Sabtu, 05 Desember 2015

Ketika Agama Menjadi Legitimasi Politik



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Agama untuk membius masyarakat, sebuah peryataan yang mungkin asing ditelinga kita, tapi ini sebuah fenomena nyata yang dimana agama dijaadikan instrumen oleh para penguasa untuk menindas rakyat atau pun melangengkan kekuasaanya.  Semasa orde baru fenomena serupa juga muncul, anehnya lagi banyak mereka yang disebut ulama tanpa sadar dan tanpa penolakan telah dijadikan tameng oleh penguasa untuk menjinakan umat islam agar tetap tenag sekalipun berbagai tindakan kemungkaran telah terjadi.
Pertautan antar agama dengan Negara (kekuasaan) menjadi penting, masalah ini terkait erat dengan enclave yang sebenarnya berbeda tapi disatukan, diakomodasikan secara simultan. Agama yang secara doktrinal-dogmatis memiliki otoritas pembenar  akan ajaranya karena bersumber dari otoritas wahyu sering kali terseret pada persoalan kekuasaan politik, ekonomi, dan budaya. Sementara Negara yang secara doctrinal (dogmatis-politis) memiliki otoritas untuk melakukn pembenaran terhadap kebijakan yang diambilnya, berlaku “tidak adil” pada masyarakat. Hal tersebut terjadi karena Negara mengangap  bahwa kekuasaan atas kebijakan atau keputusanya perlu diakui dan dijalankan oleh rakyat. Secara politis (kekuasaan), penguasa Negara akan mendapat pengakuan secara wajar apabila penguasa memang memiliki “moral” yang dapat dipertanggung jawabkan pantas dihormati, dn ditaati. Tetapi bila kekuasannya tidak lagi dipercaya, diikuti, dan dilaksanakan oleh masyarakat, penguasa biasanya berusaha sekalipun kadang dengan memaksa kehendak mencari pembenaran atas kebijakan yang diputuskan untuk dapat dipercaya kembali.[1]

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian agama dan fungsinya bagi manusia dan masyarakat?
2.      Apa yang dimaksud dengan legitimasi?
3.      Bagaimana ketika agama digunakan sebagai legitimasi politik penguasa?

C.     Tujuan Penulisan
1.      Menjelaskan pengertian agama dan fungsinya bagi manusia dan masyarakat
2.      Memaparkan dan menjelaskan pengertian legitimasi
3.      Menjelaskan dan memaparkan pengaruh agama sebagai legitimasi politik
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Agama
Secara etimologi agama berasal dari Sansekerta “agama” yang berarti sebagai tradisi dalam bahasa indonesianya berarti “tidak kacau”, dengan kata lain terdapat ketentraman dalam berfikir sesuai dengan pengetahuan dan kepercayaan yang mendasari kelakuan”tidak kacau”itu.[2] Pengetahuan dan kepercayaan tersebut menyangkut hal-hal keilahian dan kekudusan.
Kata agama disini konotasinya lebih dekat kepada agama Hindu dan Budha. Akan tetapi setelah digunakan dalam bahasa Indonesia pengertiannya mencakup semua agama. Dalam bahasa inggris disebut religion atau religi,berasal dari bahasa latin religio atau relegere yang berarti “mengumpulkan”atau “membaca”[3]. Dalam hal ini,religion hanya menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan dan tidak berhubungan dengan seluruh aspek kehidupan manusia.[4]
Dalam Kamus Ilmiah Popular kata Agama berarti keyakinan dan kepercayaan kepada Tuhan.Sedangkan dalam Bahasa Arab disebut Din (دين) yang artinya ajaran atau kepercayaan yang mempercayai satu atau beberapa kekuatan ghaib yang mengatur dan menguasai alam,manusia dan jalan hidupnya.[5] Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia serta lingkungannya.
Sedangkan ditinjau dari segi sosiologi, agama diartikan sebagai jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan nonempiris yang dipecayainya dan didayagunakan untuk keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas pada umumnya.[6]
Dari definisi diatas yang dimana agama ditinjau dari segi sosiologi dapat dijelaskan secara singkat dibawah ini.[7]
Ø   Agama disebut jenis sistem sosial. Ini hendak menjelaskan bahwa agama adalah suatu fenomena sosial, suatu peristiwa kemasyarakatan suatu sistem sosial dapat dianalisis, karena terdiri dari atas suatu kompleks kaidah dan peraturan yang dibuat saling berkaitan dan terarahkan kepada tujuan tertentu.
Ø  Agama berporos pada kekuatan-kekuatan nonempiris, ungkapan ini mau mengatakan bahwa agama itu khas berurusan dengan kekuatan-kekuatn dari “dunia luar” yang di-“huni” oleh kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi dari pada kekuatan –kekuatan yang lebih tinggi dari pada kekuatan maanusia dan yang dipercayai sebagai arwah, roh-roh dan roh tertinggi.
Ø   Manusia mendayagunakan kekuatan diatas untuk kepentingan sendiri dan masyarakat sekitarnya. Yang dimaksud dengan kepentingan (keselamatan) ialah keselamatan didalam dunia sekarang ini dan keselamatan di “dunia lain” yang dimasuki manusia sesudah kematian.

B.     Fungsi Agama Bagi Manusia dan Masyarakat

Pemahaman mengenai fungsi agama tidak dapat dilepas dari tantangan-tangan  yang dihadapi yang dihadapi manusia dan masyarakat. Untuk mengatasi itu semua manusia lari kepada agama, karena manusia percaya dengan keyakinan yang kuat bahwa agama memiliki kesanggupan yang definitive dalam menolong manusia. Adapun fungsi agama sebagai berikut:[8]
1.      Fungsi edukatif
        Manusia mempercayakan fungsi edukatif kepada agama yang mencakup tugas mengajar dan tugas bimbingan. Lain dari instasi (institusi profane) agama diangap sanggup memberikan pengajaran dan otoritatif, bahkan dalam hal-hal yang “sakral” tidak dapat salah. Agama menyampaikan ajarannya dengan perantara petugas-petugasnya baik didalam upacara keagamaan, khotbah renungan  (meditasi), pendalaman rohani dll. Maupun diluar perayaan liturgis. Untuk melakukan tugas itu ditunjuk sebuah fungsionaris seperti: syaman, dukun, kyai, pendadan, pendeta, iman, nabi. Mengenai disebut nabi ini dipercayai bahwa penunjukan dilakukan oleh tuhan sendiri. Kebenaran ajaran mereka yang harus diterima dan yang tak dapat keliru., didasari ata kepercayaan penganut-penganutnya, bahwa mereka dapat berhubungan langsung dengan “yang gaib” dan “yang sakral” dan mendapat ilham khusus darinya.
Tugas bimbingan yang diberikan petugas agama juga dibenarkan dan diterima berdasarkan pertimbaangan yang sama. Pengalaman dari masa ke masa mengukuhkan dan membenarkan apa yang dikatakan diatas. Masyarakat mempercayakan angota-angotanya kepada instansi agama dengan keyakinan bahwa mereka sbagai manusia (dibawah bimbingan agama) akan berhasil menapai kedewasaan pribadinya yang penuh melalui proses hidup yang telah ditentukan oleh hukum pertumbuhan yang penuh ancaman dari situasi yang tidk menentu dan mara bahaya yang dapat mengagalkannya melalui dari masa kelahiran dan kanak-kanak menuju kemasa remaja dan masa dewasanya.
2.      Fungsi penyelamatan
        Tanpa atau dengan penelitian ilmiah, cukup berdasakan pengalaman sehari-hari, dapat dipastikan bahwa setiap manusia menginginkan keselamatanna baik dalam hidup sekarang ini mupun sesudah mati, usaha untuk mencapai cita-cita tertinggi (yang tumbuh dari naluri manusia sendiri) tidak boleh dipandang ringan begitu saja. Jaminan untuk itu mereka temukan dalam agama. Terutama agama mengajarkan dan memberika jaminan dengan cara-cara yang yang khas untuk mencapai kebahagiaan yang “terahir” yang pencapaiannya mengatasi kemampuan manusia secara mutlak, karena kebahagiaan itu diluar batas kekuatan manusia (breaking points). Orang berpendapat bahwa hanya manusia agama (home religiosus) dapat mencapai titik itu, entah itu manusia yang hidup dalam masyarakat primitive, entah dalam masyarakat modern.
3.      Fungsi pengawasan sosial (social control)
        Pada umumnya manusia, pada zaman bahari entah dari zaman modern, mempuyai keyakinan yang sama, bahwa kesejahteraan kelompok sosial khususnya dan masyarakat besar umumny tidak dapat dipisahkan dari kesetiaan kelompok atau masyarakat itu kepada kaidah-kaidah susila dan hukum-hukum rasional yang telah ada pada kelompok atau masyarakat itu. Disadri pula (terkecuali kaum anarkis) bahwa penyelewengan terhadap norma-norma susila dan peraturan yang berlaku mendatangkan mala petaka dan kesusahan dan pada waktunya melemahkan fungsi masyarakat. Kenakalan remaja, pembunuhan dari kualitas yang biasa hingga yang sadis, peperagan antar bangsabdengan  alat-alat penghancur  yang mengerikan adalah beberapa contoh yang membenarkan peryataan diatas. Maslahnya menjadi lebih sulit apabila pelangaran kaidah moral itu dilakuakan oleh oknum atau instansi pemerintah yang sah. Misalnya tindakan melanggar keadilan dan hak-hak azasi manusia, dalam bentuk penindasan si lemah (baik dalam hal pengetahuan maupun kekayaan, penahanan warga yang Negara yang salah kelewat batas, dlsb.
        Oleh karena itu agama merasa ikut bertanggung jawab atas adanya norma-norma susila yang baik yang diberlakukan atas masyarakat manusia umumnya. Maka agama menyeleksi kaidah-kaidah yang ada dan mengukuhkan yang bik dengan kaidah yag baik dan menolak kaidah yag buruk untuk ditingalkan sebagai larangan atau tabu. Agama memberi juga sangsi-sangsi yang harus dijatuhkan kepada orang yang melanggarnya dan mengadakan pengawasan yang ketat atas pelaksanaanya.


C.     Legitimasi Politik
Kata legitimasi menurut kamus ilmiah mempuyai arti pembenaran/pengakuaan menurut hukum (atau perundang-undangan yang berlaku); hak kekuasaan; bukti sah jati diri seseorag.[9] Sedangkan menurut Bellah dalam buku “agama rakyat agama penguasa” menyatakan bahwa legitimasi yakni sebagai suatu pengetahuan yang diobyektifasikan secara sosial sehingga memungkinkan untuk menjelaskan dan menjustifikasi tertib sosial yang ada, kemudian legitimasi (kekuasan dan otoritas politik) dikaitkan dengan agama. Asumsi yang dipakai adalah bahwa meski agama bukan satu-satunya sumber legitimasi, namun dalam sejarah ia merupakan instrument legitimasi yang efektif dan menyebar.[10] Oleh karena itu yang perlu diwaspadai kemudian adalah ketika agama itu hanya sekedar dijadikan instrument legitimasi yang tidak menggambarkan realitas dan kemaslahatan rakyat.

D.    Agama dan Legitimasi Politik

Menarik untuk dikaji bersama ketika sebuah agama dijadikan instrument legitimasi penguasa, terlebih agama mayoritas. Asumsi yang mendasarinya adalah bahwa agama mayoritas secara defacto dapat memberikan dukungan atas apa yang dipaksakan pada seluruh masyarakak. Hal semacam ini akan terjadi ketika penguasa telah kehilangan kepercayaan diri terhadap apa yang menjadi pijaan, sementara masyarakat menghedaki perubahan sebuah tatanan yang lebih baik. Kecenderungan agama mayoritas dimanfaatkan oleh penguasa politik karena dilihat masih memiliki potensi sebagai alat justifikasi. Sehingga terdapat kekhawatiran dipihak penguasa politik ketika masyarakat sudah tidak percaya terhadap kebijakan politiknya.[11]
Bila kita menoleh kebelakang melihat sejarah, semisal kesultanan pesisir jawa seperti yang diperlihatkan Amangkurat I, guna membunuh “daya kritik” masyarakat berbasis religio politik santri di bawah penguasa nya, beliau menempuh cara-cara kultural. Penundukan atas kesultanan Jawa pesisir dengan pemakaian simbol-simbol tradisional jawa lainya, adalah bukti penundukan mereka secara kultural. Pemakaian simbol-simbol agama, sebagai sayidin panata gama kalifatullah, menyertai simbol-simbol tradisional jawa lainya, adalah bukti penundukan merek secara kultural. Pemakaian simbol-simbol agama tersebut tidak berkaitan dengan upaya “pencerahan” bagi entitas rakyatnya yang distruktur oleh norma, nilai dan ajaran islam. Kesan penundukan itu semakin kentara, setelah “pangeran-pangeran” dari pendalaman jawa itu bersikap sensitif terhadap para pendakwa agama yang mengorbarkan sikap kritis dalam memberi makna terhadap kekuasaan. Sikap kritis itu yang ternyata dihadapi dan diselesaikan dengan jalan yang lumayan keras. Pembunuhan terhadap para pendakwah agama pun tak terelakkan, demi kelanggengan kuasa wibawa mereka.[12]
Waba’du, agama tetap muncul dalam ranah-ranah simbolik seperti yang didefinisikan “sang pangeran”, namun agama disitu telah kehilangan daya kritis dan kemampuannya dalam ispirasi dan jalan keluar menghadapi berbagai penyimpangan dan praktek ketidak adila. Para pangeran itu lalu degan gampang mengundang dan membawa para pendakwa ke “istana” nya. Pendakwah yang mengkonstruksi agama tanpa daya kritis itu pun suka dengan undangan itu. Setiba di “istana” tentu dengan berbagai bentuk halaqah atau forum, apakah takbir akbar, pengajian akbar dan semisal lainya, mereka membacakan dalil-dalil yang diambil dari sumber imperative agamanya, lalu berkhotbah, berfatwa tentang segi-segi baik sambil mnyembunyikan sisa-sisa gelap dari langkag “sang pangeran”. Dari kunjungan di istana itu tak jarang ditutup dengan doa pengharapan demi tegaknya kuasa wibawa “sang pangeran”.[13]
Atas dasar kisah-kisah semacam itulah maka Robert Ackermann (1991) berkesimpulan bahwa jika agama kehilangan daya kritisnya, pada hakikatnya agama itu telah mati.[14] Karena kisah-kisah semacam itulah pula makan Karl Marx (1818) bersikap pesimistik terhadap agama. Agama dimata ilmuwan radikal asal trier jerman itu kehilangan daya kritisnya, Karena dikonstrusi menjadi bagian dari superstruktur masyarakat. Sebagai superstruktur, ia otonom, dengan menturutkan rasionalitas dan kepentingannya sendir, dan biasnya tunduk kepada kemauan pemilik  kuasa wibawa, siapapun dia, apa pun namanya, klas feudal atau borjuasi. Dalam kontek ini agama lalu digunakan sbagai sumber pembenaran tindakan, yang tidak selalu berkaitan dengan upaya-upaya fungsionlal meraih cita-cita bersama serta pemecahan masalah-masalah kemasyarakatan dan kemanusiaan yang ada.[15]
Begitulah para pemegang kuasa wibawa itu, di mata marx agama digunakan untuk membius masyarakat sehingga masyarakat tak sadarkan diri bahwa kenyataan struktur telah membelenggu, mengendala, dan mengeksploitasi dirinya.[16] Sehingga wajar kalau Karl Marx berujar agama adalah candu Rakyat. Sehingga rakyat hanya dibawa dalan angan-angan dan cita-cita belaka.
Pada ahirnya agama hanya dihadirkan sebagai legitimasi dan justifikasi kepentingan elit penguasa yang sedng memainkan suatu orde politik. Agama-agama dihadirkan sebagai “kendaraan” aktor penguasa dan fungsi agama sebagai sosial kontrol tak berlaku karena daya kritisnya telah hilang. Sedikitnya, telah ditemukan beberapa tipologi model konstitusional yang dapat dipertimbangkan sebagai suatu pilihan yaitu. [17]
1.      Teokrasi, yaitu suatu negara di mana kebijakan publik sepenuhnya ditentukan oleh denominasi agama tertentu.
2.      Negara sebagian agama, sebagian sekuler. Model ini menyediakan power sharing antara negara dan denominasi agama tertentu, tetapi kebijakan publik tetap didominasi tafsir-tafsir keagamaan dan pandangan moral agama tertentu.
3.      Negara sekuler dengan interaksi antara negara dan organisasi-organisasi keagamaan di mana agama tetap didorong memainkan peran penting dalam mempengaruhi kebijakan publik.
4.      Negara sekuler, di mana organisasi-organisasi keagamaan ditolerir sepanjang berada dalam ruang privat, tetapi tidak ada aktivitas bersama negara. Dengan kata lain, pandangan keagamaan tidak mendapat perhatian dalam perumusan kebijakan publik.
5.      Negara sekuler dan ateistik di mana agama ditindas dan diberangus.
Tampaknya opsi ketiga lebih mendekati cetak-biru the founding fathers negeri kita untuk apa yang disebut "bina bangsa" dan "bina negara". Di Indonesia, seluruh organisasi keagamaan bukan saja memiliki pengakuan konstitusional ruang otonominya, tetapi juga dapat berkolaborasi dengan negara dalam tugas-tugas yang menjadi perhatian bersama.[18]
Tentu saja opsi ketiga itu bukan tanpa risiko. Bahaya paling krusial yang bisa muncul dari opsi ketiga adalah legitimasi keagamaan. Biasanya legitimasi keagamaan muncul manakala agama diberi ruang sedemikian luas hingga mengurusi hal-hal di luar dirinya. Dan, yang paling dekat dari dirinya adalah kekuasaan. Di sini agama bisa tampil untuk menjustifikasi atau mendelegitimasi kekuasaan dengan teks-teks keagamaan.[19]



Hal itu sangat berbahaya karena bukan hanya memperkosa teks keagamaan untuk kepentingan politik sesaat, tetapi juga mengingkari semangat profetik agama-agama. Orang atau kelompok bisa melakukan apa saja atas nama agama, dan karena agama, orang atau kelompok, atau bahkan negara, saling menghancurkan.[20]
Oleh karena itu, opsi ketiga meniscayakan adanya gerakan lintas-agama (inter-religious movement) yang mengemban misi keadilan dan persamaan antarsesama manusia, makhluk Sang Maha Pencipta. Para pemimpin agama berkewajiban menjaga peran historis mereka sebagai kesadaran moral masyarakat dan mengangkat suara protes terhadap pelanggaran martabat manusia. Hal itu hanya dapat dicapai bila organisasi-organisasi keagamaan menjaga integritas moral dan spiritualnya bukan dengan mengalah kepada tekanan dan godaan partai politik tertentu, tetapi bersikap positif netral vis-a-vis semua partai politik. Agama memang perlu mengambil jarak dari politik agar dapat memberikan sinar pencerahan profetiknya. Sungguh kita perlu menyepakati, tidak ada gerakan keagamaan yang akan diterima sebagai suatu gerakan politik. Sebab, jika tidak, para politisi akan berlindung di balik agama dan memangsa kehidupan masyarakat, sebagaimana telah mereka lakukan. Sejak dahulu, para manipulator telah menggunakan agama untuk memperbudak manusia.[21]















BAB III
KESIMPULAN
            Ketika agama menjadi pembenaran didalam politik maka akan banyak dampak yang ditimbulkan. Dampak ini mencakup hal yang bernilai positif maupun negative. Agama menjadi bagian penting bagi tujuan politis yang dilakukan oleh sebagian besar wakil rakyat untuk melanggengkan langkah kaki mereka di kursi pemerintahan. Durkheim sendiri menyatakan bahwasannya tidak ada masyarakat yang tidak beragama, hal ini menunjukan bagaimana agama menjadi suatu hal mayoritas yang ada didalam masyarakat. Masyarakat akan tertarik jika para politisnya bersikap religious dihadapan mereka. Citra ini menjadikan agama dipakai oleh para politis sebagai topeng kebenaran atau kebusukan sikap mereka.
























DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin, Studi Agama, pustaka pelajar, Yogyakarta, 1997
Ahmad Gaus S, Melintasi Batas Agama, Gramedia, Jaakarta, 1998
Azzumardi Azra, Agama Dalam Intrepretasi Sosiologi, Rajawali press, 1996
Fachry Ali, Golongan Agama dan Etika Kekuasaan, risalah gusti, Surabaya,1996
Hendropuspito, sosiologi agama,gunung mulia: Yogyakarta, 1983
Muhaimin dkk, Kawasan dan Study Islam, kencana, Jakarta, 2005
Pius Abdillah P, Kamus Ilmiah, arkola, Surabaya, 2005
Zainudin Maliki, agama rakyat agama penguasa, galang press, Yogyakarta, 2000
Zuly Qodir, Agama Dalam Bayang-Bayang Kekuasaan, pustaka pelajar, Yogyakarta, 2001
Mun'im A Sirry, Peneliti pada Yayasan Paramadina Jakarta, alumnus International Islamic University Pakistan diakses pada laman kompas.com “ agama dan legitimasi politik. Html”
                



[1] Zuly Qodir, Agama Dalam Bayang-Bayang Kekuasaan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hal. 123
[2] Ishomuddin,Pengantar Sosiologi Agama (Jakarta:Penerbit Ghalia Indonesia-UMM Press,2002) hlm 72
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Tim Gama Press,Kamus Ilmiaah Populer( Jakarta:Penerbit Gama Press,2010) hlm 34
[6] Zulfi Mubaraq,Sosiologi agama (Malang:Uin-Maliki Press ,2010), hlm 87
[7] Hendropuspito, Sosiologi Agama,Penerbit Gunung Mulia, Yogyakarta, 1983, hal. 34
[8] Ibid hal 38-45
[9] Pius Abdillah P, Kamus Ilmiah, Arkola, Surabaya, 2005, hal. 330
[10] Zainudin Maliki, Agama Rakyat Agama Penguasa, Galang press, Yogyakarta, 2000, hal. 97
[11] Zuly qodir. Loc.Cit, hal. 126
[12] Fachry Ali,Golongan Agama dan Etika Kekuasaan,Risalah Gusti, Surabaya,1996, hal . 73
[13] Ibid
[14] Abdullah, M. Amin, Studi Agama, pustaka pelajar, Yogyakarta, 1997, hal, 25 
[15] Azzumardi Azra, Agama Dalam Intrepretasi Sosiologi, Rajawali press, 1996, hal. 35
[16] Ahmad Gaus, Melintasi Batas Agama, Gramedia, Jakarta, 1998 hal 18
[17] Mun'im A Sirry, Peneliti pada Yayasan Paramadina Jakarta, alumnus International Islamic University Pakistan diakses pada laman kompas.com “ agama dan legitimasi politik. Html”
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Ibid
[21] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diabolisme Salman Rushdie dan Ahok

ANTARA SALMAN RUSHDIE DAN AHOK Oleh: Dr. Adian Husaini Tahun 1988, dunia Islam digegerkan oleh seorang bernama Salman Rushdie. Kisahnya ...