Senin, 01 Mei 2017

Rekonsiliasi Pemikiran Hassan Hanafi dan Moh. Abid Al-Jabiri



REKONSILIASI PEMIKIRAN HASSAN HANAFI DAN MUHAMMAD ABID AL-JABIRI

Nama               : Debri Koeswoyo                               Dosen  : Drs. Saleh Nur, MA
NIM                : 11431101321                                    MK      : Oksidentalis
Jurusan/Sem    : Akidah dan Filsafat Islam/VI           Date    : 29 April 2017

            Sejak lama, umat Muslim dihadapkan dengan satu persoalan yang kontroversial dan senantiasa selalu muncul keluar ranah permukaan  pemikiran modern yaitu, sejauh mana umat Islam dibolehkan mengikuti pemikiran yang berada diluar kebudayaan dan ajaran Islam. Pemikiran yang dipersolakan tentunya bukan persoalan yang sepele seperti boleh tidaknya seorang Muslim melakukan interaksi dengan orang-orang yang tidak se-aqidah dengannya, melainkan persoalan pemikiran yang melahirkan beranekaragam ideologi dan produk pemikiran yang sesungguhnya sarat dengan kepentingan terselubung.
            Dari kalangan intelektual dan cendekiawan Muslim sendiri banyak yang memandang dan mengeluarkan pendapatnya mengenai persoalan lawas ini. Sebagian ulama salaf seperti Ibnu Taimiyyah melarang dan mengharamkan adanya pengkolaborasian pemikiran Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits dengan pemikiran Barat yang sekuler. Walaupun demikian, terlepas dari pendapat Ibnu Taimiyyah tersebut, Hassan Hanafi dan al-Jabiri menjadi sosok Muslim abad 21 yang pandangannya mengenai pemikiran Islam klasik dan pemikiran Barat modern menjelma didalam tulisan-tulisan pemikiran filsafat  perenial saat ini. Tetapi, pemikiran keduanya bukan berarti kita pahami sebagai pemikiran yang sejalan dan beriringan. Disatu sisi, Hassan Hanafi menjadi inspirator didalam pergerakan melawan pemikiran Barat. Namun, disisi yang lain gagasan-gagasannya hanya menjadi wacana yang utopia dan berbanding terbalik dengan sikap dirinya sendiri. Gagasan rekonstruksi formasi nalar Arab Abid al-Jabiri sendiri dipandang oleh pemikir Islam saat ini lebih teraplikasi dibandingkan dengan pemikiran Hassan Hanafi.
            Berkenaan dengan tesis dan antitesis dari pemikiran kedua tokoh pemikir kontemporer Islam tersebut, rekonsiliasi pemikiran keduanya tampak sangat diperlukan untuk memulihkan dan mencari hubungan diantara kedua pemikiran tokoh tersebut.


            Hasan Hanafi lahir pada tanggal 13 Februari 1935 di Kairo adalah sosok pembaharu dalam pemikiran Islam, pokok pikiranya terletak pada bagaimana Islam dapat teraktualisasikan dalam konteks dan kehidupan yang nyata terutama dapat mentranformasikan umat Islam dari keterbelakangan kearah kemajuan.[1] Gagasan awalnya ialah melakukan rekonstruksi teologi tradisional. Teologi tradisional, kata Hanafi, lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman sistem kepercayaan, yakni transendensi Tuhan, diserang oleh wakil-wakil dari sekte-sekte dan budaya lama. Teolo­gi itu dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan untuk memelihara kemurniannya.
            Kita lihat ketika ideologi mu’tazilah dijadikan mazhab negara oleh al-Makmun, semua dimensi agama harus dilihat dri satu kacamata yaitu rasionalitas, ideologi lain dilarang dijadikan acuan dalam berijitihad. Saat ini, ketika suatu mazhab lebih dipahami dan lebih memasyarakat dibanding dengan mazhab lain, maka mazhab lain itu akan terlihat lebih asing, aneh dilihat oleh masyarakat.
            Hanafi menegaskan bahwa rekonstruksi teologi tidak harus membawa implikasi hilangnya tradisi-tradisi lama. Rekonstruksi teologi untuk mengkonfrontasikan ancaman-ancaman baru yang datang ke dunia dengan menggunakan konsep yang terpelihara murni dalam sejarah. Tradisi yang terpelihara itu menentukan lebih banyak lagi pengaktifan untuk dituangkan dalam realitas duniawi yang sekarang. Dialektika harus dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan, bukan hanya terdiri atas konsep-konsep dan argumen-argumen antara individu-individu, melainkan dialektika berbagai masyarakat dan bangsa di antara kepentingan-kepentingan yang bertentangan.[2] Pemerintah atau negara Islam dilihat Hanafi, memiliki pengaruh yang sangat erat dalam memajukan umat Islam tersebut. Negara dapat menjadi mediator dan penegak dari berbagai persoalan yang timbul. Tetapi, pemerintah juga cukup efektif untuk semakin memperkeruh persatuan umat Islam.
            Tidak berbeda jauh dengan Hanafi, ia menawarkan adanya rekonstruksi terhadap pemikiran tradisional Islam. Untuk merekonstruksi pemikiran formasi nalar Arab tradisional tersebut, pemikiran epistemologi yang ditawarkan al-Jabiri bayani, ‘irfani, dan burhani menjadi pemikiran moderat Islam saat ini. Dengan demikian, kritik nalar di sini dimaksudkan untuk membebaskan) nalar Arab dari hegemoni turâts, kemudian memulainya lagi dari realitas budaya Arab-Islam itu sendiri, tanpa harus terbebani dengan perspektif mayoritas/dominan yang telah mengakar sedemikian lama dalam kesadaran bangsa Arab.[3]
Nalar bayani yang bisa disebut nalar yang berorientasi pada teks. Nalar adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash), baik secara lansung atau tidak langsung, dan justikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi. Artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. [4]
            Epistemologi Irfani sendiri ialah pengetahuan yang diperoleh tidak didasarkan atas teks seperti bayani, tetapi pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetap dengan olah ruhani, di mana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis.[5]
Berbeda dengan epistemologi nalar bayani, kalau bayani kecenderungannya kepada teks suci, sedang burhani sama sekali tidak bersandarkan kepada teks, dan juga tidak kepada pengalaman, melainkan burhani menyandarkan diri kepada kekuatan rasio yang dilakukan dengan dalil-dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang sesuai dengan logika rasional. Perbandingan epistemologi ini, seperti dijelaskan oleh al-Jabiri, nalar bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogi realitas non fisik atas realitas fisik, atau kepada asal, burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.[6]
Pemikiran Hasan Hanafi dan al-Jabiri diatas menunjukan adanya kesamaan dalam tujuan mereka mendekonstruksi pemikiran klasik Arab. Hassan Hanafi sendiri dalam paradigma perjalanan pemikirannya memang tersandung dilema. Diawal karir intelektualnya ia sangat mendukung pergerakan Ikwanul Muslimin yang pada masa dirinya dipimpin oleh Sayyid Qutb, pergerakan yang berlandaskan kepada cita-cita mengaktualisasikan nilai-nilai al-Qur’an dan hadits di masyarakat Islam dengan tetap menyesuaikannya dengan perkembangan pengetahuan modern. Tetapi, pada akhirnya ia keluar dari Ikwanul Muslimin dan menjadikan pemikirannya cenderung bersifat utopia (khayalan). Oksidentalis yang menjadi puncak dari pemikirannya yang digerakkan oleh Ikwanul Muslimin, malah akhirnya ia keluar dari pergerakan tersebut. Kiri Islam (al-Yassar al-Islami) sebagai dukungannya terhadap gerakan tersebut juga kandas di tengah jalan, dimana Hassan Hanafi tidak pernah lagi menggemakan konsep tersebut untuk membela pergerakan Ikwanul Muslimin. Persoalan inilah yang menjadi kritik tajam akan pemikiran Hassan Hanafi. Dirinya dinilai gagal dan hanya memberikan wacana-wacana pembaharuan Islam. Tetapi, ia sendiri tidak yakin terhadap pemikirannya tersebut.
Berbeda dengan al-Jabiri, ia tetap konsisten dalam pembelaan atas pemikirannya demi merekonstruksi pemikiran klasik Islam guna membangun kembali peradaban Islam. Peradaban Islam yang menurutnya tidak harus membangun sebuah kekuasaan dan ideologi yang besar, namun cukup untuk membangun umat Islam yang memiliki adab yang tinggi, nilai-nilai rasionalitas yang baik dibanding dengan peradaban Barat dan  mendudukan prinsip-prinsip norma Islam diatas segala potensi kehidupan umat Islam.



[1] Khudori Saleh, Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 157
[2] Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, (Jakarta, P3M, 1991), hlm.7
[3] Mohammad Abid al-Jabirî. Formasi Nalar Arab Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius, Terj. Imam Khoiri, Takwîn al-‘Aql al-Arabî, (Yogyakarta:IRCiSOD, 2003), h. 29
[4] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 177
[5] Ibid., hlm.223
[6] Ibid., hlm. 219

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diabolisme Salman Rushdie dan Ahok

ANTARA SALMAN RUSHDIE DAN AHOK Oleh: Dr. Adian Husaini Tahun 1988, dunia Islam digegerkan oleh seorang bernama Salman Rushdie. Kisahnya ...