The
Expansion Sufism Order (Thariqah) Maulawiyah in Turkey
Debri Koeswoyo
dan Fifi Andriyani
Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
Abstract
The Maulawiyah Sufism Order or Jalailah is a
well-known and widely-held congregation in Turkey and Syria. In the West, this
tarekat is better known as The Whirling Dervishes. This name arises because the
followers of this congregation perform a swirling dance accompanied by drums
and flutes in their dhikr to reach the peak of closeness with God. The
Maulawiyah order was founded by Jalaluddin ar-Rumi, a famous Sufi and poet of
his time. Fihi Ma Fihi became Rumi's phenomenal work in the teachings of
the Maulawiyah Sufism order where his work is a very strong and valuable and
practical hand in the proximity to Allah's path and the expression of Rumi's
personality itself. This tarekat way of thinking that is different from other
Sufism order, becomes something that attracts the attention of many Muslims to
enter into this congregation of Maulawiyah. The Sufi dance developed by Rumi
illustrates the essence of how the human soul always wants to get closer to God
and always love it. The Sufi dance of the Maulawiyah Sufism order makes the
initiation of a servant or Sufi closeness from being loved to being loved. Only
God deserves to be loved.
Keywords: Sufism Order, Maulawiyah,
Jalaluddin ar-Rumi, Teachings, Dhikr
مفتاح
لغة
إن
أمر المولاوية أو الجلايلة هو جماعة معروفة ومعروفة على نطاق واسع في تركيا
وسوريا. في الغرب، هذا تاريكات هو المعروف باسم الدراويش الدوارة. وينشأ هذا الاسم
لأن أتباع هذه الجماعة أداء رقصة دوامة يرافقه الطبول والمزامير في ذكرهم للوصول
إلى ذروة التقارب مع الله. تم تأسيس النظام من قبل جلال الدين الرومي، الصوفي
الشهير والشاعر من وقته. فيهي ما فيهي أصبح عمل الرومي الهائل في تعاليم المولاوية
الطريق حيث عمله هو اليد قوية وقيمة وعملية جدا على مقربة من طريق الله والتعبير
عن شخصية الرومي نفسها. هذه الطريقة تاريكات التفكير يختلف عن الرقة الأخرى، يصبح
شيئا يجذب انتباه العديد من المسلمين للدخول في هذه الجماعة من المولاوية. الرقص
الصوفي الذي وضعه الرومي يوضح جوهر كيفية الروح البشرية دائما تريد الاقتراب من
الله ودائما الحب. والرقص الصوفي في مولاوية تاريكات يجعل الشروع في الخادمة أو
الصوفية القرب من أن يحب أن
يكون
محبوبا. فقط الله يستحق أن يكون محبوبا.
گان:
تاريكات، مولاوية، جلال الدين الرومي، تعاليم، الذكر
who is the real man who has upheld the pillars
in the middle of the Islamic
thought
treasures cross-disciplinary
dispute?
He is the mystical poet of all time
A.PENDAHULUAN
Tasawuf
sebagai bagian dari kemulitan dimensi keagamaan senantiasa berkembang, meski
pun kesannya sangat lamban namun langkahnya cukup pasti dan mengakar. Awal-awal
proses internalisasinya hanya terbatas pada praktek-praktek ritual individual,
tapi seiring dengan arus komunikasi dan interaksi antara individu yang satu
dengan yang lainnya, konstuksi ritual-ritual individual itu kemudian disepakati
oleh yang lainnya sehingga mulailah terbentuk kelompok.
Tuntutan fitrah kemanusiaan
akan kesempurnaan dan pemahaman mendalam terkait dengan rahasia-rahasia
kehidupan, maka kelompok ini kemudian melakukan pengorganisiran dengan cara
membentuk suatu aliran/corak pemikiran dan ritual sebagai media untuk melakukan
penguatan serta pendalaman ajaran-ajaran kepada para simpatisannya, hal ini
dimaksudkan untuk memberi andil dalam menjawab kebututuhan asasi manusia itu
sendiri.
Menguatnya
kelompok-kelompok tasawuf ini telah turut memberikan konstribusi dalam
perkembangan agama, dan bahkan secara konsisten para aktornya terus tampil
kepermukaan untuk mengintrenalisasikan ajaran-ajaran kesadaran akan nilai dan
hakikat kehidupan. Jalauddin Rumi misalnya, hingga kini namanya dan ajarannya
terus dikenang, bahkan ia diasumsikan sebagai figur manusia universal.[2]
Ia bagai gerbang raksasa
bagi kemnausiaan, ribuan orang yang tersentuh dengan ajaran-ajaran dan
karya-karyanya yang dipublikasikan lewat aliran tasawuf Maulawiyahnya. Ia
diibaratkan sebagai obat yang mampu menyembuhkan luka yang ditimbulkan oleh
kegamangan intelektual serta keresahan kemanusiaan.
Melalui
pendekatan spiritual yang bercorak artistik dan kreatif, tarekat ini menyapa
kebimbangan manusia dalam kesadaran akan ketidak menentuannya dalam menjalani
kehidupan. Wajar jika aliran tasawuf ini banyak diapresiasi dari generasi ke
genarasi, bukan hanya di Barat melainkan Timur pun mulai melirik dan mendalami
alur paradigma dan spiritulitas yang diembannya.
B. BIOGRAFI
JALALUDDIN AR-RUMI
Jalaluddin Rumi memiliki nama asli Jalaluddin Muhammad bin
Muhammad al-Balkhi al-Qunawi.[3] Oleh karena wilayah yang merupakan
tempat tinggalnya pada waktu itu dikenal dengan tanah Rum (Roma), yang mana
sekarang bernama Turki, maka beliau pun dikenal dengan Jalaluddin Rumi.[4] Adapun kata Maulana dalam nama Maulana Jalaluddin Rumi
adalah gelar yang diberikan oleh para muridnya, yang memiliki arti tuan kami.[5]
Al-Rumi dilahirkan di Balkh, sekarang
bernama Afghanistan, pada tanggal 6 Rabbiul Awal 604 H atau 30 September 1207
M.[6] Al-Rumi adalah putra dari Bahauddin
Walad. Dia anak yang menjadi orang besar di antara anak-anak Bahauddin yang
lain.[7] Sesuai
yang diramalkan seorang tokoh sufi bernama Fariduddin Attar,[8] bahwa kelak al-Rumi akan menjadi orang besar.[9]
Jika dilihat dari kehidupan al-Rumi sejak kecil, pada usia lima tahun kondisi
psikologisnya sangat kacau. Secara spontan dia pernah melihat sosok-sosok
spiritual seperti Jibril, Maryam dan Ibrahim. Menurut ayahnya, karakter al-Rumi
dibentuk oleh Allah SWT.[10]
Al-Rumi terkenal di Barat
sebagai mistikus dan pujangga dari dunia Islam yang terbaik. Dia
berkarya mulai sejak kehilangan Syamsuddin sampai akhir hayatnya.Karya-karyanya
bukan hanya bermanfaat bagi kaum muslimin tetapi juga seluruh umat manusia.
Kebesaran al-Rumi dalam bersyair terletak pada kedalaman ilmu dan kemampuan
mengungkapkan perasaannya ke dalam bahasa yang indah, sehingga memiliki
kedalaman makna pula.[11]
Karya-karya al-Rumi yang
utama adalah Diwan -i Syams-i Tabriz yang memuat lebih dari 40.000 syair
dan Matsnawi yang memuat sekitar 25.000 syair, di samping karya-karya
yang berupa kumpulan-kumpulan hikmah dan surat-suratnya.[12]
Sedangkan Matsnawi
merupakan karya terpanjang al-Rumi,yang terdiri dari enam jilid yang semuanya
hanya memiliki satu tujuan yaitu hubungan yang erat dengan Sang Mutlak. Pada
akhir abad ke-15, Matsnawi disebut sebagai al-Qur’an dalam bahasa Persia
atau al-Qur’an dari Persia. Di dalamnya memuat puisi-puisi didaktik dan
mistikal yang termasyur di daerah pinggiran Timur dunia Islam.[13]
Adapun karya yang ketiga
yaitu Fihi Ma Fihi. Secara harfiah berarti “Di dalamnya Ada di Sana”,
atau dengan kata lain “Di dalamnya terdapat seperti Apa yang Ada di
Dalamnya.”Oleh karena itu dia merupakan karya prosa al-Rumi yang
paling penting dan merupakan pegangan yang sangat bernilai dan petunjuk praktis
menuju jalan Allah serta ungkapan kepribadian al- Rumi. Karya ini ditulis oleh
putra al-Rumi yang paling tua, Sultan Walad,dan juga oleh pengikutnya setelah
al-Rumi wafat, serta dari ingatan-ingatan mereka dan dari catatan-catatan
al-Rumi sendiri sebelum wafat.[14]
C. SEJARAH
TAREKAT MAULAWIYAH
Tarekat (thariqah)
secara harfiyah berarti jalan kecil, dan jika makna ini ditarik masuk kedalam
pemahaman yang lebih dalam, maka ia memiliki dua pengertian yang berbeda namun
tetap saling terkait. Yang pertama,
tarekat dimengerti sebagai perjalanan spiritual menuju Tuhan. Yang kedua, tarekat dipahami sebagai
“persaudaraan“ atau ordo spiritual yang biasanya merupakan perkumpulan yang dipimpin oleh seorang guru (mursyid), dan para khalifahnya.
Penamaan tarekat maulawiyah merupakan turunan dari kata maulana yang berarti guru kami atau
dalam istilah lain our master, yaitu
gelar yang diberikan murid-muridnya kepada sorang sufi penyair Persia terbesar
Muhammad Jalal al-Din Rumi yang wafat pada tahun 1273.[15]Dari
sini jelas terpahami bahwa tarekat ini didirikan oleh Rumi yang meninggal di
Anatolia Turki. Khas dari aliran tarekat ini ialah tarian mistik dengan cara
keadaan tidak sadar (fana’), agar
dapat bersatu dengan Tuhan. Penganut-penganutnya bersifat pengasih dan tidak
berharap pada kepentingan diri sendiri, serta berpengarangai degan gaya hidup
yang sangat sederhana.[16]
Keluarga Rumi merupakan keluarga terpandang, satu bukti
ialah ayahnya Baha'al-Din Walad diangkat jadi pembimbing spiritual oleh Sulat
Konya, bahkan Sultan tersebut juga memberinya gelar kerhormatan "Sultan
al-Ulama (rajanya para ulama)". Setelah ayahnya meninggal, Rumi mengambil
posisi ayahnya sebagai penasehat para ulama Konya serta pembimbing bagi
murid-murid ayahnya, kurang lebih satu tahun dari kematian ayahnya, atas
anjuran gurunya Burhan al-Din Rumi meneruskan pendidikannya di Aleppo dan
mengunjungi beberapa madrasah yang dibangun oleh al- Malik al-Zhahir. Dari sini
Ia pindah ke Damaskus dan mempunyai kesempatan emas untuk bercakap dengan
tokoh-tokoh besar, seperti Muhy al-Din bin 'Arabi, Sa'ad al-Din Al-Hamawi, Utsman
Al-Rumi, Awhad al-Din bin Arabi, dan Shadr al-Din al-Qunyawi. Pada tahun 1236 M
Rumi kembali ke Konya dan menyibukkan diri dengan menuntut ilmu dan memberikan
bimbingan spiritual sampai gurunya meninggal dunia pada tahun 1241 M.[17]
Selama bertahun-tahun Rumi menikmati popularitasnya
yang tinggi dan menempati posisi yang sangat dihormati sebagai seorang
pemimpin. Tiba-tiba pada tahun 1244 seorang Darwisy misterius, Syams al-Din
Tabrizi datang ke Konya dan menjumpai Rumi. Perjumpaan ini telah mengubah Rumi
dari seorang Teolog terkemuka menjadi seorang penyair mistik yang sangat
terkenal. Karena kuatnya pesona kepribadian Syams, Rumi lebih memilih
meninggalkan kegiatannya sebagai guru dan da'i profesional untuk mengabdikan
diri kepada Syams yang kini menjadi guru spiritualnya, dan mereka tidak pernah
berpisah dalam beberapa waktu untuk memperkuat ikatannya. Tetapi keadaan ini
membuat murid-murid Rumi marah dan cemburu karena tidak mendapat bimbingan
spiritual akibatnya mereka menyerang Syams dengan kekerasan dan ancaman,
sehingga ia meninggalkan Rumi menuju Damaskus.
Perpisahan ini dirasa menyakitkan oleh Rumi dan
menghunjam perasaannya begitu mendalam, karena itu ia mengutus anaknya sultan
Walad untuk memohon Syams agar kembali ke Konya. Rumi bahagia bisa jumpa lagi
dengan sang guru, akibatnya apa yang telah terjadi terulang kembali. Tentunya
murid-murid Rumi menjadi lebih marah dan terus menaruh kebencian pada Syams
dengan lebih hebat dari sebelumnya. Situasi ini mendorong Syams untuk mencari
perlindungan ke Damaskus.
Sebagai tanda cintanya kepada Tabrizi, Rumi menulis
kumpulan puisi yang kemudian dikenal dengan Divan-e Shams-e Tabrizi.[18]
Kenapa aku harus mencari?
Aku sama dengannya
Jiwanya berbicara kepadaku
Yang kucari adalah diriku sendiri!
Aku sama dengannya
Jiwanya berbicara kepadaku
Yang kucari adalah diriku sendiri!
Cinta dan keindahan membuat ajaran Rumi berbeda dengan
aliran tarekat lain. Sejumlah tarekat saat itu lebih banyak berkonsentrasi
untuk menyempurnakan diri menuju insan
kamil lewat ibadah, wirid, atau menyodorkan faham ketauhidan baru.
Penyatuan diri dengan Tuhan (wihdatul
wujud) yang berkembang berabad-abad sebelum Rumi di Baghdad adalah salah satu cara pencapaian menuju Tuhan yang
tidak dipilih Rumi.
Sebagai seorang seniman, Rumi memiliki cara sendiri dalam
mencapai kesempurnaan dalam beragama tanpa harus menjadi ekstrem (membangun
pertentangan dengan syariat). Ia memanfaatkan puisi, musik dari seruling dan
gitar (rebab) untuk mengiringi dzikir-dzikirnya, cara ini kemudian dikenal
dengan sema’ yang berarti mendengar.[19]
Setelah kembali ke Konya, Rumi mendirikan Tarekatnya
sendiri, kira-kira 15 tahun setelah itu kesehatan Rumi menurun dan tak lama
kemudian ia sakit. Akhirnya pada hari minggu tanggal 16 Desember 1273
Mawlana Rumi menghembuskan nafasnya yang terakhir di kota Konya. Rumi meninggal
dan dikubur dalam Kubah Hijau (Qubat-ul-Azra’)
yang bertuliskan “Saat kami
meninggal, jangan cari kuburan kami di tanah, tapi carilah di hati manusia.”
Namun ritual sema’ itu tak ikut mati. Para pengikutnya, terutama anaknya,
Sultan Veled Celebi, melembagakan ajaran itu dalam tarekat bernama Mawlawiyah
atau Mevleviye. Mungkin ini pulah yang menjadi penyebab bagi Annemarie Shimmel
menyimpulkan bahwa kita dapat dengan aman mengatakan bahwa tidak ada penyair dan mistik Islam
lainnya yang dikenal demikian baik di Barat kecuali Rumi.[20]
D. PEMAHAMAN
TAREKAT MAULAWIYAH
Ajaran-ajaran Rumi, pada dasarnya dapat dirangkum dalam triologi metafisik,
yaitu Tuhan, Alam dan Manusia.[21]
1.
Ajaran Maulana Rumi tentang Tuhan
Gagasan
Rumi terkait dengan persoalan ke-Tuhan-an terinspirasi dari pernyataan Al-Quran
sendiri yang menyatakan bahwa Tuhan adalah “Yang Awal, Yang Akhir, Yang Lahir,
Yang Batin”.[22]
Tuhan “Yang Awal” bagi Rumi, berarti bahwa Ia adalah sumber yang dari-Nya
segala sesuatu berasal. Tuhan sebagai “Yang Akhir” diartikan sebagai tempat
kembali segala yang ada di dunia ini. Hal yang menarik dari Dia ialah
pandangannya tentang Tuhan itu sebagai keindahan sehingga menjadi tujuan dari
semua jiwa yang mencinta.[23]
Tuhan sebagai “Yang Lahir”, bagi Rumi
dunia yang lahir adalah fenomena yang dibaliknya terselip pesan akan realitas
sejati, artinya bahwa dunia yang lahir merupakan petunjuk bagi adanya yang
batin karena keduanya adalah dua hal yang saling terkait, maka dari itu Ia
mempertegas bahwa tidak mungkin ada yang lahir tanpa ada yang batin, dan yang
lahir merupakan jalan menuju realitas yang tersembunyi di dalamnya. [24]
Dengan demikian, Tuhan sebagai “Yang Batin”,
adalah realitas yang lebih mendasar, sekalipun untuk dapat memahaminya
dibutuhkan mata lain yang lebih peka/tajam. Jadi tidak semua orang dapat
melihat kecantikan Tuhan yang tersembunyi di balik fenomena alam. Kebanyakan
kita adalah pemerhati fenomena dan karena itu tidak bisa melihat keindahan
batin yang tersembunyi di balik fenomena lahiriah alam.[25]
2.
Konsep Rumi
tentang alam semesta
Menurut Rumi bahwa motif penciptaan alam oleh Tuhan adalah cinta.
Cintalah yang telah mendorong Tuhan mencipta alam, sehingga cinta Tuhan
merembas, sebagai napas Rahmani, kepada seluruh partikel alam lalu
menghidupkannya.[26]
Alam bukanlah benda mati, melainkan ia hidup dan berkembang, bahkan juga
memiliki kecerdasan, sehingga mampu mencintai dan dicintai, berkat sentuhan
cinta Tuhan, ia menjadi makhluk yang hidup, bergerak penuh energi kearah Tuhan
sebagai yang Maha baik dan Sempurnah. Dalam salah
satu syairnya, Rumi pernah menggambarkan hubungan langit dan bumi seperti
sepasang suami-istri.[27]
3.
Konsep Rumi
tentang manusia
Rumi memandang manusia sebagai tujuan penciptaan
alam, sehingga itu pula yang menjadi penyebab kenapa kemudian manusia memiliki
posisi yang sangat istimewa kaitannya dengan alam maupun dengan Tuhan.
Kaitannya dengan Tuhan, manusia menempati posisi yang tinggi sebagai wakil-Nya
di muka bumi.
Hal lain yang menarik dari Rumi kaitannya
dengan manusia adalah sifat kebebasan memilih yang merupakan prasayarat bagi
perkembangan dan aktualitas diri manusia itu sendiri.[28]
Menurutnya bahwa manusia lahir tidak dalam keadaan sempurna, tapi ia dibekali
dengan sejuta potensi dan untuk mengaktualkan hal tersebut manusia membutuhkan
kebebasan dalam memilih. Dengan kebebasan inilah manusia dapat mencapai titik
kesempurnaannya sebagai insan kamil. Tapi
dengan kebebasan ini pula, manusia memiliki resiko yang besar untuk mejadi
makhluk terendah, yaitu ketika dia menuruti hawa nafsunya.[29]
Selain itu, Manusia juga memiliki kemampuan
untuk memahami sesuatu atau dengan kata lain mampu memiliki ilmu pengetahuan.
Pengetahuan manusia bertingkat-tingkat sesuai dengan alat yang digunakan untuk
tujuan itu. Ada pengetahuan indrawi, pengetahuan yang didasarkan penalaran
akal, dan pengetahuan melalui persepsi spiritual (intuisi).
E. AJARAN TAREKAT MAULAWIAH
Kekhususan tarekat ini adalah dakwah yang dikemas dengan cara menggunakan
tarian-tarian yang disebut sama’ dalam bentuk tarian berputar, dan telah
menjadi ciri khas dasar bagi tarekatnya. Akibatnya, tarekat Rumi di Barat
dikenal sebagai The Whirling Darvish (Para Darwisy yang
Berputar). Tarian suci ini dimainkan oleh para Darwish (fuqara’) dalam
pertemuan-pertemuan (majlis) sebagai dukungan eksternal terhadap
upacara-upacara (ritual mereka).
Sama’ dilembagakan Rumi pertama kali setelah hilangnya gurunya yang sangat dicintai,
Syams al-Din Tabrizi. Sejak saat itu Rumi menjadi sangat sensitif terhadap
musik, sehingga tempaan palu dari seorang pandai besi saja cukup untuk
membuatnya menari dan berpuisi.
Tahapan-tahapan dalam sama’ terdiri
dari dua bagian. Pertama, terdiri
dari Naat (sebuah puisi yang memuji
Nabi Muhammad), improvisasi ney (seruling) atau taksim dan
“Lingkaran Sultan Walad”. Kedua,
terdiri dari empat salam, musik instrumental akhir, pembacaan ayat-ayat suci al-Quran dan doa.[30]
1.
Bagian
Pertama
Naat, semacam musik religius. Naat dalam
musik mawlawi disusun oleh Buhuriz Musthafa' Itri (1640-1712), tetapi puisinya
adalah puisi Rumi.
Taksim, adalah sebuah improvisasi terhadap setiap makam atau mode, yaitu konsep
penciptaan musik yang menentukan hubungan-hubungan nada, nada awal yang
memiliki kontor dan pola-pola musik. Bagian ini merupakan bagian yang sangat
kreatif dari upacara Mawlawi.
Lingkaran
Sultan Walad, ini disumbangkan kepada upacara oleh putra sulung
mawlana, sultan Walad. Selama putaran ini para darwisy yang ikut bagian dalam
putaran tari berjalan mengelilingi sang samahane (ruang upacara) tiga
kali dan menyapa satu sama lain di depan pos (lokasi tempat pemimpin tekke atau
pemimpin upacara berdiri). Dengan cara ini mereka menyampaikan
"rahasia" dari yang satu kepada yang lain.
2.
Bagian kedua
(empat salam), yaitu :
Salam
pertama,
melodi panjang, irama yang digunakan biasanya disebut putaran berjalan (Devri Revan), bitnya adalah 14/8.
Salam keduan, pola irama
dari salam ini disebut Evfer dan terdiri dari 9/8 bit.
Salam
ketiga,
dibagi kedalam dua bagian yang meliputi melodi dan irama. Bagian pertama
disebut putaran (the cycle) bitnya 28/4 bagian kedua disebut yourk semai dan
bitnya 6/8.
Salam keempat, pola irama
ini juga efver (9/8), yakni irama lambat dan panjang untuk menurunkan elastasi
sehingga sang darwisy bisa konsentrasi kembali. Tiap-tiap salam dihubungkan
melalui nyanyian, pada bagian pertama dan kedua seleksi diambil dari
Divan-Syams atau mastnawi, pada bagian ketiga puisi mawlawi lain dinyanyikan.
Terkait dengan musik instrumental setelah berakhirnya salam
keempat berarti bagian oral selesai “yuruk
semai” kedua dalam pola 6/8 sekaligus akhir dari upacara. Dan setelah
seleksi instrumental ini terdapat lagi taksim seruling, yang juga kadang
dimainkan melalui alat musik petik (senar).
Setelah tahapan musik selesai, seorang hafizh di antara para
penyanyi membaca ayat-ayat Alquran. Sama’ terus berlangsung sampai bacaan
Alquran dimulai. Ketika hafizh memulai bacaan Alqurannya maka para penari
berhenti dan mundur ke pinggir lalu duduk. Setelah selesai, pimpinan sama’
berdiri dan mulai berdo’a di depan
syaikh, dan doa ini biasanya ditujukan untuk kesehatan dan hidup sang Sultan
atau para penguasa negara.
Dalam Tarekat Maulawiyah
yang dibimbing oleh al-Rumi memiliki ajaran yang sangat dikonsekuensikan pada
kehidupan spiritualnya, yaitu tentang cinta Illahi. Cinta adalah kekuatan
Ilahiah yang memunculkan eksistensi alam semesta, memunculkan semua aktivitas
makhluk dan memenuhi hati manusia dalam mewujudkan kesatuan dengan Allah. Oleh
karena itu cinta sesungguhnya adalah Tuhan itu sendiri, sebagai Pencipta,
Pemelihara dan tujuan alam semesta. Cinta adalah realitas tunggal dan cinta
yang ada dalam diri makhluk sesungguhnya adalah manifestasi Cinta Illahi.[31]
Hal di atas sesuai dengan
inti tasawuf al-Rumi yaitu kesatuan dengan Allah, sehingga sudah seharusnya
manusia menghadapi hidup dengan hati besar dan sadar akan tempat asal mula.[32]
Al-Rumi memandang hubungan manusia dengan Tuhan sebagai suatu prinsip
yang menyeluruh tentang dasar keberadaan bahwa segala sesuatu berasal dari
Allah dan tentu saja akan kembali hanya kepada Allah SWT.[33]
Cinta adalah penghubung
atau pengikat antara manusia dengan Allah. Cinta juga merupakan tangga menuju
tauhid atau keesaan Allah. Dengan demikian cinta merupakan jalan menuju
kebenaran yaitu kembali kepada Allah.[34]
Bagi al-Rumi, rasa cinta
akan menimbulkan kerinduan yang akhirnya akan melahirkan sebuah ekspresi yang
luar biasa. Dalam Tarekat Maulawiyah, hal ini diibaratkan dengan seruling bambu
yang mampu melantunkan suara merdunya karena rasa rindu pada rumpunnya. [35]
F.
Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat menarik
kesimpulan sebagai berkut :
1. Tarekat
Maulawiyah adalah tarekat yang didirikan oleh Jalaluddin Rumi di Konya setelah
seorang darwisy yang menjadi guru utamanya meninggal.
2.
Sistem pemahaman yang diusung oleh tarekat Maulawiyah ini bernuansa
integral yang kemudian terakhir diistilahkan dengan triologi; melihat
keterikatan secara substansial antara Tuhan, manusia dan alam semesta.
3.
Ciri utama
yang sangat menonjol dari aliran tarekat ini ialah praktek zikir yang dilakukan
dengan cara menari untuk memperoleh kefanaan spiritual.
4. Rumi telah menghasilkan karya monumental yang sekaligus sangat bermanfaat
bagi semua orang, diantaranya ialah : Mastnawi al-Ma’nawi, atau Mastnawi,
ghazal (puisi cinta) yang lebih dikenal sebagai Divan-i Syams-i Tabriz
(Ode mistik Syams Tabriz), Karya prosa yang berjudul Fihi Ma Fihi,
yang telah diterjemahkan menjadi Discourse of Rumi atau “percakapan
Rumi”, Ruba’iyat, yang berisi 1600 kuatern orisinal dan al-Maktubat,
Manaqib al-‘Arifin (legends of sufis).
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Jaiz Hartono.2006. Tarekat Tasawuf Tahlilan dan Maulidan.
Wacana Ilmiah Press: Solo.
Ahmad Najib
Burhani (Ed). 2002. Manusia Modern Mendamba Allah; Renungan Tasawuf
Positif, Jakarta: IIMAN dan Hikmah
Amin Banani,
dkk. 2001. Kidung Rumi; Puisi dan Mistisisme dalam Islam, terj. Joko S.
Kahhan. Surabaya: Risalah Gusti
Annemarie
Schimmel. 2002. Dunia Rumi; Hidup dan
Karya Penyair Besar Sufi, terj. Saut Pasaribu, Yogyakarta: Pustaka Sufi
Idries Shah.
2002. Butiran Mutiara Hikmah; Kumpulan Kisah Sufi, terj. Ilyas Hasan.
Jakarta: Lentera
Mulyadhi
Kartanegar. 2004. Jalal Al-Din Rumi
Guru Sufi dan Penyair Agung, terj. Ilham B. Saenong, Jakarta:Teraju
Seyyed Hossein
Nasr (ed). 2003. Ensiklopedi Tematis
Spiritualitas Islam Manifestasi, terj. Tim. Penerjemah Mizan. Bandung:
Mizan
Sri Mulyati. 2004. Mengenal
& memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia. Cet. I; Jakarta: Kencana
Will Johnson.
2003. Menatap Sang Kekasih Rumi, terj. Dini Dwi Utari. Serambi, Jakarta
William C.
Chittik. 2001. Jalan Cinta Sang Sufi; Ajaran-Ajaran Spiritual Jalaluddin
Rumi, terj. M. Sadat Ismail dan Achmad Nidjam. Yogyakarta: Qalam
www. majalah.tempointeraktif.com
[1] Siapakah
sesungguhnya manusia yang telah menegakan pilar di tengah khazanah pemikiran
Islam yang saling silang sengketa paham? Dialah penyair mistik sepanjang masa
" Jalaluddin ar-Rumi". Richard A. Nicholson
[2] William
Chittick, The Sufi Doctrine of Rumi: An
Introduction, (Teheran : Aryamehr University Press, 1974), h. 10. Lihat
juga Sayyid Hossein Nasr yang menyatakan bahwa Tarekat Maulawiyah memainkan
peranan besar dalam sejarah kekaisaran Utsmaniyyah secara spiritual, kultural,
dan politik. Islamic Spirituality:
Manifestations. terj. Tim Penerj. Mizan, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam, (Cet. I Bandung : Mizan,
2003), h. 151-152.
[3]Ahmad Jaiz Hatono, Tarekat
Tasawuf Tahlilan dan Maulidan. (Cet. I; Solo : Wacana Ilmiah Press, 2006),
h. 24
[4] Will Johnson, Menatap Sang Kekasih Rumi, terj. Dini Dwi
Utari, (Serambi, Jakarta, 2003), h. 28
[5]Mulyadhi Kartanegara, Jalal Al-Din Rumi Guru Sufi dan Penyair
Agung, terj. Ilham B. Saenong, (Jakarta:Teraju, 2004), h. 8
[7]Annemarie Schimmel, Dunia Rumi; Hidup dan Karya Penyair Besar
Sufi, terj. Saut Pasaribu, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002), h. 15
[8] Fariduddin
Attar adalah seseorang yang bertemu dengan rombongan Bahauddin sewaktu
perjalanan ibadah haji ketika mereka singgah di kota Nishapur. Attar juga
menghadiahkan kepada Bahauddin salinan karryanya, Asrar Namah, yaitu
buku tentang misteri-misteri Ketuhanan. Lihat Mulyadhi Kartanegara, Jalal
Al-Din Rumi Guru Sufi dan Penyair Agung, h. 2
[9]William C. Chittik, Jalan Cinta Sang Sufi; Ajaran-Ajaran
Spiritual Jalaluddin Rumi, terj. M. Sadat Ismail dan Achmad Nidjam,
(Yogyakarta: Qalam, 2001), h. 2
[10] Idries Shah, Butiran Mutiara Hikmah; Kumpulan Kisah Sufi,
terj. Ilyas Hasan, (Jakarta: Lentera, 2002),
h. 9
[13] Amin
Banani, dkk., Kidung Rumi; Puisi dan Mistisisme dalam Islam, terj. Joko
S. Kahhan, ( Surabaya: Risalah Gusti, 2001), h. 5-6
[15]Sri Mulyati, Mengenal & memahami Tarekat-Tarekat
Muktabarah di Indonesia. (Cet. I; Jakarta:
Kencana, 2004), h. 321.
[16]Ahmad Jaiz Hatono, Tarekat
Tasawuf Tahlilan dan Maulidan. (Cet. I; Solo : Wacana Ilmiah Press, 2006),
h. 24
[18]
blogberita.net/2008/06/16/fanatiklah-pada-cinta-bukan-agama, diakses pada tanggal 9 November 2017
[25] Ibid
[26] Muhammad Iqbal, The Development of Metaphysic in Persia, (London: Luzac & Co.
Ltd., 1908), h. 113. Dikutip pada laman www.islamic-mysticis.indonesia.wordpress pada tanggal 09 November 2017
[27] Mulyadi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam; Menembus Batas Waktu, (Cet. II; Bandung :
Mizan, 2005), h. 26
[30]
Mulyadi Kartanegara, Panorama Filsafat Islam; Menembus Batas Waktu, h. 28
[31] Seyyed Hossein
Nasr.,Editor, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi, terj.
Tim. Penerjemah Mizan, (Bandung: Mizan, 2003), h. 166
[35] Ahmad Najib Burhani, (Editor), Manusia Modern Mendamba Allah;
Renungan Tasawuf Positif, (Jakarta: IIMAN dan Hikmah, 2002), h. 37
Tidak ada komentar:
Posting Komentar