PANDANGAN GERAKAN ALIRAN SALAF TERHADAP AJARAN TASAWUF
STUDI ATAS PEMIKIRAN IBNU TAIMIYYAH (1263-1328 M)
The View of Genre Salaf Movement to Islamic Sufism: Studies
on the Thought of Ibn Taimiyyah (1263-1328)
Debri Koeswoyo,
Ani Rohmatul Jannah, Anita Br. Bancin dan Fifi
Andriyani
E-mail:debrikoeswoyo46@gmail.com,
mayanita12@gmail.com,fifiandriyani59@gmail.com
Jurusan
Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin
Universitas
Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
Abstrack
The Understanding
meaning of salaf in the current context has spawned much debate among
Muslim scholars concerning the use of the word itself. Overall, Muslims claim
that as-salaf as-salih is their religious basis. But historically there
is a very sharp distinction between the late 14th and early 20th century
reformers of thinkers, such as between Ibn Taimiyyah ( 1263-1328) and Jamal
al-Din al-Afgani (1838-1989). Salafiyyah movements and radical
intellectuals born in the future such as Sayyid Qutb labeled "neo-salafi".
It seems that differences in form and expression of salafi occur as a
result of conditions that change throughout the history of Muslims itself.
However, throughout these different phases, the salafi movement remains
a movement of reform and renewal. However, as the reformist movement of these
schools often discredited the teachings of Sufism which they considered
to be the cause of the withdrawal of Islam and its teachings that are
inconsistent with the Qur'an and Hadith. This paper will unveil how the
movement of the salaf sees the teachings of Sufism, concentration the
tought of Ibnu Taimiyyah.
Keywords: Views,
the genre of Salaf, Sufism, Ibn Taimiyyah
مختصرة
وقد أدى فهم معنى السلف في السياق الحالي إلى الكثير من النقاش بين العلماء المسلمين حول استخدام الكلمة نفسها. وعموما، يدعي المسلمون أن السلف السالح هو أساسهم الديني. ولكن تاريخيا هناك تمييز حاد جدا بين الإصلاحيين في أواخر القرن الرابع عشر وأوائل القرن العشرين للمفكرين، مثل ابن تيمية وجمال الدين الأفغاني والحركات السلفية والمفكرين الراديكاليين المولودين في المستقبل مثل سيد قطب المسمى "السلفي الجديد". ويبدو أن الاختلافات في شكل وتعبير السلفية تحدث نتيجة الظروف التي تتغير طوال تاريخ المسلمين أنفسهم. ومع ذلك، في جميع هذه المراحل المختلفة، لا تزال الحركة السلفية حركة الإصلاح والتجديد. ومع ذلك، وبما أن الحركة الإصلاحية لهذه المدارس كثيرا ما أصابت مصداقية التعاليم الصوفية التي اعتبرت أنها سبب انسحاب الإسلام وتعاليمه التي تتنافى مع القرآن والحديث. هذه الورقة سوف تكشف النقاب عن كيف ترى حركة السلف تعاليم الصوفية، وتركيز توت ابنو تيمية.
كلمات البحث: المشاهدات، هذا النوع من السلف، الصوفية، ابن تيمية
وقد أدى فهم معنى السلف في السياق الحالي إلى الكثير من النقاش بين العلماء المسلمين حول استخدام الكلمة نفسها. وعموما، يدعي المسلمون أن السلف السالح هو أساسهم الديني. ولكن تاريخيا هناك تمييز حاد جدا بين الإصلاحيين في أواخر القرن الرابع عشر وأوائل القرن العشرين للمفكرين، مثل ابن تيمية وجمال الدين الأفغاني والحركات السلفية والمفكرين الراديكاليين المولودين في المستقبل مثل سيد قطب المسمى "السلفي الجديد". ويبدو أن الاختلافات في شكل وتعبير السلفية تحدث نتيجة الظروف التي تتغير طوال تاريخ المسلمين أنفسهم. ومع ذلك، في جميع هذه المراحل المختلفة، لا تزال الحركة السلفية حركة الإصلاح والتجديد. ومع ذلك، وبما أن الحركة الإصلاحية لهذه المدارس كثيرا ما أصابت مصداقية التعاليم الصوفية التي اعتبرت أنها سبب انسحاب الإسلام وتعاليمه التي تتنافى مع القرآن والحديث. هذه الورقة سوف تكشف النقاب عن كيف ترى حركة السلف تعاليم الصوفية، وتركيز توت ابنو تيمية.
كلمات البحث: المشاهدات، هذا النوع من السلف، الصوفية، ابن تيمية
I.
PENDAHULUAN
Ibnu
Taimiyah adalah tokoh pemikir Islam klasik yang reputasi keilmuannya mampu
menembus hingga zaman kontemporer ini. Pemikirannya dalam berbagai bidang baik
filsafat, kalam, hadis, fiqh maupun tasawuf masih menjadi rujukan. Khususnya
yang mengatasnamakan dirinya sebagai aliran salaf. Termasuk Aliran
Wahabiyah di Arab Saudi, Muhammadiyah di Indonesia, bahkan akhir-akhir ini di
Ambon khususnya pasca konflik sosial di Maluku, muncul satu aliran yang
menamakan dirinya aliran salaf (salafiah). Kelompok ini selalu
menyerang orang-orang yang menggandrungi tasawuf dan filsafat. Mereka berasumsi
bahwa tasawuf adalah ajaran bid’ah yang tidak pernah diamalkan
oleh para Ulama Salaf termasuk Ibnu Taimiyah. Timbulnya
pandangan seperti ini disebabkan karya-karya otentik Ibnu Taimiyah, khususnya
dalam bidang tasawuf, sangat sedikit dibaca dan dipelajari secara teliti.[1]
Ibnu Taimiyah dan tasawuf oleh sebagian
kalangan dipandang sebagai dua unsur yang tak mungkin bersatu. Ini tentu tidak
mengherankan, sebab Ibnu Taimiyah telah lama dianggap sebagai salah satu tokoh
yang membenci, memusuhi, dan melontarkan kritik-kritik tajamnya terhadap tasawuf.
Dalam wacana pemikiran Islam, Ibnu Taimiyah
ditempatkan sebagai tokoh yang menentang tasawuf. Bahkan ia dituduh sebagai inspirator
bagi aliran Wahabi dalam memeberantas dan memberangus ajaran-ajaran tasawuf
dengan dalih ajaran-ajaran bid’ah, khurafat dan tahyul,[2] karena itu sangat wajar
kalau kitab-kitab tasawuf Ibnu Taimiyah menjadi barang tabuh untuk diteliti
selama ini. Lewat bantuan internet,
penulis dapat memperoleh data tentang kitab-kitab tasawuf Ibnu Taimiyah yang
boleh jadi justru berisi ajaran-ajaran sebaliknya yang difahami selama ini,
bahwa Ibnu Taimiyah memusuhi tasawuf, bahwa belajar tasawuf adalah bid’ah dan khurafat.
Inilah problema yang ingin diungkapkan lewat penelitian ini.
Pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran “permusuhan”
Ibnu Taimiyah dan tasawuf akan berusaha dijelaskan melalui penelitian ini.
Tentu saja dengan merujuk langsung pada karya-karya yang diwariskan oleh Ibnu
Taimiyah untuk peradaban manusia. Khususnya karyanya yang berjudul :Al-Tuhfah
al-Irāqiyyah fi al-A’māl al-Qalbiyyah dan setelah ditahqiq oleh Ainil Husni
Malhuzah dengan judul “ Al-A’māl al-Qulūb auw al-Ahwāl wa al-Maqāmāt.
II.
GERAKAN SALAF
Istilah salafiyyah seringkali dipertukarkan dengan istilah
reformasi (islah) dan pembaharuan (tajdid) yang merupakan istilah
yang fundamental dalam pandangan “mendahului”.[3]
Al-Qur’an menggunakan kata salaf untuk merujuk masa lalu (QS. al-Ma’idah
[5]: 95 dan QS. al-Anfal [8]:38.
….عَفَا
ٱللَّهُ عَمَّا سَلَفَۚ وَمَنۡ عَادَ فَيَنتَقِمُ ٱللَّهُ مِنۡهُۚ وَٱللَّهُ عَزِيزٞ
ذُو ٱنتِقَامٍ ٩٥
Artinya: “Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan
barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah
Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa”. (QS.
al-Ma’idah [5]: 95)
قُل
لِّلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ إِن يَنتَهُواْ يُغۡفَرۡ لَهُم مَّا قَدۡ سَلَفَ
وَإِن يَعُودُواْ فَقَدۡ مَضَتۡ سُنَّتُ ٱلۡأَوَّلِينَ ٣٨
Artinya : “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika
mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka
tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi
sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap) orang-orang
dahulu". (QS. al-Anfal [8]:38)
Dalam Bahasa Arab, salaf adalah leluhur yang saleh (as-salaf
as-salih), dan seorang salafi adalah orang yang mengambil
al-Qur’an dan Sunnah sebagai satu-satunya sumber untuk peraturan agama.[4] Dalam
pengertian yang luas, salaf bermakna
kembali kepada Islam “sejati” yang telah dipraktikkan oleh generasi pendiri
muslim, yakni Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Keinginan untuk menangkap
kembali esensi Islam di masa-masa awal seringkali dilabelkan dengan “salafisme”,
sebuah istilah yang diambil dari bahasa Arab, as-salaf as-salih (righteous
ancestors). Karena salaf memperoleh pengetahuan Islam langsung dari Nabi
Muhammad, dengan demikian praktik yang mereka lakukan masih suci. Di generasi
berikutnya, Islam telah tercemar oleh elemen-elemen budaya dan agama asing
sehingga menyimpang jauh dari hukum Tuhan.[5]
Pertanyaan yang muncul kemudian dan menjadi masalah yang
kontroversial adalah siapakah yang dianggap generasi salaf. Sebagian
besar ulama sepakat bahwa salaf terdiri atas tiga generasi pertama yang
terbentang dari tiga abad dan mencakup para sahabat Nabi yang berakhir pada
Anas bin Malik (w. 91 H./ 710 M), at-Tabi’in (180 H.796 M.), Tabi’
al-Tabi’in (241 H./855 M.) dengan Ahmad bin Hanbal sebagai orang
terakhir dari generasi salaf.[6]
Definisi kronologis salaf tidak cukup untuk menjelaskan istilah ini
sepenuhnya. Salaf tidak terbatas pada atau era tertentu. Kaum
muslim mengakui para ulama yang menonjol setelah masa itu dan tokoh-tokoh
independen sebagai generasi salaf, termasuk Abu Hamid al-Ghazali (w.
1111), Ibn Taimiyah (w. 1328), Ibn Qayyim al-Jauziyah, Muhammad bin ‘Abd
al-Wahab (w. 1792) dan lainnya .[7]
Komponen ideologis salafiyah berubah seiring waktu dalam
menanggapi tantangan yang dihadapi umat Islam karena dedikasinya bagi reformasi
dan kebangkitan terus ada. Bahkan di era modern sekalipun sering dianggap
konservatif, kalangan salafi menganggap dirinya sebagai pembaharu.
Salafisme digunakan untuk menggambarkan sebuah organisasi yang sangat luas,
mulai dari kelompok-kelompok yang teguh berdakwah dan berpartipasi secara damai
dalam pemilihan umum hingga kelompok yang meyakini bahwa jihad dengan
menggunakan kekerasan (violent jihad) adalah satu-satunya jalan umat
muslim.
Sekalipun
gerakan salafi lahir dalam bentuk yang berbeda-beda, namun inti
gerakannya adalah reformasi dan pembaharuan. Secara paradigmatis, gerakan
pembaharuan ini sangat terkondisikan oleh latar belakang sejarah, budaya, dan
politik. Tipologi pembaharuan ini
terbagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu: Pertama, kelompok revivalis
pra-modernis dengan ciri-ciri umum antara lain:[8]
1.
Keprihatinan
yang mendalam dan berubah terhadap kemerosotan sosial-moral masyarakat muslim;
2.
Himbauan
untuk “kembali” ke islam orisinal, menanggalkan takhayul-takhayul yang
ditanamkan dalam bentuk-bentuk sufisme populer, meninggalkan gagasan tentang
kemapanan dan finalitas mazhab-mazhab hukum tradisional, dan berusaha
melaksanakan ijtihad, yakni merenungkan kembali makna pesan orisinal tersebut;
3.
Menghimbau untuk membuang beban yang menghancurkan
berupa pandangan tentang kodrat ilahi atau takdir yang dihasilkan agama rakyat,
namun juga secara material disumbangkan oleh teologi asy’ariyah yang
pengaruhnya nyaris ada di mana-mana; dan
4.
Menghimbau untuk melaksanakan pembaharuan
melalui kekuatan bersenjata (jihad) jika memang diperlukan.
Kedua, kelompok modernis klasik yang memperluas isi ijtihad
berdasarkan apa yang mereka anggap sebagai masalah-masalah vital bagi
masyarakat muslim. Persentuhan dan interaksi mereka dengan budaya Barat telah
memperkaya khazanah ijtihad, dari sesuatu yang melulu bersifat kritik internal
beralih kepada pengembangan konsep yang berasal dari Barat untuk
diimplementasikan di dunia muslim.[9]
Memasuki
abad kesembilanbelas, penolakan terhadap tasawuf semakin gencar. Tasawuf
ditentang oleh kelompok Salafi-Wahhabi dan Islam Modernis. Kedua kelompok ini
mengritik habis ajaran tasawuf. Semenjak Wahhabi menguasai Jazirah Arabia yang
dilimpahi “anugerah” cadangan minyak sangat besar dan masuknya mesin cetak ke
tangan kelompok Islam modernis, pemikiran mereka tersebar luas ke seluruh
dunia. Semangat pemurnian agama kedua kelompok Islam ini mengguncang dunia
tasawuf.
Sikap
anti-tasawuf dua kelompok tersebut bermula sejak kemunculan Ibn Taymîyah
(meninggal 1328).[10] Ibn Taymîyah mengritik sejumlah praktik dan
ajaran tasawuf karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran al-Qur’ân dan sunnah
Nabi. Sosok Ibn Taymîyah merupakan sumber inspirasi bagi dua kelompok
anti-tasawuf di atas. Salah satu tokoh anti-tasawuf yang dipengaruhi oleh
pemikiran Ibn Taymîyah adalah Muh}ammad b. ‘Abd al-Wahhâb (meninggal 1792).
Pendiri gerakan Wahabi ini melangkah lebih jauh. Ia mentah-mentah menegasikan
tasawuf, baik dari aspek ajaran maupun praktik ibadah. Penghormatan kepada
wali, sebagai misal, ia kutuk sebagai syirik. Ia melakukan purifikasi Islam
dengan hanya berpegang pada al-Qur’ân dan Sunnah. Menurut tokoh salafi ini,
tasawuf tidak saja penuh dengan syirik, tetapi juga sebagai bukti masuknya
unsur asing ke dalam Islam (bid‘ah). Ibn ‘Abd al-Wahhâb melihat cara
beragama masyarakat di era hidupnya sebagai masa Jahilîyah. Masa itu bahkan
dianggap lebih gelap dan lebih rusak dibanding masa Jahilîyah Nabi Muhammad.[11]
III.
BIOGRAFI IBNU TAIMIYYAH
Beriringan dengan kejatuhan kota Bagdad, pada
tahun 656 H/1257 M., tepat pada hari Senin, 12 Rabi’ al-Awal tahun 661 H (1263
M), Ibnu Taimiyah dilahirkan di sebuah kota yang terletak antara sungai Dajlah
dan Eufrat bernama Harran, sebuah kota yang masuk dalam wilayah Hurasan
(Persia). Oleh orangtuanya ia diberi nama Ahmad. Ayah Ibnu Taimiyah bernama Syihabuddīn
Abū al-Mahasīn Abdu al-Halīm bin Taimiyah. Dia belajar dari ayahnya (Taimiyah)
mazhab faham Hambali hingga ia benar-benar memahaminya.[12]
Ahli sejarah menuliskan nama lengkapnya dengan:
Taqiy al-Dīn Abūl-‘Abbas Ahmad Ibnu ‘Abd al-Halīm Ibnu ‘Abd al-Salām
Ibnu Abi al-Qasīm Ibnu Muhammad Ibnu Taimiyah al-Harrānī al-Dimasyqī.[13]
Ibnu Taimiyah mendapat pendidikan di samping
dari ayahnya, juga dari pamannya Fakhruddīn, seorang pemikir dan penulis
termasyhur. Ia mendapat pendidikan pula dari para cendikiawan terkemuka di
kota Damaskus. Pengetahuannya tidak hanya terbatas pada studi-studi al-Qur’an,
hadis dan fiqh saja, tetapi juga mempelajari dan ahli di bidang mate-matika,
sejarah, kesustraan dan secara khusus mendalami fiqh Hambali karena ayahnya
sendiri adalah tokoh dari mazhab ini.[14]
Ibnu Taimiyyah mempunyai banyak
karya tulis dan komentar-komentar dalam ilmu ushul dan ilmu furu’. Kitab-kitab karyanya tersebut sudah ada yang
disempurnakan dan ada yang belum dissempurnakan. Banyak ulama yang semasa
dengannya memujinya atas karya-karyanya itu, seperti Al-Qadhi Al-Khaubi, ibnu
Daqiq Al-Id, Ibnu An-Nuhas, Al-Qadhi Al-Hanafi, hakim agung Mesir (Ibnu Al-Hariri),
Ibnu Az-Zamlakani dan ulama-ulama yang lain.[15]
Dikalangan
para peneliti tidak terdapat kesatuan pendapat mengenai kepastian jumlah karya
ilmiah Ibnu Taimiyyah, namun diperkirakan lebih dari 300-500 buah buku ukuran
kecil dan besar, tebal dan tipis. Meskipun tidak semua karya tokoh ini tidak
dapat diselamatkan ,berkat kerja keras dua pengarang dari Mesir, yaitu ‘Abd al-Rahman bin Muhammad bin Qasim yang dibantu
putranya Muhammad bin ‘Abd al-Rahman, sebahagian karya Ibnu Taimiyyah kini telah dihimpun dalam Majmu
Fatawa Ibnu Taimiyyah yang terdiri dari 37 jilid. Karya-karya Ibnu Taimiyyah meliputi berbagai
bidang keilmuan, seperti tafsir, hadits, ilmu hadits, ushul fiqh, tasawuf,
mantiq, filsafat, politik, pemerintahan dan tauhid. Karya-karya
Ibnu Taimiyyah antara lain :[16]
1.
Tafsir wa’Ulum al-Qur’an
a.
At-Tibyan fi Nuzuhu al-Qur’an
b.
Tafsir surah An-Nur
c.
Tafsir Al-Mu’udzatain
d.
Muqaddimah fi ‘Ilm al-Tafir
2.
Fiqh dan Ushul Fiqh
a.
Kitab fi Ushul Fiqh
b.
Kitab Manasiki al-Haj
c.
Kitab al-Farq al-Mubin baina al-Thlaq wa al
Yamin
3.
Tasawuf
a.
Al-Faraq baina Aulia al-Rahman wa Aulia
al-Syaithan
b.
Abthalu Wahdah al-Wujud
c.
Al-Tawasul wa al-Wasilah
d.
Risalah fi al-Salma wa al-Raqsi
e.
kitab Taubah
f.
Al-‘Ubudiyyah
g.
Darajat al-Yaqin
IV.
KRITIK IBNU TAIMIYYAH TERHADAP TASAWUF
Kritikan Ibnu Taimiyah terhadap tasawuf tidak
terlepas dari metode pemikiran yang telah diyakini sebagai metode yang paling
benar. Metode pemikirannya ini menjadi dasar dalam setiap gerakan keagamaan
yang diperjuangkan sepanjang hidupnya. Ia sendiri tidak gentar sedikitpun dalam
memperjuangkan ide-idenya sekalipun harus mengorbankan jiwanya. Terbukti dengan
ia berkali-kali masuk penjara bahkan ia meninggal dalam penjara demi untuk
tegaknya kebenaran yang telah diyakininya. Termasuk dalam hal ini ia tidak
gentar mengeritik para sufi yang dianggap telah mengajarkan ajaran asing yang
tidak berlandaskan al-Qur’an ataupun Sunnah Nabi Muhammad SAW.
‘Abd al-Rahman ‘Abd al-Khaliq, seorang tokoh
Wahabi Kuwait, menyimpulkan bahwa Ibn Taymiyyah sepenuhnya tidak dapat menerima
tasawuf dan menganggapnya sebagai tokoh terbesar yang berjasa membuka aib-aib
tasawuf dalam banyak karyanya. Dalam menarik kesimpulan demikian ‘Abd al-Khaliq
tidak mengemukakan alasannya yang jelas, tetapi dari sebelumnya dia telah
mengemukakan persepsinya bahwa tasawuf itu adalah bid‘ah, karena term tasawuf
itu sendiri belum dikenal di masa Nabi, para sahabat, dan tabiin. Term ini baru
muncul pada akhir abad kedua Hijriah. Karena itu pula, dua imam besar, Abu
Hanifah (w. 148/767) dan Malik (w. 179 H/795) tidak mendapatkannya.
Faham ‘Abd al-Khaliq mewakili komunitas Wahabi
pada umumnya yang memandang Ibn Taymiyyah sebagai tokoh salafi yang anti
tasawuf. Komunitas ini sangat alergi menggunakan istilah “tasawuf” untuk
melabeli salah satu ilmu keislaman yang fokus membahas tentang dimensi esoterik
dari kehidupan manusia.[17]
Dalam tasawuf ada sejumlah kritik yang
dilontarkan Ibn Taimiyyah terhadap para sufi dan ajaran-ajaran yang mereka
bawa. Dalam hal ini, ada penilaian Ibn Taimiyyah yang berujung pada pengkafiran
dan ada yang berujung pada pembid‘ahan. Dalam tulisan ini saya hanya akan
mengkaji kritikannya yang berujung pada kekufuran. Dan kajian ini kelihatannya
lebih banyak pada permasalahan-permasalahan yang muncul dalam tasawuf falsafi,
yang berupa faham-faham kemahaesaan Tuhan dalam tasawuf, khususnya faham ḥulūl,
ittiḥād, dan waḥdat al-wujūd.
Ajaran tasawuf yang mendapat kritikan tajam
dari Ibn Taimiyyah yang pertama adalah ajaran ḥulūl atau yang ia sebut
dengan istilah ḥulūl khāshsh (particular incarnation), yakni
inkarnasi Tuhan pada manusia secara khusus (individual) sebagaimana bentuk
keyakinan orang Nasrani terhadap Yesus .[18] Di tempat lain dia menyebut
bentuk ḥulūl seperti ini dengan istilah al-ḥulūl al-muqayyad (inkarnasi
terbatas) atau identik dengan al-ittiḥād al-muqayyad (persatuan terbatas),
yaitu persatuan dua zat, dan itu berbeda dengan ittiḥād naw‘ī washfī (persatuan
spesies-aksidensi).
Bentuk ittiḥād (atau ḥulūl)
yang pertama tadi adalah mustahil (muḥāl) dan terlarang (mumtani‘), pelakunya dihukum
kafir. Yang menganut faham ini adalah kaum Nasrani, kelompok Rafidhah (salah
satu komunitas Syi‘ah) ekstrem, para nussāk (pelaku ibadah) dari
kelompok al-Ḥallājiyyah (pengikut al-Hallaj), dan lain-lain.[19]
Dalam pandangan Ibn Taymiyyah, tidak ada
perbedaan secara substantif antara ḥulūl khāshsh dan ittiḥād
muqayyad, keduanya adalah bentuk inkarnasi, di mana zat
Tuhan bersatu dengan zat manusia. Dalam pandangannya pula, hal demikian adalah
sesuatu yang mustahil dan sekaligus terlarang. Karena menurut persepsinya dua
term itu menggambarkan persatuan Tuhan dengan manusia secara fisik-material
atau persatuan esensi Tuhan dan esensi fisik manusia, padahal bagi kaum sufi
makna persatuan itu adalah keterhubungan ruhani manusia dengan Ruh Mutlak.
V.
PENGAKUAN IBNU TAIMIYYAH TERHADAP TASAWUF DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
ALIRAN SALAF
Pada satu sisi, seperti telah dikemukakan di
atas, Ibn Taimiyyah banyak mengritik ajaran-ajaran tasawuf
falsafi, seumpama ittiḥād, ḥulūl, dan waḥdat al-wujūd, sehingga
sampai pada batas pengafiran para pelakunya. Akan tetapi, suatu hal yang sangat
bertolakbelakang dari kritik dan kecaman itu, Aboebakar Atjeh (w. 1979),
seorang pengkaji tasawuf di Indonesia, berdasarkan sejumlah sumber yang ia
nilai representatif,[20] mengkonstatir bahwa pada
akhir hayatnya Ibn Taymiyyah telah mencapai fana, sehingga mengucapkan ungkapan
yang sama dengan ucapan yang diungkapkan oleh al-Hallaj yang sebelumnya ia
kecam sebagai kafir, yaitu “Anā al-Ḥaqq” (Saya adalah Yang Mahabenar).[21]
Dalam kritik-kritik Ibn Taimiyyah terhadap ittiḥād
dan ḥulūl ia menggunakan daya nalar sepenuhnya untuk
mempersepsi sebuah konsep yang diyakininya benar bahwa dua pengalaman sufistik
itu adalah keliru. Akan tetapi, ketika pada dua puluh hari terakhir dari
kehidupannya di penjara Damaskus, di mana tidak ada lagi benda-benda duniawi
yang tersisa dalam penjara itu selain sebuah Mushaf yang senantiasa dibacanya
dan diselingi dengan salat, maka sejak saat itu perhatiannya habis tersedot
kepada Yang Mutlak. Ia menghabiskan hari-harinya dalam salat dan membaca
al-Qur’an itu, sehingga tidak tersisa lagi ruang untuk yang selain Tuhan. Pada
saat itulah ia mengalami fana dalam ketuhanan, yang ia rasakan hanyalah
kehadiran Tuhan. Dalam keadaan demikianlah dia menghabiskan hidupnya dalam
penjara. Besoknya, ia diantarkan oleh tangis ribuan kaum Muslim ke tempat
peristirahatannya yang terakhir.[22]
Sebagaimana biasanya, di samping melontarkan
kritik, Ibn Taimiyyah juga mengapresiasi kitab-kitab yang ditulis oleh kaum
sufi sebagai kitab-kitab yang banyak mendatangkan manfaat dalam mencerahkan
kalbu. Salah satu kitab yang mendapat apresiasi paling baik dari Ibn Taimiyyah adalah
karya ‘Abd al-Qadir al-Jilani (w. 561/1166), Futūḥ al-Ghayb, yang
sekaligus pula ia diskusikan dan mendapat komentar yang
cukup panjang dalam Majmū‘ Fatāwā-nya. Penerimaan penuh apresiatif itu
tentu tidak terlepas dari kedudukan al-Jilani sendiri di mata Ibn Taimiyyah sebagai
seorang syekh yang memiliki reputasi tinggi di kalangan sufi dan senantiasa
tidak mengabaikan peran syariat dalam ajaran agama.[23]
Setelah mengkaji tentang bagaimana posisi Ibn
Taimiyyah dalam melihat tasawuf pada umumnya, maka sampailah kita kepada pertanyaan
yang paling mendasar dari kajian ini, yaitu tentang dualisme pemikiran sufistik
Ibn Taymiyyah. Pada satu sisi, seperti telah dikemukakan di atas, Ibn Taimiyyah
banyak mengritik
ajaran-ajaran tasawuf falsafi, seumpama ittiḥād, ḥulūl, dan waḥdat al-wujūd, sehingga
sampai pada batas pengafiran para pelakunya. Namun, untuk tasawuf akhlaki,
Ibnu Taimiyyah sangat menyukainya sebagaimana ketika ia mengkritik pandangan
sebagian sufi yang menganggap bahwa ahwal dan maqāmāt hanyalah
milik kalangan khas, dan tidak bisa menjadi milik kalangan yang mereka
sebut awam. Baginya, semua ahwal dan māqamāt karena ia merupakan
ilmu dan amal batiniyah yang menjadi dasar utama dalam menjalankan
agama, maka ia seharusnya menjadi kewajiban setiap muslim, tanpa sekat-sekat awam
dan khas.
Terkait dengan itu, ia menyatakan: “Amalan-amalan
batin berupa cinta (mahabbah) pada Allah, tawakkal pada-Nya, ikhlas, ridha,
semuanya adalah perkara yang diperintahkan kepada kaum awam dan khas.
Pengabaian terhadapnya oleh satu dari dua pihak itu bukanlah hal terpuji,
setinggi apapun maqamnya.”[24]
Jika satu abad silam kelompok Salafi menolak
tasawuf, Julia Day Howell justru menangkap adanya semangat bertasawuf di
kalangan Salafi Indonesia sejak beberapa dekade terakhir—meskipun dengan bentuk
baru yang cukup berbeda dari bentuk sebelumnya—yaitu bertasawuf tanpa tarekat.
Kebangkitan tasawuf tersebut dapat dilihat pada sosok Buya Hamka hingga Arifin
Ilham. [25] Bahkan Khozin
berpendapat, semangat itu sesungguhnya sudah ada sejak era KH Ahmad Dahlan.
Semangat bertasawuf ini disebut Khozin dengan istilah “tasawuf akhlaqi
transformatif”, “tasawuf aktual”,[26] atau “sufi tanpa
tarekat”.[27]
Hal ini mungkin dikarenakan, perhatian
khusus ulama salaf itu sendiri terhadap ajaran tasawuf dan para ulama pendahulu
mereka, seperti Ibnu Taimiyyah yang digema-gemakan menolak tasawuf. Namun, pada
akhirnya ia merasakan keluarbiasaan ajaran tasawuf tersebut.
VI.
KESIMPULAN
Ibnu Taimiyyah adalah seorang ulama
dan intelektual yang dipandang controversial, karena banyak melakukan kritik
terhadap banyak ulama, filsuf san sufi. Kritiknya yang paling pedas, yang
sampai pada pengkafiran terhadap para sufi yang terpengaruh oleh ittihad dan
hulul, karena dianggap menyekutukan Allah dengan diri sendiri. Syirik
adalah dosa paling besar dalam Islam, karena itu pelakunya dianggap berlaku
dosa besar dan keluar dari Islam.
Pandangan yang didasarkan
pengetahuan keagamaan itu menjadi buyar ketika Ibnu Taimiyyah sendiri mengalami
fana pada penghujung hayatnya, dimana dia yang ditulis oleh ahli
biografinya mengucapkan “Anna al-Haq”. Saya adalah Yang Mahabenar) ketika dalam
keadaan sakarat. Dalam kea-daan demikian sesungguhnya kepribadian Ibn Taymiyyah
telah meraih puncak kesem-purnaannya. Karena itu, tudingan-tudingan miringnya
terhadap para sufi sebelumnya seakan-akan mengantarkannya kepada penga-laman
baru ini. Dan dalam pengalaman baru ini ia dapat merasakan kebersamaan langsung
dengan Yang Mutlak, tanpa dibatasi oleh tabir-tabir penyekap. Pada duapuluh
hari terakhir, menjelang wafatnya, ketika benda-benda duniawi disita dari
sisinya di penjara Damaskus, ia benar-benar tenggelam dalam taqarub, sehingga
mencapai puncak pengalaman keruhaniannya, ia fana, atau apa pun namanya, dalam
samudera ketuhanan. Pengalaman ini benar-benar telah menafikan
diskursus-diskursus ilmiahnya, sehingga pikiran sufistiknya terlihat
seakan-akan mendua (dualisme). Sesungguhnya pengalaman terakhirnya tidak lain
merupakan perkembangan lanjutan dari pemikiran awalnya, kendati dalam corak
yang bertolakbelakang.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Atjeh, Aboebakar . t.t. Ibn Taymiyyah,
t.tp:t.p
Asmuni, Yusran. 1998. Pengantar Studi
Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
Azim, Said Abdul. 2005. Ibn Taymiyah, Pembaharuan Salafi
dan Dakwah Reformasi, terj. Faisal Saleh dan Khoirul Amru Harahap,
Jakarta: Pustaka al-Kautsar
Esposito, John
L.(ed.). 1995. The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. Vol.
5, Oxford: Oxford University Press
Ibnu
Taimiyyah,. 1992. Majmū‘at al-Rasā’il wa al-Masā’il, ed. Muhammad Rasyid Ridha, Beirut: Dār
al-Kutub al-‘Ilmiyyah
Ibnu Taimiyyah.
1398. Majmū‘ Fatāwā Syaykh al-Islām Ibn Taymiyyah, ed. ‘Abd
al-Rahman ibn Muhammad ibn Qasim al-‘Ashimi, Beirut: Mu’assasah al-Risālah
Khozin. 2000. Muhammadiyah dan Rekonstruksi Spiritualitas Islam:
Suatu Kajian Bentuk dan Praktek Tasawuf Muhammadiyah , Malang:
FAI-Universitas Muhammadiyah Malang
Khozin. 2013. Sufi Tanpa Tarekat: Praksis Keberagamaan Muslim
Puritan, Malang: Madani
Nasution, Harun
dan Azyumardi Azra (ed). 1985. Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia
Syaikh Ahmad Farid.
2006. 60 Biografi Ulama Salaf, Terj Masturi Irham dan Assmu’i Taman, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Jurnal
Ali, Yunasril. Dualisme
Pemikiran Sufistek Ibn Taimiyyah, dalam Kanz Philosophia Volume 4,
Number. 2, December 2014
Chozin,
Muhammad Ali. Strategi Dakwah Salafi di Indonesia, Jurnal Dakwah
Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon Volume XIV, No. 1 Tahun 2013
Duriana. Pandangan Tasawuf Ibnu Taimiyah Dalam Kitab Al-Tuhfah Al-Irāqiyyah Fi Al-A’māl Al-Qalbiyyah, dalam jurnal Fakultas Ushuluddin
dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri Ambon
Khamami, Akhmad Rizqon. Tasawuf Tanpa
Tarekat: Pengalaman Turki dan Indonesia, jurnal Teosofi, Jurnal Tasawuf dan
Pemikiran Islam Volume 6, Nomor 1, Juni 2016
Rosadi, Aden. Gerakan
Salaf, Jurnal Toleransi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
Media Komunikasi Umat Bergama, Vol.7, No.2 Juli-Desember 2015
Website
[1]Mulyanto Sumardi, Penelitian Agama Masalah dan Pemikiran, (Cet.
I; Jakarta: Sinar Harapan, 1982), h. 98.
[3] Aden Rosadi, Gerakan Salaf, Jurnal Toleransi Universitas
Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung Media Komunikasi Umat Bergama, Vol.7,
No.2 Juli-Desember 2015
[4]Emad Eldin Shahin, Salafiyah. Dalam John L. Esposito (ed.). The
Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. Vol. 5, (Oxford: Oxford
University Press, 1995), h. 104. Didownload dalam laman http://www.oxford.edu pada tanggal 08
April 2017
[5] Muhammad Ali
Chozin, Strategi Dakwah Salafi di Indonesia, Jurnal Dakwah Institut
Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon Volume XIV, No. 1 Tahun 2013
[6] Emad Eldin
Shahin, Salafiyah. Dalam John L. Esposito (ed.). The Oxford
Encyclopedia of the Modern Islamic World. Vol. 5, hlm. 104
[7] Ibid
[8] Fazlur Rahman, Gerakan Pembaharuan dalam Islam di Tengah
Tantangan Dewasa Ini. Dalam Harun Nasution dan Azyumardi Azra (ed). Perkembangan
Modern dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hlm. 21-26
[9] Ibid.,
hlm. 27-30
[10] Elizabeth
Sirriyeh, Sufi and Anti-Sufi: The Defence: Rethinking and Rejection of
Sufism in the Modern World (London: Routledge Curzon, 2003), hlm.
ix. Dikutip dalam Akhmad Rizqon Khamami, Tasawuf Tanpa Tarekat: Pengalaman
Turki dan Indonesia, jurnal Teosofi, Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 6, Nomor
1, juni 2016
[12] Said Abdul ‘Azim, Ibn Taymiyah, Pembaharuan
Salafi dan Dakwah Reformasi. Diterjemahkan oleh Faisal Saleh dan
Khoirul Amru Harahap (Cet. I; Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h.15.
[14] Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan
Gerakan Pembaharuan dalam Islam (Cet. II; Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1998), h. 52-53.
[15]
Syaikh
Ahmad Farid,60 Biografi Ulama Salaf, Terj
Masturi Irham dan Assmu’i Taman (Jakarta: Pusstaka
Al-Kautsar,2006), h. 790
[16] Syaikh Said Abdul Azhim,Ibnu Taimiyah Pembaharuan Salafi dan
Dakwah Reformasi,Terj,Faisal Saleh,(Jakarta: Pusstaka AL-Kautsar,
2005), h.259.
[17]
Yunasril Ali, Dualisme Pemikiran Sufistek Ibn Taimiyyah, dalam Kanz
Philosophia Volume 4,
Number. 2, December 2014, hlm. 158
[18]
Ibnu Taimiyyah, Majmū‘at al-Rasā’il wa al-Masā’il, ed. Muhammad Rasyid Ridha. Vol. I (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992),
hlm. 81-83
[19]
Ibnu Taimiyyah, Majmū‘ Fatāwā Syaykh al-Islām Ibn Taymiyyah, ed.
‘Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Qasim al-‘Ashimi. Vol. X (Beirut: Mu’assasah
al-Risālah, 1398 H), hlm. 59
[20]
Di antara sumber yang digunakan
Atjeh adalah al-Kawākib al-Durriyyah fī Manāqib Ibn Taymiyyah oleh Mar‘a
ibn Yusuf Karim; Tārikh Ibn al-Wardī oleh Ibn al-Wardī; al-Qawl
al-Jalī fī Tarjamah Ibn Taymiyyah al-Hanbalī oleh Shafi al-Din
al-Bukhari al-Hanafi; al-‘Uqūd al-Durriyyah fī Manāqib Syayk al-Islām Ibn
Taymiyyah oleh Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Abd al-Hadi; al-A‘lām al-‘Aliyyah
fī Manāqib Ibn Taymiyyah oleh Muhammad ibn ‘Ali al-Bazzar.
[22]
Yunasril Ali, Dualisme
Pemikiran Sufistek Ibn Taimiyyah, dalam Kanz Philosophia Volume 4, Number. 2, December 2014, hlm.
171
[23]
Akhmad Rizqon Khamami, Tasawuf Tanpa
Tarekat: Pengalaman Turki dan Indonesia, jurnal Teosofi, Jurnal Tasawuf dan
Pemikiran Islam Volume 6, Nomor
1, juni 2016
[25] Julia Day Howell, Indonesia’s Salafist Sufis
(Singapore: S. Rajaratnam School of International Studies, 2009), hlm. 21.
Dikutip dalam Akhmad Rizqon Khamami, Tasawuf Tanpa Tarekat: Pengalaman Turki
dan Indonesia, jurnal Teosofi, Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 6, Nomor 1, juni 2016
[26] Khozin, Muhammadiyah dan Rekonstruksi
Spiritualitas Islam: Suatu Kajian Bentuk dan Praktek Tasawuf
Muhammadiyah (Malang: FAI-Universitas Muhammadiyah Malang, 2000),
hlm. 59.
[27] Khozin, Sufi Tanpa Tarekat: Praksis Keberagamaan Muslim Puritan
(Malang: Madani, 2013), hlm. iv
Tidak ada komentar:
Posting Komentar