EPISTEMOLOGI TASAWUF AL-GHAZALI
(The Epistemology of Islamic Mysticism Al-Ghazali)
Debri Koeswoyo
E-mail:debrikoeswoyo46@gmail.com
Jurusan
Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin
Universitas
Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
Abstract
Imam al-Ghazali (l.450 H/ 1058 M- w.505 H/ 1111 M) was a prominent and Muslim intellectual who inspired many in the world of Islamic knowledge, especially donations thoughts in the world of Sufism. Results of thought poured in a variety of written works have resulted in profound changes in the Islamic civilization throughout the ages. Al-Ghazali was a familiar figure in the world of Islamic thought, because so many people find his name in the literature, both classical and modern. The story of al-Ghazali intellectual odyssey into something quite memorable of his life. Intellectual vacillation that happened after he was able to understand the whole idea of classical philosophy and theology, took herself to the gate of his soul tranquility that is the world of Sufism. Al-Ghazali was able to pour all his spiritual experience in some of his writings. Exploring the epistemology of Sufism al-Ghazali thought itself starts from celebrated work inside al-Munqiz min al-Dalal and Mi’yar al-Ilm, is new shades that color the world of Islamic thought.
Imam al-Ghazali (l.450 H/ 1058 M- w.505 H/ 1111 M) was a prominent and Muslim intellectual who inspired many in the world of Islamic knowledge, especially donations thoughts in the world of Sufism. Results of thought poured in a variety of written works have resulted in profound changes in the Islamic civilization throughout the ages. Al-Ghazali was a familiar figure in the world of Islamic thought, because so many people find his name in the literature, both classical and modern. The story of al-Ghazali intellectual odyssey into something quite memorable of his life. Intellectual vacillation that happened after he was able to understand the whole idea of classical philosophy and theology, took herself to the gate of his soul tranquility that is the world of Sufism. Al-Ghazali was able to pour all his spiritual experience in some of his writings. Exploring the epistemology of Sufism al-Ghazali thought itself starts from celebrated work inside al-Munqiz min al-Dalal and Mi’yar al-Ilm, is new shades that color the world of Islamic thought.
Abstrak
Imam
al-Ghazali (l.450 H/ 1058 M- w.505 H/ 1111 M)merupakan seorang tokoh dan intelektual Muslim
yang banyak memberikan inspirasi dalam dunia pengetahuan Islam, khususnya
sumbangan pemikirannya di dunia
tasawuf. Hasil pemikiran yang dituangkannya dalam berbagai karya tulisnya telah
memberikan perubahan besar dalam peradaban Islam
dari zaman ke zaman. Al-Ghazali
merupakan figur yang tidak asing dalam dunia pemikiran Islam, karena begitu
banyak orang menemukan namanya dalam berbagai literatur, baik klasik maupun modern. Cerita pengembara-an
intelektual al-Ghazali menjadi sesuatu yang sangat mengesankan dari perjalanan
hidupnya. Kebimbangan intelektual yang dialaminya setelah ia mampu memahami
keseluruhan pemikiran filsafat klasik dan ilmu kalam, mengantarkan dirinya
kepada pintu gerbang ketenangan jiwanya yaitu dunia tasawuf. Al-Ghazali mampu
menuangkan segala pengalaman spritualnya dibeberapa karya tulisnya. Menjelajahi
epistemologi dari pemikiran tasawuf al-Ghazali sendiri dimulai dari karya
masyurnya dalam al-Munqiz
min al-Dalal dan Mi’yar al-Ilm, merupakan nuansa baru yang
mewarnai dunia pemikiran Islam.
Kata
Kunci: Al-Ghazali,
Epistemologi, Tasawuf
I.
PENDAHULUAN
Al-Ghazali adalah
salah seorang pemikir besar Islam dan filsafat kemanusiaan, disamping sebagai
salah seorang yang memiliki pribadi yang memiliki berbagai kejeniusan dan
banyak karya. Beliau merupakan pakar ilmu syari’ah pada dekadenya, kecuali ilmu
hadis. Serta merupakan salah satu sentral sufisme, pejuang keruhanian, tokoh
pendidikan dan dakwah. Beliau adalah salah seorang dari kalangan Rabbaniyun,
orang-orang yang berilmu yang konsekwen lagi mengajarkanya.[1]
Dibalik kebesaran dan
kemuliaan yang dimilikinya, masih banyak kaum Muslim yang belum
begitu memahami pemikiran beliau, masih terdapat kubu yang pro dan kontra
terhadap al-Ghazali. Kubu yang
kontra ini banyak mengkritik pemikiran Al-Ghazali, dan banyak dari mereka
merupakan ilmuwan muslim yang juga sangat berpengaruh, seperti halnya Ibnu
Taimiyah dan Ibnu Rusyd. Al-Ghazali juga dinilai sebagai penyebab kemunduran ilmu pengetahuan
dan kebudayaan Islam.
Seorang orientalis besar, McDonald, setelah mengkaji wacana-wacana pemikiran
al-Ghazali,
secara sungguh sungguh menyatakan, “Sesungguhnya
kaum muslimin belum memahami hakikat Al-Ghazali”.[2] Dari pendapat tersebut
dapat diketahui bahwa kita sebagai kaum Muslimin harus banyak
mengkaji berbagai wacana dari
pemikiran al-Ghazali, karena pemikiran Al-Ghazali sangat kompleks dan luas, hal ini
dapat dilihat dari beragam ilmu yang beliau pelajari.
Dari
kajian tersebut, dapat diketahui bahwa pengaruh al-Ghazali
sangat besar dalam mempengaruhi perkembangan Islam,
dan sayangnya banyak kaum muslim yang belum memahami hakikat kebenaran dari pemikiran yang diutarakan
oleh al-Ghazali. Oleh karena itu perlu dikaji lebih mendalam bagaiman epistemologi yang dibangun
atau yang mempengaruhi pemikiran al-Ghazali
di dunia tasawuf khususnya, sehingga pemikiran
dari al-Ghazali dapat di analisis secara
detil dan mendalam dan
diperoleh pengetahuan serta
pemahaman yang lebih dalam mengenai gagasan epistemologi al-Ghazali terhadap perkembangan pemikirannya.
II.
BIOGRAFI DAN KARYA AL-GHAZALI
Al-Ghazali,
algazel, nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Al-Thui Al-Ghazali,
lahir di Thus, dekat Masyhad, Khurasan, tahun 450 H/ 1058 M, dan wafat pada 14 Jumadil Akhir 505 H/19
Desember 1111 M. dari
ayah seorang penenun wol (ghazzal), sehingga dijuluki Al Ghazali. Beliau sejak kecil dikenal sebagai anak pencinta
ilmu pengetahuan dan seorang pencari kebenaran sekalipun keadaan orang tua yang
kurang mampu serta situasi dan kondisi sosial politik dan keagamaan yang labil
tidak menggoyahkan tekad dan kemauannya untuk belajar dan menuntut ilmu pada
beberapa ulama.[3]
Perjalanan
keilmuan Imam Al-Ghazali diawali dengan belajar Al-Qur’an, al-Hadits, riwayat para
wali dan kondisi kejiwaan mereka pada seorang sufi yang juga teman ayahnya.
Pada waktu bersamaan, dia menghafal beberapa syair tentang cinta dan orang yang
mabuk cinta.[4]
Kemudian
Imam Al-Ghazali dimasukkan ke sebuah sekolah yang menyediakan beasiswa bagi
para muridnya, karena bekal yang telah dititipkan ayahnya pada Muhammad
Al-Rizkani habis. Di sini gurunya adalah Tusuf al-Nassy, seorang sufi yang
telah tamat ia melanjutkan pelajarannya ke kota Jurjan berguru kepada Imam Abu
Nasr al-Ismail, mendalami bahasa Arab, Persia dan pengetahuan agama.[5]
Setelah itu ia menetap di Thus untuk mengulang-ulang pelajaran yang
diperolehnya di Jurjan selama 3 tahun dan mempelajari tasawuf dibawah bimbingan
Yusuf al-Nassy, selanjutnya ia pergi ke Nishapur, di sana ia belajar di Madrasah Nizhamiyah yang dipimpin oleh
ulama’ besar Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini yang bergelar Imam al-Haramain adalah
salah seorang teolog aliran Asy’ariyah.[6]
Menurut
Tajuddin Al Subki, Al Juwaini inilah yang mengenalkan Al Ghazali pada filsafat
termasuk logika dan filsafat alam lewat disiplin teologi. Selain itu, Al
Ghazali juga mempelajari tasawuf dibimbing oleh Abu Ali Al Farmadzi, tokoh sufi
asala Thus, namun sayangnya, menurut Osman Bakar, Al Ghazali, pada tingkatan
ini, belum berhasil mencapai tingkat di mana sang sufi menerima inspirasi dari
“alam atas”. [7]
Sepeninggal al-Juwaini, al-Ghazali pergi ke kota Mu’askar yang ketika itu menjadi gudang para
sarjana. Di sinilah ia berjumpa
dengan Nizam al-Mulk. Kehadiran al-Gazzali disambut baik oleh wazir ini,
dan sudah bisa dipastikan bahwa
oleh karena kedalaman ilmunya, semua
peserta mengakui
kehebatan dan keunggulannya. Dengan demikian, jadilah al-Gazzali “Imam”
di wilayah Khurasan
ketika itu. la tinggal di kota Mu’askar ini hingga
berumur 34 tahun. Melihat kepakaran al-Gazzali
dalam bidang
fikih, teologi, dan filsafat, maka Menteri Nizamul Mulk mengangkatnya menjadi “guru besar” teologi dan “rektor” di madrasah Nizamiyyah di Baghdad, yang telah didirikan pada
1065. Pengangkatan itu terjadi pada 484/Juli 1091.[8]
Al-Ghazali
mendapat gelar kehormatan Hujjatul Islâm atas pembelaannya yang
mengagumkan terhadap agama Islam, terutama terhadap kaum bâthiniyyah dan kaum
filosof. Sosok Al-Ghazali mempunyai keistimewaan yang luar biasa. Dia seorang
ulama, pendidik, ahli pikir dalam ilmunya dan pengarang produktif.
Karya-karya
tulisnya meliputi berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Berikut beberapa warisan
dari karya ilmiah yang paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran umat Islam:[9]
- Maqâshid
Al Falâsifah
(tujuan-tujuan para filosof), karangan pertama yang berisi masalah-masalah
filsafat.
- Tahâfut
Al Falâsifah
(kekacauan pikiran para filosof) yang dikarang ketika jiwanya dilanda
keragu-raguan di Baghdad dan Al-Ghazali mengecam filsafat para filosof dengan
keras.
- Mi’yâr
Al ‘Ilm
(kriteria ilmu-ilmu).
- Ihyâ`
‘Ulûm Ad-Dîn (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama),
merupakan karya terbesarnya selama beberapa tahun dalam keadaan
berpindah-pindah antara Damaskus,Yerussalem, Hijjâz dan Thus yang berisi
panduan antara fiqih, tasawuf dan filsafat.
- Al
Munqidz Min Adl Dlalâl (penyelamat dari kesatuan), merupakan sejarah
perkembangan alam pikiran Al-Ghazali dan merefleksikan sikapnya terhadap
beberapa macam ilmu serta jalan mencapai Tuhan.
- Al
Ma’ârif Al ‘Aqliyyah (pengetahuan yang rasional).
- Misykat
Al Anwâr
(lampu yang bersinar banyak), pembahasan akhlâq tashawuf.
- Minhaj
Al ‘Âbidîn
(jalan mengabdikan diri pada Tuhan).
- Al
Iqtishâd fî Al I’tiqâd (moderasi dalam akidah).
- Ayyuhâ
Al Walad
(wahai anak).
- Al
Mustasyfa
(yang terpilih).
- Iljam
Al ‘Awwâm ‘an ‘Ilm Al Kalâm.
- Mizan
Al ‘Amal
(timbangan amal).
III.
MAKNA
DAN HAKIKAT EPISTEMOLOGI
Sebagai derivasi epistemology berasal dari bahasa Yunani
yaitu, episteme:
pengetahuan dan logos: ilmu, maka secara sederhana epistemologi dapat
dimaknai dengan teori pengetahuan.
Pertanyaan
sentral yang menjadi pusat perhatian dari epistemologi itu sendiri ialah
meliputi, asal usul ilmu pengetahuan dan tempat rasio dalam hal yang sama,
hubungan antara pengetahuan dan kepastian, dan antara pengetahuan dan kemustahilan
yang keliru.[10]
Secara sederhana diskusi mengenai epistemology menyangkut sumber, batasan,
struktur dan justifikasi dari ilmu pengetahuan itu sendiri.[11]
Sehingga, makna dan
hakikat dari epistemologi itu sendiri ialah mendiskusikan hakikat ilmu pengetahuan
dari aspek sumber, cara mendapatkannya, ruang lingkup dan yang membedakan
antara yang benar dan yang palsu serta menjelaskan kebenaran yang haqiqi.
IV.
EPISTEMOLOGI
TASAWUF AL-GHAZALI
Al-Ghazali,
seperti telah disinggung sekilas di atas, sering secara tidak adil dituduh
sebagai penyebab kemunduran Islam hanya karena ia lebih mengedepankan afiliasi
dalam ‘tradisional’ Asy’ariahnya dibanding aliran ‘nasionalnya’
Mu’tazilah, dan terutama karena serangan terhadap filsafat melalui kitabnya, Tahafut
al-Falasifah, serta keberpihakannya terhadap tasawuf yang lebih
mengutamakan olah rasa daripada nalar sebagai satu-satunya jalan yang paling
absah menuju kebenaran hakiki.[12]
Dengan
pola pemahaman yang sangat sederhana, barangkali, Al-Ghazali memang memberikan
kesan seperti itu, namun dalam telaah yang lebih luas dan mendalam, Al-Ghazali
bukanlah seperti apa yang dipahami diatas.
“Sesungguhnya akal semata bila tidak dibarengi
dengan pancaindera tidak bisa memutuskan proposisi-proposisi, melainkan ia
hanya dapat menangkapnya dengan perantaraan pancaindera. Maka janganlah kamu
meragukan kebenaran hasil-hasil penglihatan pancaindera, bila kamu kecualikan
karena faktor-faktor aksidental, seperti lemahnya indera, jauhnya objek yang
diindera dan tebalnya perantara”.[13]
Dari
pernyatan tersebut jelas sekali di mata Al-Ghazali paradigma empirisme yang
lebih bertumpu pada hasil penglihatan inderawi. Dari sini terlihat dengan jelas
bahwa Al-Ghazali telah menggabungkan paradigma empirisme dan rasionalisme.
Tetapi, bentuk pemaduan itu tetap dilakukan secara hierarkis, bukan dalam
rangka melahirkan sintesa diantar keduanya.
Sedangkan
terkait dengan serangannya terhadap filsafat, kalau kita mengetahui sisi filsafat
mana yang diserangnya, maka akan kita dapati bahwa tuduhan di atas sangatlah
tidak mendasar. Sebab, Al-Ghazali bukannya menyerang keseluruhan bangunan
filsafat, tetapi hanya bagian metafisikanya saja. Itupun, yang diserangnya
bukan objek kajiannya, tetapi lebih pada kesalahan struktur argumentasi para
filosof.[14]
Terhadap
hasil pengamatan indrawi, Al-Ghazali akhirnya berkesimpulan bahwa :
“Tentang hal ini aku
ragu-ragu, karena hatiku berkata : bagaimana mungkin indra dapat dipercaya,
penglihatan mata yang merupakan indera terkuat adakalanya seperti menipu.
Engkau misalnya, melihat bayang-bayang seakan diam, padahal setelah lewat
sesaat ternyata ia bergerak sedikit demi sedikit, tidak diam saja. Engkau juga
melihat bintang tampaknya kecil, padahal bukti-bukti berdasarkan ilmu ukur
menunjukkan bahwa bintang lebih besar daripada bumi. Hal-hal seperti itu
disertai dengan contoh-contoh yang lain dari pendapat indera menunjukkan bahwa
hukum-hukum inderawi dapat dikembangkan oleh akal dengan bukti-bukti yang tidak
dapat disangkal lagi”.[15]
Dari
pernyatan tersebut jelas sekali di mata Al-Ghazali paradigma empirisme yang
lebih bertumpu pada hasil penglihatan inderawi, tidak dapat dijadikan sebagai
bentuk pengetahuan yang menyakinkan lagi, sebab kebenaran yang ditawarkan
bersifat tidak tetap atau berubah-ubah. Dengan
berbekal keyakinan aksiomatis inilah Al-Ghazali mencoba meneliti kebenaran
hakiki yang ditawarkan melalui jalan kalam, batiniyah, filsafat dan sufisme.
Selama pengembaraannya didunia ilmu kalam, batiniyah ataupun filsafat tidak ada
yang didapatnya kecuali hanya pengetahuan-pengetahuan yang akan mengantarnya
kepada kebenaran yang masih menimbulkan keraguan-keraguan dan
pertanyaan-pertanyaan baru.
Akhirnya hanya di jalan sufisme-lah, Al-Ghazali
mulai mendapatkan jalan terang menuju pengetahuan tentang hakikat segala
sesuatu seperti yang dicarinya selama ini, yakni dibukakannya rahasia
ke-Tuhanan dan aturan-aturan tentang segala yang ada, sehingga tampaklah secara
langsung Al-Ghazali sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata ataupun tidak
pernah terdengar oleh telinga.
“Cahaya
itu adalah kunci dari kebanyakan pengetahuan, dan siapa yang menyangka bahwa
kasyf (pembukaan tabir) bergantung pada argumen-argumen, sebenarnya telah
mempersempit rahmat Tuhan yang demikian luas.... Cahaya yang dimaksud adalah
cahaya yang disinarkan Tuhan dalam hati sanubari seseorang.”[16]
Berdasarkan
ungkapan dia tersebut, dapat disimpulkan bahwa satu-satunya pengetahuan yang
menimbulkan keyakinan akan kebenarannya bagi Al-Ghazali adalah pengetahuan yang
diperoleh secara langsung dari Tuhan dengan tasawuf.[17]
Pengetahuan
terakhir inilah yang Al-Ghazali disebut dengan al-kasyf, yang merupakan
puncak dari bangunan epistomologis. Hanya melalui al-kasyf inilah
seseorang akan mencapai hakikat pengetahuan (tasawuf) yang kokoh, karena apa
yang diperolehnya melalui jalan kasyf ini sekali-kali tidak akan pernah
membuatnya bimbang ataupun ragu, sebab pengetahuan ini dilahirkan dari suatu
sikap (tingkah laku dan pemahaman yang selalu diterangi oleh cahaya keilahian).
Untuk
mencapai kasyf tersebut harus melalui thariqah, yaitu jalan untuk
mendalami tasawuf. Apabila thariqah ini dijalankan, maka mendekati Tuhan lebih
mudah. Namun, kemudahan tersebut harusmelalui proses riyadah (latihan), mujahadah
(perjuangan) dan istiqamah di dalamnya.
Proses-proses tersebut dilalui dengan amal-amal perbuatan dan hati.
Proses tersebut diantaranya dengan :
a.
Meraih Ilmu
Syeikh
Abdullah bin Alwi al-Hadad mengatakan bahwa untuk mendapatkan kesehatan
lahir-batin dan dalam meniti jalan para muttaqin haruslah mengetahui
ilmu yang dapat mengantarkan kepada-Nya. Yang dimaksud dengan ilmu yang terkait
dengan keabsahan keislaman dan keimanan seseorang. Diantaranya ialah ilmu
tentang Allah, rasul-rasul-Nya, hari-hari akhir, dan hal-hal yang wajib dan
haram. Syeikh al-Haddad membagi ilmu wajib menjadi dua yaitu : [18]
Pertama, ilmu wajib, yang secara
indispensable (dharuri ) harus dipelajari, yakni rukun Islam dan iman, serta
pengalaman tentang haram dan halal, boleh atau tidak boleh, atau yang disebut
juga ilmu wajib dharuri
Kedua, ilmu yang wajib dipelajari
bila diperlukan untuk diamalkan, seperti ilmu tentang rukun-rukun dan manasik
haji bagi orang yang mampu dan melakukan ibadah tersebut, atau ilmu tentang
zakat kala harta orang tersebut telah mencapai batas-batas kewajiban untuk
menjadi muzzaki (orang yang wajib mengeluarkan zakat), atau yang disebut dengan
ilmu wajib idhafi.
b. Amal
Ada hadis qudsi yang menerangkan bahwa amal
atau perbuatan yang padanya ditujukan untuk Tuhan maka kebaikan akan pula
diraih oleh yang melaksanakannya. Rasul bersabda dalam hadits qudsi “Tidaklah
seseorang yang mendekatkan diri kepada Ku(Allah) dengan melaksanakan apa yang
aku perintahkan kepada mereka dan senantiasa seorang hamba yang mendekat
kepadaku melalui berbagai ibadah (wajib atau sunnah), sampai aku mencintainya. Apabila aku telah mencintai kepadannya maka
aku memelihara pendengarannya dari
apa yang dia dengarnya , aku memelihara penglihatannya
dari apa yang dilihatnya, aku memelihara lisannya dari apa yang telah dia
ucapkannya, aku memelihara tangannya dari apa yang dia genggamnya, dan aku
pelihara kakinya dari apa yang dia tapakinya.”.[19]
c. Al-Wara
Sikap
wara’ diawali dengan sikap qanaah (tidak tamak), menjauhi israf
(sikap berlebihan), serta menjauhi kecondongan kepada bisikan hawa nafsu. Sikap
wara’ merupakan sikap waspada terhadap apa saja yang dapat merusak
ibadah seseorang, baik itu dari yang dipakai (malbus) maupun yang
dimakan (ma’kul).
Tidak
adanya sikap wara’ pada seseorang disebabkan oleh adanya sikap tamak
atau ittiba’ al-hawa (mengikuti hawa nafsu), dan adanya angan-angan yang
terlalu panjang (thulul a’mal) hingga lupa melihat bahwa dunia hanya
sebagai stasiun transit dalam menuju kehidupan yang haqiqi.[20]
V.
KESIMPULAN
Epistemologi tasawuf yang
dikemukakan al-Ghazali merupakan sebuah jalan dan proses yang panjang dari
pengembaran intelektual dirinya. Dirinya mampu membangun asumsi dasar yang
menjadi aspek terpenting dalam memahami atau menangkap esensi dari segala
sesuatu, dimana ada jalan yang harus ditempuh oleh manusia itu sendiri. Tiga
sarana pokok yang menurut al-Ghazali dapat mengantarkan manusia kepada esensi
tersebut yaitu, pancaindera, akal dan intuisi (zauq).
Aspek-aspek intuisi (zauq) tersebut dapat
menjadi jalan kasyf antara manusia dengan Allah SWT sehingga, melalui
al-kasyf inilah seseorang akan mencapai hakikat pengetahuan yang kokoh,
karena apa yang diperolehnya melalui jalan kasyf ini sekali-kali tidak
akan pernah membuatnya bimbang ataupun ragu. Untuk
mencapai ketingkat ini diperlukan riyadah (latihan) dan mujahadah (perjuangan)
yang dilakukan oleh manusia
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Al-Ghazali. Transendensi Ilahi. Surabaya: Pustaka Progressif. 1999
Al-Ghazali. al-Munqiz
min al-Dalal, ed. Ahmad Galusy, Mesir: Maktabah wa Matba’ah Muhammad Ali
Sabih wa Awladuh. 1952
Al-Ghazali. Mi’yar
al-Ilm, ed. Sulayman Dunya. Mesir: Dar al-Ma’arif. 1961
Al-Ghazali. Bidayah al-Hidayah.
Surabaya: Assalafiyah. 1995
Amin, Saidul. Filsafat Barat Abad 21.
Pekanbaru: Daulat Riau. 2012
Asmuni, M.
Yusron. Pertumbuhan dan Perkembangan
Berfikir dalam Islam. Surabaya: Al Ikhlas. 1994
Abu Al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani. Sufi dari Zaman ke Zaman. Bandung:
Pustaka Setia. 1979
Saeful Anwar. Filsafat
Ilmu al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi, (Bandung: Pustaka Setia.
2007
Simon
Blackburn. Kamus Filsafat, Terj. Yudi Santoso The Oxford Dictionary of
Philosopy, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013
Rosyad, Achmad
Faizur. Mengenal Alam Suci Menapak Jejak
Al-Ghazali. Yogyakarta: KUTUB. 2004
Umar Ibrahim. Thariqah Alawiyah.
Jakarta: Mizan. 2001
Yusuf al-Nassy dan Ali al-Farm. Ensiklopedi
Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve. 1993
Qardhawi, Yusuf. Al-Ghozali antara Pro dan Kontra. Surabaya: Pustaka Progesif. 1996
B.
Jurnal
Abdul Ghofur, Karakteristik dan Pengaruh Tasawuf
al-Ghazali, Badan Penelitian dan Pengembangan Fakultas Ushuluddin IAIN
SUSQA Tahun 2002, dalam Jurnal
Ushuluddin Volume V No 1 Tahun 2002
Abdul Moqsith Ghazali, Corak Tasawuf Al-Ghazali Dan
Relevansinya Dengan Konteks Sekarang, Jurnal Al-Tahrir STAIN Ponorogo dalam e-journal.stain-ponorogo.ac.id
Nurdin, Al-Ghazali: Pengembaran Intelektual dan
pergolakan Batin Menuju Kehidupan Sufistik, Mendamaikan Syariah dan Tasawuf. Jurnal
Al-Fikr Fakultas Ushuluddin UIN Alauddin
Makassar dalam e-journal.uin-alauddin.ac.id
[1] Yusuf Qardhawi, Al-Ghozali
antara Pro dan Kontra,
(Surabaya: Pustaka Progesif, 1996), hlm 39-40.
[2] Ali Abu Bakar, Al-Ghazali Peretas Jalan Menuju Kemajuan dan
Keberakhlakan Umat, Pengantar dalam buku Transendensi Ilahi
Karya Al Ghazali, terj. Masyhur Abadi. (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1999).,hlm
xix.
[3] Yusuf al-Nassy dan Ali
al-Farm, Ensiklopedi Islam, ( Jakarta: Ichtiar Baru Van
Houve, 1993), jilid 5, hlm. 26
[4] Achmad Faizur Rosyad, Mengenal Alam Suci Menapak Jejak Al-Ghazali,
(Yogyakarta: KUTUB, 2004), 115
[5] M. Yusron Asmuni, Pertumbuhan dan Perkembangan Berfikir dalam
Islam, (Surabaya: Al Ikhlas, 1994), hlm. 8-9
[6] Abu Al-Wafa’ al-Ghanimi
al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung:
Pustaka, 1979), hlm. 148
[7] Ibid.
[8] Abdul Ghofur, Karakteristik dan Pengaruh Tasawuf al-Ghazali,
Badan Penelitian dan Pengembangan Fakultas Ushuluddin IAIN SUSQA Tahun 2002,
dalam Jurnal Ushuluddin Volume V NO 1
Tahun 2002
[9] Saeful Anwar, Filsafat Ilmu al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi,
(Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 73
[10] Simon Blackburn, Kamus Filsafat, Terj. Yudi Santoso The Oxford
Dictionary of Philosopy, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 286
[12] Abdul Moqsith Ghazali, Corak Tasawuf Al-Ghazali Dan Relevansinya
Dengan Konteks Sekarang, Jurnal Al-Tahrir STAIN Ponorogo, dikutip dalam e-journal.stain-ponorogo.ac.id
tanggal 22 Maret 2017
[14] Nurdin, Al-Ghazali: Pengembaran Intelektual dan pergolakan Batin
Menuju Kehidupan Sufistik, Mendamaikan Syariah dan Tasawuf. Dikutip dalam Jurnal
Al-Fikr Fakultas Ushuluddin UIN Alauddin Makassar, pada laman e-journal.uin-alauddin.ac.id
tanggal 22 Maret 2017
[15] Al-Ghazali, al-Munqiz min al-Dalal,
ed. Ahmad Galusy, (Mesir: Maktabah wa Matba’ah Muhammad Ali Sabih wa Awladuh,1952),
hlm. 26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar