Rabu, 27 September 2017

Pandangan Aliran Salaf Terhadap Ajaran Tasawuf: Studi Atas Pemikiran Ibnu Taimiyyah



PANDANGAN GERAKAN ALIRAN SALAF TERHADAP AJARAN TASAWUF
STUDI ATAS PEMIKIRAN IBNU TAIMIYYAH (1263-1328 M)
The View of Genre Salaf Movement to Islamic Sufism: Studies on the Thought of Ibn Taimiyyah (1263-1328)

Debri Koeswoyo,
 Ani Rohmatul Jannah, Anita Br. Bancin dan Fifi Andriyani
E-mail:debrikoeswoyo46@gmail.com, mayanita12@gmail.com,fifiandriyani59@gmail.com
Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau


Abstrack
The Understanding meaning of salaf in the current context has spawned much debate among Muslim scholars concerning the use of the word itself. Overall, Muslims claim that as-salaf as-salih is their religious basis. But historically there is a very sharp distinction between the late 14th and early 20th century reformers of thinkers, such as between Ibn Taimiyyah ( 1263-1328) and Jamal al-Din al-Afgani (1838-1989). Salafiyyah movements and radical intellectuals born in the future such as Sayyid Qutb labeled "neo-salafi". It seems that differences in form and expression of salafi occur as a result of conditions that change throughout the history of Muslims itself. However, throughout these different phases, the salafi movement remains a movement of reform and renewal. However, as the reformist movement of these schools often discredited the teachings of Sufism which they considered to be the cause of the withdrawal of Islam and its teachings that are inconsistent with the Qur'an and Hadith. This paper will unveil how the movement of the salaf sees the teachings of Sufism, concentration the tought of Ibnu Taimiyyah.
Keywords: Views, the genre of Salaf, Sufism, Ibn Taimiyyah

مختصرة
وقد أدى فهم معنى السلف في السياق الحالي إلى الكثير من النقاش بين العلماء المسلمين حول استخدام الكلمة نفسها. وعموما، يدعي المسلمون أن السلف السالح هو أساسهم الديني. ولكن تاريخيا هناك تمييز حاد جدا بين الإصلاحيين في أواخر القرن الرابع عشر وأوائل القرن العشرين للمفكرين، مثل ابن تيمية  وجمال الدين الأفغاني والحركات السلفية والمفكرين الراديكاليين المولودين في المستقبل مثل سيد قطب المسمى "السلفي الجديد". ويبدو أن الاختلافات في شكل وتعبير السلفية تحدث نتيجة الظروف التي تتغير طوال تاريخ المسلمين أنفسهم. ومع ذلك، في جميع هذه المراحل المختلفة، لا تزال الحركة السلفية حركة الإصلاح والتجديد. ومع ذلك، وبما أن الحركة الإصلاحية لهذه المدارس كثيرا ما أصابت مصداقية التعاليم الصوفية التي اعتبرت أنها سبب انسحاب الإسلام وتعاليمه التي تتنافى مع القرآن والحديث. هذه الورقة سوف تكشف النقاب عن كيف ترى حركة السلف تعاليم الصوفية، وتركيز توت ابنو تيمية.
كلمات البحث: المشاهدات، هذا النوع من السلف، الصوفية، ابن تيمية


I.     PENDAHULUAN
     Ibnu Taimiyah adalah tokoh pemikir Islam klasik yang reputasi keilmuannya mampu menembus hingga zaman kontemporer ini. Pemikirannya dalam berbagai bidang baik filsafat, kalam, hadis, fiqh maupun tasawuf masih menjadi rujukan. Khususnya yang mengatasnamakan dirinya sebagai aliran salaf. Termasuk Aliran Wahabiyah di Arab Saudi, Muhammadiyah di Indonesia, bahkan akhir-akhir ini di Ambon khususnya pasca konflik sosial di Maluku, muncul satu aliran yang menamakan dirinya aliran salaf (salafiah). Kelompok ini selalu menyerang orang-orang yang menggandrungi tasawuf dan filsafat. Mereka berasumsi bahwa tasawuf adalah ajaran bid’ah yang tidak pernah diamalkan oleh para Ulama Salaf termasuk Ibnu Taimiyah. Timbulnya pandangan seperti ini disebabkan karya-karya otentik Ibnu Taimiyah, khususnya dalam bidang tasawuf, sangat sedikit dibaca dan dipelajari secara teliti.[1]
Ibnu Taimiyah dan tasawuf oleh sebagian kalangan dipandang sebagai dua unsur yang tak mungkin bersatu. Ini tentu tidak mengherankan, sebab Ibnu Taimiyah telah lama dianggap sebagai salah satu tokoh yang membenci, memusuhi, dan melontarkan kritik-kritik tajamnya terhadap tasawuf.
Dalam wacana pemikiran Islam, Ibnu Taimiyah ditempatkan sebagai tokoh yang menentang tasawuf. Bahkan ia dituduh sebagai inspirator bagi aliran Wahabi dalam memeberantas dan memberangus ajaran-ajaran tasawuf dengan dalih ajaran-ajaran bid’ah, khurafat dan tahyul,[2] karena itu sangat wajar kalau kitab-kitab tasawuf Ibnu Taimiyah menjadi barang tabuh untuk diteliti selama ini.  Lewat bantuan internet, penulis dapat memperoleh data tentang kitab-kitab tasawuf Ibnu Taimiyah yang boleh jadi justru berisi ajaran-ajaran sebaliknya yang difahami selama ini, bahwa Ibnu Taimiyah memusuhi tasawuf, bahwa belajar tasawuf adalah bid’ah dan khurafat. Inilah problema yang ingin diungkapkan lewat penelitian ini.
Pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran “permusuhan” Ibnu Taimiyah dan tasawuf akan berusaha dijelaskan melalui penelitian ini. Tentu saja dengan merujuk langsung pada karya-karya yang diwariskan oleh Ibnu Taimiyah untuk peradaban manusia. Khususnya karyanya yang berjudul :Al-Tuhfah al-Irāqiyyah fi al-A’māl al-Qalbiyyah dan setelah ditahqiq oleh Ainil Husni Malhuzah dengan judul “ Al-A’māl al-Qulūb auw al-Ahwāl wa al-Maqāmāt.
II.  GERAKAN SALAF
Istilah salafiyyah seringkali dipertukarkan dengan istilah reformasi (islah) dan pembaharuan (tajdid) yang merupakan istilah yang fundamental dalam pandangan “mendahului”.[3] Al-Qur’an menggunakan kata salaf untuk merujuk masa lalu (QS. al-Ma’idah [5]: 95 dan QS.  al-Anfal  [8]:38.
….عَفَا ٱللَّهُ عَمَّا سَلَفَۚ وَمَنۡ عَادَ فَيَنتَقِمُ ٱللَّهُ مِنۡهُۚ وَٱللَّهُ عَزِيزٞ ذُو ٱنتِقَامٍ ٩٥
Artinya: “Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa”. (QS. al-Ma’idah [5]: 95)

قُل لِّلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ إِن يَنتَهُواْ يُغۡفَرۡ لَهُم مَّا قَدۡ سَلَفَ وَإِن يَعُودُواْ فَقَدۡ مَضَتۡ سُنَّتُ ٱلۡأَوَّلِينَ ٣٨
Artinya : “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu". (QS.  al-Anfal  [8]:38)

Dalam Bahasa Arab, salaf adalah leluhur yang saleh (as-salaf as-salih), dan seorang salafi adalah orang yang mengambil al-Qur’an dan Sunnah sebagai satu-satunya sumber untuk peraturan agama.[4] Dalam pengertian yang luas, salaf  bermakna kembali kepada Islam “sejati” yang telah dipraktikkan oleh generasi pendiri muslim, yakni Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Keinginan untuk menangkap kembali esensi Islam di masa-masa awal seringkali dilabelkan dengan “salafisme”, sebuah istilah yang diambil dari bahasa Arab, as-salaf as-salih (righteous ancestors). Karena salaf memperoleh pengetahuan Islam langsung dari Nabi Muhammad, dengan demikian praktik yang mereka lakukan masih suci. Di generasi berikutnya, Islam telah tercemar oleh elemen-elemen budaya dan agama asing sehingga menyimpang jauh dari hukum Tuhan.[5]
            Pertanyaan yang muncul kemudian dan menjadi masalah yang kontroversial adalah siapakah yang dianggap generasi salaf. Sebagian besar ulama sepakat bahwa salaf terdiri atas tiga generasi pertama yang terbentang dari tiga abad dan mencakup para sahabat Nabi yang berakhir pada Anas bin Malik (w. 91 H./ 710 M), at-Tabi’in (180 H.796 M.), Tabi’ al-Tabi’in (241 H./855 M.) dengan Ahmad bin Hanbal sebagai orang terakhir dari generasi salaf.[6] Definisi kronologis salaf tidak cukup untuk menjelaskan istilah ini sepenuhnya. Salaf tidak terbatas pada atau era tertentu. Kaum muslim mengakui para ulama yang menonjol setelah masa itu dan tokoh-tokoh independen sebagai generasi salaf, termasuk Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111), Ibn Taimiyah (w. 1328), Ibn Qayyim al-Jauziyah, Muhammad bin ‘Abd al-Wahab (w. 1792) dan lainnya .[7]
Komponen ideologis salafiyah berubah seiring waktu dalam menanggapi tantangan yang dihadapi umat Islam karena dedikasinya bagi reformasi dan kebangkitan terus ada. Bahkan di era modern sekalipun sering dianggap konservatif, kalangan salafi menganggap dirinya sebagai pembaharu. Salafisme digunakan untuk menggambarkan sebuah organisasi yang sangat luas, mulai dari kelompok-kelompok yang teguh berdakwah dan berpartipasi secara damai dalam pemilihan umum hingga kelompok yang meyakini bahwa jihad dengan menggunakan kekerasan (violent jihad) adalah satu-satunya jalan umat muslim.
Sekalipun gerakan salafi lahir dalam bentuk yang berbeda-beda, namun inti gerakannya adalah reformasi dan pembaharuan. Secara paradigmatis, gerakan pembaharuan ini sangat terkondisikan oleh latar belakang sejarah, budaya, dan politik.  Tipologi pembaharuan ini terbagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu: Pertama, kelompok revivalis pra-modernis dengan ciri-ciri umum antara lain:[8]
1.    Keprihatinan yang mendalam dan berubah terhadap kemerosotan sosial-moral masyarakat muslim;
2.    Himbauan untuk “kembali” ke islam orisinal, menanggalkan takhayul-takhayul yang ditanamkan dalam bentuk-bentuk sufisme populer, meninggalkan gagasan tentang kemapanan dan finalitas mazhab-mazhab hukum tradisional, dan berusaha melaksanakan ijtihad, yakni merenungkan kembali makna pesan orisinal tersebut;
3.     Menghimbau untuk membuang beban yang menghancurkan berupa pandangan tentang kodrat ilahi atau takdir yang dihasilkan agama rakyat, namun juga secara material disumbangkan oleh teologi asy’ariyah yang pengaruhnya nyaris ada di mana-mana; dan
4.     Menghimbau untuk melaksanakan pembaharuan melalui kekuatan bersenjata (jihad) jika memang diperlukan.
Kedua, kelompok modernis klasik yang memperluas isi ijtihad berdasarkan apa yang mereka anggap sebagai masalah-masalah vital bagi masyarakat muslim. Persentuhan dan interaksi mereka dengan budaya Barat telah memperkaya khazanah ijtihad, dari sesuatu yang melulu bersifat kritik internal beralih kepada pengembangan konsep yang berasal dari Barat untuk diimplementasikan di dunia muslim.[9]
Memasuki abad kesembilanbelas, penolakan terhadap tasawuf semakin gencar. Tasawuf ditentang oleh kelompok Salafi-Wahhabi dan Islam Modernis. Kedua kelompok ini mengritik habis ajaran tasawuf. Semenjak Wahhabi menguasai Jazirah Arabia yang dilimpahi “anugerah” cadangan minyak sangat besar dan masuknya mesin cetak ke tangan kelompok Islam modernis, pemikiran mereka tersebar luas ke seluruh dunia. Semangat pemurnian agama kedua kelompok Islam ini mengguncang dunia tasawuf.
Sikap anti-tasawuf dua kelompok tersebut bermula sejak kemunculan Ibn Taymîyah (meninggal 1328).[10]  Ibn Taymîyah mengritik sejumlah praktik dan ajaran tasawuf karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran al-Qur’ân dan sunnah Nabi. Sosok Ibn Taymîyah merupakan sumber inspirasi bagi dua kelompok anti-tasawuf di atas. Salah satu tokoh anti-tasawuf yang dipengaruhi oleh pemikiran Ibn Taymîyah adalah Muh}ammad b. ‘Abd al-Wahhâb (meninggal 1792). Pendiri gerakan Wahabi ini melangkah lebih jauh. Ia mentah-mentah menegasikan tasawuf, baik dari aspek ajaran maupun praktik ibadah. Penghormatan kepada wali, sebagai misal, ia kutuk sebagai syirik. Ia melakukan purifikasi Islam dengan hanya berpegang pada al-Qur’ân dan Sunnah. Menurut tokoh salafi ini, tasawuf tidak saja penuh dengan syirik, tetapi juga sebagai bukti masuknya unsur asing ke dalam Islam (bid‘ah). Ibn ‘Abd al-Wahhâb melihat cara beragama masyarakat di era hidupnya sebagai masa Jahilîyah. Masa itu bahkan dianggap lebih gelap dan lebih rusak dibanding masa Jahilîyah Nabi Muhammad.[11]




III.        BIOGRAFI IBNU TAIMIYYAH
Beriringan dengan kejatuhan kota Bagdad, pada tahun 656 H/1257 M., tepat pada hari Senin, 12 Rabi’ al-Awal tahun 661 H (1263 M), Ibnu Taimiyah dilahirkan di sebuah kota yang terletak antara sungai Dajlah dan Eufrat bernama Harran, sebuah kota yang masuk dalam wilayah Hurasan (Persia). Oleh orangtuanya ia diberi nama Ahmad. Ayah Ibnu Taimiyah bernama Syihabuddīn Abū al-Mahasīn Abdu al-Halīm bin Taimiyah. Dia belajar dari ayahnya (Taimiyah) mazhab faham Hambali hingga ia benar-benar memahaminya.[12]
Ahli sejarah menuliskan nama lengkapnya dengan: Taqiy al-Dīn Abūl-‘Abbas Ahmad Ibnu ‘Abd al-Halīm Ibnu ‘Abd al-Salām Ibnu Abi al-Qasīm Ibnu Muhammad Ibnu Taimiyah al-Harrānī al-Dimasyqī.[13]
Ibnu Taimiyah mendapat pendidikan di samping dari ayahnya, juga dari pamannya Fakhruddīn, seorang pemikir dan penulis termasyhur. Ia mendapat pendidikan pula dari para cendikiawan terkemuka di kota Damaskus. Pengetahuannya tidak hanya terbatas pada studi-studi al-Qur’an, hadis dan fiqh saja, tetapi juga mempelajari dan ahli di bidang mate-matika, sejarah, kesustraan dan secara khusus mendalami fiqh Hambali karena ayahnya sendiri adalah tokoh dari mazhab ini.[14]
Ibnu Taimiyyah mempunyai banyak karya tulis dan komentar-komentar dalam ilmu ushul dan ilmu furu’. Kitab-kitab karyanya tersebut sudah ada yang disempurnakan dan ada yang belum dissempurnakan. Banyak ulama yang semasa dengannya memujinya atas karya-karyanya itu, seperti Al-Qadhi Al-Khaubi, ibnu Daqiq Al-Id, Ibnu An-Nuhas, Al-Qadhi Al-Hanafi, hakim agung Mesir (Ibnu Al-Hariri), Ibnu Az-Zamlakani dan ulama-ulama yang lain.[15]
Dikalangan para peneliti tidak terdapat kesatuan pendapat mengenai kepastian jumlah karya ilmiah Ibnu Taimiyyah, namun diperkirakan lebih dari 300-500 buah buku ukuran kecil dan besar, tebal dan tipis. Meskipun tidak semua karya tokoh ini tidak dapat diselamatkan ,berkat kerja keras dua pengarang dari Mesir, yaitu ‘Abd al-Rahman           bin Muhammad bin Qasim yang dibantu putranya Muhammad bin ‘Abd al-Rahman, sebahagian karya Ibnu Taimiyyah kini telah dihimpun dalam Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah yang terdiri dari 37 jilid.  Karya-karya Ibnu Taimiyyah meliputi berbagai bidang keilmuan, seperti tafsir, hadits, ilmu hadits, ushul fiqh, tasawuf, mantiq, filsafat, politik, pemerintahan dan tauhid. Karya-karya Ibnu Taimiyyah  antara lain :[16]
1.                  Tafsir wa’Ulum al-Qur’an
a.                   At-Tibyan fi Nuzuhu al-Qur’an
b.                  Tafsir surah An-Nur
c.                   Tafsir Al-Mu’udzatain
d.                  Muqaddimah fi ‘Ilm al-Tafir
2.                  Fiqh dan Ushul Fiqh
a.                   Kitab fi Ushul Fiqh
b.                   Kitab Manasiki al-Haj
c.                   Kitab al-Farq al-Mubin baina al-Thlaq wa al Yamin
3.                  Tasawuf
a.                   Al-Faraq baina Aulia al-Rahman wa Aulia al-Syaithan
b.                  Abthalu Wahdah al-Wujud
c.                   Al-Tawasul wa al-Wasilah
d.                  Risalah fi al-Salma wa al-Raqsi
e.                   kitab Taubah
f.                   Al-‘Ubudiyyah
g.                  Darajat al-Yaqin
IV.        KRITIK IBNU TAIMIYYAH TERHADAP TASAWUF
Kritikan Ibnu Taimiyah terhadap tasawuf tidak terlepas dari metode pemikiran yang telah diyakini sebagai metode yang paling benar. Metode pemikirannya ini menjadi dasar dalam setiap gerakan keagamaan yang diperjuangkan sepanjang hidupnya. Ia sendiri tidak gentar sedikitpun dalam memperjuangkan ide-idenya sekalipun harus mengorbankan jiwanya. Terbukti dengan ia berkali-kali masuk penjara bahkan ia meninggal dalam penjara demi untuk tegaknya kebenaran yang telah diyakininya. Termasuk dalam hal ini ia tidak gentar mengeritik para sufi yang dianggap telah mengajarkan ajaran asing yang tidak berlandaskan al-Qur’an ataupun Sunnah Nabi Muhammad SAW.
‘Abd al-Rahman ‘Abd al-Khaliq, seorang tokoh Wahabi Kuwait, menyimpulkan bahwa Ibn Taymiyyah sepenuhnya tidak dapat menerima tasawuf dan menganggapnya sebagai tokoh terbesar yang berjasa membuka aib-aib tasawuf dalam banyak karyanya. Dalam menarik kesimpulan demikian ‘Abd al-Khaliq tidak mengemukakan alasannya yang jelas, tetapi dari sebelumnya dia telah mengemukakan persepsinya bahwa tasawuf itu adalah bid‘ah, karena term tasawuf itu sendiri belum dikenal di masa Nabi, para sahabat, dan tabiin. Term ini baru muncul pada akhir abad kedua Hijriah. Karena itu pula, dua imam besar, Abu Hanifah (w. 148/767) dan Malik (w. 179 H/795) tidak mendapatkannya.
Faham ‘Abd al-Khaliq mewakili komunitas Wahabi pada umumnya yang memandang Ibn Taymiyyah sebagai tokoh salafi yang anti tasawuf. Komunitas ini sangat alergi menggunakan istilah “tasawuf” untuk melabeli salah satu ilmu keislaman yang fokus membahas tentang dimensi esoterik dari kehidupan manusia.[17]
Dalam tasawuf ada sejumlah kritik yang dilontarkan Ibn Taimiyyah terhadap para sufi dan ajaran-ajaran yang mereka bawa. Dalam hal ini, ada penilaian Ibn Taimiyyah yang berujung pada pengkafiran dan ada yang berujung pada pembid‘ahan. Dalam tulisan ini saya hanya akan mengkaji kritikannya yang berujung pada kekufuran. Dan kajian ini kelihatannya lebih banyak pada permasalahan-permasalahan yang muncul dalam tasawuf falsafi, yang berupa faham-faham kemahaesaan Tuhan dalam tasawuf, khususnya faham ḥulūl, ittiḥād, dan waḥdat al-wujūd.
Ajaran tasawuf yang mendapat kritikan tajam dari Ibn Taimiyyah yang pertama adalah ajaran ḥulūl atau yang ia sebut dengan istilah ḥulūl khāshsh (particular incarnation), yakni inkarnasi Tuhan pada manusia secara khusus (individual) sebagaimana bentuk keyakinan orang Nasrani terhadap Yesus .[18] Di tempat lain dia menyebut bentuk ḥulūl seperti ini dengan istilah al-ḥulūl al-muqayyad (inkarnasi terbatas) atau identik dengan al-ittiḥād al-muqayyad (persatuan terbatas), yaitu persatuan dua zat, dan itu berbeda dengan ittiḥād naw‘ī washfī (persatuan spesies-aksidensi).
Bentuk ittiḥād (atau ḥulūl) yang pertama tadi adalah mustahil (muḥāl) dan terlarang (mumtani‘), pelakunya dihukum kafir. Yang menganut faham ini adalah kaum Nasrani, kelompok Rafidhah (salah satu komunitas Syi‘ah) ekstrem, para nussāk (pelaku ibadah) dari kelompok al-Ḥallājiyyah (pengikut al-Hallaj), dan lain-lain.[19]
Dalam pandangan Ibn Taymiyyah, tidak ada perbedaan secara substantif antara ḥulūl khāshsh dan ittiḥād muqayyad, keduanya adalah bentuk inkarnasi, di mana zat Tuhan bersatu dengan zat manusia. Dalam pandangannya pula, hal demikian adalah sesuatu yang mustahil dan sekaligus terlarang. Karena menurut persepsinya dua term itu menggambarkan persatuan Tuhan dengan manusia secara fisik-material atau persatuan esensi Tuhan dan esensi fisik manusia, padahal bagi kaum sufi makna persatuan itu adalah keterhubungan ruhani manusia dengan Ruh Mutlak.

V.      PENGAKUAN IBNU TAIMIYYAH TERHADAP TASAWUF DAN IMPLIKASINYA TERHADAP ALIRAN SALAF
Pada satu sisi, seperti telah dikemukakan di atas, Ibn Taimiyyah banyak mengritik ajaran-ajaran tasawuf falsafi, seumpama ittiḥād, ḥulūl, dan waḥdat al-wujūd, sehingga sampai pada batas pengafiran para pelakunya. Akan tetapi, suatu hal yang sangat bertolakbelakang dari kritik dan kecaman itu, Aboebakar Atjeh (w. 1979), seorang pengkaji tasawuf di Indonesia, berdasarkan sejumlah sumber yang ia nilai representatif,[20] mengkonstatir bahwa pada akhir hayatnya Ibn Taymiyyah telah mencapai fana, sehingga mengucapkan ungkapan yang sama dengan ucapan yang diungkapkan oleh al-Hallaj yang sebelumnya ia kecam sebagai kafir, yaitu “Anā al-Ḥaqq” (Saya adalah Yang Mahabenar).[21]
Dalam kritik-kritik Ibn Taimiyyah terhadap ittiḥād dan ḥulūl ia menggunakan daya nalar sepenuhnya untuk mempersepsi sebuah konsep yang diyakininya benar bahwa dua pengalaman sufistik itu adalah keliru. Akan tetapi, ketika pada dua puluh hari terakhir dari kehidupannya di penjara Damaskus, di mana tidak ada lagi benda-benda duniawi yang tersisa dalam penjara itu selain sebuah Mushaf yang senantiasa dibacanya dan diselingi dengan salat, maka sejak saat itu perhatiannya habis tersedot kepada Yang Mutlak. Ia menghabiskan hari-harinya dalam salat dan membaca al-Qur’an itu, sehingga tidak tersisa lagi ruang untuk yang selain Tuhan. Pada saat itulah ia mengalami fana dalam ketuhanan, yang ia rasakan hanyalah kehadiran Tuhan. Dalam keadaan demikianlah dia menghabiskan hidupnya dalam penjara. Besoknya, ia diantarkan oleh tangis ribuan kaum Muslim ke tempat peristirahatannya yang terakhir.[22]
Sebagaimana biasanya, di samping melontarkan kritik, Ibn Taimiyyah juga mengapresiasi kitab-kitab yang ditulis oleh kaum sufi sebagai kitab-kitab yang banyak mendatangkan manfaat dalam mencerahkan kalbu. Salah satu kitab yang mendapat apresiasi paling baik dari Ibn Taimiyyah adalah karya ‘Abd al-Qadir al-Jilani (w. 561/1166), Futūḥ al-Ghayb, yang sekaligus pula ia diskusikan dan mendapat komentar yang cukup panjang dalam Majmū‘ Fatāwā-nya. Penerimaan penuh apresiatif itu tentu tidak terlepas dari kedudukan al-Jilani sendiri di mata Ibn Taimiyyah sebagai seorang syekh yang memiliki reputasi tinggi di kalangan sufi dan senantiasa tidak mengabaikan peran syariat dalam ajaran agama.[23]
Setelah mengkaji tentang bagaimana posisi Ibn Taimiyyah dalam melihat tasawuf pada umumnya, maka sampailah kita kepada pertanyaan yang paling mendasar dari kajian ini, yaitu tentang dualisme pemikiran sufistik Ibn Taymiyyah. Pada satu sisi, seperti telah dikemukakan di atas, Ibn Taimiyyah banyak mengritik ajaran-ajaran tasawuf falsafi, seumpama ittiḥād, ḥulūl, dan waḥdat al-wujūd, sehingga sampai pada batas pengafiran para pelakunya. Namun, untuk tasawuf akhlaki, Ibnu Taimiyyah sangat menyukainya sebagaimana ketika ia mengkritik pandangan sebagian sufi yang menganggap bahwa ahwal dan maqāmāt hanyalah milik kalangan khas, dan tidak bisa menjadi milik kalangan yang mereka sebut awam. Baginya, semua ahwal dan māqamāt karena ia merupakan ilmu dan amal batiniyah yang menjadi dasar utama dalam menjalankan agama, maka ia seharusnya menjadi kewajiban setiap muslim, tanpa sekat-sekat awam dan khas.
Terkait dengan itu, ia menyatakan: “Amalan-amalan batin berupa cinta (mahabbah) pada Allah, tawakkal pada-Nya, ikhlas, ridha, semuanya adalah perkara yang diperintahkan kepada kaum awam dan khas. Pengabaian terhadapnya oleh satu dari dua pihak itu bukanlah hal terpuji, setinggi apapun maqamnya.”[24]
      Jika satu abad silam kelompok Salafi menolak tasawuf, Julia Day Howell justru menangkap adanya semangat bertasawuf di kalangan Salafi Indonesia sejak beberapa dekade terakhir—meskipun dengan bentuk baru yang cukup berbeda dari bentuk sebelumnya—yaitu bertasawuf tanpa tarekat. Kebangkitan tasawuf tersebut dapat dilihat pada sosok Buya Hamka hingga Arifin Ilham. [25] Bahkan Khozin berpendapat, semangat itu sesungguhnya sudah ada sejak era KH Ahmad Dahlan. Semangat bertasawuf ini disebut Khozin dengan istilah “tasawuf akhlaqi transformatif”, “tasawuf aktual”,[26] atau “sufi tanpa tarekat”.[27]
            Hal ini mungkin dikarenakan, perhatian khusus ulama salaf itu sendiri terhadap ajaran tasawuf dan para ulama pendahulu mereka, seperti Ibnu Taimiyyah yang digema-gemakan menolak tasawuf. Namun, pada akhirnya ia merasakan keluarbiasaan ajaran tasawuf tersebut.

VI.        KESIMPULAN
Ibnu Taimiyyah adalah seorang ulama dan intelektual yang dipandang controversial, karena banyak melakukan kritik terhadap banyak ulama, filsuf san sufi. Kritiknya yang paling pedas, yang sampai pada pengkafiran terhadap para sufi yang terpengaruh oleh ittihad dan hulul, karena dianggap menyekutukan Allah dengan diri sendiri. Syirik adalah dosa paling besar dalam Islam, karena itu pelakunya dianggap berlaku dosa besar dan keluar dari Islam.
Pandangan yang didasarkan pengetahuan keagamaan itu menjadi buyar ketika Ibnu Taimiyyah sendiri mengalami fana pada penghujung hayatnya, dimana dia yang ditulis oleh ahli biografinya mengucapkan “Anna al-Haq”. Saya adalah Yang Mahabenar) ketika dalam keadaan sakarat. Dalam kea-daan demikian sesungguhnya kepribadian Ibn Taymiyyah telah meraih puncak kesem-purnaannya. Karena itu, tudingan-tudingan miringnya terhadap para sufi sebelumnya seakan-akan mengantarkannya kepada penga-laman baru ini. Dan dalam pengalaman baru ini ia dapat merasakan kebersamaan langsung dengan Yang Mutlak, tanpa dibatasi oleh tabir-tabir penyekap. Pada duapuluh hari terakhir, menjelang wafatnya, ketika benda-benda duniawi disita dari sisinya di penjara Damaskus, ia benar-benar tenggelam dalam taqarub, sehingga mencapai puncak pengalaman keruhaniannya, ia fana, atau apa pun namanya, dalam samudera ketuhanan. Pengalaman ini benar-benar telah menafikan diskursus-diskursus ilmiahnya, sehingga pikiran sufistiknya terlihat seakan-akan mendua (dualisme). Sesungguhnya pengalaman terakhirnya tidak lain merupakan perkembangan lanjutan dari pemikiran awalnya, kendati dalam corak yang bertolakbelakang.







DAFTAR PUSTAKA
Buku
Atjeh, Aboebakar . t.t. Ibn Taymiyyah, t.tp:t.p
Asmuni, Yusran. 1998. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Azim, Said Abdul. 2005.  Ibn Taymiyah, Pembaharuan Salafi dan Dakwah Reformasi, terj. Faisal Saleh dan Khoirul Amru Harahap, Jakarta: Pustaka al-Kautsar
Esposito, John L.(ed.). 1995. The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. Vol. 5, Oxford: Oxford University Press
Ibnu Taimiyyah,. 1992. Majmū‘at al-Rasā’il wa al-Masā’il, ed. Muhammad Rasyid Ridha, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah
Ibnu Taimiyyah. 1398. Majmū‘ Fatāwā Syaykh al-Islām Ibn Taymiyyah, ed. ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Qasim al-‘Ashimi, Beirut: Mu’assasah al-Risālah
Khozin. 2000. Muhammadiyah dan Rekonstruksi Spiritualitas Islam: Suatu Kajian Bentuk dan Praktek Tasawuf Muhammadiyah , Malang: FAI-Universitas Muhammadiyah Malang
Khozin. 2013. Sufi Tanpa Tarekat: Praksis Keberagamaan Muslim Puritan, Malang: Madani
Nasution, Harun dan Azyumardi Azra (ed). 1985. Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Syaikh Ahmad Farid. 2006. 60 Biografi Ulama Salaf, Terj Masturi Irham dan Assmu’i Taman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Jurnal
Ali, Yunasril. Dualisme Pemikiran Sufistek Ibn Taimiyyah, dalam Kanz Philosophia Volume 4, Number. 2, December 2014
Chozin, Muhammad Ali. Strategi Dakwah Salafi di Indonesia, Jurnal Dakwah Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon Volume XIV, No. 1 Tahun 2013
Duriana. Pandangan Tasawuf Ibnu Taimiyah Dalam Kitab Al-Tuhfah Al-Irāqiyyah Fi Al-A’māl Al-Qalbiyyah, dalam jurnal Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri Ambon
Khamami, Akhmad Rizqon. Tasawuf Tanpa Tarekat: Pengalaman Turki dan Indonesia, jurnal Teosofi, Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 6, Nomor 1, Juni 2016
Rosadi, Aden. Gerakan Salaf, Jurnal Toleransi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung Media Komunikasi Umat Bergama, Vol.7, No.2 Juli-Desember 2015
Website


[1]Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama Masalah dan Pemikiran, (Cet. I; Jakarta: Sinar Harapan, 1982), h. 98.
               [2] Bid’ah dan khurafat adalah dua istilah yang begitu mudah diucapkan dan dituduhkan terhadap orang-orang yang bertasawuf dan mempelajari tasawuf. Bid’ah adalah mengikuti ajaran-ajaran yang tidak diamalkan oleh golongan salaf masa awal yaitu masa Nabi Muhammad SAW hingga masa tabi’in.
[3] Aden Rosadi, Gerakan Salaf, Jurnal Toleransi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung Media Komunikasi Umat Bergama, Vol.7, No.2 Juli-Desember 2015
[4]Emad Eldin Shahin, Salafiyah. Dalam John L. Esposito (ed.). The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. Vol. 5, (Oxford: Oxford University Press, 1995), h. 104. Didownload dalam laman http://www.oxford.edu pada tanggal 08 April 2017
[5] Muhammad Ali Chozin, Strategi Dakwah Salafi di Indonesia, Jurnal Dakwah Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon Volume XIV, No. 1 Tahun 2013
[6] Emad Eldin Shahin, Salafiyah. Dalam John L. Esposito (ed.). The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. Vol. 5, hlm. 104
[7] Ibid
[8] Fazlur Rahman, Gerakan Pembaharuan dalam Islam di Tengah Tantangan Dewasa Ini. Dalam Harun Nasution dan Azyumardi Azra (ed). Perkembangan Modern dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hlm. 21-26
[9] Ibid., hlm. 27-30
[10] Elizabeth Sirriyeh, Sufi and Anti-Sufi: The Defence: Rethinking and Rejection of Sufism in the Modern World (London: Routledge Curzon, 2003), hlm. ix. Dikutip dalam Akhmad Rizqon Khamami, Tasawuf Tanpa Tarekat: Pengalaman Turki dan Indonesia, jurnal Teosofi, Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 6, Nomor 1, juni 2016
[11]Ibid., hlm. 1-26
[12] Said Abdul ‘Azim, Ibn Taymiyah, Pembaharuan Salafi dan Dakwah Reformasi. Diterjemahkan oleh Faisal Saleh dan Khoirul Amru Harahap (Cet. I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h.15.
[13] Dikutip dalam laman http://wikipedia.id pada tanggal 26 Maret 2017
[14] Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Islam (Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), h. 52-53.
[15] Syaikh Ahmad Farid,60 Biografi Ulama Salaf, Terj Masturi Irham dan Assmu’i Taman (Jakarta: Pusstaka Al-Kautsar,2006), h. 790
[16] Syaikh Said Abdul Azhim,Ibnu Taimiyah Pembaharuan Salafi dan Dakwah Reformasi,Terj,Faisal Saleh,(Jakarta: Pusstaka AL-Kautsar, 2005), h.259.
[17] Yunasril Ali, Dualisme Pemikiran Sufistek Ibn Taimiyyah, dalam Kanz Philosophia Volume 4, Number. 2, December 2014,  hlm.  158
[18] Ibnu Taimiyyah, Majmū‘at al-Rasā’il wa al-Masā’il, ed. Muhammad Rasyid Ridha. Vol. I (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), hlm. 81-83
[19] Ibnu Taimiyyah, Majmū‘ Fatāwā Syaykh al-Islām Ibn Taymiyyah, ed. ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Qasim al-‘Ashimi. Vol. X (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, 1398 H), hlm. 59
[20] Di antara sumber yang digunakan Atjeh adalah al-Kawākib al-Durriyyah fī Manāqib Ibn Taymiyyah oleh Mar‘a ibn Yusuf Karim; Tārikh Ibn al-Wardī oleh Ibn al-Wardī; al-Qawl al-Jalī fī Tarjamah Ibn Taymiyyah al-Hanbalī oleh Shafi al-Din al-Bukhari al-Hanafi; al-‘Uqūd al-Durriyyah fī Manāqib Syayk al-Islām Ibn Taymiyyah oleh Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Abd al-Hadi; al-A‘lām al-‘Aliyyah fī Manāqib Ibn Taymiyyah oleh Muhammad ibn Ali al-Bazzar.
[21] Aboebakar Atjeh . Ibn Taymiyyah,( t.tp:t.p, t.t), hlm. 11
[22] Yunasril Ali, Dualisme Pemikiran Sufistek Ibn Taimiyyah, dalam Kanz Philosophia Volume 4, Number. 2, December 2014,  hlm.  171
[23] Akhmad Rizqon Khamami, Tasawuf Tanpa Tarekat: Pengalaman Turki dan Indonesia, jurnal Teosofi, Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 6, Nomor 1, juni 2016
  [24] Ibnu Taimiyyah, Al-Tuhfah Al-Irāqiyyah Fi Al-A’māl Al-Qalbiyyah, hlm. 17. Dikutip dalam Duriana, Pandangan Tasawuf Ibnu Taimiyah Dalam Kitab Al-Tuhfah Al-Irāqiyyah Fi Al-A’māl Al-Qalbiyyah, dalam jurnal Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri Ambon
[25] Julia Day Howell, Indonesia’s Salafist Sufis (Singapore: S. Rajaratnam School of International Studies, 2009), hlm. 21. Dikutip dalam Akhmad Rizqon Khamami, Tasawuf Tanpa Tarekat: Pengalaman Turki dan Indonesia, jurnal Teosofi, Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 6, Nomor 1, juni 2016
[26] Khozin, Muhammadiyah dan Rekonstruksi Spiritualitas Islam: Suatu Kajian Bentuk dan Praktek Tasawuf Muhammadiyah (Malang: FAI-Universitas Muhammadiyah Malang, 2000), hlm. 59.
[27]  Khozin, Sufi Tanpa Tarekat: Praksis Keberagamaan Muslim Puritan (Malang: Madani, 2013), hlm. iv

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diabolisme Salman Rushdie dan Ahok

ANTARA SALMAN RUSHDIE DAN AHOK Oleh: Dr. Adian Husaini Tahun 1988, dunia Islam digegerkan oleh seorang bernama Salman Rushdie. Kisahnya ...