Senin, 23 November 2015

Tokoh Tasawuf Abad I- IV HIJRIAH



TOKOH DAN AJARAN TASAWUF ABAD I- II HJIRIAH
A.     Biografi dan Ajaran Tasawuf Hasan Al-Basri
Hassan al-Basri dilahirkan di Madinah pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin al-Khattab pada tahun 21 Hijrah (642 Masihi). Pernah menyusu pada Ummu Salmah, isteri Rasulullah S.A.W., ketika ibunya keluar melaksanakan suruhan beliau. al-Hassan al-Basri pernah berguru kepada beberapa orang sahabat Rasul SAW sehingga beliau muncul sebagai ulama terkemuka dalam peradapan Islam. al-Hassan al-Basri meninggal di Basrah Iraq pada 110 Hijrah (728 Masihi). Beliau pernah hidup pada zaman pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan.

1.       Zuhud: Penyucian Jiwa
Lahirnya gerakan asketisme (zuhud) sebagai bentuk awal dari sufisme dalam Islam. Gerakan ini mulai muncul secara mencolok, terutama pada zaman dinasti Ummayah di kala pemerintahan Islam mengambil bentuk kerajaan. Penindasan politik para penguasa pada waktu itu dirasakan oleh masyarakat terlalu oversif sehingga melahirkan bermacam aksi dan protes sosial, politik. Salah satu reaksi terhadap ketidakadilan sosial dan degenerasi moral pada waktu itu adalah gerakan sufi yang mencoba menangkap kedalaman dan spiritual Islam. Bukan Islam yang sudah dikebiri menjadi sejumlah aturan hukum dan doktrin teologi yang kering, dan juga bukan Islam yang telah berubah menjadi sistem politik yang memberikan justifikasi bagi elitisme, nepotisme, dan eksploitasi. Menurut Nicholas, asketisme (zuhud) merupakan bentuk tasawuf yang paling dini. Ia member atribut pada para asketis dengan gelar "para sufi angkatan pertama" (abad-abad pertama dan kedua Hijriah). Selanjutnya, (sampai abad ketiga) mulai tampak perbedaan jelas antara asketisme.
Jadi, sebelum lahirnya tasawuf sebagai disiplin ilmu, zuhud merupakan permulaan tasawuf. Setelah itu, zuhud merupakan salah satu maqamat dari tasawuf. Kalau pada mulanya pengertian zuhud itu hanya hidup sederhana, kemudian bergeser dan berkembang ke arah yang lebih keras dan ekstrem. Pengertian yang ekstrem tentang zuhud datang pertama kali dari Hasan Al-Bashri yang mengatakan, "perlakukanlah dunia ini sebagai jembatan sekadar untuk dilalui dan sama sekali tidak membangun apa-apa di atasnya.
Menurut A.J. Arberry, Hasan Al-Bashri mengatakan, "Beware of this world with all wariness, for it is like to snake, smooth to the touch, but is venom is deadly. Beware of this world for its hopes are lies, its, expectation false.
Bahkan, menurut Al-Junaid, zuhud adalah tidak mempunyai apa-apa dan tidak memiliki siapa saja. Konsep dasar pendirian tasawuf Hasan Al-Bashri adalah zuhud terhadap dunia, menolak  kemegahannya, semata menuju kepadaAllah, tawakal, khauf, dan raja' , semuanya tidaklah terpisah. Jangan hanya takut kepada Allah, tetapi ikutilah ketakutan itu dengan pengharapan. Takut akan murka-Nya, tetapi mengharap karunia-Nya.
Jadi, Hasan Al-Bashri senantiasa bersedih hati, senantiasa takut, apabila ia tidak melaksanakan perintah Allah sepenuhnya dan tidak menjauhi larangan sepenuhnya pula. Sedemikian takutnya, sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu dijadikan untuk dia. Abdul Al-Hakim Hasan meriwayatkan bahwa Hasan Al-Bashri pernah mengatakan, “Aku pernah menjumpai suatu kaum yang lebih zuhud terhadap barang yang halal daripada yang haram. "
Dari apa yang disampaikan, secara otomatis, ia membagi zuhud pada dua tingkatan, yaitu zuhud terhadap barang yang haram, ini adalah tingkatan zuhud yang elementer, sedangkan yang lebih tinggi adalah zuhud terhadap barang-barang yang halal, suatu tingkatan zuhud yang lebih tinggi dari zuhud sebelumnya. Hasan Al-Bashri telah mencapai tingkatan kedua, sebagaimana diekspresikan dalam bentuk sedikit makan, tidak terikat oleh makanan dan minuman, bahkan ia pernah mengatakan, “seandainya menemukan alat yang dapat dipergunakan mencegah makan pasti akan dilakukan- Ia berkata, "aku Senang makan sekali dapat kenyang selamanya, sebagaimana semen yang tahan dalam air selama-lamanya.
Hasan Al-Basliri terkenal berpengetahuan mendalam, terkenal pula ke zuhudan (keasketisan) dan kerendahan hatinya. At-Tausi dalam kitabnva AI-Uma', meriwayatkan, suatu ketika dikatakan pada Hasan Al-Bashri, "Engliau adalah orang, yang paling memahami etika. Hal apakah yang paling bermanfaat, baik untuk masa singkat atau lama" Jawabannya, mendalami agama. Sebab, itu arah kalbu orang-orang yang  menurut ilmu, sikap asketis dalam hal duniawi, memperdekat pada Tuhan semata, dan mengerti apa yang dianugerahkan Allah kepadamu. Di dalamnya terkandung kesempurnaan iman."
Dari pemaparan di atas, jelaslah Hasan Al-Bashri, berupaya untuk selalu meninggalkan dan memalingkan diri dari hal-hal yang menghalangi untuk mengabdi kepada Tuhannya. Zuhud terhadap dunia dan mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini sesuai dengan pemaknaan zuhud, yaitu ragaba ‘an syai’in ‘wa tarakahu artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya.
2.       Khauf: Akhlaq Sufi
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa khauf menurut Hasan Al-Bashri adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya. Takut dan khawatir kalau-kalau Allah tidak senang padanya. Karena adanya perasaan seperti itu beliau selalu berusaha agar sikap dan perbuatannya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah. Khauf merupakan aspek yang tidak terpisah dari zuhud. Karena khauf tersebut merupakan tipe kezuhudan Hasan Al-Bashri. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Khauf senantiasa meliputi perasaan Hasan Al-Bashri. Apabila duduk, ia seperti tawanan perang yang menjalani sanksi dipukul pundaknya, dan jika disebutkan kepadanya tentang neraka, ia merasa bahwa sepertinya neraka itu diciptakan untuknya. Perasaan al-Khauf (takut) baginya merupakan sebuah hal (kondisi) dari beberapa ilmu. Perasaan khauf ini menjadi salah satu maqam (tingkatan) pemberian Allah bagi seorang yang 'arif billah.

Allah SWT berfirman:
وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ
Artinya : Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua syurga ( Q.S. Ar-Rahman: 46)

Dalam hal ini, Hasan Al-Bashri mengaitkan khauf sebagai hal-hal dalam salah satu maqam untuk mencapai "keyakinan" (aI-Yaqin).

Allah SWT. Berfirman:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِين
Artinya:"Dan sembahlah Tuhanmu sampai yakin (ajal) datang kepadanmu.
(Q.S. Al-hijr: 99)

Keyakinan ini harus ditempuh melalui perasaan takut kepadaAllah SWT., yaitu dengan mengembangkan sikap mental yang dapat merangsang seseorang melakukan hal-hal lang baik dan mendorongnya untuk menjauhi perbuatan maksiat. Perasaan khauf timbul karena pengenalan dan kecintaan kepada Allah sudah mendalam sehingga merasa khawatir apabila melupakannya atau takut kepada siksa Allah.
3.       Raja' dan Optimisme
Raja' berarti suatu sikap mental optimisme dalam memperoleh karunia dan nikmat Ilahi yang disediakan bagi hamba-hambanya yang saleh. Setelah tertanam dalam hati, perasaan khauf harus dibarengi dengan pengharapan (raja'). KarenaAllah Maha Pengampun, Pengasih, dan Penyayang, seorang hamba yang taat merasa optimis akan memperoleh limpahan karunia Ilahi. Jiwanya penuh pengharapan akan mendapat ampunan, merasa lapang dada, penuh gairah menanti rahmat dan kasih sayang Allah, karena merasa hal itu akan terjadi. Perasaan optimis akan memberi semangat dan gairah melakukan mujahadah demi terwujudnya apa yang diidam-idamkan itu karena Allah adalah Yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang.
Hasan Al-Bashri semula aktif memberikan fatwa dan dialog dengan penguasa (pada masa Umar bin Abdul Aziz) tentang kebijaksanaan pemerintahan dan ikut serta mencerdaskan kehidupan umat dengan mengajarkan hukum syariat, mengajak serta mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sasaran dakwah Hasan Al-Bashri menjangkau lapisan atas dan bawah, kiprahnya beliau memberikan nuansa tersendiri. Pada masa Umar bin Abdul Aziz berkuasa, ketika nilai-nilai spiritual dan moralitas sangat dijunjung tinggi, namun setelah habis masa pemerintahan umar bin Abdul Aziz, ia acuh terhadap penguasa, tidak mendekat pada penguasa yang zalim.
A.     Biografi dan Ajaran Tasawuf Rabiatul Al-Adawiyah.

Rabi’ah al-Adawiyah bernama lengkap Rabi’ah bin Ismail Al- Adwiyah Al-Bashriyah Al- Qaisiyah. Ia diperkirakan lahir pada tahun 95H/ 713 M atau 99 H/ 717 M disuatu perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat dikota bashrah pada tahun 185H/800M. Ia dilahirkan sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat miskin. Bahkan ketika Rabi’ah dilahirkan, rumah tangga orang tuanya sedang mengalami krisis ekonomi hingga minyak untuk membeli lampu penerangan guna membantu kelahirannya pun tidak dimiliki. Kemiskinan yang berkepanjangan itu membuat Rabi’ah akhirnya menjadi hamba sahaya. Kehidupan hamba sahaya penuh dengan penderitaan yang selalu datang silir berganti, kemampuan Rabi’ah untuk mengunakan alat musik dan menyanyi dimanfaatkan oleh majiannya

Mahabbah Rabiatul Adawiyah
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan  atau cinta yang mendalam. Dalam  mu’jam al-falsafi, jamil shabila mengatakan Mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci. Al-Mahabbah dapat pula berarti al-wudud, yakni yang sangat kecil atau penyayang. Selain itu al-mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cinta seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintanya, orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang pekerjaan kepada pekerjaannya.mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sunguh-sunguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang Mutlak, yaitu cinta kepada Allah.
Kata Mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukan pada  suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Dalam hubungan ini mahabbah objeknya lebih ditujukan pada Tuhan. Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa mahabbah cinta dan yang dimaksud ialah cinta kepada Allah. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan, pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain:
1.          Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
2.          Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3.          Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu Tuhan.

Al-sarraj (w.377 H) membagi mahabbah kepada tiga tingkatan yaitu:
1.         Cinta biasa, yaitu selalu mengigat Tuhan dengan zikir, senantiasa menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan.
2.         Cinta orang siddiq, yaitu orang yang kenal kepada tuhan, pada kebesara-Nya tabir yang memisahkan diri seseorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia pada Tuhan.
3.         Cinta orang ‘Arif, yaitu mengetahui betul Tuhan, yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam ciri yang mencintai.

Rabi’ah al- Adawiyah dalam perkembangan mistisisme dalam islam tercacat sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Hal ini karena generasi sebelumnya merintis aliran asketisme dalam islam berdasarkan rasa takut dan pengharapan kepada Allah. Rabiah pula yang pertama-tama mengajukan pengertikan rasa tulu ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah. Sikap dan pandangan Rabi’ah Al-Adawiyah tentang cinta dapat dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Al-Qusyairi meriwayatkan bahwa ketika bermunajat, Ra bi’ah menyatakan doanya. “Tuhanku, akankah Kau bakar kalbu yang mencintai-Mu oleh api neraka?” Tiba-tiba terdengar suara, “Kami tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada Kami”. Rabi’ah Al Adawiyah juga tergolong dalam kelompok sufi periode awal. Ia memperkaya literatur Islam dengan kisah-kisah pengalaman mistiknya dalam sajak-sajak berkualitas tinggi. Rabi’ah dipandang sebagai pelopor tasawuf mahabbah, yaitu penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah) dan ia pun dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of The Grand Master). Hakikat tasawufnya adalah habbul-ilāh (mencintai Allah SWT). Ibadah yang ia lakukan bukan terdorong oleh rasa takut akan siksa neraka atau rasa penuh harap akan pahala atau surga, melainkan semata-mata terdorong oleh rasa rindu pada Tuhan untuk menyelami keindahan–Nya yang azali.
Rabi’ah adalah seorang zahidah sejati. Memeluk erat kemiskinan demi cintanya pada Allah. Lebih memilih hidup dalam kesederhanaan. Definisi cinta menurut Rabi’ah adalah cinta seorang hamba kepada Allah Tuhannya. Ia mengajarakan bahwa yang pertama, cinta itu harus menutup yang lain, selain Sang Kekasih atau Yang Dicinta, yaitu bahwa seorang sufi harus memalingkan punggungnya dari masalah dunia serta segala daya tariknya. Sedangkan yang kedua, ia mengajarkan bahwa cinta tersebut yang langsung ditujukan kepada Allah dimana mengesampingkan yang lainnya, harus tidak ada pamrih sama sekali. Ia harus tidak mengharapkan balasan apa-apa. Dengan Cinta yang demikian itu, setelah melewati tahap-tahap sebelumnya, seorang sufi mampu meraih ma’rifat sufistik dari “hati yang telah dipenuhi oleh rahmat-Nya”. Pengetahuan itu datang langsung sebagai pemberian dari Allah dan dari ma’rifat inilah akan mendahului perenungan terhadap Esensi Allah tanpa hijab. Rabi’ah merupakan orang pertama yang membawa ajaran cinta sebagai sumber keberagamaan dalam sejarah tradisi sufi Islam. Cinta Rabi’ah merupakan cinta yang tidak mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh adalah perjalan mencapai ketulusan. Sesuatu yang diangap sebagai ladang subur bagi pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendali tersebut.
Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi. Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itu timbul dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan tanpa pamrih kepada Allah. Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan apa pun. Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya tak berbeda jauh dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf (takut) dan raja’ (harapan). Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri mengabdi kepada Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan untuk masuk surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdi kepada Allah bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan surga, namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata.
Cinta Rabi’ah kepada Allah sebegitu kuat membelenggu hatinya, sehingga hatinya pun tak mampu untuk berpaling kepada selain Allah. Pernah suatu ketika Rabi’ah ditanya, “Apakah Rabi’ah tidak mencintai Rasul?” Ia menjawab, “Ya, aku sangat mencintainya, tetapi cintaku kepada Pencipta membuat aku berpaling dari mencintai makhluknya.” Rabi’ah juga ditanya tentang eksistensi syetan dan apakah ia membencinya? Ia menjawab, “Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong sedikit pun dalam diriku untuk rasa membenci syetan”. Allah adalah teman sekaligus Kekasih dirinya, sehingga ke mana saja Rabi’ah pergi, hanya Allah saja yang ada dalam hatinya. Ia mencintai Allah dengan sesungguh hati dan keimanan. Karena itu, ia sering jadikan Kekasihnya itu sebagai teman bercakap dalam hidup. Dalam salah satu sya’ir berikut jelas tergambar bagaimana Cinta Rabi’ah kepada Teman dan Kekasihnya itu: “ Kujadikan Engkau teman bercakap dalam hatiku, Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk. Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku, Isi hatiku hanya tetap Engkau sendiri”.
Cinta bagi Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia telah melupakan segalanya selain Allah. Tapi bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja bukan tujuan, tetapi lebih dari itu Cinta adalah jalan keabadian untuk menuju Tuhan sehingga Dia ridla kepada hamba yang mencintai-Nya. Dan dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridla kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh dari Cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan-Nya di dunia dan juga di akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan jalan Cinta itu dirinya berharap Tuhan memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya. Dalam sya’irnya Rabi’ah mengatakan :
Aku mencintai-Mu dengan dua macam Cinta,
Cinta rindu dan Cinta karena Engkau layak dicinta,
Dengan Cinta rindu,
kusibukan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu,
Dan bukan selain-Mu.
Sedangkan Cinta karena Engkau layak dicinta,
di sanalah Kau menyingkap hijab-Mu,
agar aku dapat memandangmu.
Namun, tak ada pujian dalam ini atau itu,
segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini atau itu.

B.     Biografi dan Ajaran Tasawuf Ibnu al- Mubarrak (118–181 H)
Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Al-Mubarak bin Wadhih, Abu Abdurrahman Al-Handzali. Namun, beliau lebih dikenal dengan namanya “Ibnul Mubarak”. Ayahnya berasal dari Turki dan ibunya dari Khawarizmi. Beliau dilahirkan pada tahun 118 H. Gelar beliau sangat banyak, di antaranya: Al-Hafizh, Syekh Al-Islam, Fakhr Al-Mujahidin, pemimpin para ahli zuhud, dan masih banyak gelar lainnya. Beliau habiskan usianya untuk melakukan safar dalam rangka berhaji, berjihad, dan berdagang. Karena itu, beliau dikenal dengan “As-Saffar” (orang yang rajin melakukan perjalanan).
Beliau sering melakukan perjalanan dan petualangan dalam mencari hadis, sehingga beliau memiliki guru yang sangat banyak. Di antara guru beliau adalah Sulaiman At-Taimi, `Ashim Al-Ahwal, Humaid Ath-Thawil, Rabi` bin Anas, Hisyam bin `Urwah, Al-Jariri, Ismail bin Abi Khalid, Khalid Al-Hadza`, Barid bin Abdillah, dan masih banyak deretan ulama lainnya. Bahkan, beliau juga menulis hadis dari orang yang lebih muda atau lebih rendah tingkatan ilmunya dibanding beliau.
Murid beliau juga sangat banyak; tersebar di berbagai negeri yang tak terhitung jumlah mereka, karena dalam setiap Ibnul Mubarak bersafar, banyak orang yang menimba ilmu dari beliau. Di antara murid senior beliau adalah Abdurrahman bin Mahdi, Yahya bin Ma`in, Hibban bin Musa, Abu Bakr bin Abi Syaibah, Utsman bin Abi Syaibah, Ahmad bin Mani`, Ahmad bin Jamil, Al-Husain Al-Maruzi, Hasan bin `Arafah, dan masih banyak ulama besar lainnya.
Ajaran Tasawufnya yaitu :
            Banyak ulama menyebut Ibnu Mubarak sebagai imamnya ahli zuhud. Gelar itu memang sangat layak, ia bukan saja mengetahui hakikat zuhud, akan tetapi menerapkannya dalam segenap jiwa dan raganya. Terkadang orang salah memahami makna zuhud, bahwa zuhud adalah meninggalkan dunia, hidup dalam kemiskinan, mengasingkan diri dari kehidupan sosial, lalu menggantungkan hidupnya pada belas-kasih para dermawan. Inilah zuhud yang salah.
Ibnu Mubarak adalah seorang zahid yang hartawan. Kecerdasannya dalam berbisnis berasal dari ayahnya dan gurunya Imam Abu Hanifah, yang juga seorang pebisnis sukses. Ibnu Mubarak memiliki harta yang banyak dan bisnis yang beragam. Ibnu Katsir dalam al Bidayah wa an Nihayah, menyebutkan bahwa Ibnu Mubarak memiliki modal sekitar 400 ribu Dinar. Jumlah yang sangat banyak pada waktu itu. Modal itu ia kembangkan untuk berbisnis di beberapa negeri yang ia kunjungi. Dari keuntungan bisnisnya yang berkisar sekitar 100 ribu Dinar itu ia infaq-kan semuanya di jalan Allah.
C.     Biografi dan Ajaran Tasawuf Ibrahim bin Adham
Nama lengkapnya Ibrahim Adham Bin Mansur bin Yazid Al-Balakhi, biasa di panggil Abu Ishak dilahirkan dikota Balakh. Bapaknya keturunan raja Khurasan dan berasal dari keluarga kaya, namun dia kesampingkan harta dan bergelut mencari ilmu. Pergi ke Baghdad, Irak, Syam dan Hijaz untuk menimba ilmu dari para ulama, dan setiap kali berguru kepada Sufyan Tsauri dia meminta ijazah agar tidak lupa. Pencriannya di topang dari hasil buruan dan memelihara kebun. Kemudian terpanggil untuk jihad berperang melawan penjajah romawi. Kata-katanya: “Zuhud yang wajib adalah dari perkara haram dan subhat, sedangkan zuhud yang utama adalah dari perkara yang halal”.
Ibrahim bin Adham adalah Raja Balkh dan memiliki daerah kekuasaannya yang sangat luas. Kemanapun ia pergi, empat puluh buah pedang emas dan empat puluh buat tongkat kebesaran emas diusing didepan dan dibelakangnya.

      Gerakan danAjaran-ajaranya

Ibrahim bin adham beriman setelah mendengar bisikan Tuhan ketika sedang berburu di hutan. Semenjak itu, ia hidup dalam kemiskinan dan aksetisme (zuhud) hidup dari hasil kedua tangannya. Dia adalah seorang guru sufi yang ajarnnya terutama berkisar tentang asketisme, mistisisme, dan dia lebih menyuntukan diri terutama dengan kontrol diri (muraqabah) dan gnosis (ma’rifat). Ajaran Ibrahim bin Adham dapat dilihat dari ujaran-ujarannya.



TOKOH TASAWUF ABAD III-IV HIJRIAH
1. Ma’ruf al-Karkhi
Namanya adalah Abu Mahfuz Ma’ruf bin Firuz al-Karkhi. Ia berasal dari Persia, namun hidupnya lebih lama di Bagdad, yaitu pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid. Ia meninggal di kota ini juga pada tahun 200H/815M.
Ma’ruf dikenal sebagai sufi yang selalu diliputi rasa rindu kepada Allah sehinnga ia digolongkan kedalam kelompok auliya’. Dia dipandang sangat berjasa dalam meletakkan dasar-dasar tasawuf. Dan dia adalah orang pertama yang mengembangkan tasawufnya dari paham cinta yang dibawa oleh Rabi’ah al-Adawiyah.
Diantara ajaran tasawufnya, al-Karkhi pernah berkata :”Seseorang sufi adalah tamu Tuhan di dunia ini, dan oleh karena itu ia berhak mendapat sesuatu yang diberikan kepada tamu, ia berhak dilayani sebagai tamu, tetapi tidak sekali-kali berhak mengemukakan kehendak keinginannya.
2.Syaqiq Al Balkhi
Namanya Abu Ali Syaqiq bin Ibrahim Al-balkhi, wafat pada tahun 149 H / 810 msehi dan termasuk guru besar sufi khurasan. Beliau adalah guru Hatim Al-Asham. Abu Ali Syaqiq bin Ibrahim al Azdi dari Balkh, adalah seorang ilmuwan yang memulai karirnya sebagai seorang saudagar tetapi di kemudian hari memilih jalan kesufian. Pada tahun 194 H / 810 M, ia menunaikan Haji ke Makkah dan mati syahid di dalam perang suci.

Kehidupan Syaqiq al Balkh

Syaqiq al Balkh adalah seorang ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan dan banyak buku yang telah ditulisnya. Ketika ia belajar jalan kesufian dari Ibrahim bin Adham, dalam waktu bersamaan ia juga mengajar Hatim si orang tuli. Syaqiq mengakui bahwa ia telah belajar dari 1.700 orang guru dan memiliki buku sebanyak beberapa pemikulan unta.




3. Abu Sulaiman al-Darani
Nama lengkapnya ialah Abu Sulaiman Abdurrahman bin Uthbah al-Darani. Dia lahir di Daran, sebuah kampong di kawasan Damaskus, dan meninggal pada tahun 215H/830H. Dia adalah murid Ma’ruf dan merupakan tokoh sufi terkemuka.
Dalam sejarah, al-Darami dikenal sebagai salah seorang sufi yang banyak membahas tentang ma’rifah dan hakikah. Hakikah menurut Abu Sulaiman al-Darani, berkaitan erat dengan syariah. Hal ini ditegaskan dalam upayanya :”Selama beberapa waktu aku tertimpa persoalan ini (para sufi), sementara aku tidak bias menerimanya (menerima dengan yakin), kecuali disertai dua saksi yang adil:al-Qur’an dan al-Sunnah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diabolisme Salman Rushdie dan Ahok

ANTARA SALMAN RUSHDIE DAN AHOK Oleh: Dr. Adian Husaini Tahun 1988, dunia Islam digegerkan oleh seorang bernama Salman Rushdie. Kisahnya ...