dikembangkan Weber dalam karyanya The Protestant Ethic And The Spirit Of Capitalism[4]. Pada umumnya pembahasan Weber tentang islam yang menggunakan istilah-istilah dominasi patrimonial dan foedalisme sejalan dengan sosiologi marx, walaupun tidak dengan marxisme.[5] Menurut pandangan Weber tentang Islam, bahwa pada abad ketujuh merupakan suatu penentuan perkembangan motif-motif islam. Menurutnya islam sebelum berhijrah ke madinah merupakan ajaran monoteis murni yang mungkin akan mengakibatkan asketisme duniawi, tetapi islam dibelokan dari etika transformatif ini.[6] Dalam pandangan weber, bahwa kepercayaan yang ortodoks dan kepastian yang mendalam dari para umat islam tidak begitu penting dibandingkan dengan keanggotaan masyarakat.[7]
Kesetiaan pada bentuk lahiriah agama, upacara-upacara agama dan institusi-institusi masyarakat menjadi lebih penting ketimbang perubahan perorangan. Islam awal puas dengan pernyataan kesetiaan pada tuhan dan pada Nabi, bersama-sama dengan beberapa perintah utama yang praktis dan ritual, sebagai dasar keanggotaan.[8]

B.     Pengertian Feodalisme, Sultanist dan Patrimonial
Feodalisme merupakan system social ciri khas dari abad pertengahan dari system itu melahirkan masyarakat yang penuh dengan kekerasan, kebrutalan, dan kesewenang-wenangan oleh sang penguasa. Istilah feodalisme pertama kali dimunculkan di Perancis pada abad ke-16. Periode tersebut sebagai pembeda periode tersebut dari modernitas [9].  Feodalisme juga dapat diartikan sebagai sistem pemerintahan yang dipegang oleh seorang pemimpin dan mayoritas bangsawan, kekuasaan muthlak berada dibawah kuasa mereka dan  memiliki bawahan yang juga masih dari kalangan bangsawan juga tetapi lebih rendah dan biasa disebut vasal dan jumlah bawahan tersebut banyak. Para vasal ini wajib membayar upeti kepada tuan mereka. Sedangkan para vasal pada gilirannya ini juga mempunyai anak buah dan abdi-abdi mereka sendiri yang memberi mereka upeti [10].
Masyarakat feodal menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian, dari hal tersebut membuat para pemilik tanah sebagai pihak yang berkuasa dan menempati lapisan atas struktur masyarakat atas dukungan petani lapisan terbawah. Di lapisan tengah terdapat pegawai kaum feodal dan pedagang [11]. Karena itulah tanah menjadi faktor produksi utama dan dapat disimpulkan bahwa yang menjadi inti pembahasan dari feodalisme adalah Tanah menjadi sumber kekuasaan bagi para tuan feudal yang memegang peranan penting pada zamannya. Seseorang dikatakan memiliki kekuasaan bila orang tersebut memiliki modal utama berupa tanah yang kemudian berkembang menjadi wilayah [12]. Sejarah feodalisme adalah sejarah peradaban manusia itu sendiri, dimana manusia dari awalnya sudah haus akan kekuasaan dan kedudukan.
 Sultanist merupakan kepemimpinan suatu wilayah Islam yang dipimpin oleh seorang Sultan. Sultan (bahasa Arab: سلطان, sulthaanun, wanita: Sultanah) merupakan istilah dalam bahasa Arab yang berarti "raja", "penguasa", "keterangan" atau "dalil". Sultan kemudian dijadikan sebutan untuk seorang raja atau pemimpin Muslim, yang memiliki suatu wilayah kedaulatan penuh yang disebut Kesultanan (bahasa Arab: سلطنة, sulthanatun). Dalam bahasa Ibrani, shilton atau shaltan (bahasa Ibrani: שלטן) berarti "wilayah kekuasaan" atau "rezim" [13].
Ibnu Khaldun[14] menjelaskan Sultan berbeda dengan Khalifah yang dianggap sebagai pemimpin untuk keseluruhan umat Islam. Gelar Sultan biasanya dipakai sebagai pemimpin kaum Muslimin untuk bangsa atau daerah kekuasaan tertentu saja, atau sebagai raja bawahan atau gubernur bagi Khalifah atas suatu wilayah tertentu. Namun dalam sejarah Islam pernah terjadi dinasti Sultan Turki berhasil mengalahkan penguasa kekhalifahan Abassiyah, sehingga Kesultanan Turki Utsmaniyyah dianggap sebagai kekhalifahan terakhir Dunia Islam [15].
Patrimonial adalah konsep  antropologi yang secara nominatif berasal kata dari patir dan secara genetif berasal ari kata patris yang berarti bapak [16]. Konsep yang dikembangkan dari kata tersebut kemudian diterjemahkan secara lebih luas yakni menjadi warisan dari bapak atau nenek moyang [17]. Kata sifat dari konsep  tersebut adalah patrimonial yang berarti sistem pewarisan menurut garis bapak.
C.      Max Weber dan Feodalisme Islam
Dasar pendapat Max Weber menerangkan tentang feodalisme dalam Islam dibangun dengan mencari persamaan atau variable antara asketisme dengan semangat kapitalisme. Max Weber dengan jelas menyatakan bahwasannya asketisme menjadi bagian penting dari kapitalisme. Weber menemukan sebuah fakta bahwa di Cina, India, dan tanah Islam di Timur Tengah, bahwa prasyarat kapitalisme tersebut cenderung tidak ada. Weber menemukan bahwa masyarakat Islam cenderung hidup hedonis dan penuh kemewahan, terlebih ketika berurusan dengan wanita. Fenomena ini mengindikasikan sebuah konklusi yang tak dapat dihindari bahwa Islam kala itu dapat dikatakan sebagai institusi yang berdiri di seberang prinsip puritanisme [18].
Kemudian ketika Weber mulai menganalisa islam ia memusatkannya pada sifat-sifat politik, militer dan ekonomi masyarakat muslim sebagain suatu bentuk dominasi patrimonial. Ia memperlakukan peranan nilai-nilai sebagai nomor dua dan tergantung pada kondisi sosial islam. Sepanjang Weber benar-benar menganut posisi itu, maka analisanya tidak berbeda jauh dengan Marx dan Engels yang menyatakan, bahwa mode produksi asia, ciri khasnya india, cina dan turki telah melahirkan tatanan sosial yang tahan menderita, dan tidak laras dengan kapitalisme. Menurut weber mengenai islam, yang menjadi maslah pokok dalam perkembangan islam adalah dominasi kendali patrimonial[19]. Berabad-abad sebelum kehancuran sultan usmani pada periode modern, peradaban islam telah terpecah-pecah menjadi bagian-bagian kecil dan dikuasai oleh para tentara dinasti-dinasti patrimonial ( abasyiah, mamluk, usmaniyah ). Dengan adanya bentuk kekuasaan yang ini, masyarakat islam tidak dapat mengembangkan institusi-institusi yang ada di barat yang sangat berarti sekali bagi kebangkitan kapitalisme modern [20].
Menurut Turner, inti kajian sosiologi Islam Weber terfokus pada dikotomi antara “hukum rasional dan hukum irrasional”. Hukum rasional ialah hukum yang diambil dari sebuah buku suci dan bersifat tegas dan baku (normatif). Sementara hukum irrasional ialah hukum yang didasarkan atas pendapat seorang qadhi dan bersifat fleksibel. Biar bagaimanapun Weber yang seorang Jerman mengunggulkan bahwa hukum rasional atas hukum irrasional, sebagaimana yang berlaku di Eropa untuk melegitimasi tindakan kapitalisme.[21]
Weber bersikeras bahwa syari’at bukanlah sebuah dasar hukum namun tidak lebih dari sekedar penjelasan spekulatif para ahli fiqh yang dikenal sebagai ijtihad.gap di sana- sini, terjadi kesenjangan antara hukum ideal dan realitas sosial. Secara teori, syari’at bersifat kaku dan dingin namun dalam prakteknya labil dan tidak mantap. Kelemahan sistem tersebut, lanjut Weber, terjadi ketidakjelasan batas antara norma yang etis, agama dan hukum serta dibarengi dengan sistematisasi yang kacau. Sedang secara politik, para qadhi juga merupakan pejabat kerajaan sehinggga dicurigai bahwa dedikasi mereka dipersembahkan untuk raja, bukan untuk sebuah prinsip keadilan. Jika demikian maka keadilan seorang qadhi menjadi kebalikan dari stabilisasi pemerintah. Dengan demikian lebih tepat kalau syari’at dikatakan sebagai hukum para faqih, bukan hukum Islam. Dalam perjalanannya kemudian hukum pra faqih tersebut dianggap suci dan abadi sehingga terjadi stabilisasi hukum [22].
Dalam mengkritik Weber, Turner mengatakan bahwa biar bagaimanapun jabatan menjadi seorang qadhi bukan merupakan sesuatu yang patut dibanggakan. Pasalnya membiarkan diri menjadi seorang qadhi sama halnya dengan membiarkan diri menjadi pengganti Tuhan di muka bumi. Dan para qadhi yang mencoba melawan kehendak penguasa pasti akan menuai berbagai kesulitan bahkan terancam hidupnya.[23]
Inti kritik Turner terletak pada dua hal, pertama; Weber tidak menjelaskan apakah ia hendak menekankan isi hukum atau konteks politiknya, kedua; Weber tidak menjelaskan pula apakah hukum rasional merupakan prasyarat penting bagi kapitalisme ataukah hanya sebuah prasyarat biasa. Dan ternyata dalam kasus lain Weber pun mengakui bahwa tidak ada sistem hukum yang tidak mempunyai gap dan ternyata adanya hal tersebut tidak menghambat perkembangan kapitalisme rasional.
D.    Relevansi Feodalisme di Era Kerajaan Islam di Indonesia
Feodalisme kerajaan Indonesia yang paling berpengaruh pada politik, Feodalisme membentuk relasi atas-bawah yang dibangun dengan loyalitas. Feodalisme Jawa yang memiliki nilai kebudayaan yang direproduksi dan diwariskan secara turun temurun. Feodalisme Jawa dibangun atas kekuasaan penguasa didasarkan atas jumlah pengikut dan diikat oleh konsep bersatunya kawula dan gusti, atau bawahan dan atasan [24].
 Raja dianggap sebagai pusat dari segala kekuasaan dan alam semesta, serta pemilik jagad raya. Paham ini menempatkan raja sebagai pemilik tanah kerajaan dengan kekuasaan mutlak [25].. Terhadap kaum keluarga dan kerabat kerja serta para pegawai kerajaan diberlakukan sistem tanah pinjam untuk kaum keluarga dan kaum kerabat raja (Sentra dalem), dan lungguh atau bengkok untuk para pegawai kerajaan (Abdi Dalem) [26]. Disamping itu dalam hal-hal khusus, raja menghadiahi tanah kepada sekelompok warga masyarakat tertentu dengan tugas-tugas tertentu..
Kedudukan pemimpin dalam masyarakat Jawa identik dengan kaum priyayi dan Bangsawan dan sangat dipandang tinggi dan mulia [27]. Yang namanya trah bangsawan maupun priyayi memiliki citra khusus dan istimewa, selain ”berdarah biru” mereka dianggap mumpuni dan waskita dalam pergaulan masyarakat kebanyakan [28]. Dan ketika orang-orang  berkedudukan lebih rendah tidak berhak menilai norma moral orang – orang  yang berkedudukan lebih rendah tidak berhak menilai norma moral orang-orang yang berkedudukan tinggi, apalagi mengkritik atau meminta pertanggung jawaban mereka, maka atasan dengan sendirinya dianggap benar, tidak pernah salah dan dengan demikian menjadi standar moral  yang akan ditiru oleh bawahannya [29].
Struktur feodalisme dalam pandangan masa kini bisa di katakan tidak ada ketidakadilan dan memang itulah yang ada dalam sistem feodalisme. Yang paling berkuasalah yang mengatur segalanya dari segi politik, dia yang mempunyai lahan yang luas dan mempunyai harta kekayaan dialah yang berkuasa(bangsawan), tetapi ada juga yang secara turun – temurun berkuasa karena atas dasar  banyak pengikutnya dan dipercaya oleh para  pengikutnya (Raja). Sedangkan para abdi dalem itu hanya orang-orang yang setia pada raja atas dasar loyalitas dan sudah melayani dan berbakti pada raja dengan jangka watu yang tidak lama, serta para keluarga raja.
Dan para petani dan wong cilik hanya sebagai bagian dari stratifikasi sosial yang sebenarnya sangat berperan penting dalam struktur feodal, seperti rakyat. Dalam era yang sekarang pun unsur rakyat sangat penting dalam sebuah negara tanpa adanya rakyat maka tidak bisa disebut negara, begitu pula dengan struktur feodalisme semakin sedikit rakyat maka kerajaannya pun semakin lemah. Karena pada masa feodalisme ini sektor pertanian sangatlah penting dan pertanian tidak akan berjalan tanpa adanya petani yang banyak pula mengingat semakin besar hasil produksinya maka kerajaan itu akan semakin maju.













BAB III
KESIMPULAN
Pandangan Max Weber terhadap Islam khususnya masalah Feodalisme sangatlah menuai berbagai macam kritik baik dari kalangan Muslim maupun para peneliti sosiologi agama. Feodalisme para pemimpin Islam dilihat Weber berjalan sangat rapi, dimana kepentingan pribadi para penguasa Islam ditutupi dengan nilai-nilai hukum ajaran Islam. Hal ini menjadi sebuah kesubjektifan Max Weber dalam menilai Islam itu sendiri. Feodalisme sebenarnya tidak pantas ditujukan kepada Islam. Weber sendiri tidak menyangkal bahwasannya ajaran Islam tidak pernah mengajarkan hal itu. Namun, suatu hal yang dapat diambil dari kritik Max Weber ialah bahwasannya feodalisme itu sendiri memang nyata ada dihadapan kita, khususnya para pemimpin Muslim yang enggan akan kesederhanaan, kediktatoran, dan tentunya tidak siap untuk turun dari jabatannya.
















DAFTAR PUSTAKA
Adityawan , Arief S., 2008.  Propaganda Pemimpin Politik Indonesia . Jakarta: LP3ES
Khaldun, Ibnu. 1998. Muqaddimah Ibn Khaldun, terjemah: Ahmadie Thoha Jakarta: Pustaka Firdaus
Kuntowijoyo. 2004. Raja, Priyayi Dan Kawula. Jogyakarta: Penerbit Ombak.

 Lucas, Henry S. 1993. Sejarah Peradaban Barat Abad Pertengahan . Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogyakarta

Suseno, Frans Magnis. 1996. Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Syamsuddin , Abdullah. 1997. Agama dan Masyarakat: Pendekatan Sosiologi Agama. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Turner , Bryan S., 1984. Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis atas Tesa Sosiologi Weber terj. G. A. Ticoalu. Jakarta:  Rajawali
Weber, Max. 2000.  Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Terj. Yusuf Priyasudiardja. Surabaya: Pustaka Promethea.

Nabiel Fuad al-Musawa, Islam dan Parental dalam http://www.kotasantri.com, diakses tanggal 02 November 2015



[1] Selengkapnya baca pengantar yang ditulis Taufik Abdullah, dalam Bryan S. Turner, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis Atas Tesa Sosiologi Weber “Terj”G.A. Ticoulu ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1984), hlm ix-xv
[2] Ibid hlm 87
[3] Max Weber. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Terj. Yusuf Priyasudiardja.(  Surabaya: Pustaka Promethea, 2000), hlm 165 Dikutip dalam https://PandanganSosiologisMaxWeber.blogspot.com tanggal 29 Oktober 2015
[4]Max Weber mengawali buku The Protestan Ethic and The Spirit of  Capitalism dengan mengemukakan suatu fakta statistik untuk penjelasan: yaitu fakta bahwa didalam Eropa modern pemimpin-pemimpin niaga dan para pemilik modal, maupun mereka yang tergolong sebagai karyawan kelas atas, terlebih karyawan perusahaan modren, kebanyakan adalah pemeluk agama Protestan. Ia menjelaskan bahwa hal tersebut bukanlah fakta palsu melainkan fakta sejarah. Dengan menelusuri kaitannya, bisa diperlihatkan bahwasannya pusat awal kapitalisme dipermulaan awal abad ke-16 merupakan pusat yang sangat kuat dengan unsur Protestan.
[5]Bryan S. Tur Bryan S. Turner, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis atas Tesa Sosiologi Weber terj. G. A. Ticoalu (Jakarta: Rajawali, 1984), hlm 264
[6] Ibid  Bryan S. Turner hlm. 263.
[7] Abdullah, Syamsuddin. Agama dan Masyarakat: Pendekatan Sosiologi Agama. ( Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997 ), hlm 86
[8] Nabiel Fuad al-Musawa, Islam dan Parental dalam http://www.kotasantri.com, diakses tanggal 02 November 2015
[9]  Henry S. Lucas, Sejarah Peradaban Barat Abad Pertengahan (Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogyakarta, 1993), hlm. 141.
[10] Ibid Henry S. Lucas hlm. 142
[11] http://www.hendria.com/2010/06/feodalisme.html diakses pada tanggal 03 November 2015
[13] https://id.wikipedia.org diakses pada tanggal 03 November 2015
[14] Nama lengkapnya adalah Abd al-Rahman bin Muhammad bin Muhammad bin Hasan bin Jabir bin Muhammad bin Ibrahim bin Abd al-Rahman bin Khaldun. Dilahirkan di Tunisia, Afrika Utara pada tahun 732 H., atau 1332 M. Karya tulisnya yag terkenal adalah al-Muqaddimah yang dianggap sebagai bibit dari kelahiran Ilmu Sosiologi. Penelitiannya tentang sejarah dengan menggunakan metode yang berbeda dari penelitian Ilmuwan pada saat itu juga disebut sebagai bibit dari kemunculan Filsafat Sejarah seperti yang ada sekarang.Kehidupannya yang malang melintang di Tunisia (Afrika) dan Andalusia, serta hidup dalam dunia politik tak ayal mendukung pemikirannya tentang Politik serta Sosiologi tajam dan mampu memberikan sumbangsih yang besar pada Ilmu Pengetahuan.
[15] Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, terjemah: Ahmadie Thoha (Jakarta: Pustaka Firdaus), hlm 345.
[16] Arief Adityawan S., Propaganda Pemimpin Politik Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2008), hlm 74
[17] Ibid Arief Adityawan hlm 75
[18] Bryan S. Turner, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis atas Tesa Sosiologi Weber terj. G. A. Ticoalu (Jakarta: Rajawali, 1984), hlm 13
[19] Ibid Bryan S. Turner hlm 147
[20] Ibid Bryan S. Turner hlm 261
[21] Ibid Bryan S. Turner hlm208
[22] Ibid Bryan S. Turner hlm 211
[23] Ibid Bryan S. Turner hlm. 220
[24] Suseno, Frans Magnis. Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa .          ( Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,1996), hlm 23
[25] https://www.SejarahHukumAgrariaKerajaan.com  diakses pada tanggal 03 November 2015
[26] Ibid
[27] Kuntowijoyo. Raja, Priyayi Dan Kawula. ( Jogyakarta: Penerbit Ombak, 2004 ), hlm 5
[28] Ibid Kuntowijoyo hlm 5
[29] Ibid Kuntowijoyo hlm 6
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diabolisme Salman Rushdie dan Ahok

ANTARA SALMAN RUSHDIE DAN AHOK Oleh: Dr. Adian Husaini Tahun 1988, dunia Islam digegerkan oleh seorang bernama Salman Rushdie. Kisahnya ...