Senin, 01 Mei 2017

Epistemologi Tasawuf al-Ghazali (450-505 H)



EPISTEMOLOGI TASAWUF AL-GHAZALI
(The Epistemology of Islamic Mysticism Al-Ghazali)

Debri Koeswoyo
E-mail:debrikoeswoyo46@gmail.com
Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

Abstract
Imam al-Ghazali
(l.450 H/ 1058 M- w.505 H/ 1111 M) was a prominent and Muslim intellectual who inspired many in the world of Islamic knowledge, especially donations thoughts in the world of Sufism. Results of thought poured in a variety of written works have resulted in profound changes in the Islamic civilization throughout the ages. Al-Ghazali was a familiar figure in the world of Islamic thought, because so many people find his name in the literature, both classical and modern. The story of al-Ghazali intellectual odyssey into something quite memorable of his life. Intellectual vacillation that happened after he was able to understand the whole idea of ​​classical philosophy and theology, took herself to the gate of his soul tranquility that is the world of Sufism. Al-Ghazali was able to pour all his spiritual experience in some of his writings. Exploring the epistemology of Sufism al-Ghazali thought itself starts from celebrated work inside al-Munqiz min al-Dalal and Mi’yar al-Ilm, is new shades that color the world of Islamic thought.
Keywords: Al-Ghazali, Epistemology, Mysticism

Abstrak
Imam al-Ghazali (l.450 H/ 1058 M- w.505 H/ 1111 M)merupakan seorang tokoh dan intelektual Muslim yang banyak memberikan inspirasi dalam dunia pengetahuan Islam, khususnya sumbangan pemikirannya di dunia tasawuf. Hasil pemikiran yang dituangkannya dalam berbagai karya tulisnya telah memberikan perubahan besar dalam peradaban Islam dari zaman ke zaman.  Al-Ghazali merupakan figur yang tidak asing dalam dunia pemikiran Islam, karena begitu banyak orang menemukan namanya dalam berbagai literatur, baik klasik maupun modern. Cerita pengembara-an intelektual al-Ghazali menjadi sesuatu yang sangat mengesankan dari perjalanan hidupnya. Kebimbangan intelektual yang dialaminya setelah ia mampu memahami keseluruhan pemikiran filsafat klasik dan ilmu kalam, mengantarkan dirinya kepada pintu gerbang ketenangan jiwanya yaitu dunia tasawuf. Al-Ghazali mampu menuangkan segala pengalaman spritualnya dibeberapa karya tulisnya. Menjelajahi epistemologi dari pemikiran tasawuf al-Ghazali sendiri dimulai dari karya masyurnya dalam al-Munqiz min al-Dalal dan Mi’yar al-Ilm, merupakan nuansa baru yang mewarnai dunia pemikiran Islam.
Kata Kunci: Al-Ghazali, Epistemologi, Tasawuf
I.     PENDAHULUAN
Al-Ghazali adalah salah seorang pemikir besar Islam dan filsafat kemanusiaan, disamping sebagai salah seorang yang memiliki pribadi yang memiliki berbagai kejeniusan dan banyak karya. Beliau merupakan pakar ilmu syari’ah pada dekadenya, kecuali ilmu hadis. Serta merupakan salah satu sentral sufisme, pejuang keruhanian, tokoh pendidikan dan dakwah. Beliau adalah salah seorang dari kalangan Rabbaniyun, orang-orang yang berilmu yang konsekwen lagi mengajarkanya.[1]
Dibalik kebesaran dan kemuliaan yang dimilikinya, masih banyak kaum Muslim yang belum begitu memahami pemikiran beliau, masih terdapat kubu yang pro dan kontra terhadap al-Ghazali. Kubu yang kontra ini banyak mengkritik pemikiran Al-Ghazali, dan banyak dari mereka merupakan ilmuwan muslim yang juga sangat berpengaruh, seperti halnya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Rusyd. Al-Ghazali juga dinilai sebagai penyebab kemunduran ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam.
Seorang orientalis besar, McDonald, setelah mengkaji wacana-wacana pemikiran al-Ghazali, secara sungguh sungguh menyatakan, “Sesungguhnya kaum muslimin belum memahami hakikat Al-Ghazali.[2] Dari pendapat tersebut dapat diketahui bahwa kita sebagai kaum Muslimin harus banyak mengkaji berbagai wacana  dari pemikiran al-Ghazali, karena pemikiran Al-Ghazali sangat kompleks dan luas, hal ini dapat dilihat dari beragam ilmu yang beliau pelajari.
Dari kajian tersebut, dapat diketahui bahwa pengaruh al-Ghazali sangat besar dalam mempengaruhi perkembangan Islam, dan sayangnya banyak kaum muslim yang belum memahami hakikat kebenaran dari pemikiran yang diutarakan oleh al-Ghazali. Oleh karena itu perlu dikaji lebih mendalam bagaiman epistemologi yang dibangun atau yang mempengaruhi pemikiran al-Ghazali di dunia tasawuf khususnya, sehingga pemikiran dari al-Ghazali dapat di analisis secara detil dan mendalam dan diperoleh pengetahuan serta pemahaman yang lebih dalam mengenai gagasan epistemologi al-Ghazali terhadap perkembangan pemikirannya.
II.      BIOGRAFI DAN KARYA AL-GHAZALI
Al-Ghazali, algazel, nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Al-Thui Al-Ghazali, lahir di Thus, dekat Masyhad, Khurasan, tahun 450 H/ 1058 M, dan wafat pada 14 Jumadil Akhir 505 H/19 Desember 1111 M. dari ayah seorang penenun wol (ghazzal), sehingga dijuluki Al Ghazali. Beliau  sejak kecil dikenal sebagai anak pencinta ilmu pengetahuan dan seorang pencari kebenaran sekalipun keadaan orang tua yang kurang mampu serta situasi dan kondisi sosial politik dan keagamaan yang labil tidak menggoyahkan tekad dan kemauannya untuk belajar dan menuntut ilmu pada beberapa ulama.[3]
Perjalanan keilmuan Imam Al-Ghazali diawali dengan belajar Al-Qur’an, al-Hadits, riwayat para wali dan kondisi kejiwaan mereka pada seorang sufi yang juga teman ayahnya. Pada waktu bersamaan, dia menghafal beberapa syair tentang cinta dan orang yang mabuk cinta.[4]
Kemudian Imam Al-Ghazali dimasukkan ke sebuah sekolah yang menyediakan beasiswa bagi para muridnya, karena bekal yang telah dititipkan ayahnya pada Muhammad Al-Rizkani habis. Di sini gurunya adalah Tusuf al-Nassy, seorang sufi yang telah tamat ia melanjutkan pelajarannya ke kota Jurjan berguru kepada Imam Abu Nasr al-Ismail, mendalami bahasa Arab, Persia dan pengetahuan agama.[5] Setelah itu ia menetap di Thus untuk mengulang-ulang pelajaran yang diperolehnya di Jurjan selama 3 tahun dan mempelajari tasawuf dibawah bimbingan Yusuf al-Nassy, selanjutnya ia pergi ke Nishapur, di sana ia belajar  di Madrasah Nizhamiyah yang dipimpin oleh ulama’ besar Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini yang bergelar Imam al-Haramain adalah salah seorang teolog aliran Asy’ariyah.[6]
Menurut Tajuddin Al Subki, Al Juwaini inilah yang mengenalkan Al Ghazali pada filsafat termasuk logika dan filsafat alam lewat disiplin teologi. Selain itu, Al Ghazali juga mempelajari tasawuf dibimbing oleh Abu Ali Al Farmadzi, tokoh sufi asala Thus, namun sayangnya, menurut Osman Bakar, Al Ghazali, pada tingkatan ini, belum berhasil mencapai tingkat di mana sang sufi menerima inspirasi dari “alam atas”. [7]
Sepeninggal al-Juwaini, al-Ghazali pergi ke kota Mu’askar yang ketika itu menjadi gudang para sarjana. Di sinilah ia berjumpa dengan Nizam al-Mulk. Kehadiran al-Gazzali disambut baik oleh wazir ini, dan sudah bisa dipastikan bahwa oleh karena kedalaman ilmunya, semua peserta mengakui kehebatan dan keunggulannya. Dengan demikian, jadilah al-GazzaliImam” di wilayah Khurasan ketika itu. la tinggal di kota Mu’askar ini hingga berumur 34 tahun. Melihat kepakaran al-Gazzali dalam bidang fikih, teologi, dan filsafat, maka Menteri Nizamul Mulk mengangkatnya menjadi guru besarteologi dan rektor” di madrasah Nizamiyyah di Baghdad, yang telah didirikan pada 1065. Pengangkatan itu terjadi pada 484/Juli 1091.[8]
Al-Ghazali mendapat gelar kehormatan Hujjatul Islâm atas pembelaannya yang mengagumkan terhadap agama Islam, terutama terhadap kaum bâthiniyyah dan kaum filosof. Sosok Al-Ghazali mempunyai keistimewaan yang luar biasa. Dia seorang ulama, pendidik, ahli pikir dalam ilmunya dan pengarang produktif.
Karya-karya tulisnya meliputi berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Berikut beberapa warisan dari karya ilmiah yang paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran umat Islam:[9]
-  Maqâshid Al Falâsifah (tujuan-tujuan para filosof), karangan pertama yang berisi masalah-masalah filsafat.
-  Tahâfut Al Falâsifah (kekacauan pikiran para filosof) yang dikarang ketika jiwanya dilanda keragu-raguan di Baghdad dan Al-Ghazali mengecam filsafat para filosof dengan keras.
-  Mi’yâr Al ‘Ilm (kriteria ilmu-ilmu).
-  Ihyâ` ‘Ulûm Ad-Dîn (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama), merupakan karya terbesarnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara Damaskus,Yerussalem, Hijjâz dan Thus yang berisi panduan antara fiqih, tasawuf dan filsafat.
-  Al Munqidz Min Adl Dlalâl (penyelamat dari kesatuan), merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Al-Ghazali dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai Tuhan.
-  Al Ma’ârif Al ‘Aqliyyah (pengetahuan yang rasional).
-  Misykat Al Anwâr (lampu yang bersinar banyak), pembahasan akhlâq tashawuf.
-  Minhaj Al ‘Âbidîn (jalan mengabdikan diri pada Tuhan).
-  Al Iqtishâd fî Al I’tiqâd (moderasi dalam akidah).
-  Ayyuhâ Al Walad (wahai anak).
-  Al Mustasyfa (yang terpilih).
-  Iljam Al ‘Awwâm ‘an ‘Ilm Al Kalâm.
-  Mizan Al ‘Amal (timbangan amal).
III.   MAKNA DAN HAKIKAT EPISTEMOLOGI
     Sebagai derivasi epistemology berasal dari bahasa Yunani yaitu, episteme: pengetahuan dan logos: ilmu, maka secara sederhana epistemologi dapat dimaknai dengan teori pengetahuan.
Pertanyaan sentral yang menjadi pusat perhatian dari epistemologi itu sendiri ialah meliputi, asal usul ilmu pengetahuan dan tempat rasio dalam hal yang sama, hubungan antara pengetahuan dan kepastian, dan antara pengetahuan dan kemustahilan yang keliru.[10] Secara sederhana diskusi mengenai epistemology menyangkut sumber, batasan, struktur dan justifikasi dari ilmu pengetahuan itu sendiri.[11]
Sehingga, makna dan hakikat dari epistemologi itu sendiri ialah mendiskusikan hakikat ilmu pengetahuan dari aspek sumber, cara mendapatkannya, ruang lingkup dan yang membedakan antara yang benar dan yang palsu serta menjelaskan kebenaran yang haqiqi.
IV.    EPISTEMOLOGI TASAWUF AL-GHAZALI
Al-Ghazali, seperti telah disinggung sekilas di atas, sering secara tidak adil dituduh sebagai penyebab kemunduran Islam hanya karena ia lebih mengedepankan afiliasi dalam ‘tradisional’ Asy’ariahnya dibanding aliran ‘nasionalnya’ Mu’tazilah, dan terutama karena serangan terhadap filsafat melalui kitabnya, Tahafut al-Falasifah, serta keberpihakannya terhadap tasawuf yang lebih mengutamakan olah rasa daripada nalar sebagai satu-satunya jalan yang paling absah menuju kebenaran hakiki.[12]
Dengan pola pemahaman yang sangat sederhana, barangkali, Al-Ghazali memang memberikan kesan seperti itu, namun dalam telaah yang lebih luas dan mendalam, Al-Ghazali bukanlah seperti apa yang dipahami diatas.
“Sesungguhnya akal semata bila tidak dibarengi dengan pancaindera tidak bisa memutuskan proposisi-proposisi, melainkan ia hanya dapat menangkapnya dengan perantaraan pancaindera. Maka janganlah kamu meragukan kebenaran hasil-hasil penglihatan pancaindera, bila kamu kecualikan karena faktor-faktor aksidental, seperti lemahnya indera, jauhnya objek yang diindera dan tebalnya perantara”.[13]
Dari pernyatan tersebut jelas sekali di mata Al-Ghazali paradigma empirisme yang lebih bertumpu pada hasil penglihatan inderawi. Dari sini terlihat dengan jelas bahwa Al-Ghazali telah menggabungkan paradigma empirisme dan rasionalisme. Tetapi, bentuk pemaduan itu tetap dilakukan secara hierarkis, bukan dalam rangka melahirkan sintesa diantar keduanya.
Sedangkan terkait dengan serangannya terhadap filsafat, kalau kita mengetahui sisi filsafat mana yang diserangnya, maka akan kita dapati bahwa tuduhan di atas sangatlah tidak mendasar. Sebab, Al-Ghazali bukannya menyerang keseluruhan bangunan filsafat, tetapi hanya bagian metafisikanya saja. Itupun, yang diserangnya bukan objek kajiannya, tetapi lebih pada kesalahan struktur argumentasi para filosof.[14]
Terhadap hasil pengamatan indrawi, Al-Ghazali akhirnya berkesimpulan bahwa :

“Tentang hal ini aku ragu-ragu, karena hatiku berkata : bagaimana mungkin indra dapat dipercaya, penglihatan mata yang merupakan indera terkuat adakalanya seperti menipu. Engkau misalnya, melihat bayang-bayang seakan diam, padahal setelah lewat sesaat ternyata ia bergerak sedikit demi sedikit, tidak diam saja. Engkau juga melihat bintang tampaknya kecil, padahal bukti-bukti berdasarkan ilmu ukur menunjukkan bahwa bintang lebih besar daripada bumi. Hal-hal seperti itu disertai dengan contoh-contoh yang lain dari pendapat indera menunjukkan bahwa hukum-hukum inderawi dapat dikembangkan oleh akal dengan bukti-bukti yang tidak dapat disangkal lagi”.[15]
    
Dari pernyatan tersebut jelas sekali di mata Al-Ghazali paradigma empirisme yang lebih bertumpu pada hasil penglihatan inderawi, tidak dapat dijadikan sebagai bentuk pengetahuan yang menyakinkan lagi, sebab kebenaran yang ditawarkan bersifat tidak tetap atau berubah-ubah. Dengan berbekal keyakinan aksiomatis inilah Al-Ghazali mencoba meneliti kebenaran hakiki yang ditawarkan melalui jalan kalam, batiniyah, filsafat dan sufisme. Selama pengembaraannya didunia ilmu kalam, batiniyah ataupun filsafat tidak ada yang didapatnya kecuali hanya pengetahuan-pengetahuan yang akan mengantarnya kepada kebenaran yang masih menimbulkan keraguan-keraguan dan pertanyaan-pertanyaan baru.
Akhirnya hanya di jalan sufisme-lah, Al-Ghazali mulai mendapatkan jalan terang menuju pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu seperti yang dicarinya selama ini, yakni dibukakannya rahasia ke-Tuhanan dan aturan-aturan tentang segala yang ada, sehingga tampaklah secara langsung Al-Ghazali sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata ataupun tidak pernah terdengar oleh telinga.
 “Cahaya itu adalah kunci dari kebanyakan pengetahuan, dan siapa yang menyangka bahwa kasyf (pembukaan tabir) bergantung pada argumen-argumen, sebenarnya telah mempersempit rahmat Tuhan yang demikian luas.... Cahaya yang dimaksud adalah cahaya yang disinarkan Tuhan dalam hati sanubari seseorang.[16]

Berdasarkan ungkapan dia tersebut, dapat disimpulkan bahwa satu-satunya pengetahuan yang menimbulkan keyakinan akan kebenarannya bagi Al-Ghazali adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari Tuhan dengan tasawuf.[17] Pengetahuan terakhir inilah yang Al-Ghazali disebut dengan al-kasyf, yang merupakan puncak dari bangunan epistomologis. Hanya melalui al-kasyf inilah seseorang akan mencapai hakikat pengetahuan (tasawuf) yang kokoh, karena apa yang diperolehnya melalui jalan kasyf ini sekali-kali tidak akan pernah membuatnya bimbang ataupun ragu, sebab pengetahuan ini dilahirkan dari suatu sikap (tingkah laku dan pemahaman yang selalu diterangi oleh cahaya keilahian).
Untuk mencapai kasyf tersebut harus melalui thariqah, yaitu jalan untuk mendalami tasawuf. Apabila thariqah ini dijalankan, maka mendekati Tuhan lebih mudah. Namun, kemudahan tersebut harusmelalui proses riyadah (latihan), mujahadah (perjuangan) dan istiqamah di dalamnya.  Proses-proses tersebut dilalui dengan amal-amal perbuatan dan hati. Proses tersebut diantaranya dengan :
a.         Meraih Ilmu
Syeikh Abdullah bin Alwi al-Hadad mengatakan bahwa untuk mendapatkan kesehatan lahir-batin dan dalam meniti jalan para muttaqin haruslah mengetahui ilmu yang dapat mengantarkan kepada-Nya. Yang dimaksud dengan ilmu yang terkait dengan keabsahan keislaman dan keimanan seseorang. Diantaranya ialah ilmu tentang Allah, rasul-rasul-Nya, hari-hari akhir, dan hal-hal yang wajib dan haram. Syeikh al-Haddad membagi ilmu wajib menjadi dua yaitu : [18]
Pertama, ilmu wajib, yang secara indispensable (dharuri ) harus dipelajari, yakni rukun Islam dan iman, serta pengalaman tentang haram dan halal, boleh atau tidak boleh, atau yang disebut juga ilmu wajib dharuri
Kedua, ilmu yang wajib dipelajari bila diperlukan untuk diamalkan, seperti ilmu tentang rukun-rukun dan manasik haji bagi orang yang mampu dan melakukan ibadah tersebut, atau ilmu tentang zakat kala harta orang tersebut telah mencapai batas-batas kewajiban untuk menjadi muzzaki (orang yang wajib mengeluarkan zakat), atau yang disebut dengan ilmu wajib idhafi.
b.    Amal
   Ada hadis qudsi yang menerangkan bahwa amal atau perbuatan yang padanya ditujukan untuk Tuhan maka kebaikan akan pula diraih oleh yang melaksanakannya. Rasul bersabda dalam hadits qudsi “Tidaklah seseorang yang mendekatkan diri kepada Ku(Allah) dengan melaksanakan apa yang aku perintahkan kepada mereka dan senantiasa seorang hamba yang mendekat kepadaku melalui berbagai ibadah (wajib atau sunnah), sampai aku mencintainya.  Apabila aku telah mencintai kepadannya maka aku memelihara pendengarannya  dari apa   yang dia  dengarnya , aku memelihara penglihatannya dari apa yang dilihatnya, aku memelihara lisannya dari apa yang telah dia ucapkannya, aku memelihara tangannya dari apa yang dia genggamnya, dan aku pelihara kakinya dari apa yang dia tapakinya.”.[19]
c.     Al-Wara
Sikap wara’ diawali dengan sikap qanaah (tidak tamak), menjauhi israf (sikap berlebihan), serta menjauhi kecondongan kepada bisikan hawa nafsu. Sikap wara’ merupakan sikap waspada terhadap apa saja yang dapat merusak ibadah seseorang, baik itu dari yang dipakai (malbus) maupun yang dimakan (ma’kul).
Tidak adanya sikap wara’ pada seseorang disebabkan oleh adanya sikap tamak atau ittiba’ al-hawa (mengikuti hawa nafsu), dan adanya angan-angan yang terlalu panjang (thulul a’mal) hingga lupa melihat bahwa dunia hanya sebagai stasiun transit dalam menuju kehidupan yang haqiqi.[20]

V.       KESIMPULAN
Epistemologi tasawuf yang dikemukakan al-Ghazali merupakan sebuah jalan dan proses yang panjang dari pengembaran intelektual dirinya. Dirinya mampu membangun asumsi dasar yang menjadi aspek terpenting dalam memahami atau menangkap esensi dari segala sesuatu, dimana ada jalan yang harus ditempuh oleh manusia itu sendiri. Tiga sarana pokok yang menurut al-Ghazali dapat mengantarkan manusia kepada esensi tersebut yaitu, pancaindera, akal dan intuisi (zauq).
Aspek-aspek intuisi (zauq) tersebut dapat menjadi jalan kasyf antara manusia dengan Allah SWT sehingga, melalui al-kasyf inilah seseorang akan mencapai hakikat pengetahuan yang kokoh, karena apa yang diperolehnya melalui jalan kasyf ini sekali-kali tidak akan pernah membuatnya bimbang ataupun ragu. Untuk mencapai ketingkat ini diperlukan riyadah (latihan) dan mujahadah (perjuangan) yang dilakukan oleh manusia
DAFTAR PUSTAKA
A.      Buku
Al-Ghazali. Transendensi Ilahi. Surabaya: Pustaka Progressif. 1999
Al-Ghazali. al-Munqiz min al-Dalal, ed. Ahmad Galusy, Mesir: Maktabah wa Matba’ah Muhammad Ali Sabih wa Awladuh. 1952
Al-Ghazali. Mi’yar al-Ilm, ed. Sulayman Dunya. Mesir: Dar al-Ma’arif. 1961
Al-Ghazali. Bidayah al-Hidayah. Surabaya: Assalafiyah. 1995
Amin, Saidul. Filsafat Barat Abad 21. Pekanbaru: Daulat Riau. 2012
Asmuni, M. Yusron. Pertumbuhan dan Perkembangan Berfikir dalam Islam. Surabaya: Al Ikhlas. 1994
Abu Al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani. Sufi dari Zaman ke Zaman. Bandung: Pustaka Setia. 1979
Saeful Anwar. Filsafat Ilmu al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi, (Bandung: Pustaka Setia. 2007
Simon Blackburn. Kamus Filsafat, Terj. Yudi Santoso The Oxford Dictionary of Philosopy, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013
Rosyad, Achmad Faizur. Mengenal Alam Suci Menapak Jejak Al-Ghazali. Yogyakarta: KUTUB. 2004
Umar Ibrahim. Thariqah Alawiyah. Jakarta: Mizan. 2001
Yusuf al-Nassy dan Ali al-Farm.  Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve. 1993
Qardhawi, Yusuf. Al-Ghozali antara Pro dan Kontra. Surabaya: Pustaka Progesif. 1996
B.       Jurnal
Abdul Ghofur, Karakteristik dan Pengaruh Tasawuf al-Ghazali, Badan Penelitian dan Pengembangan Fakultas Ushuluddin IAIN SUSQA Tahun 2002, dalam  Jurnal Ushuluddin Volume V No 1 Tahun 2002
Abdul Moqsith Ghazali, Corak Tasawuf Al-Ghazali Dan Relevansinya Dengan Konteks Sekarang, Jurnal Al-Tahrir STAIN Ponorogo  dalam e-journal.stain-ponorogo.ac.id  
Nurdin, Al-Ghazali: Pengembaran Intelektual dan pergolakan Batin Menuju Kehidupan Sufistik, Mendamaikan Syariah dan Tasawuf. Jurnal Al-Fikr Fakultas Ushuluddin   UIN Alauddin Makassar dalam e-journal.uin-alauddin.ac.id


[1]  Yusuf Qardhawi, Al-Ghozali antara Pro dan Kontra, (Surabaya: Pustaka Progesif, 1996), hlm 39-40.
[2] Ali Abu Bakar, Al-Ghazali  Peretas Jalan Menuju Kemajuan dan Keberakhlakan Umat, Pengantar dalam buku Transendensi Ilahi Karya Al Ghazali, terj. Masyhur Abadi. (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999).,hlm xix.
[3] Yusuf al-Nassy dan Ali al-Farm, Ensiklopedi Islam, ( Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1993), jilid 5, hlm. 26
[4] Achmad Faizur Rosyad, Mengenal Alam Suci Menapak Jejak Al-Ghazali, (Yogyakarta: KUTUB, 2004), 115
[5] M. Yusron Asmuni, Pertumbuhan dan Perkembangan Berfikir dalam Islam, (Surabaya: Al Ikhlas, 1994), hlm. 8-9
[6] Abu Al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, (Bandung: Pustaka, 1979), hlm. 148
[7] Ibid.
[8] Abdul Ghofur, Karakteristik dan Pengaruh Tasawuf al-Ghazali, Badan Penelitian dan Pengembangan Fakultas Ushuluddin IAIN SUSQA Tahun 2002, dalam  Jurnal Ushuluddin Volume V NO 1 Tahun 2002
[9] Saeful Anwar, Filsafat Ilmu al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 73
[10] Simon Blackburn, Kamus Filsafat, Terj. Yudi Santoso The Oxford Dictionary of Philosopy, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 286
[11] Saidul Amin, Filsafat Barat Abad 21, (Pekanbaru: Daulat Riau, 2012), hlm. 12
[12] Abdul Moqsith Ghazali, Corak Tasawuf Al-Ghazali Dan Relevansinya Dengan Konteks Sekarang, Jurnal Al-Tahrir STAIN Ponorogo, dikutip dalam e-journal.stain-ponorogo.ac.id  tanggal 22 Maret 2017
[13] Al-Ghazali, Mi’yar al-Ilm, ed. Sulayman Dunya, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1961), hlm. 187-188
[14] Nurdin, Al-Ghazali: Pengembaran Intelektual dan pergolakan Batin Menuju Kehidupan Sufistik, Mendamaikan Syariah dan Tasawuf. Dikutip dalam Jurnal Al-Fikr Fakultas Ushuluddin   UIN Alauddin Makassar, pada laman e-journal.uin-alauddin.ac.id tanggal 22 Maret 2017
[15] Al-Ghazali, al-Munqiz min al-Dalal, ed. Ahmad Galusy, (Mesir: Maktabah wa Matba’ah Muhammad Ali Sabih wa Awladuh,1952), hlm. 26
[16] Al-Ghazali, al-Munqiz min al-Dalal., hlm. 38
[17] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 31.
[18] Umar Ibrahim, Thariqah Alawiyah, (Jakarta: Mizan, 2001), hlm. 158
[19] Imam Ghazali, Bidayah al-Hidayah, (Surabaya: Assalafiyah, 1995), hlm. 14-15
[20] Ibid.,hlm. 16

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diabolisme Salman Rushdie dan Ahok

ANTARA SALMAN RUSHDIE DAN AHOK Oleh: Dr. Adian Husaini Tahun 1988, dunia Islam digegerkan oleh seorang bernama Salman Rushdie. Kisahnya ...