KRITIK BRYAN S. TURNER TERHADAP MAX WEBER DALAM PANDANGAN
FEODALISME ISLAM
Di Ajukan Sebagai Salah Satu Tugas Mata Kuliah Sosiologi Agama
Oleh Dr. Husni Thamrin.M.Si

DEBRI
KOESWOYO
11431101321
FAKULTAS
USHULUDDIN
JURUSAN
AQIDAH FILSAFAT
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2015
KATA
PENGANTAR
Alhamdullilah,segala puji bagi Allah
SWT yang telah memberikan karunia-Nya kepada saya dalam menyelesaikan makalah
ini. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada baginda alam kita Muhammad SAW. Yang
telah mengajak manusia kejalan yang benar ,sehingga terwujudnya agama yang
benar. Makalah yang berjudul Kritik Bryan S. Turner Terhadap Max Weber dalam
Pandangan Feodalisme disusun guna mengetahui bagaimana pandangan kedua tokoh
tersebut dalam melihat Islam.
Saya
menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran
dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan
makalah ini. Disini kami sebagai penyusun juga menyampaikan ucapan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan membimbing
kami dalam penyusunan makalah ini.
Akhir
kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT
senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Pekanbaru. November 2015
Penyusun
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar ………………………………………………………………….. i
Daftar
Isi …………………………………………………………………………. ii
BAB
I Pendahuluan
A. Latar
Belakang …………………………………………………………… 1
B. Rumusan
Masalah ………………………………………………………. 1
C. Tujuan
Penulisan ………………………………………………………… 1
BAB
II Pembahasan
A. Pandangan
Max Weber Tentang Islam …………………………………. 2
B. Pengertian
Feodalisme, Sultanist, dan Patrimonial ………………………. 3
C. Max
Weber dan Feodalisme Islam ……………………………………… 4
D. Relevansi
Feodalisme di Era Kerajaan Islam di Indonesia ………………. 6
BAB
III Penutup
Kesimpulan ………………………………………………………………. 8
Daftar
Pustaka …………………………………………………………………… 9
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kajian Max Weber tentang Islam tidak
pernah dilakukannya secara optimal. Bahkan uraian-uraiannya tentang Islam pun
tampak hanya sebagai pelengkap terhadap kajian utamanya perihal “Protestan
Ethic”. Mungkin, inilah yang kemudian mendorong Weber untuk meninggalkan kajian
sosiologinya terhadap Islam jauh sebelum ia mampu menyentuh seluruh aspek-aspek
keislaman.
Penelitian
weber tertuju pada Islam hanya pada dua hal, yakni; etika Islam awal (abad
ke-7) dan struktur birokrasi (patrimonialisme dalam latar feodalisme Islam).
Salah satu pengkritik setianya ialah Bryan S. Turner, seorang Profesor
Sosiologi di Universitas Flinders Australia Selatan, dengan gemilang ia
menunjukkan keanehan-keanehan Weber dalam menerapkan metode sosiologinya.
Menurutnya nama Weber yang sebesar itu dapat mudah terjebak dalam
interaksionisme dan terlalu ringan tangan memasukkan penilaian yang subjektif.
Makalah ini dibuat berdasarkan karya Bryan S. Turner yang diterjemahkan menjadi
“Sosiologi Islam: Suatu Analisa atas Tesis Sosiologi Weber”. Dan khususnya
membahas pandangan argument Max Weber
tentang feodalisme Islam. Suatu analisis yang berbeda dimana mendudukan konsep
feodalisme tersendiri dan dibangun atas dasar terciptanya feodalisme itu.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Pandangan Max Weber Terhadap Islam ?
2.
Apa pengertian Feodalisme, Sultanist, dan
Patrimonial ?
3.
Bagaimana Max Weber membangun argument tentang
Feodalisme Islam ?
4.
Bagaimana relevansi pendapat Max Weber dalam
Feodalisme Islam di Era Kontemporer saat ini ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Menjelaskan dan memaparkan pandangan Max Weber
terhadap Islam
2.
Menjelaskan pengertian Feodalisme, Sultanist,
dan Patrimonial
3.
Menjelaskan dasar argument Max Weber tentang
Feodalisme Islam
4.
Menjelaskan dan memaparkan relevansi pendapat
Max Weber dalam Feodalisme Islam di Era Kontemporer
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pandangan
Max Weber Tentang Islam
Islam dalam pandangan Weber adalah
sebuah agama monoteistik. Monoteistik akhir dari tradisi Ibrahim (Abrahamic
Religions) yang kemudian bergeser menjadi semacam agama yang yang menekankan
‘prestise sosial’. Berbeda dengan sekte Calvinis Puritan, Islam tidak memiliki
afinitas teologis dengan pengembangan kapitalisme. Islam dianggap Weber sebagai
agama ‘kelas prajurit’, mempunyai kecenderungan pada ‘kepentingan feodal’,
berorientasi pada ‘prestise sosial’, bersifat ‘sultanistis’, dan bersifat
’patrimonial birokratis’, serta tidak mempunyai ‘prasyarat rohaniah bagi
(pertumbuhan) kapitalisme’[1].
Weber percaya bahwa ajaran Islam mempunyai sikap anti akal dan sangat menentang
pengetahuan, terutama pengetahuan teologis [2].
Perintah-perintah religius hukum
suci tidak diarahkan pada tujuan konversial dalam konteks pertamanya. Tujuan
utamanya adalah perang hingga para pengikut agama-agama kitab asing akan membayar
upeti (jizyah), yaitu hingga Islam tumbuh dalam puncak skala sosial dunia
dengan meminta upeti dari agama-agama lainnya. Sehingga Islam adalah agama para
petualang yang diorientasikan kepada nilai-nilai penaklukkan dan perampasan
yang bersifat duniawi.[3]
Cara Weber dalam menafsirkan dan memperlakukan islam secara faktual
sangatlah lemah, tidak seperti tesa khususnya Calvinisme, yang mula-mula
dikembangkan Weber dalam karyanya The Protestant Ethic And The Spirit Of
Capitalism[4].
Pada umumnya pembahasan Weber tentang islam yang menggunakan istilah-istilah
dominasi patrimonial dan foedalisme sejalan dengan sosiologi marx, walaupun
tidak dengan marxisme.[5]
Menurut pandangan Weber tentang Islam, bahwa pada abad ketujuh merupakan suatu
penentuan perkembangan motif-motif islam. Menurutnya islam sebelum berhijrah ke
madinah merupakan ajaran monoteis murni yang mungkin akan mengakibatkan asketisme
duniawi, tetapi islam dibelokan dari etika transformatif ini.[6]
Dalam pandangan weber, bahwa kepercayaan yang ortodoks dan kepastian yang
mendalam dari para umat islam tidak begitu penting dibandingkan dengan
keanggotaan masyarakat.[7]
Kesetiaan
pada bentuk lahiriah agama, upacara-upacara agama dan institusi-institusi
masyarakat menjadi lebih penting ketimbang perubahan perorangan. Islam awal
puas dengan pernyataan kesetiaan pada tuhan dan pada Nabi, bersama-sama dengan
beberapa perintah utama yang praktis dan ritual, sebagai dasar keanggotaan.[8]
B. Pengertian Feodalisme, Sultanist dan
Patrimonial
Feodalisme
merupakan system social ciri khas dari abad pertengahan dari system itu
melahirkan masyarakat yang penuh dengan kekerasan, kebrutalan, dan
kesewenang-wenangan oleh sang penguasa. Istilah feodalisme pertama kali
dimunculkan di Perancis pada abad ke-16. Periode tersebut sebagai pembeda
periode tersebut dari modernitas [9].
Feodalisme juga dapat diartikan sebagai sistem
pemerintahan yang
dipegang oleh seorang pemimpin dan mayoritas bangsawan, kekuasaan muthlak
berada dibawah kuasa mereka dan memiliki bawahan yang juga
masih dari kalangan bangsawan juga tetapi lebih rendah dan biasa disebut vasal dan jumlah bawahan tersebut banyak. Para vasal
ini wajib membayar upeti kepada tuan mereka. Sedangkan para vasal pada
gilirannya ini juga mempunyai anak buah dan abdi-abdi mereka sendiri yang
memberi mereka upeti [10].
Masyarakat feodal menggantungkan hidupnya dari hasil
pertanian, dari hal tersebut membuat para pemilik tanah sebagai pihak yang
berkuasa dan menempati lapisan atas struktur masyarakat atas dukungan petani lapisan
terbawah. Di lapisan tengah terdapat pegawai kaum feodal dan pedagang [11]. Karena itulah
tanah menjadi faktor produksi utama dan dapat disimpulkan bahwa yang menjadi
inti pembahasan dari feodalisme adalah Tanah menjadi sumber kekuasaan bagi para
tuan feudal yang memegang peranan penting pada zamannya. Seseorang dikatakan memiliki
kekuasaan bila orang tersebut memiliki modal utama berupa tanah yang kemudian
berkembang menjadi wilayah [12].
Sejarah feodalisme adalah sejarah peradaban manusia itu sendiri, dimana manusia
dari awalnya sudah haus akan kekuasaan dan kedudukan.
Sultanist merupakan kepemimpinan suatu wilayah
Islam yang dipimpin oleh seorang Sultan. Sultan (bahasa Arab: سلطان, sulthaanun, wanita: Sultanah) merupakan istilah dalam bahasa Arab yang berarti "raja", "penguasa",
"keterangan" atau "dalil". Sultan kemudian dijadikan
sebutan untuk seorang raja atau pemimpin Muslim, yang memiliki suatu wilayah kedaulatan penuh yang
disebut Kesultanan (bahasa Arab: سلطنة, sulthanatun). Dalam bahasa Ibrani,
shilton atau shaltan (bahasa Ibrani: שלטן)
berarti "wilayah kekuasaan" atau "rezim" [13].
Ibnu Khaldun[14]
menjelaskan Sultan berbeda dengan Khalifah yang dianggap sebagai pemimpin untuk keseluruhan umat
Islam. Gelar Sultan biasanya dipakai sebagai pemimpin kaum Muslimin untuk bangsa atau daerah kekuasaan tertentu saja, atau
sebagai raja bawahan atau gubernur bagi Khalifah atas suatu wilayah tertentu.
Namun dalam sejarah Islam pernah terjadi dinasti Sultan Turki berhasil
mengalahkan penguasa kekhalifahan Abassiyah, sehingga Kesultanan Turki
Utsmaniyyah dianggap sebagai kekhalifahan terakhir Dunia Islam [15].
Patrimonial adalah konsep antropologi yang secara
nominatif berasal kata dari patir dan secara genetif berasal ari kata patris
yang berarti bapak [16].
Konsep yang dikembangkan dari kata tersebut kemudian diterjemahkan secara lebih
luas yakni menjadi warisan dari bapak atau nenek moyang [17].
Kata sifat dari konsep tersebut adalah patrimonial yang berarti sistem
pewarisan menurut garis bapak.
C.
Max Weber dan
Feodalisme Islam
Dasar pendapat Max Weber menerangkan tentang feodalisme dalam Islam
dibangun dengan mencari persamaan atau variable antara asketisme dengan
semangat kapitalisme. Max Weber dengan jelas menyatakan bahwasannya asketisme
menjadi bagian penting dari kapitalisme. Weber menemukan sebuah fakta bahwa di Cina, India, dan tanah
Islam di Timur Tengah, bahwa prasyarat kapitalisme tersebut cenderung tidak
ada. Weber menemukan bahwa masyarakat Islam cenderung hidup hedonis dan penuh
kemewahan, terlebih ketika berurusan dengan wanita. Fenomena ini
mengindikasikan sebuah konklusi yang tak dapat dihindari bahwa Islam kala itu
dapat dikatakan sebagai institusi yang berdiri di seberang prinsip puritanisme [18].
Kemudian
ketika Weber mulai menganalisa islam ia memusatkannya pada sifat-sifat politik,
militer dan ekonomi masyarakat muslim sebagain suatu bentuk dominasi
patrimonial. Ia memperlakukan peranan nilai-nilai sebagai nomor dua dan
tergantung pada kondisi sosial islam. Sepanjang Weber benar-benar menganut
posisi itu, maka analisanya tidak berbeda jauh dengan Marx dan Engels yang
menyatakan, bahwa mode produksi asia, ciri khasnya india, cina dan turki telah
melahirkan tatanan sosial yang tahan menderita, dan tidak laras dengan
kapitalisme. Menurut weber mengenai islam, yang menjadi maslah pokok dalam
perkembangan islam adalah dominasi kendali patrimonial[19].
Berabad-abad sebelum kehancuran sultan usmani pada periode modern, peradaban
islam telah terpecah-pecah menjadi bagian-bagian kecil dan dikuasai oleh para
tentara dinasti-dinasti patrimonial ( abasyiah, mamluk, usmaniyah ). Dengan
adanya bentuk kekuasaan yang ini, masyarakat islam tidak dapat mengembangkan
institusi-institusi yang ada di barat yang sangat berarti sekali bagi
kebangkitan kapitalisme modern [20].
Menurut
Turner, inti kajian sosiologi Islam Weber terfokus pada dikotomi antara “hukum
rasional dan hukum irrasional”. Hukum rasional ialah hukum yang diambil dari
sebuah buku suci dan bersifat tegas dan baku (normatif). Sementara hukum
irrasional ialah hukum yang didasarkan atas pendapat seorang qadhi dan bersifat
fleksibel. Biar bagaimanapun Weber yang seorang Jerman mengunggulkan bahwa
hukum rasional atas hukum irrasional, sebagaimana yang berlaku di Eropa untuk
melegitimasi tindakan kapitalisme.[21]
Weber bersikeras bahwa
syari’at bukanlah sebuah dasar hukum namun tidak lebih dari sekedar penjelasan
spekulatif para ahli fiqh yang dikenal sebagai ijtihad.gap di sana-
sini, terjadi kesenjangan antara hukum ideal dan realitas sosial. Secara teori,
syari’at bersifat kaku dan dingin namun dalam prakteknya labil dan tidak
mantap. Kelemahan sistem tersebut, lanjut Weber, terjadi ketidakjelasan batas
antara norma yang etis, agama dan hukum serta dibarengi dengan sistematisasi
yang kacau. Sedang secara politik, para qadhi juga merupakan pejabat kerajaan
sehinggga dicurigai bahwa dedikasi mereka dipersembahkan untuk raja, bukan
untuk sebuah prinsip keadilan. Jika demikian maka keadilan seorang qadhi
menjadi kebalikan dari stabilisasi pemerintah. Dengan demikian lebih tepat kalau syari’at dikatakan
sebagai hukum para faqih, bukan hukum Islam. Dalam perjalanannya kemudian hukum
pra faqih tersebut dianggap suci dan abadi sehingga terjadi stabilisasi hukum [22].
Dalam mengkritik
Weber, Turner mengatakan bahwa biar bagaimanapun jabatan menjadi seorang qadhi
bukan merupakan sesuatu yang patut dibanggakan. Pasalnya membiarkan diri
menjadi seorang qadhi sama halnya dengan membiarkan diri menjadi pengganti
Tuhan di muka bumi. Dan para qadhi yang mencoba melawan kehendak penguasa pasti
akan menuai berbagai kesulitan bahkan terancam hidupnya.[23]
Inti kritik Turner terletak pada dua hal,
pertama; Weber tidak menjelaskan apakah ia hendak menekankan isi hukum atau
konteks politiknya, kedua; Weber tidak menjelaskan pula apakah hukum rasional
merupakan prasyarat penting bagi kapitalisme ataukah hanya sebuah prasyarat
biasa. Dan ternyata dalam kasus lain Weber pun mengakui bahwa tidak ada sistem
hukum yang tidak mempunyai gap dan ternyata adanya hal tersebut tidak
menghambat perkembangan kapitalisme rasional.
D.
Relevansi
Feodalisme di Era Kerajaan Islam di Indonesia
Feodalisme kerajaan Indonesia yang paling berpengaruh
pada politik, Feodalisme membentuk relasi atas-bawah yang dibangun dengan
loyalitas. Feodalisme Jawa yang memiliki nilai kebudayaan yang direproduksi dan
diwariskan secara turun temurun. Feodalisme Jawa dibangun atas kekuasaan
penguasa didasarkan atas jumlah pengikut dan diikat oleh konsep bersatunya
kawula dan gusti, atau bawahan dan atasan [24].
Raja
dianggap sebagai pusat dari segala kekuasaan dan alam semesta, serta pemilik
jagad raya. Paham ini menempatkan raja sebagai pemilik tanah kerajaan dengan
kekuasaan mutlak [25].. Terhadap kaum keluarga
dan kerabat kerja serta para pegawai kerajaan diberlakukan sistem tanah pinjam untuk
kaum keluarga dan kaum kerabat raja (Sentra dalem), dan lungguh atau bengkok
untuk para pegawai kerajaan (Abdi Dalem) [26]. Disamping itu dalam
hal-hal khusus, raja menghadiahi tanah kepada sekelompok warga masyarakat
tertentu dengan tugas-tugas tertentu..
Kedudukan pemimpin dalam masyarakat Jawa identik dengan
kaum priyayi dan Bangsawan dan sangat dipandang tinggi dan mulia [27].
Yang namanya trah bangsawan maupun priyayi memiliki citra khusus dan istimewa,
selain ”berdarah biru” mereka dianggap mumpuni dan waskita dalam pergaulan
masyarakat kebanyakan [28].
Dan ketika orang-orang berkedudukan lebih rendah tidak berhak menilai
norma moral orang – orang yang berkedudukan lebih rendah tidak berhak
menilai norma moral orang-orang yang berkedudukan tinggi, apalagi mengkritik
atau meminta pertanggung jawaban mereka, maka atasan dengan sendirinya dianggap
benar, tidak pernah salah dan dengan demikian menjadi standar moral yang
akan ditiru oleh bawahannya [29].
Struktur feodalisme dalam pandangan masa kini bisa di
katakan tidak ada ketidakadilan dan memang itulah yang ada dalam sistem
feodalisme. Yang paling berkuasalah yang mengatur segalanya dari segi politik,
dia yang mempunyai lahan yang luas dan mempunyai harta kekayaan dialah yang
berkuasa(bangsawan), tetapi ada juga yang secara turun – temurun berkuasa
karena atas dasar banyak pengikutnya dan dipercaya oleh para
pengikutnya (Raja). Sedangkan para abdi dalem itu hanya orang-orang yang setia
pada raja atas dasar loyalitas dan sudah melayani dan berbakti pada raja dengan
jangka watu yang tidak lama, serta para keluarga raja.
Dan para petani dan wong cilik hanya sebagai bagian dari
stratifikasi sosial yang sebenarnya sangat berperan penting dalam struktur
feodal, seperti rakyat. Dalam era yang sekarang pun unsur rakyat sangat penting
dalam sebuah negara tanpa adanya rakyat maka tidak bisa disebut negara, begitu
pula dengan struktur feodalisme semakin sedikit rakyat maka kerajaannya pun
semakin lemah. Karena pada masa feodalisme ini sektor pertanian sangatlah
penting dan pertanian tidak akan berjalan tanpa adanya petani yang banyak pula
mengingat semakin besar hasil produksinya maka kerajaan itu akan semakin maju.
BAB III
KESIMPULAN
Pandangan Max Weber terhadap Islam khususnya masalah Feodalisme
sangatlah menuai berbagai macam kritik baik dari kalangan Muslim maupun para
peneliti sosiologi agama. Feodalisme para pemimpin Islam dilihat Weber berjalan
sangat rapi, dimana kepentingan pribadi para penguasa Islam ditutupi dengan
nilai-nilai hukum ajaran Islam. Hal ini menjadi sebuah kesubjektifan Max Weber
dalam menilai Islam itu sendiri. Feodalisme sebenarnya tidak pantas ditujukan
kepada Islam. Weber sendiri tidak menyangkal bahwasannya ajaran Islam tidak
pernah mengajarkan hal itu. Namun, suatu hal yang dapat diambil dari kritik Max
Weber ialah bahwasannya feodalisme itu sendiri memang nyata ada dihadapan kita,
khususnya para pemimpin Muslim yang enggan akan kesederhanaan, kediktatoran,
dan tentunya tidak siap untuk turun dari jabatannya.
DAFTAR PUSTAKA
Adityawan , Arief S., 2008. Propaganda
Pemimpin Politik Indonesia . Jakarta: LP3ES
Khaldun, Ibnu. 1998. Muqaddimah Ibn Khaldun, terjemah:
Ahmadie Thoha Jakarta: Pustaka Firdaus
Kuntowijoyo. 2004. Raja, Priyayi Dan Kawula.
Jogyakarta: Penerbit Ombak.
Lucas, Henry
S. 1993. Sejarah Peradaban Barat Abad Pertengahan . Yogyakarta : PT.
Tiara Wacana Yogyakarta
Suseno, Frans
Magnis. 1996. Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Syamsuddin ,
Abdullah. 1997. Agama dan Masyarakat: Pendekatan Sosiologi Agama.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Turner , Bryan S., 1984. Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis
atas Tesa Sosiologi Weber terj. G. A. Ticoalu. Jakarta: Rajawali
Weber,
Max. 2000. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme.
Terj. Yusuf Priyasudiardja. Surabaya: Pustaka Promethea.
Nabiel Fuad al-Musawa, Islam
dan Parental dalam http://www.kotasantri.com, diakses tanggal 02 November
2015
[1]
Selengkapnya
baca pengantar yang ditulis Taufik Abdullah, dalam Bryan S. Turner, Sosiologi
Islam: Suatu Telaah Analitis Atas Tesa Sosiologi Weber “Terj”G.A. Ticoulu (
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1984), hlm ix-xv
[3]
Max Weber.
Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Terj. Yusuf Priyasudiardja.( Surabaya: Pustaka Promethea, 2000), hlm 165
Dikutip dalam https://PandanganSosiologisMaxWeber.blogspot.com tanggal
29 Oktober 2015
[4]Max Weber mengawali buku The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism dengan mengemukakan suatu
fakta statistik untuk penjelasan: yaitu fakta bahwa didalam Eropa modern
pemimpin-pemimpin niaga dan para pemilik modal, maupun mereka yang tergolong sebagai
karyawan kelas atas, terlebih karyawan perusahaan modren, kebanyakan adalah
pemeluk agama Protestan. Ia menjelaskan bahwa hal tersebut bukanlah fakta palsu
melainkan fakta sejarah. Dengan menelusuri kaitannya, bisa diperlihatkan
bahwasannya pusat awal kapitalisme dipermulaan awal abad ke-16 merupakan pusat
yang sangat kuat dengan unsur Protestan.
[5]Bryan
S. Tur Bryan S. Turner, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis atas Tesa
Sosiologi Weber terj. G. A. Ticoalu (Jakarta: Rajawali, 1984), hlm 264
[7]
Abdullah, Syamsuddin. Agama dan Masyarakat: Pendekatan
Sosiologi Agama. ( Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997 ), hlm 86
[8]
Nabiel Fuad al-Musawa, Islam
dan Parental dalam http://www.kotasantri.com, diakses tanggal 02 November
2015
[9]
Henry S. Lucas, Sejarah Peradaban Barat Abad
Pertengahan (Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogyakarta, 1993), hlm. 141.
[12]
http://sejarah.kompasiana.com/2011/01/24/feodalisme-di-asia diakses pada tanggal 03 November 2015
[14]
Nama
lengkapnya adalah Abd al-Rahman bin Muhammad bin Muhammad bin Hasan bin Jabir
bin Muhammad bin Ibrahim bin Abd al-Rahman bin Khaldun. Dilahirkan di Tunisia,
Afrika Utara pada tahun 732 H., atau 1332 M. Karya tulisnya yag terkenal adalah
al-Muqaddimah yang dianggap sebagai bibit dari kelahiran Ilmu Sosiologi.
Penelitiannya tentang sejarah dengan menggunakan metode yang berbeda dari
penelitian Ilmuwan pada saat itu juga disebut sebagai bibit dari kemunculan
Filsafat Sejarah seperti yang ada sekarang.Kehidupannya yang malang melintang
di Tunisia (Afrika) dan Andalusia, serta hidup dalam dunia politik tak ayal
mendukung pemikirannya tentang Politik serta Sosiologi tajam dan mampu
memberikan sumbangsih yang besar pada Ilmu Pengetahuan.
[15] Ibnu Khaldun, Muqaddimah
Ibn Khaldun, terjemah: Ahmadie Thoha (Jakarta: Pustaka Firdaus), hlm
345.
[16]
Arief Adityawan
S., Propaganda Pemimpin Politik Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2008), hlm 74
[18]
Bryan
S. Turner, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis atas Tesa Sosiologi Weber
terj. G. A. Ticoalu (Jakarta: Rajawali, 1984), hlm 13
[23] Ibid
Bryan S. Turner hlm. 220
[24] Suseno, Frans Magnis. Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi
Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa .
( Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama,1996), hlm 23
[26]
Ibid
[27] Kuntowijoyo. Raja, Priyayi Dan Kawula. ( Jogyakarta:
Penerbit Ombak, 2004 ), hlm 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar