PEMIKIRAN TASAWUF FALSAFI AL-FARABI (870-950 M)
Debri Koeswoyo
Jurusan
Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin
Universitas
Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
E-mail:debrikoeswoyo46@gmail.com
Abstract
In order of development of classical Islamic thought, the name of
al-Farabi into something familiar heard by the philosophers and Sufis in the
Muslim world. Cleverness in breaking down the ideas of Plato and Aristotle,
gave birth to her nickname as the second teacher from the thought of the Greek
philosophers. The concept of thinking of al-Farabi has affected much scientific
paradigm of Islamic thought, such as the concept of emanation, prophetic
philosophy even his concept of syncretism philosophy. Islamic mysticism world
is inseparable from the idea of al-Farabi, the emanation theory he was able to
combine philosophical Sufism. Touch thought being able to give a new synthesis
for spiritual development in Islam
Keywords: al-Farabi,
philosophical Sufism, emanation
I.
PENDAHULUAN
Al-Farabi
menduduki posisi yang sangat istimewa di jajaran para filosof muslim. Terbukti
pemikirannya masih mengilhami pemikiran filsafat paripatetik lainnya. Ia
telah berhasil merekonstruksi bangunan Ilmu Logika (manthiq) yang telah
diletakkan pertama kali oleh Aristoteles. Bila Aristoteles yang telah berjasa
memperkenalkan Ilmu Logika (manthiq) dan mendapat sebutan ‘guru
pertama’, maka al-Farabi atas jasa besarnya mengkombinasikan filsafat Plato dan
Aristoteles ia layak disebut sebagai guru kedua.
Al-Farabi
menuangkan pemikiran filsafat penciptaannya dalam karyanya Ārā’ Ahl
al-Madīnah al-Fadhīlah yang dimulai pembahasan tentang Tuhan sebagai sebab
pertama, menunjukkan keseriusannya menyingkap tabir gelap pemikiran filsafat
metafisika. Tuhan menurutnya sebab pertama dari semua wujud yang ada di jagat
raya ini, sama dengan konsep Tuhan menurut madzhab Aristoteles bahwa, Tuhan
maha hidup, azali dan abadi, tiada yang paling awal darinya dan tiada yang
paling akhir selainnya, tidak memerlukan iradah yang muaranya adalah sebuah
pilihan, karena Tuhan telah sempurna.[1]
Al-Farabi
memandang wujud yang ada merupakan mata rantai wujud abadi yang memancar dari
wujud tunggal, kekal dan abadi. Penciptaan jagad raya ini terjadi dalam sepuluh emanasi secara
bertingkat, masing masing membentuk bidang wujud tersendiri, langit, bintang
dan seterusnya, pada tingkat kesepuluh emanasi terhenti karena daya akal sudah
melemah.[2]
Bila ditelisik hingga relung-relung pemikiran al-Farabi akan kita dapati
samudera keilmuannya yang sangat luas bagai lautan yang tak bertepi.
Untuk itu,
tulisan ini hanya akan mengulas secara kritis, tentang filsafat metafisika
penciptaan alam, konsep akal dan wahyu yang berhubungan dengan dasar dari
pemikiran tasawuf al-Farabi, kesemuanya mempunyai kaitan yang sangat erat satu
dengan lainnya. Adapun tujuannya adalah supaya kita mendapatkan pemahaman yang
integral dan menyeluruh antara hubungan akal-akal dalam filsafat al-Farabi
dengan pemikiran tasawuf falsafi awal.
II.
BIOGRAFI AL-FARABI
Al-Farabi
mempunyai nama lain yaitu Abi Nashr Ibnu Audagh Ibn Thorban Al-Farabi, ia
dilahirkan di desa Wasij, Kota
Farab (Samarkand) pada tahun
257 H (870 M).
Di kota yang
mayoritas mengikuti mazhab Syafi’iyah, disinalah Al-Farabi menerima pendidikan
dasarnya. sejak kecil Al-Farabi suka belajar dan ia mempunyai kecakapan yang
luar biasa dalam bidang bahasa. Bahasa yang dikuasainya, anatara lain bahasa
Iran, Turkestan, dan Kurdistan. Munawir Sjadzli mengatakan bahwa Al-Farabi
dapat berbicara dalam tujuh puluh macam bahasa; tetapi yang dia kuasai dengan
aktif, hanya empat bahasa: Arab, Persia, Turki dan Kurdi.[3]
Al-Farabi yang
dikenal sebagai filosof Islam
terbesar, memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat
secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya dengan
sempurna. Sehingga filosof yang datang
sesudahnya, seperti Ibnu Sina (370 H/980 M – 428 H/1037 M) dan Ibnu Rusyd (520
H/1126 M – 595 H /1198 M) banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya.
Beliau termasuk filosof yang produktif dalam
melahirkan berbagai karya tulis, baik berupa
buku maupun berupa tulisan essai pendek dan makalah. Di antara karyanya adalah;
Aghrādh mā Ba’da al-Thābi’ah,
Al-Jam’u Baina
Ra’yai al-Hākimain, karya
ini menurut beberapa sumber berisi tentang
kemampuan al-Farabi mengulas dan mempertemukan pemikiran
filsafat Plato dan Aristoteles. Karya penting lainnya adalah Risālah
al-Itsbāt al-Mufāraqāt, At-Ta’līqāt,
al-Jam’u Baina Ra’yu
al-Hākimain, kitab al-Siyāsāt
al-Madīnah al-Fadhīlah,
al-Mūsiqā al-Kabīr,
Risālah Tahsīl al-Sā’adah,‘Uyūn al-Masāil,
al-Madīnah al-Fadhīlah,
dan
Ārā’ Ahl al-Madīnah al-Fadhīlah.[4]
III.
PENGERTIAN TASAWUF FALSAFI
Tasawuf falsafi dapat juga dinamakan tasawuf nazhari ataupun
tasawuf syi’i. Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan
antara visi intuitif dan visi rasional.[5] Berbeda denga
tasawuf akhlaki, tasawuf falsafi menggunakan terminology filosofis dalam
pengungkapannya. Ajaran dan
metode tasawuf falsafi bukanlah berdasarkan pada filsafat yang harus ada aspek
rasionalitas ataupun empiris. Karena tasawuf falsafi juga didasarkan pada rasa
(dzauq).[6]
Menurut
At-Taftahzani, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah islam
sejak abad VI (keenam) Hijriah, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad
kemudian. Sejak abad ini tasawuf falsafi terus hidup dan semakin berkembang.
Terutama dikalangan para sufi yang juga filsuf sampai menjelang akhir-akhir
ini.[7]
Tasawuf falsafi
memiliki objek tersendiri yang berbeda dengan tasawuf sunni. Menurut Ibnu
Khaldun, dalam karyanya, Muqaddimah, meyimpulkan bahwa ada empat objek
utama yang menjadi perhatian para sufi falsafi, antara lain yaitu:[8]
1.
Mujahadah
(memerangi hawa nafsu). Latihan
rohaniah dengan rasa (dzauq), intuisi, dan intropeksi diri.
2.
Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib. Seperti sang
pencipta, sifat-sifat-Nya, arsy, malaikat, wahyu, kenabian, roh, dan hakikat
realitas. Para sufi falsafi melakukan latihan rohaniah dengan mematikan
kekuatan syahwat dan menggairahkan roh dengan cara menggiatkan berdzikir.
3.
Peristiwa-peristiwa dalam alam yang berpengaruh terhadap berbagai
bentuk kekeramatan.
4.
Penciptaan ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (Syatahiyyat).
Pada dasarnya,
banyak ahli sufi yang mengartikan pemahaman tasawuf falsafi, namun dalam hal
ini tasawuf pada intinya merupakan sebuah cara atau metode oleh seorang manusia
dengan tujuan agar dapat lebih mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Sedangkan
arti dari tasawuf falsafi sendiri merupakan sebuah konsep atau cara yang
digunakan untuk mengenal Tuhan secara rasio atau akal, sehingga dapat mencapai
pada tingkat tertinggi, bukan hanya mengenal tuhan saja (ma’rifatullah),
melainkan kesatuan wujud (Wahdatul Wujud).
IV.
PEMIKIRAN TASAWUF FALSAFI AL-FARABI
Dalam memahami konsep tasawuf falsafi al-Farabi, kita tidak dapat terlepas
dari konsep falsafah yang dikembangkannya, mulai dari teori emanasi sampai
kepada konsep manusia.
a.
Teori
Emanasi
Tidak dapat
dipungkiri bahwa semua muslim percaya bahwa semua wujud yang ada adalah ciptaan
Allah SWT, tetapi bila dikejar pada pertanyaan paling mendasar tentang dari
mana dan bagaimana prosesnya Tuhan Yang Maha Tunggal itu menciptakan jagad
raya? menjadi beragam, karena hal ikhwal penciptaan secara detail tidak pernah
dikupas secara elaboratif oleh Alquran maupun hadits, karena kita tahu bahwa
Alquran memuat hal-hal yang bersifat pokok dan global saja.[9]
Mengawali
filsafat emanasi versi al-Farabi, mungkin akan lebih mudah dimengerti bila
dilihat melalui tangga filsafat metafisika neo-platonisme, keduanya mempunyai
kedekatan dalam pola pikirnya. Menurut Plato (w. 347 SM) di balik wujud alam
ini, ada alam ide (‘alam mitsāl) yang kekal dan abadi. Ide-ide abadi
tersebut bersifat non-material bersifat tetap dan tidak berubah-ubah.[10]
Dunia ide adalah dunia kekal dan abadi, sementara yang tampak di dunia ini
adalah dunia bayang-bayang atau copy dari dunia ide yang abadi tersebut.
Dunia ide tetap ada dan kekal meskipun dunia bayangannya musnah, seperti
manusia ini akan musnah tetapi dunia ‘ide’ manusia akan abadi selamanya,
Bagi
neo-platonis gerakan yang diajarkan oleh Plotinus, akal adalah wujud yang
paling jelas ‘menyerupai’ Tuhan
dari segala alam semesta. Kemudian dari akal tersebut ber-emanasi dan
menghasilkan jiwa, jiwa-jiwa ini mempunyai daya pemahaman dan melahirkan bentuk
alam semesta.[11]
Teori emanasi al-Farabi sendiri adalah teori pancaran tentang
urutan-urutan wajud atau teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam
dan makhluk) dari Zat yang wajibul wujud (Tuhan). Al-Farabi
berpendapat bahwa segala sesuatu itu keluar/berasal dari Tuhan, karena Tuhan
mengetahui zat-Nya dan mengetahui bahwa ia menjadi dasar susunan wujud yang
sebaik-baiknya.[12]
Tuhan berpikir tentang dirinya dan dari pemikiran ini timbul maujud lain.
Karena pemikiran tuhan tentang diri-Nya merupakan daya yang dahsyat, maka daya
itu dapat menciptakan sesuatu. Tuhan meupakan wujud yang pertama. Karena Tuhan
berpikir tentang diri-Nya sendiri yang Esa, maka timbullah maujud kedua
yang disebut akal pertama yang tidak bersifat materi. Selanjutnya, akal pertama
berpikir tentang Tuhan sehingga timbul akal kedua. Akal pertama juga berpikir
tentang diri-Nya sehingga terciptalah langit. Akal kedua berpikir tentang
Tuhan, timbul akal ketiga, dan berpikir tentang dirinya, maka terciptalah
bintang-bintang. Begitu seterusnya hingga sampai pada akal kesepuluh.
Maujudul Awwal
|
Berfikir tentang Tuhan
|
Akal berfikir
|
|
Tuhan
|
tentang dirinya
|
||
Wujud 2
|
Akal 1
|
Langit
|
|
Wujdu 3
|
Akal 2
|
Bintang
|
|
Wujud 4
|
Akal 3
|
Saturnus
|
|
Wujud 5
|
Akal 4
|
Yupiter
|
|
Wujud 6
|
Akal 5
|
Mars
|
|
Wujud 7
|
Akal 6
|
Matahari
|
|
Wujud 8
|
Akal 7
|
Venus
|
|
Wujud 9
|
Akal 8
|
Mercuri
|
|
Wujud 10
|
Akal 9
|
Rembulan
|
|
Wujud 11
|
Akal 10 (Akal Fa’al)
|
Wujud Roh
|
Pada akal
kesepuluh dayanya sudah melemah dan tidak mampu lagi beremanasi. Begitulah mata
rantai emanasi berlangsung. Akal kesepuluh ini mengatur dunia fana dan ruh ruh
manusia serta empat unsur materi pertama dalam bentuk yakni air, tanah, api,
udara.[13] Dari teori emanasi inilah, muncul apa yang lebih di kenal Wahdatul
Wujud.[14]
Wahdat al-wujud
adalah istilah yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud.
Wahdat artinya sendiri, tunggal, dan kesatuan, sedangkan al-wujud
artinya ada.[15]
Dengan demikian wahdat al-wujud mempunyai arti kesatuan wujud. Kata
wahdat selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Sebagian ulama’
terdahulu mengartikan wahdat sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi
lagi. Selain itu kata wahdat menurut ahli filasafat dan sufistik sebagai suatu
kesatuan antara roh dengan materinya, substansi (hakikat) dan forma (bentuk),
antara yang lahir dan yang bathin.[16] Adapun
pemahaman yang digunakan oleh para sufi selanjutnya mengenai wahdat al-wujud
yaitu sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa antara manusia dan
Tuhan pada hakikatnya memiliki satu kesatuan wujud.
b.
Eksistensi
Jiwa Manusia
Al-Farabi
menaruh perhatian besar pada eksistensi jiwa dalam kaitannya dengan kekuatan berpikir menurut dia jiwa ada dalam tubuh manusia, memancar
dari akal kesepuluh.[17]
Dari akal kesepuluh ini pulalah memancar bumi, roh, api udara dan tanah.[18]
Al-Farabi mencoba memilah jiwa yang ada pada jiwa itu kepada tiga macam. Pertama, seperti gerak untuk makan, gerak
untuk memelihara sesuatu, dan gerak untuk berkembang biak. Kedua, daya
mengetahui seperti mengetahui dalam merasa dan mengetahui dalam berimajinasi. Ketiga,
daya berpikir yang dipilah-pilahkan kepada akal praktis dan akal teoritis.[19]
Tentang
akal praktis dan teoritis, masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda, akal
praktis berfungsi untuk menyimpulkan apa yang mesti dikerjakan oleh seseorang.
Sedangkan akal teoritis berfungsi untuk membantu dalam menyempurnakan jiwa.[20]
Akal teoritis
memiliki 4 tingkatan, yaitu akal potensial (material), akal mungkin
(Bakat/pengetahuan rasional I), akal aktual (pengetahuan rasional II), dan akal
mustafad (akal perolehan/pengetahuan intuitif). Akal tingkat keempat inilah
yang tertinggi dan dimiliki para filosof. Akal mustafad sudah dapat menangkap arti-arti
murni yang tidak berhubungan dengan material karena akal ini sudah tidak
membutuhkannya. Akal mustafad mepunyai kesanggupan berkomunikasi dengan akal
kesepuluh. Ia sudah tidak mempedulikan dan membutuhkan serta telah sanggup
melepaskan diri dari segala ikatan jasmani dan material. Inilah akal yang
sempurna dalam jiwa manusia.[21]
Melalui akal intelektual, manusia bisa menyerap
hal-hal abstrak yang sama sekali tidak berhubungan dengan materi, bagi seorang
Nabi dengan akal intelektual akal mustafadh, seorang Nabi bisa menerima
kode atau isyarat wahyu. Sedangkan upaya filosof untuk
berkomunikasi dengan akal fa’al melalui
akal intelektual dapat dicapai melalui jalan kontemplasi dan perenungan atau
melalui kegiatan berfikir mendalam terhadap sesuatu.
Para nabi diberi kemampuan akal mustafadh
untuk mencercap isyarat wahyu dalam bentuk kemampuan akal intelek berkomunikasi
dengan aql fa’al sehingga kebenaran yang
dihasilkan wahyu adalah kebenaran yang pasti bukan kebenaran nisbi. Kemampuan
istimewa untuk berkomunikasi dengan aql fa’al ini
bersifat pemberian dari Allah. Menurut Amin Abdullah, pembahasan filsafat
kenabian dalam filsafat Islam merupakan pembahasan yang khas, tidak ditemui di
dalam filsafat Yunani secara detail.[22]
Al-Farabi hadir dengan konsep kenabian untuk
menepis keraguan Ar-Razi dan pengikutnya. Bagi al-Farabi, Nabi merupakan gelar
kehormatan yang disematkan oleh Allah kepada hamba pilihan-Nya. Kepadanya
dituangkan kalam Tuhan berupa wahyu untuk di sampaikan kepada makhluk di alam
ini. Menurut al Farabi, manusia bisa berhubungan dengan aql
fa’al melalui dua cara, yakni: penalaran atau perenungan pemikiran dan
imaginasi atau intuisi (ilham). Cara pertama hanya bisa dilakukan oleh
pribadi terpilih yang dapat menembus alam materi untuk mencapai cahaya
keTuhanan. Sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh para Nabi.[23]
V.
KESIMPULAN
Pertalian
pemikiran al-Farabi sangat erat dengan filsafat Yunani, Oleh karena itu untuk
memahami pokok pikiran al-Farabi mutlak dibutuhkan menyelami pemikiran filsafat.
Al-Farabi adalah sosok filosof muslim yang pengetahuannya mapan, di samping
ilmuwan juga seorang yang ‘alim, yang hidup dalam kesederhanaan.
Dalam
filsafat metafisika, al-Farabi berpendapat bahwa penciptaan alam ini terjadi
secara emanasi atau pancaran Tuhan (al faidh al ilahiy) melalui daya
akal yang tunggal dan esa, kekal, abadi yang disebut akal murni, kemudian
menjadi alam raya yang beraneka ragam, proses emanasi berhenti pada akal ke
sepuluh yang dinamai akal fa’al, pada akal kesepuluh ini tidak lagi ber-emanasi
karena daya kekuatan akalnya melemah. Dari akal kesepuluh ini melahirkan
materi, seperti air, api, udara, tanah kemudian diikuti berbagai unsur lainnya.
Pada konsep emanasi ini, nampak sekali pengaruh filsafat metafisikanya
neo-platonisme.
Bagi al-Farabi, baik Nabi dan
filosof adalah satu kesatuan makna, namun berbeda pendekatannya. Nabi adalah
orang suci yang terpilih untuk menerima titah kebenaran berupa wahyu, sedangkan
filosof melalui logika berpikirnya dapat mencapai sebuah kebenaran yang hakiki,
DAFTAR PUSTAKA
A.
Buku
Abdullah, Amin.
2000. Aspek Epistemologis Filsafat
Islam, Yogyakarta: Uin-Suka Press
Amin, Saidul.
2012. Filsafat Barat Abad 21, Pekanbaru: Daulat Riau
Amin, Samsul
Munir. 2012. Ilmu Tasawuf,(Jakarta: AMZAH
Armstrong, Karen. 2003. Sejarah Tuhan, terj. Zaimul Am,
Bandung: Mizan Media Utama
Hawa, Said.
1998. Allah Jallā Jalāluhu, terj.
Muhtadi Abdul Mun’im, Jakarta: Gema Insani Press
Kartanegara,
Mulyadhi. 2007. Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon Terhadap Modernitas,
Jakarta: Erlangga
Madkour,
Ibrahim. 2009. Aliran dan Teori Filsafat Islam, Terj. Yudian Wahyudi
Asim, Jakarta: Bumi Aksara
M. M. Syarif. 1994. History of Muslim Philisophy, peny.
Ilyas Hasan, Para Filosof Muslim, Bandung: Mizan
Nasution, Harun.
1992. Falsafah dan Mistisisme dalam
Islam, Jakarta: Bulan Bintang
Nata, Abuddin.
2006. Akhlak Tasawuf, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada
Sholihin, M.
Rosihon Anwar. 2008. Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia
B.
E-Jurnal
Muhammad Hasbi,
“Pemikiran Emanasi dalam Filsafat Islam dan Hubungannya dengan Sains Modern” Jurnal
Al-Fikr Volume 14, No.3, 2010. Diakses pada laman https://ejournal.uin-alauddin.ac.id pada tanggal 10 Maret 2017
Qosim Nursheha
Dzulhadi, "Al-Farabi dan Filsafat Kenabian."Jurnal Kalimah
Vol. 12, No.1, 2014. Diakses pada laman https://ejournal.unida.gontor.ac.id pada tanggal 10 Maret 2017
C.Website
[1] Said Hawa, Allah Jallā Jalāluhu, terj. Muhtadi Abdul
Mun’im, (Jakarta, Gema Insani Press, 1998), h. 22
[2] Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, terj. Zaimul Am, (Bandung:
Mizan Utama, 2003), h. 240
[5] Samsul Munir
Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: AMZAH, 2012), h. 264
[6] Ibid
[7] M. Sholihin
dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm.
171
[8]
Samsul Munir
Amin, Ilmu Tasawuf, h. 266
[9] Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon
Terhadap Modernitas, (Jakarta: Erlangga, 2007), 65.
[10] Saidul Amin, Filsafat Barat Abad 21, (Pekanbaru:
Daulat Riau, 2012), h. 23
[11] Ibid
[12] Ibrahim
Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Terj. Yudian Wahyudi Asim,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 123
[13] Muhammad
Hasbi, “Pemikiran Emanasi dalam Filsafat Islam dan Hubungannya dengan Sains
Modern” Jurnal Al-Fikr Volume 14, No.3, 2010, h. 68
[14] Walaupun wahdatul
Wujud merupakan pandangan atau konsep tasawuf yang lebih sering disandarkan
kepada Ibnu Arabi, penulis memahami bahwasannya konsep penciptaan mula-mula
antara al-Farabi Ibnu Arabi memiliki persamaan. Sehingga untuk memahami konsep
al-Farabi mengenai hubungan antara emanasi dengan dunia tasawuf dapat melihat
pemikiran dari Ibnu Arabi.
[15]
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2006), h.247
[16] Ibid
[17] Menurut al-Farabi,
Allah menciptakan alam ini melalui emanasi, dalam arti bahwa wujud Tuhan
melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi melalui tafakkur (berfikir)
Tuhan tentang dzat-Nya yang merupakan prinsip dari peraturan dan kebaikan dalam
alam. Dengan kata lain, berpikirnya Allah swt tentang dzat-Nya adalah sebab
dari adanya alam ini. Dalam arti bahwa ialah yang memberi wujud kekal dari
segala yang ada.
[20] M. M. Syarif, History of Muslim Philisophy,
penyunting Ilyas Hasan, Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1994),
h.70
[22] Amin Abdullah,
Aspek Epistemologis Filsafat Islam, (Yogyakarta: Uin-Suka Press, 2000),
h. 16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar