ANALISIS PEMBAHARUAN PEMIKIRAN MOH. ABID AL-JABIRI
DARI KRITIK EPISTEMOLOGI NALAR ARAB MENUJU HERMENEUTIKA MODERN
Debri Koeswoyo
Jurusan
Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin
Universitas
Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
E-mail:debrikoeswoyo46@gmail.com
Abstrak
Kemunduran bangsa Arab di tengah hegemoni peradaban Barat, baik
pada aspek pemikiran, sosial, ekonomi bahkan sampai kepada sistem ideologi
melahirkan semangat para intelektual Muslim untuk mengkaji dan mempelajari
persoalan ini. Moh. Abid Al-Jabiri lahir sebagai seorang pemikir modern dan
konservatif di dunia Islam. Kritik terhadap epistemologi nalar tradisionalis
yang dipandangnya sebagai pemicu mundurnya peradaban Arab dan Islam, dimana
anggapan bahwasannya warisan dan tradisi lama kebangkitan dunia Islam abad
Pertengahan masih relevan saat ini di tentang olehnya. Al-Jabiri menawarkan
sebuah konsep pembaharuan dari sisi-sisi pemikiran tradisionalis kearah sebuah
paradigma pemikiran hermeneutika modern yang tidak hanya melibatkan kajian dari
dalam dunia Islam saja, namun juga menggunakan metode pendekatan displin
sosial, antropologi, ekologi bahkan sampai kepada pendekatan fenomenologi agar
pemikiran Islam dapat sesuai dengan realita masyarakat Muslim di era
kontemporer saat ini.
Kata Kunci:
Al-Jabiri, Epistemologi, Hermeneutika
Abstract
Setbacks Arabs
in the middle of the hegemony of Western civilization, both on the aspect of
thought, social, economic and even up to the ideological system bring about a
spirit of Muslim intellectuals to examine and study this matter. Moh. Abid
Al-Jabiri was born as a modern thinker and conservatives in the Islamic world.
Critics of the epistemology of reason traditionalists saw as trigger the
withdrawal of Arab and Islamic civilization, in which the presumption that heritage
and traditions revival of the Islamic world of the Middle Ages is still
relevant today in about him. Al-Jabiri offers a concept renewal of the sides
thought traditionalists towards a paradigm of thought of modern hermeneutics
which not only involves the study of the Islamic world, but also using the
approach of discipline social, anthropological, ecological even to the
phenomenological approach that Islamic thought can in accordance with the
reality of Muslim society in today's contemporary era.
Keywords:
Al-Jabiri, Epistemology, Hermeneutics
I.
PENDAHULUAN
Awal
tahun 1960 menjadi titik awal bagi perkembangan pemikiran Islam di era
postmodernisme saat ini. Hal ini ditandai dengan munculnya para pemikir Islam
kontemporer. Berangkat dari kesadaran yang sama bahwa saat itu, pemikiran Islam
sedang mengalami kemunduran dan tertinggal dari pemikiran Barat. Karya-karya
yang mereka munculkan merepresentasikan betapa pentingnya kritik internal bagi
umat Islam. Kritik internal sendiri adalah upaya melihat kekurangan dan
kesalahan yang dilakukan masyarakat Muslim sendiri, utamanya dalam
memperlakukan sistem pemikiran warisan atau tradisi (turats)[1] masa lalu yang masih di pertahankan oleh umat Muslim.
Tradisi
atau warisan pemikiran masa lalu yang dipahami sebagai pemahaman final menjadi
salah satu faktor utama penyebab tumpulnya kreatifitas pemikiran Islam yang
pada masa pertengahan pernah mengalami masa keemasan (the golden age). Turats
diperlakukan sebagai barang jadi tanpa bisa diotak-atik lagi. Sehingga, dalam
pemahaman mayoritas masyarakat Muslim, turats adalah pemahaman final,
bahkan terkadang dianggap sebagai sesuatu yang tetap dari agama.
Moh.
‘Abid al-Jabiri, seorang pemikir kontemporer Islam asal Maroko yang menawarkan
cara baru dalam memperlakukan pemikiran tradisi lama dalam dunia Islam. Al-Jabiri
merumuskan cara pembacaan baru yang ia sebut dengan pembacaan kontemporer (al-Qiro’ah
al-Mu’ashirah).[2] Pembacaan kontemporer (al-Qiro’ah al-Mu’ashirah) yang
ditawarkan al-Jabiri bertujuan untuk merombak pemikiran lama yang selama ini
dipegang dan dipraktekkan oleh mayoritas masyarakat Muslim. Sederhananya,
pembacaan kontemporer berorientasi pada kreasi (ibda’) dan bukan imitasi
(ittiba’).[3] Untuk itu, dalam tulisan ini, penulis akan membahas
prinsip-prinsip pembacaan kontemporer yang ditawarkan al-Jabiri, untuk kemudian
dilihat signifikansinya dalam kajian keislaman.
II.
BIOGRAFI DAN KARYA MOH.
ABID AL-JABIRI
Moh. ‘Abid al-Jabiri lahir di Figuig, Maroko,
pada tahun 1936. Al-Jabiri menyelesaikan pendidikan dasarnya di Madrasah
Ibtidaiyah hurrah wataniah, sekolah agama swasta yang didirikan oleh
sebuah gerakan kemerdekaan Maroko pada saat itu. Setelah itu, al-Jabiri
melanjutkan pendidikan menengahnya di Casablanca dari tahun 1951-1953 dan memperoleh
Diploma Arabic High School setelah Maroko merdeka.
Sejak
awal, al-Jabiri telah tekun mempelajari filsafat. Pendidikan filsafatnya di
mulai tahun 1958 di univeristas Damaskus Syiria. Al-Jabiri tidak bertahan lama
di universitas ini. Setahun kemudian dia berpindah ke universitas Rabat yang
baru didirikan. Kemudian dia menyelesaikan program Masternya pada tahun 1967
dengan tesis Falsafah al-Tarikh ‘Inda Ibn Khaldun, di
bawah bimbingan N. Aziz Lahbabi ( w.1992), gurunya, yang juga seorang pemikir
Arab Maghribi yang banyak terpengaruh oleh Bergson dan Sarte.[4]
Al-Jabiri
termasuk seorang intelektual yang produktif. Ada banyak karya yang telah beliau
hasilkan. Dua karya beliau, takwin al-‘Aql al-‘Arabi dan bunyah
al-‘Aql al-‘Arabi, bisa dikatakan sebagai magnum opus dari
keseluruhan karya yang telah beliau tulis. Berkat dua karyanya itu, al-Jabiri
mempunyai tempat tersendiri dalam dunia pemikiran Islam. Al-Jabiri dianggap
mampu mengeksplorasi secara sistematis bangunan epistemologi yang mendasari
berbagai khazanah keilmuan Islam.
III.
KRITIK MOH. ABID AL-JABIRI ATAS
EPISTEMOLOGI NALAR ARAB
Dalam pemikiran al-Jabiri, ada tiga epistemologi yang mendasari
khazanah keilmuan Islam: bayani, ‘irfani, dan burhani. Tak
hanya mengeksplorasi tiga epistemologi yang mendasari khazanah keilmuan Islam,
al-Jabiri juga menunjukkan adanya kontestasi antar ketiganya, di mana, menurut
al-Jabiri, epistemologi bayani mendominasi atas epistemologi ‘irfani
dan burhani. Hasil eksplorasi terhadap epistemologi yang mendasari
khazanah keilmuan Islam, kemudian beliau formulasikan dalam proyek
intelektualnya yang populer dengan Kritik Nalar Arab (naqd al-‘Aql al-‘Arabi)[5].
Al-Jabiri
melihat kecenderungan pembacaan turâts yang tengah
berkembang dalam upaya kebangkitan nalar Arab bergerak regresif. Ada tiga
kecenderungan cara baca turâts yang dipetakannya, yaitu:[6]
Ø Pertama, cara baca
fundamentalisme agama (al-salafiyyah al-dîniyyah). Bagi mereka,
capaian masa lalu yang terekam dalam turâts Islam senantiasa kompatibel dengan modernitas. Bagi Al-Jabiri,
cara baca turâts semacam
bersifat ahistoris (qirâ’ah lâ târikhiyyah).
Ø Kedua, kecenderungan
orientalisme (al-salafiyyah al-istisyrâqiyyah). Menurut Al-Jabiri,
cara baca orientalis yang digunakan pemikir Arab liberal telah mencerabut turâts dari akar keterbentukannya, karena sejatinya mereka membaca turâts Arab menggunakan turâts Eropa. Tentu ada keterputusan epistemologis diantara keduanya dan
yang akan berdampak pada kongklusi yang dihasilkannya.
Ø Ketiga, kecenderungan
marxisme (al-salafiyya al-yasâriyyah al-marxiziyyah). Kecenderungan
Marxisme yang berkembang di kalangan pemikir kiri Arab mengambil dua paradigma
dasar, yaitu revolusi dan rekonstruksi turâts. Hanya saja mereka bukan melakukan penerapan (tathbîq) metode dialektika materialisme dalam membaca turâts, tapi sebatas menerapkan (muthabbaq) metode dialektika materialisme yang telah dihasilkan di pelbagai
negara komunis ke dalam realitas bangsa Arab.
Untuk merekonstruksi pemikiran formasi nalar Arab tradisional
tersebut, pemikiran epistemologi yang ditawarkan al-Jabiri bayani, ‘irfani,
dan burhani menjadi pemikiran moderat Islam saat ini.
Nalar bayani yang bisa disebut nalar
yang berorientasi pada teks. Nalar adalah metode pemikiran khas Arab yang
menekankan otoritas teks (nash), baik secara lansung atau tidak langsung, dan
justikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi. Artinya memahami
teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu
pemikiran secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan
mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini tidak
berarti akal dan rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi harus
bersandar pada teks. Dalam bayani, rasio dianggap tidak mampu memberikan
pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam tinjauan keagamaan, sasaran
bidik metode bayani adalah aspek esoterik (syariah).[7]
Paradigma tekstualis atau menurut
al-Jabiri disebut dengan paradigma bayani, merupakan suatu cara berpikir dengan
berpijak pada nash (teks), baik secara langsung atau tidak langsung. Secara
langsung artinya langsung menganggap teks sebagai pengetahuan jadi. Secara
tidak langsung artinya melakukan penalaran dengan berpijak pada teks itu.
Dengan kata lain, paradigma ini beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah
nash (teks). Akal tidak akan dapat memberikan pengetahuan, kecuali akal itu
disandarkan pada nash (teks).[8]
Pengertian tentang bayani tersebut berkembang sejalan dengan
perkembangan pemikiran Islam. Begitu pula aturan-aturan metode yang ada
didalamnya. Pada masa asy-Syafi‘ie (767-820) yang dianggap sebagai peletak
dasar yurisprudensi Islam, bayani berarti nama yang mencakup makna-makna yang
mengandung persoalan pokok dan yang berkembang hingga ke cabang. Sedang dari
segi metodologi, menurut al-Jabiri, asy-Syafi‘ie membagi bayani kedalam lima
bagian dan tingkatan. Pertama, perintah yang di jelaskan oleh Allah
untuk makhluknya secara tekstual yang tidak membutuhkan ta‘wil atau penjelasan
karena telah jelas dengan sendirinya. Kedua, perintah yang dijelaskan
oleh Allah kepada mahkluknya secara tekstual namun membutuhkan penyempurnaan
dan penjelasan, dan fungsi ini dipenuhi oleh Nabi. Ketiga, perintah yang
ditetapkan Allah dengan kitabnya dan perintah ini dijelaskan oleh
Nabinya. Keempat, sesuatu yang tidak sebutkan al-Quran, namun dijelaskan
oleh Nabi hingga memiliki kekuatan sebagaimana perintah sebelumnya sebab dalam
kitabnya Allah memerintahkan agar mentaati Rasulnya. Kelima, Ijtihad
yang dilakukan dengan Qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Quran dan
Sunnah.[9]
Berbeda dengan epistemologi nalar
bayani, kalau bayani kecenderungannya kepada teks suci, sedang burhani sama
sekali tidak bersandarkan kepada teks, dan juga tidak kepada pengalaman,
melainkan burhani menyandarkan diri kepada kekuatan rasio yang dilakukan dengan
dalil-dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang
sesuai dengan logika rasional. Perbandingan epistemologi ini, seperti
dijelaskan oleh al-Jabiri, nalar bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogi
realitas non fisik atas realitas fisik, atau kepada asal, burhani menghasilkan
pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang
telah diyakini kebenarannya.[10]
Epistemologi Irfani sendiri ialah
pengetahuan yang diperoleh tidak didasarkan atas teks seperti bayani, tetapi
pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. karena
itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetap dengan
olah ruhani, di mana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan
pengetahuan langsung kepadanya. masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian
dikemukakan kepada orang lain secara logis.[11]
Melalui proyek kritik nalarnya, Al-Jabiri berusaha membebaskan
kesadaran bangsa Arab dari kungkungan otoritas turâts yang diarasanya terlalu menghegemoni. Banyak yang tidak sadar akan
aspek historisitas dan cara kerja struktur nalar Arab yang memproduksi kemudian
menubuh kukuh dalam sejarah panjang kebudayaan Arab. Dengan demikian, kritik
nalar di sini dimaksudkan untuk membebaskan) nalar Arab dari hegemoni turâts, kemudian memulainya lagi dari realitas budaya Arab-Islam itu
sendiri, tanpa harus terbebani dengan perspektif mayoritas/dominan yang telah
mengakar sedemikian lama dalam kesadaran bangsa Arab.[12]
IV.
DARI EPISTEMOLOGI KRITIK NALAR ARAB KEPADA HERMENEUTIKA MODERN
Akal Arab adalah dokementasi prinsip dan kaidah
yang diberikan oleh kultur Arab kepada para pengikutnya sebagai landasan
memperoleh pengetahuan sebagai aturan epistemologi, yaitu sebagai kumpulan dan
konsep dan prosedur yang menjadi struktur bawah sadar dari pengetahuan dalam
fase sejarah tertentu. Akal Arab dalam kapasitasnya sebagai instrumen pemikiran
dan pemahaman berupa produk teoritis yang karakteristik-karakterisitiknya
dibentuk oleh peradaban tertentu, dalam hal ini adalah peradaban Arab.[13]
Bagi al-Jâbirî, tidak ada jalan untuk
membangkitkan pemikiran Arab baik dalam konteks merespons peradaban Barat
secara eksternal maupun untuk menghadapi jalan pikiran yang mengandalkan masa
lalu kecuali dengan mengoreksi secara metodologis struktur pemikiran Arab.
Untuk kebutuhan itu, al-Jâbirî mengajukan beberapa pendekatan yang dianggap
relevan. Metodologi dalam kajian keilmuan merupakan dasar utama untuk
mengetahui validitas dan akurasi dalam kajian.
Hermeneutika modern yang ditawarkan oleh al-Jabiri ialah
metodologinya terhadap pembaharuan pembacaan akan tradisi Arab yang pada abad
ke 2 Hijriah sudah mulai dikodifikasi. Meskipun
demikian, menurut al-Jâbirî, tidak semua jenis metodologi bisa dikatakan tepat
untuk diterapkan dalam suatu objek kajian tertentu. Karena itu, menentukan
tujuan dari suatu metodologi adalah bagian yang penting. Adapun tujuan dari
metodologi atas turâts Arab-Islam
adalah bagaimana mewujudkan secara maksimal sikap yang rasional dan objektif.
Yang dimaksud dengan ‘objektivisme’ (madlu’iyah)
di sini adalah menjadikan turâts
(tradisi) lebih kontekstual dengan dirinya. Dan itu berarti harus ada upaya
pemisahan dari dirinya dan konteks kekinian. Sedangkan yang dimaksud dengan
‘rasionalitas’ (ma’quliyah) adalah
menjadikan turâts lebih kontekstual
dengan kondisi kekinian.[14]
Jika dirumuskan lebih lanjut, maka tujuan
metodologi atas turâts yang dimaksud
al-Jâbirî adalah bagaimana memperlakukan turâts
sebagai sesuatu yang relevan dan kontekstual dengan keberadaannya sendiri
terutama pada tataran problematika teoritisnya, kandungan kognitif, dan juga
substansi ideologisnya.
Dalam kerangka itu, al-Jâbirî menggunakan tiga
metode berfikir yaitu, pendekatan strukturalis, analisa sejarah, dan kritik
ideologi. Ketiganya ada dalam konteks pendekatan ‘kritik’.[15]
Tiga metode itu digunakan al-Jâbirî untuk dua tujuan yaitu mengungkapkan
objektivisme dan kesinambungan (continuity).
Yang dimaksud oleh al-Jâbirî dengan objektivisme adalah dalam dua tataran, pertama, hubungan yang berawal dari sang
subjek meunuju objek. Maksudnya, objektivisme dalam konteks ini adalah
pemisahan sebuah objek kajian dari sang subjek, atau dengan bahasa lain, antara
teks (yang dibaca) dan si pembaca teks. kedua,
relasi yang berangkat dari objek menuju subjek, dan ini digerakkan oleh faktor
objektif di atas.
1. Pendekatan
strukturalis (al-bunyawiyah)[16].
Yang
dimaksud pendekatan strukturalis di sini adalah bagaimana mengkaji sistem
pemikiran yang diproduksi penulis teks sebagai sebuah totalitas, yang diarahkan
oleh berbagai kesatuan konstan, dan dapat diperkaya dengan beberapa bentuk
transformasi, yang didukung oleh
pemikiran penulis yang berkutat pada poros yang sama. Pemikiran penulis harus difokuskan
pada problematika utama yang mampu menerima berbagai bentuk transformasi
sebagai tempat bagi beroperasinya pemikiran penulis, sehingga suatu gagasan
akan mendapatkan tempat alami dalam totalitasnya. Salah satu doktrin umum
strukturalisme adalah, menegaskan perlunya untuk menghindari pembacaan makna
sebelum membaca ungkapannya agar gagasan yang dibaca menemukan ruang dan
posisinya secara alami. Dan ungkapan yang dipahami sebagai bagian dari relasi
dan bukan kata-kata yang maknanya berdiri sendiri.[17]
Al-Jâbirî memberikan contoh pendekatan ini dengan
menganalisa suatu (teks) hadis Nabi yang sudah dikenal luas oleh umat Islam
tentang masalah bid’ah: “Kullu mauhdatsah
bid’ah, wa kullu bid’ah dlalâlah, wa kullu dlalâlah fî al-Nâr” (setiap
yang bersifat baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap
kesesatan masuk neraka). Jika dilihat dari struktur bahasanya, teks hadis
ini memiliki unit-unit wacana: (1) “Kullu
mauhdatsah bid’ah”, (2) “kullu
bid’ah dlalâlah”, (3) “kullu dlalâlah
fî al-Nâr”. Pada unit yang ketiga terdapat masalah logis yang merupakan
keindahan dari segi bahasa. Yang dimaksud dengan “kesesatan masuk neraka”
adalah orang-orang yang mengerjakan kesesatan itu.[18]
Menurut al-Jâbirî teks hadis di atas dapat
diformulasikan dalam bentuk rumusan logika yang urut-urutannya dapat disusun
sebagai berikut: setiap (a) adalah (b);
setiap (b) adalah (c); dan setiap (c) adalah (d). Dengan demikian, secara
logika bisa dikatakan bahwa: setiap (a)
adalah (d). Demikianlah kesimpulan yang logis dan pasti dari model
penelaran seperti itu. Bila model logika seperti itu diterapkan langsung
terhadap bunyi teks hadis di atas, akan didapatkan logika, “Kullu mauhdatsah fî al-Nâr (“setiap
hal yang baru masuk nereka”). Model penalaran seperti itu tentu saja
bertentangan dengan akal sehat dan agama karena tidak semua yang baru dianggap
haram.
Menurut al-Jâbirî, untuk menemukan keabsahan dari
teks hadis di atas, harus ditemukan unit wacana yang memiliki arti khusus yang
menghubungkan dengan unit wacana yang lain. Dalam hal ini adalah unit wacana
tengah, “kullu bid’ah dlalâlah”. Yaitu,
bahwa yang dimaksud dengan hadis di atas bukanlah “semua hal yang baru”, tetapi
hanya jenis mauhdatsah yang
dibatasi oleh ungkapan “kullu bid’ah
dlalâlah”.Pertanyaannya, sistem nilai apa yang membuat “sesuatu yang baru” itu
menjadi “sesat”?
Al-Jâbirî menjelaskan bahwa konteks relasi yang
terjalin di antara unit-unit wacana dari teks hadis itu hanya yang berkaitan
dengan masalah bid’ah dalam agama. Yaitu yang berinterpretasi menambah sesuatu
hal yang baru dalam urusan sistem ibadah dalam agama. Salah satu contohnya
adalah kewajiban berpuasa dalam bulan Ramadhan. Bila ada seseorang yang ingin
menamabah satu atau dua hari (dari waktu yang telah ditetapkan oleh agama) maka
ia telah melakukan suatu bid’ah dalam urusan agama sehingga dikhawatirkan akan
merusak keutuhan sistem agama.[19]
Karena itu, kalangan fuqaha mendefinisikan makna bid’ah sebagai berikut: “segala
hal yang dibuat-buat oleh manusia dalam urusan agama dengan niat bid’ah”
Dengan memaknai teks hadis secara spesifik pada
persoalan-persoalan bid’ah dalam urusan ibadah dalam agama, menurut al-Jâbirî
telah menempatkan teks hadis itu menjadi kontekstual dan relevan pada dirinya.
Adapan untuk menjadikannya relevan dengan kekinian berkaitan dengan persoalan ibtida’ (inovasi) dan hadatsah (modernitas). Bagi
al-Jâbirî, masalah yang ditentang dalam hadis itu adalah masalah-masalah baru
dan inovatif dalam masalah agama yang diniatkan dengan tujuan ibadah.
2.
Pendekatan historis (al-târikhî)
Pendekatan ini berupaya mengaitkan pemikiran pengarang
dengan historisitas kebudayaan, ideologi, politik, dan sosial. Pendekatan ini
merupakan bentuk keniscayaan. Sebab selain akan mendapatkan pemahaman historis
terhadap yang dikaji, juga berguna untuk menguji validitas model strukturalis
yang ditawarkan sebelumnya. Kesalinghubungan antara si penulis dengan konteks
sejarahnya perlu diupayakan karena dua alasan, pertama, keharusan memahami historisitas dan geneologi sebuah
pemikiran yang sedang dikaji, kedua,
keharusan menguji seberapa jauh validitas konklusi-konklusi pendekatan
strukturalis. Yang dimaksud dengan ‘validitas’ bukanlah ‘kebenaran logis’
seperti tujuan utama strukturalis melainkan ‘kemungkinan historis’[20]
Dari persepektif sejarah yang demikian, dapat
dipahami bahwa teks agama, dalam hal ini ayat al-Qur’ân, selalu menjadi jawaban
atas problem sosial dari suatu masyarakat. Al-Jâbirî lebih jauh mengatakan
bahwa kepentingan kemaslahatan suatau masyarakat seperti keseimbangan sosial
dan ekonomi dapat mengalahkan bunyi teks. Ia mencontohkan kasus yang terjadi di
wilayah Maghribi (Afrika Utara), tepatnya di pegunungan Maghribi, masalah fuqaha yang mengeluarkan fatwa soal
tidak diberikannya hak warisan bagi perempuan dimana keadaanya mirip dengan
masyarakat tribal. Fatwa tersebut secara lahiriah jelas bertentangan dengan
hukum agama, tetapi yang lebih dipentingkan di sini adalah faktor kemaslahatan,
yakni kehendak untuk menghindari timbulnya kekacauan dan ketidakseimbangan.[21]
Pendapat al-Jâbirî yang lebih memilih asas
maslahat daripada bunyi teks ketika keduanya terjadi pertentangan (antara teks
dan realitas) seperti dalam kasus yang diceritakannya, dapat dipahami selain
karena telah menjadi kecenderungan pemikiran kontemporer.
Dalam prinsip “maqashid al-syari’ah”,
al-Jabiri sependapat dengan al-Syâthibî, yang menyebut empat unsur pokok yang
menentukan. Yang pertama, sesungguhnya syari’at agama diberlakukan dalam
rangka memelihara dan menjaga kepentingan dan kemaslahatan umat manusia.
V.
KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, al-Jabiri
menghendaki pengkajian keilmuan Arab-Islam yaitu semata bersandar pada
supremasi rasio dan empiris. Keutamaan pemikiran al-Jabiri yang mengedepankan epistemologi
burhani dan mengkolaborasikannya dengan epistemologi bayani dan irfani. Karena
pada prinsipnya, sistem epistemologi Islam tidaklah terpisah. Ketiganya saling
integral, berkaitan satu sama lain. Hal tersebut tercermin dari sebagian besar
ulama muslim, misalnya Imam Al-Ghazali dan Ibnu Sina yang memadukan ketiga
epsitemologi tersebut (bayani, irfani dan burhani) dalam mengembangkan
keilmuan. Kedua, jika berpijak hanya pada burhani, maka epistemologi Islam
tidak bedanya dengan model Barat yang mendewakan akal, dan wahyu diposisikan
sebagai objek mainan akal yang bebas di ekspresikan sebagaimana yang telah
disebutkan bahwa meskipun al-Jabiri menawarkan epistemologi burhani model Ibnu
Rusyd.
Akal di satu sisi memang menjadi hal yang sangat penting dalam
pengembangan pemikiran. Namun disisi lain, jika ia tidak diimbangi dengan
dimensi spiritual dan mengacu pada teks sebagai rujukan asal, maka keobjektifan
sebuah pemikiran akan berbahaya. Karena keilmuan Islam bersifat Tauhidi,
maka sistem apapun yang dibangun dalam keilmuan harus juga mencirikan kesatuan.
Sesungguhnya disini letak perbedaan mendasar worldview Islam yang tauhidi
dengan worldview barat yang dikotomis. Maka jika kita menganalisa
Al-Jabiri dalam mengadopsi metodologi Barat jelas terlihat, sebagaimana
metodologi-metodologi yang digunakannya banyak meminjam dari metode mazhab
-mazhab filsafat Perancis, dalam usahanya mendekonstruski epistemologi Arab
Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mukti Ro’uf, Metode Terhadap Pembacaan Turats Arab: Sudut Pandang
Muhammad Abid al-Jabiri, Jurnal Sekolah Tinggi Agama Islam Pontianak
al-Jâbirî. 2000. Post tradisionalisme
Islam. Yogyakarta: LkiS
al-Jabirî. 2003. Formasi Nalar Arab
Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius, Terj.
Imam Khoiri, Takwîn al-‘Aql al-Arabî. Yogyakarta:IRCiSOD
Aksin Wijaya. 2004. Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan; Kritik
Atas Nalar Tafisr Gender. Yogyakarta: Safiria Insania Press
A.Khudori
Soleh. 2003. Pemikiran Islam Kontemporer. Yogyakarta: Jendela
A.Khudori Soleh. 2004. Wacana Baru Filsafat
Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Fahmy Farid Purnama. 2015.Telaah
Epistemologi Nalar Arab al-Jabiri dan Implikasinya dalam Islam. UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta
Lorens Bagus. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia
Miftahurohim. 2011. Konflik
Pemikiran Abu Hanifah dengan Imam Syafi’i dan Konstelasinya Terhadap Pemikiran
Islam. Yogyakarta:UIN Suka Press
[1] Dalam Al-Quran
tidak dikenal kata turats dalam pengertian tradisi kecuali dalam arti
peninggalan orang yang telah meninggal. Karenanya, yang dimaksud turats (tradisi)
menurut al-Jabiri adalah sesuatu yang lahir pada masa lalu, baik masa lalu kita
atau orang lain, masa lalu itu jauh atau dekat dan ada dalam konteks ruang dan
waktu. Tradisi adalah produk periode tertentu yang berasal dari masa lalu dan
dipisahkan dari masa sekarang oleh jarak waktu tertentu. Dengan demikian,
tradisi juga bisa berwujud teks yang dihasilkan dari pemikiran maupun realitas
yang berwujud praktek keseharian. Aksin Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu
Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafisr Gender, (Yogyakarta: Safiria Insania Press,
2004), hlm. 109.
[2] Miftahurohim, Konflik
Pemikiran Abu Hanifah dengan Imam Syafi’i dan Konstelasinya Terhadap Pemikiran
Islam, (Yogyakarta:UIN Suka Press, 2011), hlm. 457
[3] Adonis, Arkeologi
Sejarah-Pemikiran Islam, terj. Khoiron Nahdiyin, (Yogyakarta: LKiS, 2012),
hlm. XXXVII-XXXVIII.
[4] Dikutip pada
laman http://www.litagama.org. Jurnal
Pemikiran al-Jabiri Edisi ke VI pada tanggal 12 Maret 2017.
[5] Setidaknya ada
tiga tokoh pemikiran Islam kontemporer yang menggunakan terminologi Kritik (naqd)
dalam proyek intelektualnya. Selain al-Jabiri, Mohammed Arkoun juga menggunakan
terminologi Kritik Nalar Islam (naqd al-‘Aql al-Islami), dan Nasr Hamid
Abu Zaid menggunakan terminologi Kritik Wacana Agama (naqd- al-Khitab ad-Din).
Lihat, Khudori Soleh (ed), Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta:
Jendela, 2003), hlm. 351
[6] Fahmy Farid
Purnama, Telaah Epistemologi Nalar Arab al-Jabiri dan Implikasinya dalam Islam,
Makalah yang diseminarkan pada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun
2015. Dikutip dalam laman http://www.academia.edu
pada
tanggal 22 Maret 2017. Selengkapnya lihat Muhammad Abed Al-Jabiri, Nahnu wa Al-Turâts, (Markaz
Dirasat Al-Wahdah Al-`Arabiah: Beirut, cet. I, 2006), hlm. 16-20
[7] A. Khudori
Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),
hlm. 177.
[8] Muhammad
Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi., hlm. 20.
[9] Mohammad Abid al-Jabirî. Formasi Nalar Arab Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme
Wacana Interreligius, Terj. Imam Khoiri, Takwîn al-‘Aql al-Arabî, (Yogyakarta:IRCiSOD, 2003), h. 169
[12] Mohammad Abid al-Jabirî. Formasi Nalar Arab Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme
Wacana Interreligius, h. 29
[14] Al-Jâbirî, al-Turâts wa al-Hadâtsah: Dirâsât wa Munâqasyât (Bairut:
Markaz al-Tsaqâfî al-Arabî, 1991), h. 47. Dikutip dalam Abdul Mukti Ro’uf, Metode Terhadap Pembacaan Turats
Arab: Sudut Pandang Muhammad Abid al-Jabiri, Jurnal Sekolah Tinggi Agama
Islam Pontianak, dikutip dalam laman http://www.academia.edu pada tanggal 22 Maret 2017
[15]
Dalam konteks pemikiran al-Jâbirî, kata ‘kritik’ atau ‘nalar’ yang dalam beberapa bukunya
disitilahkan dengan naqd, ada dalam
pengertian: ‘suatu aktivitas yang bersifat historis’ Kata ‘kritik’ di sini
mengandung pengertian bagian dari kritik ‘epistemik’ yang melihat pikiran
sebagai satu sistem. Artinya, bagaimana memahami pendapat seseorang bukan
dengan melihat ‘siapa yang melontarkannya’ namun apa sistem yang mempersatukan
pemikirannya sehingga melahirkan pemikiran yang beragam. al-Jâbirî, Post tradisionalisme Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2000), h. ix-liv.
[16] Strukturalisme sebagai suatu pendekatan filosofis
muncul pertama kali di Perancis sebagai hasil dari tulisan-tulisan Claude
Levi-Staruss. al-Jâbirî yang menggunakan strukturalis untuk kepentingan
pembahasan turâts Arab-Islam.
Meskipun ia sendiri lebih berat menggunakan analisa sejarah. Maka, tidak
diragukan lagi bahwa al-Jâbirî jelas dipengaruhi oleh filsafat Perancis. Lorens
Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), h.
1041-1042
Tidak ada komentar:
Posting Komentar