The Path
Follow of Islamic Mysticism (Thariqah) in Al-Qur’an and Sunnah
Debri Koeswoyo
Jurusan
Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin
Universitas
Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
E-mail:debrikoeswoyo46@gmail.com
Abstract
The dimensions of exorcism (the outer dimension, the Shari'a) and the dimensions of esoterism (inner dimension, Islamic Mysticism) are two understandings that often cause debate and discrepancy within Muslim circles. For people who give priority to the Shari'a, then they assume that the dimension of esoterism becomes an unimportant and even sometimes they believe as part of the teachings that come out of Islam. As for those who believe in the dimension of esoterism, they assume that the practice of practicing Islam without being accompanied by inner practice is a dry religious practice. Indeed the dimensions of exorcism and esoterism cannot be separated. Both are integral parts of Islamic teachings. The world of Sufism has grown so widely and has been inherited by Sufi figures since the death of Prophet Muhammad SAW. Speaking of Sufism which is part of the dimension of esoterism in the teachings of Islam, cannot be separated from the tarekat (thariqah). Purification of the path of the tarekat (thariqah) is essentially perfecting the basis of servant servant servantship to God to make the opening of the doors of the insane heart to the ocean of love to God alone. Speaking of tarekat (thariqah), the question arises whether it exists in the teachings of Islam. In the teachings of Sufism explained that the Shari'a only talks about the harmony and the condition of a worship, while the tarekat (thariqah) be the way someone to get closer to God. If one is able to harmonize between the Shari'a and the tarekat (thariqah), then he will lead to the most perfect nature of worship. In this paper, the authors will unfold and express the meaning of the tarekat (thariqah) in the Qur'an and sunnah so that there will be no attraction to the understanding whether the tarekat (thariqah) is part of Islamic teachings or vice versa, the tarekat (thariqah) becomes a false teaching.
The dimensions of exorcism (the outer dimension, the Shari'a) and the dimensions of esoterism (inner dimension, Islamic Mysticism) are two understandings that often cause debate and discrepancy within Muslim circles. For people who give priority to the Shari'a, then they assume that the dimension of esoterism becomes an unimportant and even sometimes they believe as part of the teachings that come out of Islam. As for those who believe in the dimension of esoterism, they assume that the practice of practicing Islam without being accompanied by inner practice is a dry religious practice. Indeed the dimensions of exorcism and esoterism cannot be separated. Both are integral parts of Islamic teachings. The world of Sufism has grown so widely and has been inherited by Sufi figures since the death of Prophet Muhammad SAW. Speaking of Sufism which is part of the dimension of esoterism in the teachings of Islam, cannot be separated from the tarekat (thariqah). Purification of the path of the tarekat (thariqah) is essentially perfecting the basis of servant servant servantship to God to make the opening of the doors of the insane heart to the ocean of love to God alone. Speaking of tarekat (thariqah), the question arises whether it exists in the teachings of Islam. In the teachings of Sufism explained that the Shari'a only talks about the harmony and the condition of a worship, while the tarekat (thariqah) be the way someone to get closer to God. If one is able to harmonize between the Shari'a and the tarekat (thariqah), then he will lead to the most perfect nature of worship. In this paper, the authors will unfold and express the meaning of the tarekat (thariqah) in the Qur'an and sunnah so that there will be no attraction to the understanding whether the tarekat (thariqah) is part of Islamic teachings or vice versa, the tarekat (thariqah) becomes a false teaching.
Keywords:
Tarekat (thariqah), al-Qur'an, Sunnah, Shari’a, exsoterism, esoterism
“The
tarekat is the first step of the great journey
that
separates the husband from his wife, the
parents of his son,
the
beloved of his beloved and the merchant of his wealth.
A
journey that leads to immortality; the pleasures of Heaven
or
the misery of Hell.”[1]
Debri
Koeswoyo
A.
PENDAHULUAN
Ilmu
tasawuf adalah satu satu cabang dan displin ilmu dalam Islam. Ia memiliki
banyak nama atau gelaran seperti ilmu hati (ilmu qalb atau wijdan),
ilmu batin, ilmu yang turun dari Allah (laduni), ilmu rahasia (asrar),
ilmu hakikat, ilmu rasa rohani (zauqi), ilmu ihsan, ilmu al-Tazkiyah,
al-Suluk, al-Kasyaf dan ilmu ikhlas. Doktrin ilmu tasawuf , tarekat,
prinsip dan pengamalannya telah ada sejak zaman Baginda Rasulullah s.a.w, para
sahabat, tabien dan salafus soleh, walaupun istilah tasawuf tersebut belum
dikenali dan digunakan secara khusus.
Ilmu tasawuf yang terkandung di
dalamnya tarekat, zikrullah, guru dan murid sering mendapat perhatian dari para
sarjana Islam untuk meneliti dan mengkaji kedudukan ilmu apakah sesuai dengan
ajaran Islam atau tidak. Hal ini telah menyebabkan perbedaan pandangan
dikalangan para ulama. Isu ketidaklurusan ajaran para guru tarekat dan zikir
yang diamalkan adalah antara puncak dari
ilmu tasawuf yang dipandang negatif dan ditolak oleh sebahagian ulama.
Bermula pada kurun 8 Hijriah seperti Ibnu Taimiyah (w.728H), Ibnu Qayyim
(w.751H), al-Khatib al-Sharbini (w.977H) yang menolak ajaran tarekat atau
tasawuf. Para ulama ini menentang ajaran tasawuf, karena mereka beranggapan
ajaran ini bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Namun, Pendapat mereka
telah ditentang oleh para ulama tasawuf dan tarekat yang menjelaskan tentang
dalil-dalil nagli yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah.
B.
DEFINISI TAREKAT (THARIQAH)
Kata tarekat (thariqah)[2]
berasal dari bahasa arab yang berarti al-khat fi al-syai’ (garis
sesuatu), al-sirah (jalan), al-sabil (jalan). Kata ini juga bermakna
al-hal (keadaan) seperti terdapat dalam kalimah huwa’ala thariqah
hasanah wathariyah sayyi’ah (berada dalam keadaan jalan yang baik
dan jalan yang buruk). Dalam literatur Barat, kata thariqah menjadi tarika
yang berarti road (jalan raya), way (cara, jalan) dan path
(jalan tapak).[3]
Pengertian
tarekat sebagaimana yang berkembang di kalangan ulama ahli tasawuf adalah
“jalan atau petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang
dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW. dan yang dicontohkan beliau serta
dikerjakan oleh para sahabatnya, tabiin, tabin t tabiin, dan secara turun
temurun sampai kepada guru-guru, ulama-ulama, secara bersambung dan berantai
hingga pada masa sekarang ini.”[4]
Maksud tarekat di sisi Sayyid al Syarif Ali ibn
Muhammad al Jurjani ialah jalan (kerohanian) yang dikhususkan bagi orang-orang
yang berjalan menuju kepada Allah dengan mengharungi belbagai rintangan dan
melalui peningkatan (rohani) di dalam berbagai maqam.[5]
Syeikh Abdul Samad al Palembangi menjelaskan “Dan
hasil dari perkataan Imam al
Ghazali r.a dalam kitabnya yang bertajuk
Jawahir al Quran bahawa ilmu tariqah dan suluk itu dinamakan ilmu tasawwuf.”[6]
Pada
mulanya, suatu thariqah hanya berupa jalan atau metode yang ditempuh
oleh seorang sufi secara induvidual. Kemudian para sufi mengajarkan
pengalamannya kepada murid-muridnya, baik secara induvidual maupun kolektif.
Dari sini terbentuklah suatu thariqah, dalam pengertian “jalan menuju
Tuhan di bawah bimbingan seoarang guru”. Setelah suatu thariqah memiliki
anggota yang cukup banyak maka, thariqah tersebut kemudian dilembagakan
dan menjadi sebuah organisasi thariqah. Pada tahap ini, thariqah
dimaknai sebagai “organisasi sejumlah orang yang berusaha mengikuti kehidupan
tasawuf”[7]
Thariqah
juga berarti jalan atau cara untuk mencapai tingkatan-tingkatan (maqamat)
dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Melalui cara ini seorang sufi dapat
mencapai tujuan peleburan diri dengan nyata (fana fi al-haq). Mengikuti
suatu Thariqah berarti melakukan olah batin, latihan-latihan (riyadah),
dan perjuangan yang sungguh-sungguh (mujahadah) di bidang kerohanian.
Mengikuti Thariqah juga berarti membersihkan diri dari sifat mengagumi diri
sendiri (ujub), sombong (takabur), ingin dipuji orang lain (riya’),
cinta dunia dan sejenisnya. Thariqah harus ikhlas, rendah hati (tawadu’),
berserah diri (tawakal) dan rela (ridha).[8]
Adapun tujuan mengamalkan Tarekat sebagaimana yang lazim
dikerjakan oleh para jemaahnya, ada beberapa hal. Di antaranya adalah: [9]
a. Mengadakan
latihan jiwa (riyadhah) dan berjuang melawan hawa nafsu (mujahadah),
membersihkan diri dari sifat tercela dan diisi sifat terpuji,
b. Selalu
mewujudkan rasa ingat kepada Allah melalui amalan wirid dan zikir diikuti
tafakur yang terus menerus dikerjakan,
c. Timbul rasa
takut kepada Allah sehingga menghindarkan diri dari segala macam pengaruh
duniawi yang menyebabkan lupa kepada Allah,
d. Akan dapat
mencapai tingkat alam makrifat, sehingga dapat mengetahui segala rahasia di
balik tabir cahaya Allah dan Rasul-Nya secara jelas, dapat diperoleh apa yang sebenarnya menjadi
tujuan hidup ini
C.
PEMBAGIAN TAREKAT (THARIQAH)
Pembagian
thariqah ada banyak sekali, ada
thariqah-thariqah yang merupakan induk, diciptakan oleh tokoh-tokoh tasawuf,
dan ada thariqah-thariqah yang merupakan perpecahan dari pada thariqah induk
yang dipengaruhi oleh syeikh-syeikh thariqah yang mengamalkan di belakangnya
atau oleh keadaan bangsa yang menganut thariqah-thariqah tersebut. Banyak di
antara perpecahan thariqah-thariqah diberi istilah-istilah yang sesuai dengan
tempat perkembangannya. thariqah naqsyabandiyah misalnya banyak ditulis dengan
bahasa dan memakai istilah bahasa Persia.[10]
Dilihat
dalam pemikiran Islam, ada thariqah yang dipandang sah (mu’tabarah) dan
ada pula thariqah yang dianggap tidak sah (ghairu mu’tabarah). Suatu
thariqah dikatakan sah jika memiliki mata rantai (silsilah) yang
mutawatir sehingga amalan dalam thariqah tersebut dapat dipertanggungjawabkan
secara syari’at. Sebaliknya, jika suatu thariqah tidak memiliki mata rantai
(silsilah) yang mutawatir sehingga ajaran thariqah tersebut tidak dapat
dipertanggung jawabkan secara syari’at maka ia dianggap tidak memiliki dasar
keabsahan dan oleh karenanya disebut thariqah yang tidak sah.[11]
Secara umum
thariqah terbagi atas 2(dua) macam
:[12]
1. Thariqah
‘Aam: adalah melaksanakan hukum Islam
sebagaimana masyarakat pada umumnya, yaitu melaksanakan semua perintah,
menjauhisemua larangan agama Islam dan anjuran anjuran sunnah serta berbagai
ketentuan hukum lainnya sebatas pengetahuan dan kemampuannya tanpa ada
bimbingan khusus dari guru / mursyid / muqaddam.
2. Thariqah
Khas: Yaitu melaksanakan hukum Syariat
Islam melalui bimbingan lahir dan batin dari seorang guru / Syeikh / Mursyid /
Muqaddam. Bimbingan lahir dengan menjelaskan secara intensif tentang
hukum-hukum Islam dan cara pelaksanaan yang benar. Sedangkan bimbingan batin
adalah tarbiyah rohani dari sang guru / Syeikh / Mursyid / Muqaddam dengan izin
bai’at khusus yang sanadnya sambung sampai pada Baginda Nabi, Rasulullah Saw.
Thariqah Khas ini lebih dikenal dengan nama Thariqah as Sufiyah / Thariqah al
Auliya’. Thariqah Sufiyah yang mempunyai izin dan sanad langsung dan sampai
pada Rasulullah itu berjumlah 360 Thariqah.
Thariqah yang dianggap mu’tabar
berdasarkan keputusan musyawarah yang disampaikan oleh KH. Muslich dihadapan
sidang pleno pengurus besar Syuriah pada mu’tamar NU ke XXVI di Semarang,
kemudian disyahkan dan dinyatakan berdirinya jam’iyyah ahl al-Thariqah
al-Mu’tabarah al- Nahdliyyah. Jam’iyyah ini menentukan daftar 45 Thariqah
yang dianggap mu’tabar yaitu : Rumiyah, Rifa’iyah, Sa’diyah, Ba’riyah,
Justiyah, Umariyah, Alawiyah, Abasiiyah, Zainiyah, Dasuqiyah, Akbariyah,
Bayumiyah, Malamiyah, Ghaiyah, Tijaniyah, Uwaisiyah, Idrisiyah, Samaniyah,
Buhuriyah, Usyaqiyah, Kubrowiyah, Maulawiyah, Jalwatiyah, Baerumiyah,
Ghazaliyah, Hamzawiyah, Hadadiyah, Mabuliyah, Sumbuliyah, Idrusiyah, Usmaniyah,
Syadziliyah, Sya’baniyah, Khalsyaniyah, Qadiriyah, Syatariyah, Khalwatiyah,
Bakdasiyah, Syuhriyah, Ahmadiyah, ‘Isawiyah, Thuruqil Akbaril Auliya, Qadiriyah
wa Naqsyabandiyah, Khalidiyah wa Naqsyabandiyah, Ahli Mulazamatil Qur’an wa
Sunnah wa Dalili Khairati Wata’limi Fathil Qaribi, Au Kifayati Awam.[13]
D. TAREKAT
(THARIQAH) DALAM AL-QUR’AN DAN HADITS
Kata tarekat (Thariqah)
disebutkan sebanyak 9 kali dalam 5 surat didalam Al-Qur’an.[14]
إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ
وَظَلَمُواْ لَمۡ يَكُنِ ٱللَّهُ لِيَغۡفِرَ لَهُمۡ وَلَا لِيَهۡدِيَهُمۡ طَرِيقًا ١٦٨
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan
kezaliman, Allah sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa) mereka dan tidak
(pula) akan menunjukkan jalan kepada mereka” ( Q.S. An-Nisa 4: 168)
Kata
“thariqon” dalam surat An-Nisaa’ ayat 168 dijelaskan oleh Imam
As-Suyuthi sebagai “satu jalan dari jalan-jalan menuju jahannam”.[15]
إِلَّا طَرِيقَ جَهَنَّمَ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدٗاۚ وَكَانَ
ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٗا ١٦٩
Artinya: “Kecuali jalan ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” ( Q.S. An-Nisa 4: 169)
Kata
“thariqo jahannam” dalam Surat An-Nisaa’ ayat 169 artinya ialah “jalan
yang menyampaikan orang menuju jahannam”.[16]
قَالُوٓاْ إِنۡ هَٰذَٰنِ
لَسَٰحِرَٰنِ يُرِيدَانِ أَن يُخۡرِجَاكُم مِّنۡ أَرۡضِكُم بِسِحۡرِهِمَا
وَيَذۡهَبَا بِطَرِيقَتِكُمُ ٱلۡمُثۡلَىٰ ٦٣
Artinya: “Mereka berkata: "Sesungguhnya dua orang ini adalah
benar-benar ahli sihir yang hendak mengusir kamu dari negeri kamu dengan
sihirnya dan hendak melenyapkan kedudukan kamu yang utama” (Q.S Toha 20:
63)
Kata
“thoriqoh” dalam Surat Toha ayat 63 dalam tafsiran Departemen Agama
Republik Indonesia dijelaskan sebagai “keyakinan (agama)”.[17]
Sedangkan, menurut Mahmud Al-Zamakhsyariy kata “thoriqoh” pada ayat ini
menunjuk kepada “Bani Israil”.[18]
وَلَقَدۡ أَوۡحَيۡنَآ
إِلَىٰ مُوسَىٰٓ أَنۡ أَسۡرِ بِعِبَادِي فَٱضۡرِبۡ لَهُمۡ طَرِيقٗا فِي ٱلۡبَحۡرِ يَبَسٗا لَّا تَخَٰفُ دَرَكٗا وَلَا تَخۡشَىٰ
٧٧
Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa:
"Pergilah kamu dengan hamba-hamba-Ku (Bani Israil) di malam hari, maka
buatlah untuk mereka jalan yang kering dilaut itu, kamu tak usah khawatir akan
tersusul dan tidak usah takut (akan tenggelam)" (Q.S Toha 20: 77)
Menurut
Imam
As-Suyuthi kata “thariqon” dalam ayat ini berarti “Allah mengeringkan
bumi sebagai jalan bagi Musa dan kaumnya.”[19]
نَّحۡنُ أَعۡلَمُ بِمَا
يَقُولُونَ إِذۡ يَقُولُ أَمۡثَلُهُمۡ طَرِيقَةً
إِن لَّبِثۡتُمۡ إِلَّا يَوۡمٗا ١٠٤
Artinya: “Kami lebih mengetahui apa yang mereka katakan, ketika
berkata orang yang paling lurus jalannya di antara mereka: "Kamu tidak
berdiam (di dunia), melainkan hanyalah sehari saja" (Q.S Toha 20: 104)
Kata “thariqoh” dalam Surat
Toha ayat 104 artinya ialah “jalan”.[20]
Ada pula ahli tafsir yang mengatakan “jalan yang lurus” di sini ialah orang
yang agak lurus pikirannya atau amalnya di antara orang-orang yang berdosa itu.[21]
قَالُواْ يَٰقَوۡمَنَآ
إِنَّا سَمِعۡنَا كِتَٰبًا أُنزِلَ مِنۢ بَعۡدِ مُوسَىٰ مُصَدِّقٗا لِّمَا بَيۡنَ
يَدَيۡهِ يَهۡدِيٓ إِلَى ٱلۡحَقِّ وَإِلَىٰ طَرِيقٖ
مُّسۡتَقِيمٖ ٣٠
Artinya: “Mereka berkata: "Hai kaum kami, sesungguhnya kami
telah mendengarkan kitab (Al Quran) yang telah diturunkan sesudah Musa yang
membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan
kepada jalan yang lurus” ( Q.S Al-Ahqaaf 46: 30)
Kata
“thariqin” dalam surat al-Ahqaf ayat 30 artinya ialah “Agama Islam”.[22]
وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا
فَوۡقَكُمۡ سَبۡعَ طَرَآئِقَ وَمَا كُنَّا عَنِ ٱلۡخَلۡقِ
غَٰفِلِينَ ١٧
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh
buah jalan (tujuh buah langit); dan Kami tidaklah lengah terhadap ciptaan (Kami)” ( Q.S Al-Mukminun 23: 17)
Kata “tharaiq” dalam surat
al-Mu’minun ayat 17 menurut Imam As-Suyuthi artinya“langit”, tharaiq
kata jama’ dari thariqah, “karena dia adalah jalan-jalan malaikat.”[23]
وَأَنَّا مِنَّا ٱلصَّٰلِحُونَ
وَمِنَّا دُونَ ذَٰلِكَۖ كُنَّا طَرَآئِقَ
قِدَدٗا ١١
Artinya: “Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh
dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh
jalan yang berbeda-beda” (Q.S Al-Jinn 72: 11)
Kata “tharaiq” dalam Surat Al-Jinn ayat
11 artinya “Golongan yang berbeda pendapat di kalangan muslimin dan kafir.”[24]
وَأَلَّوِ ٱسۡتَقَٰمُواْ
عَلَى ٱلطَّرِيقَةِ لَأَسۡقَيۡنَٰهُم مَّآءً
غَدَقٗا ١٦
Artinya: “Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas
jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air
yang segar (rezeki yang banyak).” ( Q.S Al-Jinn 72: 16)
Kata “thariqah” dalam Surat
Al-Jinn ayat 16 artinya “jalan kebenaran dan keadilan”.[25]
Jika diperhatikan 3 bentuk kata tharaqah digunakan di dalam
Al-Quran. Bentuk tersebut adalah:[26]
1. Thariq – Jalan
yang ditetapkan atau jalan yang dilalui oleh manusia
2. Thariqah – Keutamaan
atau kebenaran
3. Tharaiq – Berbentuk
jamak dari perkataan thariq dan thariqah. Mempunyai dua makna yaitu :
a.
Jalan yang nampak
b.
Aliran atau keadaan
Didalam hadits Rasulullah SAW, terdapat
beberapa yang menyebutkan kata “thariqah” secara langsung yang penulis
temukan, diantaranya adalah:
إِنَّ شَرِيْعَتِي جَاءتْ عَلَى
ثَلاَثِمِائَةٍ وَسِتِّيْنَ طَرِيْقَةً. مَا
سَلَكَ أَحَدٌ مِنْهَا إِلاَّ نَجَا
Sesungguhnya
syariat-ku datang dengan 360 thariqah (jalan, cara, sistem). Tidak seorang-pun
mengambil dari salah satunya, kecuali mendapat keselamatan. (
H.R. At-Thabrani)[27]
Dalam kitab Mizan Al Qubra yang dikarang oleh Imam
Asy Sya’rany ada sebuah hadits yang menyatakan :[28]
Dalam
riwayat hadits lain disebutkan:
“Sesungguhnya syariatku datang membawa
313 thariqah (metode pendekatan pada Allah), tiap hamba yang menemui
(mendekatkan diri pada) Tuhan dengan salah satunya pasti masuk surga”. (HR.
Thabrani)[29]
Terlepas dari perbedaan redaksi dan
jumlah thariqah pada kedua riwayat hadits diatas,maka kita harus percaya
bahwasannya thariqah atau tarekat
memang ada dan dipakai sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
E.
KESIMPULAN
Tarekat sebagai organize Islamic mysticism menjadi salah satu
dari ajaran Islam yang memperoleh banyak pertentangan di kalangan ulama. Sebagian
dari ulama salaf kontemporer saat ini banyak yang menganggap bahwasannya
tarekat atau thariqah di dalam ajaran tasawuf bukan bagian dari Islam. Dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad
menyuruh umatnya untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah para sahabatnya. Sunnah
dapat kita pahami sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui
segala perintah Nabi Muhammad SAW, seperti halnya thariqah atau tarekat
yang berarti jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dengan mengikuti
mazhab pemikiran yang dikembangkan oleh seorang Alim atau Syaikh tertentu,
sedangkan istilah Sunnah tidak demikian halnya.
Namun, satu hal yang harus
digaris bawahi thariqah atau tarekat menjadi kata yang jelas disebutkan
didalam Al-Qur’an dan Hadits nabi berarti jalan untuk mendekatkan diri kepada
Allah ini merupakan ajaran yang sesuai dengan agama Islam.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Abu Bakar Aceh. 1993. Pengantar Ilmu Tarekat, Solo: Ramadani
Ahmad Ali.
1997. Mengenal Tasawuf dan Tarekat,
Jakarta: Raja Grafindo Persada
Al-Qasimy. 1952. Tafsir Mahasinut Ta’wil, juz XVI, Mesir: Musthafa
al-Babiy al-Halabiy
Tafsir
Mahasinut Ta’wil, juz XV,
Mesir: Musthafa al-Babiy al-Halabiy
Departemen
Agama Republik Indonesia. 2005. Al-Quran dan Terjemahan, Jakarta: Depag
Imron Abu Amar. 1980. Tarekat dan Tasawuf,
Jakarta: Raja Grafindo Persada
Jalaluddin
As-Suyuthi. tt. Tafsir Jalalain ( Tafsir Al-Qur’anil Karim) Juz
II, Beirut: Darul al-Fikr
Tafsir Jalalain (Tafsir
Al-Qur’anil Karim) Juz II, Beirut: Darul al-Fikr
Mahmud bin Umar
Al-Zamakhsyariy. 1972. al-Kasyaf Jilid
II, Mesir: Musthafa al-Babiy al-Halabiy
M. Yunus A.
Hamid. 2010. Risalah Singkat Thariqah At-Tijany, Jakarta: Yayasan
Pendidikan dan Dakwah At-Tijaniyah
Muhammad Fuad bin Kamaludin al-Maliki. 2008. Kepentingan
Tariqah dan Tasawwuf , Johor Bahru:
Majlis Agama Islam Johor
Muhsin Jamil.
2008. Tarekat Dan Dinamika Sosial Politik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sokhi Huda. 2008. Tasawuf Kultural Fenomena
Wahidatul Wujuh, Yogyakarta: LKIS
B.
Laman
Website
[1] Tarekat adalah
langkah awal dari perjalanan agung yang memisahkan suami dari istrinya, orang
tua dari anaknya, kekasih dari yang dicintainya dan saudagar dari kekayaannya.
Perjalanan yang bermuara kepada keabadian; kenikmatan Surga atau kesengsaraan
Neraka.
[2] Penulisan
tarekat ini adalah transliterasi dari kata dalam bahasa Arab, yaitu
Kata ini kadangkala dalam teks-teks berbahasa Indonesia atau Melayu
yang ditulis dengan huruf Latin atau Romawi menjadi thoriqot, thariqat,
thariqat, tharikah, tariqat , dan tarekat itu sendiri.
[3] Muhsin Jamil, Tarekat
Dan Dinamika Sosial Politik. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 47
[5] Al Sayyid al Syarif Ali Muhammad al Jurjani, Kitab
al Ta’rifaat, h. 116. Dikutip dalam Muhammad Fuad bin Kamaludin al-Maliki, Kepentingan
Tariqah dan Tasawwuf (Johor Bahru:
Majlis Agama Islam Johor, 2008), hlm. 6
[6] Abdus Samad al Palembangi, Siyar al Salikin.
Jilid 1, hlm 5. Dikutip dalam Muhammad Fuad bin Kamaludin al-Maliki, Kepentingan
Tariqah dan Tasawwuf (Johor Bahru:
Majlis Agama Islam Johor, 2008), hlm. 8
[8]
Muhsin
Jamil, Tarekat dan Dinamika Sosial Politik. (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008), hlm. 48
[9]
Imron
Abu Amar, Tarekat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1980),
hlm. 12-13
[10]Abu Bakar
Aceh. Pengantar Ilmu Tarekat, (Solo: Ramadani, 1993), hlm. 203
[11]
Sokhi
Huda, Tasawuf Kultural Fenomena Wahidatul Wujuh, (Yogyakarta: LKIS,
2008), hlm. 63
[12] M. Yunus A. Hamid, Risalah Singkat Thariqah
At-Tijany, (Jakarta: Yayasan Pendidikan dan Dakwah At-Tijaniyah, 2010),
hlm. 11
[13]
Muhsin
Jamil, Tarekat dan Dinamika Sosial Politik. (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008), hlm. 110
[14] Matan (Mahasiswa Ahli Thariqoh Al
Mu'tabaroh An Nahdhiyah), dalam artikel Al-Qur’an, Hadits dan Tarekat dalam
postingan tanggal 27 Juni 2012 dilaman http://www.facebook.matan-indonesia. com
[15] Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain (
Tafsir Al-Qur’anil Karim) Juz I, (Beirut: Darul al-Fikr,tt), hlm. 94
[16] Ibid
[17] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan
Terjemahan (Jakarta: Depag, 2005), hlm. 482
[18] Mahmud bin Umar Al-Zamakhsyariy, al-Kasyaf , Jilid
II (Mesir: Musthafa al-Babiy al-Halabiy, 1972), hlm. 543
[19] Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain (
Tafsir Al-Qur’anil Karim) Juz II (Beirut: Darul al-Fikr,tt), hlm. 24
[20] Ibid, hlm. 26
[22] Al-Qasimy, Tafsir Mahasinut Ta’wil, juz XV, (Mesir: Musthafa
al-Babiy al-Halabiy, 1952), hlm. 94
[23] Jalaluddin As-Suyuthi, Tafsir Jalalain (
Tafsir Al-Qur’anil Karim) Juz II (Beirut: Darul al-Fikr,tt), hlm. 46
[24] Ibid, hlm. 240
[25] Al-Qasimy, Tafsir Mahasinut Ta’wil, juz XVI, (Mesir: Musthafa
al-Babiy al-Halabiy, 1952), hlm. 5950
[26] Ahmad Ali, Mengenal Tasawuf dan Tarekat,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 177
[27] Syeh Yusuf
an-Nabhani, Kitab Syawahid al-Haq. Pada bab Muqaddimah dikutip pada
laman https://sata17.blogspot.co.id pada tanggal 20 September 2017
[28] Dikutip dalam M. Yunus A. Hamid, Risalah Singkat
Thariqah At-Tijany, (Jakarta: Yayasan Pendidikan dan Dakwah At-Tijaniyah,
2010), hlm. 12
[29] Ibid