MENYELAMI ESENSI KEINDAHAN DALAM KACAMATA FILSAFAT
Debri Koeswoyo
Jurusan
Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin
Universitas
Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
E-mail:debrikoeswoyo46@gmail.com
Abstrak
Estetika seringkali ditafsirkan dalam arti yang berbeda-beda,
sehingga mempunyai pengertian yang beragam dari berbagai pandangan individu
yang memahaminya. Dalam mengartikan estetika, hal yang umum didengar yaitu
ungkapan keindahan, perasaan, imajinasi, intuisi dan sebagainya. Secara
sederhana, estetika melihat bagaimana suatu keindahan dapat terbentuk dan
perasaan orang-orang yang merasakannya. Filosofi dari estetika sendiri ialah nilai-nilai sensoris, yang kadang
dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa. Keindahan menjadi salah
satu penilaian dari estetika itu sendiri. Memahami keindahan melalui filsafat
estetika, tidak terlepas dari individu dan kesubjektifannya melihat keindahan
tersebut. Tulisan ini membahas bagaimana keindahan itu diamati melalui kacamata
filsafat, sebagai suatu refleks kritis yang dirasakan oleh indera seorang
individu dan penilaiannya terhadap keindahan itu.
Kata Kunci: Keindahan, Akal, Nilai, Teori
Abstract
Aesthetics
are often interpreted in a different sense, so as to have a diverse
understanding of the various views of individuals who understand it. In
interpreting the aesthetic, it is common to hear that expression of beauty,
feelings, imagination, intuition, and so on. Simply put, the aesthetic look of
how a beauty can be formed and the feelings of people who feel it. The
philosophy of its own aesthetic values is sensory, which is sometimes regarded
as an assessment of sentiment and taste. The beauty of being one of the aesthetic
assessment itself. Understanding the beauty through aesthetic philosophy, is
inseparable from the individual and subjective see the beauty of it. This paper
discusses how the beauty of it is observed through the lens of philosophy, as a
reflex critically perceived by the sense of an individual and the assessment of
the beauty of it.
Keywords: Beauty,
Reason, Value, Theory
I.
PENDAHULUAN
Manusia
pada umumnya menyukai sesuatu yang indah, baik terhadap keindahan alam maupun
keindahan seni. Keindahan alam adalah keharmonisan yang menakjubkan dari
hukum-hukum alam yang dibukakan untuk mereka yang mempunyai kemampuan untuk
menerimanya. Sedangkan keindahan seni adalah keindahan hasil cipta manusia
(seniman) yang memiliki bakat untuk menciptakan sesuatu yang indah. Pada
umumnya manusia mempunyai perasaan keindahan.[1]
Pokok permasalahan yang dikaji di dunia filsafat
khususnya dalam aspek aksiologi mencakup tiga hal yakni apa yang disebut benar
dan apa yang disebut salah (logika),
mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (etika), serta apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek
(estetika).[2]
Estetika adalah merupakan salah
satu cabang dari filsafat. Secara sederhana, estetika adalah ilmu yang
membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa
merasakannya. Estetika merupakan bagian aksiologi yang
membicarakan permasalahan (Russel),
pertanyaan (Langer), atau issues (Farber) mengenai keindahan, menyangkut
ruang lingkup, nilai, pegalaman, perilaku dan pemikiran seniman, seni, serta
persoalan estetika dan seni dalam kehidupan manusia.[3]
Sama halnya dengan cabang ilmu filsafat lainnya,
estetika juga dipahami dalam lingkup bidang filsafat dan juga
ilmiah. Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah nilai filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang
kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa. Sentimen dan rasa
keindahan yang ditimbulkan dari estetika itu sendiri, sampai sekarang ini
menjadi perdebatan. Apakah Keindahan memang lahir dari objek yang mewujudkan
keindahan itu sendiri, atau keindahan itu lahir dari subjektifitas dan
pengalaman manusia yang mengamati suatu estetika dari seni atau alam yang
diamatinya. Dalam tulisan ini, penulis akan memaparkan bagaimana keindahan itu
dilihat sebagai objek akal, nilai-nilai dari keindahan sampai dengan
teori-teori yang dipaparkan oleh para ahli dibidang estetika mengenai keindahan
tersebut.
II.
PENGERTIAN DAN HAKIKAT KEINDAHAN (ESTETIKA)
Berbicara tentang keindahan
(estetika), maka dapat dijelaskan sebagai “the
study of nature of beauty in the fine art”,[4] mempelajari tentang hakikat
keindahan di dalam seni. Estetika
sendiri berasal dari bahasa Yunani yang merupakan cabang filsafat yang berbicara
tentang keindahan. Objek dari estetika adalah pengalaman akan keindahan.
Sehingga pada dasarnya estetika yang dicari adalah sebuah hakikat dari
keindahan, bentuk bentuk pengalaman keindahan (seperti keindahan jasmani dan
keindahan rohani, keindahan seni dan keindahan alam), yang diselidiki oleh
emosi manusia sebagai reaksi terhadap yang indah, agung, bagus, mengharukan dan
sebagainya.[5]
Pengertian mengenai estetika sangat
beragam, seperti menurut Kattsoff bahwa estetika merupakan segala sesuatu dan
kajian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan seni struktur dan
peranan dari keindahan.[6]
Estetika merupakan suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan
dengan keindahan, mempelajari semua aspek yang disebut keindahan.
Estetika merupakan bagian dari tri
tunggal, yakni teori tentang kebenaran (epistomologi), kebaikan dan keburukan
(etika) dan keindahan itu sendiri. Keindahan erat sekali hubungannya dengan
lidah dan selera perasaan. Menurut Thomas Aquinas dan Jacques Miaritain,
keindahan adalah realitas indah yang ada pada objek yang kemudian memberikan
perasaan enak dan senang pada objek. Keindahan bersifat objektif, sebaliknya
menurut George Santyana, indah adalah perasaan nikmat atau suka dari subjek
pada suatu objek yang kemudian menganggapnya sebagai milik objek, artinya apa
yang disebut indah sangat subjektif.[7]
Dalam sejarah pemikiran Barat, estetika merupakan salah satu cabang
fisafat yang berkembang pesat. pernyataan ini bisa dai lihat dari beberapa
tokoh filsuf besar yang melahirkan teori
serta pemikiran tentang estetika seperti Immanuel Kant. Kant berpendapat bahwa
yang indah adalah yang tanpa konsep dapat diterima sebagai sesuatu yang
universal, memuaskan, menyenangkan, tanpa pamrih dan tak berkepentingan.[8]
Contoh dari keindahan sendiri adalah ada sebuah taman yang terlihat
rindang dan sejuk. Didalamnya tumbuh beberapa tanaman yang tampak indah, subur
dan hijau. Bunga berwarna-warni seakan menambah pesona taman tersebut. Setiap
orang yang melalui jalan di samping taman tersebut selalu terpesona melihatnya.
Sebagian mereka ada yang sekedar menikmatinya sambil lalu, sebagian lagi berhenti sejenak untuk menenangkan
diri.
Semua
penjelasan tentang apa keindahan sebenarnya belum menampilkan kebenaran
keindahan itu sendiri. Hal ini memang hal wajar di dunia filsafat dimana suatu persoalan filsafat
jawabannya pasti
beraneka ragam dan semuanya
memiliki nilai kebenaran. Salah satu ciri-ciri umum yang ada pada semua
benda yang dianggap indah adalah dengan menyamakan ciri-ciri hakiki benda tersebut dengan keindahan.
Jadi, keindahan pada dasarnya adalah sejumlah kualitas pokok tertentu yang
terdapat pada sesuatu. Kualitas yang sering disebut adalah kesatuan (unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry), keseimbangan (balance), perlawanan (contrast).[9]
III.
KEINDAHAN SEBAGAI OBJEK AKAL
Menurut Jacques Maritain dalam bukunya yang
berjudul Art and scholasticism
berpendapat bahwa keindahan bukanlah objek perasaan melainkan objek tangkapan
akali.
a. Keindahan Menimbulkan Kesenangan Pada Akal
Jacques Maritain tidak mengingkari peranan yang
dipunyai oleh alat-alat inderawi, karena akal menangkap sesuatu sekedar dengan
jalan melakukan abstraksi dan analisa. Akibatnya, hanya pengetahuan yang
diperoleh melalui alat-alat inderawi yang dapat mempunyai sifat khas yang
diperlukan untuk menangkap keindahan. Maritain mengatakan bilamana suatu objek
dapat menimbulkan kesenangan pada akal, satu-satunya sarana langsung yang dapat
ditangkap oleh intuisi jiwa, maka objek tersebut merupakan sesuatu yang indah.
Keindahan ialah sesuatu didalam objek yang dapat menimbulkan senangan pada
akal, yang semata-mata karena keadaannya sebagai objek tangkapan akali.[10]
Sebenarnya keindahan bukanlah merupakan suatu
kualitas objek, melainkan sesuatu yang senantiasa bersangkutan dengan perasaan.
Sesungguhnya yang dinamakan warna sebuah objek ialah cara kita memberikan
reaksi terhadap suatu rangsangan. Kiranya pasti mudah dimengerti bahwa rasa
nikmat atau rasa sakit bersifat subjektif, karena kedua macam rasa tersebut
tidak akan dimengerti secara masuk akal sebagai kualitas-kualitas yang terdapat
pada objek yang lain. Tetapi orang dapat membayangkan keindahan yang terdapat
pada objek yang lain. Artinya orang dapat memproyeksikan perasaannya,karena
keindahan bersangkutan dengan rasa nikmat.[11]
b. Akal Tercermin Dalam Keindahan
Mengapa
suatu objek tertentu dapat dapat menimbulkan kesenangan pada akal? Maritain
menjawab, karena objek tersebut memiliki kesempurnaan tertentu yang juga dipunyai
oleh akal. Akal merasa senang pada sesuatu yang indah,
karena didalam sesuatu yang indah ia menemukan kembali dirinya, mengenal
dirinya kembali, dan berhubungan dengan pancarannya sendiri. Ciri-ciri
khas yang harus dipunyai suatu objek agar dapat dikatakan indah dapat ditemukan
dengan jalan memperhatikan apa yang diutamakan oleh akal.[12]
Akal
senantiasa gelisah apabila menyadari bahwa dirinya kurang sempurna. Berdasarkan
anggapan tersebut, maka salah satu syarat keindahan ialah harus ada keutuhan atau
kesempurnaan, karena yang dapat disebut indah ialah sesuatu yang
manakala ditangkap dapat menimbulkan kesenangan pada akal. Tetapi juga jelas,
bahwa akal tidak hanya mengutamakan kesempurnaan, melainkan juga ketertiban.
Bukankah ketertiban sesungguhnya merupakan tanda adanya kegiatan akal.[13]
Pengetahuan senantiasa menyangkut ketertiban barang sesuatu
yang diselidiki. Karena itu syarat keindahan , yang kedua ketertiban dan ketunggalan yang terungkap melalui keseimbangan
yang cocok. Karena itu, syarat terakhir bagi adanya
keindahan adalah kejelasan.
c. Keindahan Ialah Bentuk
Yang
dinamakan bentuk sesungguhnya ialah halnya sendiri yang diketahui, pengetahuan
yang benar ialah pengetahuan yang diperoleh melalui akal budi yang dapat
menjangkau bentuk barang sesuatu. Bentuk juga merupakan prinsip yang mendasari
keadaan yang dapat dipahami secara akali. Dalam babak terakhir, keindahan ialah bentuk yang menimbulkan kesenangan
pada akal. Untuk mudahnya dapat dikatakan bahwa didalam bentuk yang terpancar
pada materi, yang bersifat seimbang, tertib, dan sempurna itulah akal menemukan
diri sendiri. [14]
IV.
KEINDAHAN SEBAGAI NILAI
Ada beberapa poin yang dapat menjelaskan bagaimana keindahaan dapat
dipandang sebagai suatu nilai, yaitu sebagai berikut:[15]
1.
Nilai Intrinsik
Nilai yang ada
didalam seni itu terdapat pada bentuknya. Yang disebut bentuk ialah penyusunan
medium inderawi atau permukaan karya seni. Jika demikiran maka pandangan isi
dan emosi yang menyertai bentuk tersebut dapat dikatakan tidak relevan. Contoh,
dalam lukisan yang menggambarkan keindahan alam, nilai keindahan murni
diperoleh dari hubungan warna-warna, garis-garis, dan bentuk-bentuk yang dapat
disadari. Sedangkan gambar pohon, gunung merupakan tambahan nilai yang tidak
relevan.
2.
Nilai
Ekstrinsik
Nilai-nilai dari keindahan merupakan susunan makna dalam bentuk
yang ingin ditampilkan serta juga susunan inderawi yang menampung proyeksi dari
makna dalam bentuk tersebut.
3.
Nilai
Intelektual
Tujuan dari seni ialah menunjukan kebenaran. Kebenaran yang
ditunjukan bukanlah sebuah kebenaran sosial dan alami, melainkan kebenaran
seni. Keindahan seni menjadi sebuah prinsip universal kedua yang nyata dari
sekedar prinsip kebenaran khayal.
4.
Nilai Katalis
Nilai dari sebuah keindahan ialah ketika keindahan itu mampu
menjadi sesuatu yang menyebabkan penikmatnya mendapat kepuasaan, kedamaian,
perasaan emosional.
V.
TEORI DALAM ESTETIKA
1.
Teori Subjektif dan Objektif
Dalam sejarah estetis menimbulkan 2 kelompok
teori yang terkenal, yaitu teori objektif dan subjektif tentang keindahan.
Teori objektif dianut oleh Plato, Hegel dan Bernard Bosanquet. Sedangkan teori
subjektif didukung oleh Henry Home, dan Edmund Burke.
Teori objektif berpendapat, keindahan atau
ciri-ciri yang menciptakan estetis ialah sifat (kualitas) yang telah melekat
pada benda indah yang bersangkutan, terlepas dari orang yang mengamatinya.
Pengamatan
seseorang hanyalah menemukan atau menyingkapkan sifat-sifat indah yang sudah
ada pada suatu benda dan sama sekali tidak berpengaruh untuk merubahnya.[16]
Sedangkan teori subjektif adalah menyatakan
bahwa ciri-ciri yang menciptakan keindahan pada suatu benda sesungguhnya tidak
ada, yang ada hanyalah tanggapan perasaan dalm diri seseorang sendiri yang
mengamati suatu benda. Adanya keindahan semata-mata tergantung
pada pencerapan dari si pengamat
itu. Kalaupun dinyatakan bahwa suatu benda mempunya nilai estetis, hal ini
diartikan bahwa seseorang pengamat memperoleh pengalaman estetis sebagai
tanggapan terhadap benda itu.[17]
2.
Teori Perimbangan
Teori perimbangan tentang keindahan oleh Wladylaw Tatarkiewicz disebut
sebagai Teori agung tentang keindahan (the
great theory of beauty) atau dapat juga teori agung mengenai estetis eropa.
Teori agung tentang keindahan menjelaskan bahwa, keindahan terdiri atas
perimbangan dari bagian-bagian, atau lebih tepat lagi terdiri atas ukuran,
persamaan dan jumlah dari bagian-bagian serta hubungannya satu sama lain.[18]
VI.
KESIMPULAN
Berbicara tentang keindahan (estetika), maka
dapat dijelaskan sebagai “the study of
nature of beauty in the fine art”,
yaitu mempelajari tentang hakikat keindahan di dalam seni. Objek dari estetika adalah pengalaman akan
keindahan. Sehingga pada dasarnya estetika yang dicari adalah sebuah hakikat
dari keindahan, bentuk bentuk pengalaman keindahan yang dirasakan oleh manusia (seperti
keindahan jasmani dan keindahan rohani, keindahan seni dan keindahan alam),
yang diselidiki oleh emosi manusia sebagai reaksi terhadap yang indah, agung,
bagus, mengharukan dan sebagainya.
Keindahan merupakan nuansa yang memberikan ketenangan dan kedamaian pada
diri dan jiwa manusia. Walaupun nilai dari keindahan itu sendiri adalah subjektifitas,
tidak ada kesalahan dalam menilainya. Karena pada hakikatnya pengalaman atau
tata cara setiap manusia dalam melihat keindahan adalah berbeda tergantung
bagaimana pengetahuannya tentang keindahan, pengalamannya bahkan sampai kepada
kondisi emosional orang yang menilai keindahan tersebut.
Pertanyaan:
1.
Bagaimana
substansi nilai-nilai keindahan dalam hubungannya dengan objek akal?
2.
Bagaimana
gambaran teori mengenai penilaian akan suatu keindahan?
DAFTAR
PUSTAKA
Amin, Saidul Amin. Filsafat Barat Abad. Pekanbaru: Asa Riau. 2012
Dharsono. Estetika.
Bandung: Rekayasa Sains. 2007
Katsoff, Louis. Pengantar
Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1992
Mutahar, Muhammad Dian dkk, Makalah
Konsep, Hakekat dan Pandangan Filosof Mengenai Estetika, Malang:
Universitas Negeri Malang. 2015
Muslih. Filsafat Umum Dalam Pemahaman Praktis.
Yogyakarta: Belukar. 2005
Susanto. Filsafat Ilmu.
Jakarta: Bumi Aksara. 2011
Soemargono, Soejono. Pengantar
Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2004
Wiramihardja, Sutardjo. Pengantar Filsafat: Sistematika dan Sejarah Filsafat Logika dan
Filsafat Ilmu, Metafisika dan Aksiologi. Bandung:
Refika Aditama. 2009
[2] Saidul Amin, Filsafat Barat Abad, (Pekanbaru:
Asa Riau, 2012), hlm. 15
[3]
Sutardjo Wiramihardja, Pengantar Filsafat: Sistematika dan Sejarah Filsafat Logika dan
Filsafat Ilmu, Metafisika dan Aksiologi, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 173
[4] Dharsono, Estetika,
(Bandung: Rekayasa Sains, 2007), hlm. 5
[6] Dharsono, Estetika.,
hlm. 4
[7] Louis Katsoff
dan
Soejono Soemargono (ed), Pengantar Filsafat, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1992), hlm. 386-388
[9]
Dharsono, Estetika.,
hlm. 2
[10] Muhammad Dian
Mutahar dkk, Makalah Konsep, Hakekat dan Pandangan Filosof Mengenai
Estetika, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2015), hlm. 11. Dikutip dalam
laman http://www.academia.edu pada tanggal
23 Febuari 2017
[12] Muhammad Dian
Mutahar, Makalah Konsep, Hakekat dan Pandangan Filosof Mengenai Estetika.,hlm.
12. Dikutip dalam laman http://www.academia.edu pada tanggal
23 Febuari 2017
[13] Ibid.,hlm.
12
[14] Ibid.,hlm.
13
[15] Ibid.,hlm.
13-15
[16]
Dharsono, Estetika.,
hlm. 10
[17]
Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar