Senin, 01 Mei 2017

Pemikiran Moh. Abid al-Jabiri Dari Kritik Formasi Nalar Arab Menuju Hermeneutika Modern (Qira'ah al-Muashirah)

ANALISIS PEMBAHARUAN PEMIKIRAN MOH. ABID AL-JABIRI
DARI KRITIK EPISTEMOLOGI NALAR ARAB MENUJU HERMENEUTIKA MODERN
Debri Koeswoyo
Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
E-mail:debrikoeswoyo46@gmail.com

Abstrak
Kemunduran bangsa Arab di tengah hegemoni peradaban Barat, baik pada aspek pemikiran, sosial, ekonomi bahkan sampai kepada sistem ideologi melahirkan semangat para intelektual Muslim untuk mengkaji dan mempelajari persoalan ini. Moh. Abid Al-Jabiri lahir sebagai seorang pemikir modern dan konservatif di dunia Islam. Kritik terhadap epistemologi nalar tradisionalis yang dipandangnya sebagai pemicu mundurnya peradaban Arab dan Islam, dimana anggapan bahwasannya warisan dan tradisi lama kebangkitan dunia Islam abad Pertengahan masih relevan saat ini di tentang olehnya. Al-Jabiri menawarkan sebuah konsep pembaharuan dari sisi-sisi pemikiran tradisionalis kearah sebuah paradigma pemikiran hermeneutika modern yang tidak hanya melibatkan kajian dari dalam dunia Islam saja, namun juga menggunakan metode pendekatan displin sosial, antropologi, ekologi bahkan sampai kepada pendekatan fenomenologi agar pemikiran Islam dapat sesuai dengan realita masyarakat Muslim di era kontemporer saat ini.
Kata Kunci: Al-Jabiri, Epistemologi, Hermeneutika
Abstract
Setbacks Arabs in the middle of the hegemony of Western civilization, both on the aspect of thought, social, economic and even up to the ideological system bring about a spirit of Muslim intellectuals to examine and study this matter. Moh. Abid Al-Jabiri was born as a modern thinker and conservatives in the Islamic world. Critics of the epistemology of reason traditionalists saw as trigger the withdrawal of Arab and Islamic civilization, in which the presumption that heritage and traditions revival of the Islamic world of the Middle Ages is still relevant today in about him. Al-Jabiri offers a concept renewal of the sides thought traditionalists towards a paradigm of thought of modern hermeneutics which not only involves the study of the Islamic world, but also using the approach of discipline social, anthropological, ecological even to the phenomenological approach that Islamic thought can in accordance with the reality of Muslim society in today's contemporary era.
Keywords: Al-Jabiri, Epistemology, Hermeneutics

I.     PENDAHULUAN
Awal tahun 1960 menjadi titik awal bagi perkembangan pemikiran Islam di era postmodernisme saat ini. Hal ini ditandai dengan munculnya para pemikir Islam kontemporer. Berangkat dari kesadaran yang sama bahwa saat itu, pemikiran Islam sedang mengalami kemunduran dan tertinggal dari pemikiran Barat. Karya-karya yang mereka munculkan merepresentasikan betapa pentingnya kritik internal bagi umat Islam. Kritik internal sendiri adalah upaya melihat kekurangan dan kesalahan yang dilakukan masyarakat Muslim sendiri, utamanya dalam memperlakukan sistem pemikiran warisan atau tradisi (turats)[1] masa lalu yang masih di pertahankan oleh umat Muslim.
Tradisi atau warisan pemikiran masa lalu yang dipahami sebagai pemahaman final menjadi salah satu faktor utama penyebab tumpulnya kreatifitas pemikiran Islam yang pada masa pertengahan pernah mengalami masa keemasan (the golden age). Turats diperlakukan sebagai barang jadi tanpa bisa diotak-atik lagi. Sehingga, dalam pemahaman mayoritas masyarakat Muslim, turats adalah pemahaman final, bahkan terkadang dianggap sebagai sesuatu yang tetap dari agama.
Moh. ‘Abid al-Jabiri, seorang pemikir kontemporer Islam asal Maroko yang menawarkan cara baru dalam memperlakukan pemikiran tradisi lama dalam dunia Islam. Al-Jabiri merumuskan cara pembacaan baru yang ia sebut dengan pembacaan kontemporer (al-Qiro’ah al-Mu’ashirah).[2] Pembacaan kontemporer (al-Qiro’ah al-Mu’ashirah) yang ditawarkan al-Jabiri bertujuan untuk merombak pemikiran lama yang selama ini dipegang dan dipraktekkan oleh mayoritas masyarakat Muslim. Sederhananya, pembacaan kontemporer berorientasi pada kreasi (ibda’) dan bukan imitasi (ittiba’).[3] Untuk itu, dalam tulisan ini, penulis akan membahas prinsip-prinsip pembacaan kontemporer yang ditawarkan al-Jabiri, untuk kemudian dilihat signifikansinya dalam kajian keislaman.

II.    BIOGRAFI DAN KARYA MOH. ABID AL-JABIRI
  Moh. ‘Abid al-Jabiri lahir di Figuig, Maroko, pada tahun 1936. Al-Jabiri menyelesaikan pendidikan dasarnya di Madrasah Ibtidaiyah hurrah wataniah, sekolah agama swasta yang didirikan oleh sebuah gerakan kemerdekaan Maroko pada saat itu. Setelah itu, al-Jabiri melanjutkan pendidikan menengahnya di Casablanca dari tahun 1951-1953 dan memperoleh Diploma Arabic High School setelah Maroko merdeka.
Sejak awal, al-Jabiri telah tekun mempelajari filsafat. Pendidikan filsafatnya di mulai tahun 1958 di univeristas Damaskus Syiria. Al-Jabiri tidak bertahan lama di universitas ini. Setahun kemudian dia berpindah ke universitas Rabat yang baru didirikan. Kemudian dia menyelesaikan program Masternya pada tahun 1967 dengan tesis Falsafah al-Tarikh ‘Inda Ibn Khaldun, di bawah bimbingan N. Aziz Lahbabi ( w.1992), gurunya, yang juga seorang pemikir Arab Maghribi yang banyak terpengaruh oleh Bergson dan Sarte.[4]
Al-Jabiri termasuk seorang intelektual yang produktif. Ada banyak karya yang telah beliau hasilkan. Dua karya beliau, takwin al-‘Aql al-‘Arabi dan bunyah al-‘Aql al-‘Arabi, bisa dikatakan sebagai magnum opus dari keseluruhan karya yang telah beliau tulis. Berkat dua karyanya itu, al-Jabiri mempunyai tempat tersendiri dalam dunia pemikiran Islam. Al-Jabiri dianggap mampu mengeksplorasi secara sistematis bangunan epistemologi yang mendasari berbagai khazanah keilmuan Islam.
III.   KRITIK MOH. ABID AL-JABIRI ATAS  EPISTEMOLOGI NALAR ARAB
Dalam pemikiran al-Jabiri, ada tiga epistemologi yang mendasari khazanah keilmuan Islam: bayani, ‘irfani, dan burhani. Tak hanya mengeksplorasi tiga epistemologi yang mendasari khazanah keilmuan Islam, al-Jabiri juga menunjukkan adanya kontestasi antar ketiganya, di mana, menurut al-Jabiri, epistemologi bayani mendominasi atas epistemologi ‘irfani dan burhani. Hasil eksplorasi terhadap epistemologi yang mendasari khazanah keilmuan Islam, kemudian beliau formulasikan dalam proyek intelektualnya yang populer dengan Kritik Nalar Arab (naqd al-‘Aql al-‘Arabi)[5].
Al-Jabiri melihat kecenderungan pembacaan turâts yang tengah berkembang dalam upaya kebangkitan nalar Arab bergerak regresif. Ada tiga kecenderungan cara baca turâts yang dipetakannya, yaitu:[6]
Ø Pertama, cara baca fundamentalisme agama (al-salafiyyah al-dîniyyah). Bagi mereka, capaian masa lalu yang terekam dalam turâts Islam senantiasa kompatibel dengan modernitas. Bagi Al-Jabiri, cara baca turâts semacam bersifat ahistoris (qirâ’ah lâ târikhiyyah).
Ø Kedua, kecenderungan orientalisme (al-salafiyyah al-istisyrâqiyyah). Menurut Al-Jabiri, cara baca orientalis yang digunakan pemikir Arab liberal telah mencerabut turâts dari akar keterbentukannya, karena sejatinya mereka membaca turâts Arab menggunakan turâts Eropa. Tentu ada keterputusan epistemologis diantara keduanya dan yang akan berdampak pada kongklusi yang dihasilkannya.
Ø Ketiga, kecenderungan marxisme (al-salafiyya al-yasâriyyah al-marxiziyyah). Kecenderungan Marxisme yang berkembang di kalangan pemikir kiri Arab mengambil dua paradigma dasar, yaitu revolusi dan rekonstruksi turâts. Hanya saja mereka bukan melakukan penerapan (tathbîq) metode dialektika materialisme dalam membaca turâts, tapi sebatas menerapkan (muthabbaq) metode dialektika materialisme yang telah dihasilkan di pelbagai negara komunis ke dalam realitas bangsa Arab.
Untuk merekonstruksi pemikiran formasi nalar Arab tradisional tersebut, pemikiran epistemologi yang ditawarkan al-Jabiri bayani, ‘irfani, dan burhani menjadi pemikiran moderat Islam saat ini.
Nalar bayani yang bisa disebut nalar yang berorientasi pada teks. Nalar adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash), baik secara lansung atau tidak langsung, dan justikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi. Artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini tidak berarti akal dan rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi harus bersandar pada teks. Dalam bayani, rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam tinjauan keagamaan, sasaran bidik metode bayani adalah aspek esoterik (syariah).[7]
Paradigma tekstualis atau menurut al-Jabiri disebut dengan paradigma bayani, merupakan suatu cara berpikir dengan berpijak pada nash (teks), baik secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung artinya langsung menganggap teks sebagai pengetahuan jadi. Secara tidak langsung artinya melakukan penalaran dengan berpijak pada teks itu. Dengan kata lain, paradigma ini beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah nash (teks). Akal tidak akan dapat memberikan pengetahuan, kecuali akal itu disandarkan pada nash (teks).[8]
Pengertian tentang bayani tersebut berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran Islam. Begitu pula aturan-aturan metode yang ada didalamnya. Pada masa asy-Syafi‘ie (767-820) yang dianggap sebagai peletak dasar yurisprudensi Islam, bayani berarti nama yang mencakup makna-makna yang mengandung persoalan pokok dan yang berkembang hingga ke cabang. Sedang dari segi metodologi, menurut al-Jabiri, asy-Syafi‘ie membagi bayani kedalam lima bagian dan tingkatan. Pertama, perintah yang di jelaskan oleh Allah untuk makhluknya secara tekstual yang tidak membutuhkan ta‘wil atau penjelasan karena telah jelas dengan sendirinya. Kedua, perintah yang dijelaskan oleh Allah kepada mahkluknya secara tekstual namun membutuhkan penyempurnaan dan penjelasan, dan fungsi ini dipenuhi oleh Nabi. Ketiga, perintah yang ditetapkan Allah dengan kitabnya dan perintah ini dijelaskan oleh Nabinya. Keempat, sesuatu yang tidak sebutkan al-Quran, namun dijelaskan oleh Nabi hingga memiliki kekuatan sebagaimana perintah sebelumnya sebab dalam kitabnya Allah memerintahkan agar mentaati Rasulnya. Kelima, Ijtihad yang dilakukan dengan Qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Quran dan Sunnah.[9]
Berbeda dengan epistemologi nalar bayani, kalau bayani kecenderungannya kepada teks suci, sedang burhani sama sekali tidak bersandarkan kepada teks, dan juga tidak kepada pengalaman, melainkan burhani menyandarkan diri kepada kekuatan rasio yang dilakukan dengan dalil-dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang sesuai dengan logika rasional. Perbandingan epistemologi ini, seperti dijelaskan oleh al-Jabiri, nalar bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogi realitas non fisik atas realitas fisik, atau kepada asal, burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.[10]
Epistemologi Irfani sendiri ialah pengetahuan yang diperoleh tidak didasarkan atas teks seperti bayani, tetapi pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetap dengan olah ruhani, di mana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis.[11]
Melalui proyek kritik nalarnya, Al-Jabiri berusaha membebaskan kesadaran bangsa Arab dari kungkungan otoritas turâts yang diarasanya terlalu menghegemoni. Banyak yang tidak sadar akan aspek historisitas dan cara kerja struktur nalar Arab yang memproduksi kemudian menubuh kukuh dalam sejarah panjang kebudayaan Arab. Dengan demikian, kritik nalar di sini dimaksudkan untuk membebaskan) nalar Arab dari hegemoni turâts, kemudian memulainya lagi dari realitas budaya Arab-Islam itu sendiri, tanpa harus terbebani dengan perspektif mayoritas/dominan yang telah mengakar sedemikian lama dalam kesadaran bangsa Arab.[12]
IV.        DARI EPISTEMOLOGI KRITIK NALAR ARAB KEPADA HERMENEUTIKA MODERN
Akal Arab adalah dokementasi prinsip dan kaidah yang diberikan oleh kultur Arab kepada para pengikutnya sebagai landasan memperoleh pengetahuan sebagai aturan epistemologi, yaitu sebagai kumpulan dan konsep dan prosedur yang menjadi struktur bawah sadar dari pengetahuan dalam fase sejarah tertentu. Akal Arab dalam kapasitasnya sebagai instrumen pemikiran dan pemahaman berupa produk teoritis yang karakteristik-karakterisitiknya dibentuk oleh peradaban tertentu, dalam hal ini adalah peradaban Arab.[13]
Bagi al-Jâbirî, tidak ada jalan untuk membangkitkan pemikiran Arab baik dalam konteks merespons peradaban Barat secara eksternal maupun untuk menghadapi jalan pikiran yang mengandalkan masa lalu kecuali dengan mengoreksi secara metodologis struktur pemikiran Arab. Untuk kebutuhan itu, al-Jâbirî mengajukan beberapa pendekatan yang dianggap relevan. Metodologi dalam kajian keilmuan merupakan dasar utama untuk mengetahui validitas dan akurasi dalam kajian.
Hermeneutika modern yang ditawarkan oleh al-Jabiri ialah metodologinya terhadap pembaharuan pembacaan akan tradisi Arab yang pada abad ke 2 Hijriah sudah mulai dikodifikasi. Meskipun demikian, menurut al-Jâbirî, tidak semua jenis metodologi bisa dikatakan tepat untuk diterapkan dalam suatu objek kajian tertentu. Karena itu, menentukan tujuan dari suatu metodologi adalah bagian yang penting. Adapun tujuan dari metodologi atas turâts Arab-Islam adalah bagaimana mewujudkan secara maksimal sikap yang rasional dan objektif. Yang dimaksud dengan ‘objektivisme’ (madlu’iyah) di sini adalah menjadikan turâts (tradisi) lebih kontekstual dengan dirinya. Dan itu berarti harus ada upaya pemisahan dari dirinya dan konteks kekinian. Sedangkan yang dimaksud dengan ‘rasionalitas’ (ma’quliyah) adalah menjadikan turâts lebih kontekstual dengan kondisi kekinian.[14]
Jika dirumuskan lebih lanjut, maka tujuan metodologi atas turâts yang dimaksud al-Jâbirî adalah bagaimana memperlakukan turâts sebagai sesuatu yang relevan dan kontekstual dengan keberadaannya sendiri terutama pada tataran problematika teoritisnya, kandungan kognitif, dan juga substansi ideologisnya.
Dalam kerangka itu, al-Jâbirî menggunakan tiga metode berfikir yaitu, pendekatan strukturalis, analisa sejarah, dan kritik ideologi. Ketiganya ada dalam konteks pendekatan ‘kritik’.[15] Tiga metode itu digunakan al-Jâbirî untuk dua tujuan yaitu mengungkapkan objektivisme dan kesinambungan (continuity). Yang dimaksud oleh al-Jâbirî dengan objektivisme adalah dalam dua tataran, pertama, hubungan yang berawal dari sang subjek meunuju objek. Maksudnya, objektivisme dalam konteks ini adalah pemisahan sebuah objek kajian dari sang subjek, atau dengan bahasa lain, antara teks (yang dibaca) dan si pembaca teks. kedua, relasi yang berangkat dari objek menuju subjek, dan ini digerakkan oleh faktor objektif di atas.
1. Pendekatan strukturalis (al-bunyawiyah)[16].
            Yang dimaksud pendekatan strukturalis di sini adalah bagaimana mengkaji sistem pemikiran yang diproduksi penulis teks sebagai sebuah totalitas, yang diarahkan oleh berbagai kesatuan konstan, dan dapat diperkaya dengan beberapa bentuk transformasi, yang didukung  oleh pemikiran penulis yang berkutat pada poros yang sama. Pemikiran penulis harus difokuskan pada problematika utama yang mampu menerima berbagai bentuk transformasi sebagai tempat bagi beroperasinya pemikiran penulis, sehingga suatu gagasan akan mendapatkan tempat alami dalam totalitasnya. Salah satu doktrin umum strukturalisme adalah, menegaskan perlunya untuk menghindari pembacaan makna sebelum membaca ungkapannya agar gagasan yang dibaca menemukan ruang dan posisinya secara alami. Dan ungkapan yang dipahami sebagai bagian dari relasi dan bukan kata-kata yang maknanya berdiri sendiri.[17]
Al-Jâbirî memberikan contoh pendekatan ini dengan menganalisa suatu (teks) hadis Nabi yang sudah dikenal luas oleh umat Islam tentang masalah bid’ah: “Kullu mauhdatsah bid’ah, wa kullu bid’ah dlalâlah, wa kullu dlalâlah fî al-Nâr(setiap yang bersifat baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan masuk neraka). Jika dilihat dari struktur bahasanya, teks hadis ini memiliki unit-unit wacana: (1) “Kullu mauhdatsah bid’ah”, (2) “kullu bid’ah dlalâlah”, (3) “kullu dlalâlah fî al-Nâr”. Pada unit yang ketiga terdapat masalah logis yang merupakan keindahan dari segi bahasa. Yang dimaksud dengan “kesesatan masuk neraka” adalah orang-orang yang mengerjakan kesesatan itu.[18]
Menurut al-Jâbirî teks hadis di atas dapat diformulasikan dalam bentuk rumusan logika yang urut-urutannya dapat disusun sebagai berikut: setiap (a) adalah (b); setiap (b) adalah (c); dan setiap (c) adalah (d). Dengan demikian, secara logika bisa dikatakan bahwa: setiap (a) adalah (d). Demikianlah kesimpulan yang logis dan pasti dari model penelaran seperti itu. Bila model logika seperti itu diterapkan langsung terhadap bunyi teks hadis di atas, akan didapatkan logika, “Kullu mauhdatsah fî al-Nâr (“setiap hal yang baru masuk nereka”). Model penalaran seperti itu tentu saja bertentangan dengan akal sehat dan agama karena tidak semua yang baru dianggap haram.
Menurut al-Jâbirî, untuk menemukan keabsahan dari teks hadis di atas, harus ditemukan unit wacana yang memiliki arti khusus yang menghubungkan dengan unit wacana yang lain. Dalam hal ini adalah unit wacana tengah, “kullu bid’ah dlalâlah”. Yaitu, bahwa yang dimaksud dengan hadis di atas bukanlah “semua hal yang baru”, tetapi hanya jenis mauhdatsah yang dibatasi oleh ungkapan “kullu bid’ah dlalâlah”.Pertanyaannya, sistem nilai apa yang membuat “sesuatu yang baru” itu menjadi “sesat”?
Al-Jâbirî menjelaskan bahwa konteks relasi yang terjalin di antara unit-unit wacana dari teks hadis itu hanya yang berkaitan dengan masalah bid’ah dalam agama. Yaitu yang berinterpretasi menambah sesuatu hal yang baru dalam urusan sistem ibadah dalam agama. Salah satu contohnya adalah kewajiban berpuasa dalam bulan Ramadhan. Bila ada seseorang yang ingin menamabah satu atau dua hari (dari waktu yang telah ditetapkan oleh agama) maka ia telah melakukan suatu bid’ah dalam urusan agama sehingga dikhawatirkan akan merusak keutuhan sistem agama.[19] Karena itu, kalangan fuqaha mendefinisikan makna bid’ah sebagai berikut: “segala hal yang dibuat-buat oleh manusia dalam urusan agama dengan niat bid’ah
Dengan memaknai teks hadis secara spesifik pada persoalan-persoalan bid’ah dalam urusan ibadah dalam agama, menurut al-Jâbirî telah menempatkan teks hadis itu menjadi kontekstual dan relevan pada dirinya. Adapan untuk menjadikannya relevan dengan kekinian berkaitan dengan persoalan ibtida’ (inovasi) dan hadatsah (modernitas). Bagi al-Jâbirî, masalah yang ditentang dalam hadis itu adalah masalah-masalah baru dan inovatif dalam masalah agama yang diniatkan dengan tujuan ibadah.
2. Pendekatan historis (al-târikhî)
            Pendekatan ini berupaya mengaitkan pemikiran pengarang dengan historisitas kebudayaan, ideologi, politik, dan sosial. Pendekatan ini merupakan bentuk keniscayaan. Sebab selain akan mendapatkan pemahaman historis terhadap yang dikaji, juga berguna untuk menguji validitas model strukturalis yang ditawarkan sebelumnya. Kesalinghubungan antara si penulis dengan konteks sejarahnya perlu diupayakan karena dua alasan, pertama, keharusan memahami historisitas dan geneologi sebuah pemikiran yang sedang dikaji, kedua, keharusan menguji seberapa jauh validitas konklusi-konklusi pendekatan strukturalis. Yang dimaksud dengan ‘validitas’ bukanlah ‘kebenaran logis’ seperti tujuan utama strukturalis melainkan ‘kemungkinan historis’[20]
Dari persepektif sejarah yang demikian, dapat dipahami bahwa teks agama, dalam hal ini ayat al-Qur’ân, selalu menjadi jawaban atas problem sosial dari suatu masyarakat. Al-Jâbirî lebih jauh mengatakan bahwa kepentingan kemaslahatan suatau masyarakat seperti keseimbangan sosial dan ekonomi dapat mengalahkan bunyi teks. Ia mencontohkan kasus yang terjadi di wilayah Maghribi (Afrika Utara), tepatnya di pegunungan Maghribi,  masalah fuqaha yang mengeluarkan fatwa soal tidak diberikannya hak warisan bagi perempuan dimana keadaanya mirip dengan masyarakat tribal. Fatwa tersebut secara lahiriah jelas bertentangan dengan hukum agama, tetapi yang lebih dipentingkan di sini adalah faktor kemaslahatan, yakni kehendak untuk menghindari timbulnya kekacauan dan ketidakseimbangan.[21]
Pendapat al-Jâbirî yang lebih memilih asas maslahat daripada bunyi teks ketika keduanya terjadi pertentangan (antara teks dan realitas) seperti dalam kasus yang diceritakannya, dapat dipahami selain karena telah menjadi kecenderungan pemikiran kontemporer.
Dalam prinsip “maqashid al-syari’ah”, al-Jabiri sependapat dengan al-Syâthibî, yang menyebut empat unsur pokok yang menentukan. Yang pertama, sesungguhnya syari’at agama diberlakukan dalam rangka memelihara dan menjaga kepentingan dan kemaslahatan umat manusia.

V.      KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa, al-Jabiri menghendaki pengkajian keilmuan Arab-Islam yaitu semata bersandar pada supremasi rasio dan empiris. Keutamaan pemikiran al-Jabiri yang mengedepankan epistemologi burhani dan mengkolaborasikannya dengan epistemologi bayani dan irfani. Karena pada prinsipnya, sistem epistemologi Islam tidaklah terpisah. Ketiganya saling integral, berkaitan satu sama lain. Hal tersebut tercermin dari sebagian besar ulama muslim, misalnya Imam Al-Ghazali dan Ibnu Sina yang memadukan ketiga epsitemologi tersebut (bayani, irfani dan burhani) dalam mengembangkan keilmuan. Kedua, jika berpijak hanya pada burhani, maka epistemologi Islam tidak bedanya dengan model Barat yang mendewakan akal, dan wahyu diposisikan sebagai objek mainan akal yang bebas di ekspresikan sebagaimana yang telah disebutkan bahwa meskipun al-Jabiri menawarkan epistemologi burhani model Ibnu Rusyd.
Akal di satu sisi memang menjadi hal yang sangat penting dalam pengembangan pemikiran. Namun disisi lain, jika ia tidak diimbangi dengan dimensi spiritual dan mengacu pada teks sebagai rujukan asal, maka keobjektifan sebuah pemikiran akan berbahaya. Karena keilmuan Islam bersifat Tauhidi, maka sistem apapun yang dibangun dalam keilmuan harus juga mencirikan kesatuan. Sesungguhnya disini letak perbedaan mendasar worldview Islam yang tauhidi dengan worldview barat yang dikotomis. Maka jika kita menganalisa Al-Jabiri dalam mengadopsi metodologi Barat jelas terlihat, sebagaimana metodologi-metodologi yang digunakannya banyak meminjam dari metode mazhab -mazhab filsafat Perancis, dalam usahanya mendekonstruski epistemologi Arab Islam.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mukti Ro’uf, Metode Terhadap Pembacaan Turats Arab: Sudut Pandang Muhammad Abid al-Jabiri, Jurnal Sekolah Tinggi Agama Islam Pontianak
al-Jâbirî. 2000. Post tradisionalisme Islam. Yogyakarta: LkiS
al-Jabirî. 2003.  Formasi Nalar Arab Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius, Terj. Imam Khoiri, Takwîn al-‘Aql al-Arabî. Yogyakarta:IRCiSOD
Aksin Wijaya. 2004.  Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafisr Gender. Yogyakarta: Safiria Insania Press
A.Khudori Soleh. 2003. Pemikiran Islam Kontemporer. Yogyakarta: Jendela
A.Khudori Soleh. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Fahmy Farid Purnama. 2015.Telaah Epistemologi Nalar Arab al-Jabiri dan Implikasinya dalam Islam. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Lorens Bagus. 1996.  Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia
Miftahurohim. 2011. Konflik Pemikiran Abu Hanifah dengan Imam Syafi’i dan Konstelasinya Terhadap Pemikiran Islam. Yogyakarta:UIN Suka Press


[1] Dalam Al-Quran tidak dikenal kata turats dalam pengertian tradisi kecuali dalam arti peninggalan orang yang telah meninggal. Karenanya, yang dimaksud turats (tradisi) menurut al-Jabiri adalah sesuatu yang lahir pada masa lalu, baik masa lalu kita atau orang lain, masa lalu itu jauh atau dekat dan ada dalam konteks ruang dan waktu. Tradisi adalah produk periode tertentu yang berasal dari masa lalu dan dipisahkan dari masa sekarang oleh jarak waktu tertentu. Dengan demikian, tradisi juga bisa berwujud teks yang dihasilkan dari pemikiran maupun realitas yang berwujud praktek keseharian. Aksin Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan; Kritik Atas Nalar Tafisr Gender, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), hlm. 109.
[2] Miftahurohim, Konflik Pemikiran Abu Hanifah dengan Imam Syafi’i dan Konstelasinya Terhadap Pemikiran Islam, (Yogyakarta:UIN Suka Press, 2011), hlm. 457
[3] Adonis, Arkeologi Sejarah-Pemikiran Islam, terj. Khoiron Nahdiyin, (Yogyakarta: LKiS, 2012), hlm. XXXVII-XXXVIII.
[4] Dikutip pada laman http://www.litagama.org. Jurnal Pemikiran al-Jabiri Edisi ke VI pada tanggal 12 Maret 2017.
[5] Setidaknya ada tiga tokoh pemikiran Islam kontemporer yang menggunakan terminologi Kritik (naqd) dalam proyek intelektualnya. Selain al-Jabiri, Mohammed Arkoun juga menggunakan terminologi Kritik Nalar Islam (naqd al-‘Aql al-Islami), dan Nasr Hamid Abu Zaid menggunakan terminologi Kritik Wacana Agama (naqd- al-Khitab ad-Din). Lihat, Khudori Soleh (ed), Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 351
[6] Fahmy Farid Purnama, Telaah Epistemologi Nalar Arab al-Jabiri dan Implikasinya dalam Islam, Makalah yang diseminarkan pada Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2015. Dikutip dalam laman  http://www.academia.edu pada tanggal 22 Maret 2017. Selengkapnya lihat Muhammad Abed Al-Jabiri, Nahnu wa Al-Turâts, (Markaz Dirasat Al-Wahdah Al-`Arabiah: Beirut, cet. I, 2006), hlm. 16-20
[7] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 177.
[8] Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi., hlm. 20.
[9] Mohammad Abid al-Jabirî. Formasi Nalar Arab Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius, Terj. Imam Khoiri, Takwîn al-‘Aql al-Arabî, (Yogyakarta:IRCiSOD, 2003), h. 169
[10] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam., hlm. 219.
[11] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam., hlm.223
[12] Mohammad Abid al-Jabirî. Formasi Nalar Arab Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius, h. 29
                [13] Mohammad Abid al-Jabirî. Formasi Nalar Arab Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius., h. 29
          [14] Al-Jâbirî, al-Turâts wa al-Hadâtsah: Dirâsât wa Munâqasyât (Bairut: Markaz al-Tsaqâfî al-Arabî, 1991), h. 47. Dikutip dalam Abdul Mukti Ro’uf, Metode Terhadap Pembacaan Turats Arab: Sudut Pandang Muhammad Abid al-Jabiri, Jurnal Sekolah Tinggi Agama Islam Pontianak, dikutip dalam laman http://www.academia.edu pada tanggal 22 Maret 2017
                [15] Dalam konteks pemikiran al-Jâbirî, kata ‘kritik’  atau ‘nalar’ yang dalam beberapa bukunya disitilahkan dengan naqd, ada dalam pengertian: ‘suatu aktivitas yang bersifat historis’ Kata ‘kritik’ di sini mengandung pengertian bagian dari kritik ‘epistemik’ yang melihat pikiran sebagai satu sistem. Artinya, bagaimana memahami pendapat seseorang bukan dengan melihat ‘siapa yang melontarkannya’ namun apa sistem yang mempersatukan pemikirannya sehingga melahirkan pemikiran yang beragam. al-Jâbirî, Post tradisionalisme Islam,  (Yogyakarta: LKiS, 2000), h. ix-liv.
                [16] Strukturalisme sebagai suatu pendekatan filosofis muncul pertama kali di Perancis sebagai hasil dari tulisan-tulisan Claude Levi-Staruss. al-Jâbirî yang menggunakan strukturalis untuk kepentingan pembahasan turâts Arab-Islam. Meskipun ia sendiri lebih berat menggunakan analisa sejarah. Maka, tidak diragukan lagi bahwa al-Jâbirî jelas dipengaruhi oleh filsafat Perancis. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 1041-1042
                [17] Al-Jâbirî, al-Turâts wa al-Hadâtsah, h. 49.
                [18] Ibid.,Al-Jâbirî, al-Turâts wa al-Hadâtsah, h. 50.
                [19] Ibid., Al-Jâbirî, al-Turâts wa al-Hadâtsah, h. 51.
                [20] Ibid., Al-Jâbirî, al-Turâts wa al-Hadâtsah, h. 32.
                [21] Ibid., Al-Jâbirî, al-Turâts wa al-Hadâtsah, h. 54-56. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diabolisme Salman Rushdie dan Ahok

ANTARA SALMAN RUSHDIE DAN AHOK Oleh: Dr. Adian Husaini Tahun 1988, dunia Islam digegerkan oleh seorang bernama Salman Rushdie. Kisahnya ...