Jumat, 24 Maret 2017

Tasawuf Falsafi Emanasi Al-Farabi (870-950 M)



PEMIKIRAN TASAWUF FALSAFI AL-FARABI (870-950 M)
Debri Koeswoyo
Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
E-mail:debrikoeswoyo46@gmail.com

Abstract
In order of development of classical Islamic thought, the name of al-Farabi into something familiar heard by the philosophers and Sufis in the Muslim world. Cleverness in breaking down the ideas of Plato and Aristotle, gave birth to her nickname as the second teacher from the thought of the Greek philosophers. The concept of thinking of al-Farabi has affected much scientific paradigm of Islamic thought, such as the concept of emanation, prophetic philosophy even his concept of syncretism philosophy. Islamic mysticism world is inseparable from the idea of al-Farabi, the emanation theory he was able to combine philosophical Sufism. Touch thought being able to give a new synthesis for spiritual development in Islam
Keywords: al-Farabi, philosophical Sufism, emanation

I.         PENDAHULUAN
Al-Farabi menduduki posisi yang sangat istimewa di jajaran para filosof muslim. Terbukti pemikirannya masih mengilhami pemikiran filsafat paripatetik lainnya. Ia telah berhasil merekonstruksi bangunan Ilmu Logika (manthiq) yang telah diletakkan pertama kali oleh Aristoteles. Bila Aristoteles yang telah berjasa memperkenalkan Ilmu Logika (manthiq) dan mendapat sebutan ‘guru pertama’, maka al-Farabi atas jasa besarnya mengkombinasikan filsafat Plato dan Aristoteles ia layak disebut sebagai guru kedua.
Al-Farabi menuangkan pemikiran filsafat penciptaannya dalam karyanya Ārā’ Ahl al-Madīnah al-Fadhīlah yang dimulai pembahasan tentang Tuhan sebagai sebab pertama, menunjukkan keseriusannya menyingkap tabir gelap pemikiran filsafat metafisika. Tuhan menurutnya sebab pertama dari semua wujud yang ada di jagat raya ini, sama dengan konsep Tuhan menurut madzhab Aristoteles bahwa, Tuhan maha hidup, azali dan abadi, tiada yang paling awal darinya dan tiada yang paling akhir selainnya, tidak memerlukan iradah yang muaranya adalah sebuah pilihan, karena Tuhan telah sempurna.[1]
Al-Farabi memandang wujud yang ada merupakan mata rantai wujud abadi yang memancar dari wujud tunggal, kekal dan abadi. Penciptaan jagad raya ini terjadi dalam sepuluh emanasi secara bertingkat, masing masing membentuk bidang wujud tersendiri, langit, bintang dan seterusnya, pada tingkat kesepuluh emanasi terhenti karena daya akal sudah melemah.[2] Bila ditelisik hingga relung-relung pemikiran al-Farabi akan kita dapati samudera keilmuannya yang sangat luas bagai lautan yang tak bertepi.
Untuk itu, tulisan ini hanya akan mengulas secara kritis, tentang filsafat metafisika penciptaan alam, konsep akal dan wahyu yang berhubungan dengan dasar dari pemikiran tasawuf al-Farabi, kesemuanya mempunyai kaitan yang sangat erat satu dengan lainnya. Adapun tujuannya adalah supaya kita mendapatkan pemahaman yang integral dan menyeluruh antara hubungan akal-akal dalam filsafat al-Farabi dengan pemikiran tasawuf falsafi awal.
II.      BIOGRAFI AL-FARABI
Al-Farabi mempunyai  nama lain yaitu Abi Nashr Ibnu Audagh Ibn Thorban Al-Farabi, ia dilahirkan di desa Wasij, Kota Farab (Samarkand) pada tahun 257 H (870 M). Di kota yang mayoritas mengikuti mazhab Syafi’iyah, disinalah Al-Farabi menerima pendidikan dasarnya. sejak kecil Al-Farabi suka belajar dan ia mempunyai kecakapan yang luar biasa dalam bidang bahasa. Bahasa yang dikuasainya, anatara lain bahasa Iran, Turkestan, dan Kurdistan. Munawir Sjadzli mengatakan bahwa Al-Farabi dapat berbicara dalam tujuh puluh macam bahasa; tetapi yang dia kuasai dengan aktif, hanya empat bahasa: Arab, Persia, Turki dan Kurdi.[3]
Al-Farabi yang dikenal sebagai filosof Islam terbesar, memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya dengan  sempurna. Sehingga filosof yang datang sesudahnya, seperti Ibnu Sina (370 H/980 M – 428 H/1037 M) dan Ibnu Rusyd (520 H/1126 M – 595 H /1198 M) banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya.
Beliau termasuk filosof yang produktif dalam melahirkan berbagai karya tulis, baik berupa buku maupun berupa tulisan essai pendek dan makalah. Di antara karyanya adalah; Aghrādh mā Ba’da al-Thābi’ah, Al-Jam’u Baina Ra’yai al-Hākimain, karya ini menurut beberapa sumber berisi tentang kemampuan al-Farabi mengulas dan mempertemukan pemikiran filsafat Plato dan Aristoteles. Karya penting lainnya adalah Risālah al-Itsbāt al-Mufāraqāt, At-Ta’līqāt, al-Jam’u Baina Ra’yu al-Hākimain, kitab al-Siyāsāt al-Madīnah al-Fadhīlah, al-Mūsiqā al-Kabīr, Risālah Tahsīl al-Sā’adah,‘Uyūn al-Masāil, al-Madīnah al-Fadhīlah, dan Ārā’ Ahl al-Madīnah al-Fadhīlah.[4]
III.   PENGERTIAN TASAWUF FALSAFI
Tasawuf falsafi dapat juga dinamakan tasawuf nazhari ataupun tasawuf syi’i. Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi intuitif dan visi rasional.[5] Berbeda denga tasawuf akhlaki, tasawuf falsafi menggunakan terminology filosofis dalam pengungkapannya. Ajaran dan metode tasawuf falsafi bukanlah berdasarkan pada filsafat yang harus ada aspek rasionalitas ataupun empiris. Karena tasawuf falsafi juga didasarkan pada rasa (dzauq).[6]
Menurut At-Taftahzani, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah islam sejak abad VI (keenam) Hijriah, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Sejak abad ini tasawuf falsafi terus hidup dan semakin berkembang. Terutama dikalangan para sufi yang juga filsuf sampai menjelang akhir-akhir ini.[7]
Tasawuf falsafi memiliki objek tersendiri yang berbeda dengan tasawuf sunni. Menurut Ibnu Khaldun, dalam karyanya, Muqaddimah, meyimpulkan bahwa ada empat objek utama yang menjadi perhatian para sufi falsafi, antara lain yaitu:[8]
1.      Mujahadah (memerangi hawa nafsu). Latihan rohaniah dengan rasa (dzauq), intuisi, dan intropeksi diri.
2.      Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib. Seperti sang pencipta, sifat-sifat-Nya, arsy, malaikat, wahyu, kenabian, roh, dan hakikat realitas. Para sufi falsafi melakukan latihan rohaniah dengan mematikan kekuatan syahwat dan menggairahkan roh dengan cara menggiatkan berdzikir.
3.      Peristiwa-peristiwa dalam alam yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan.
4.      Penciptaan ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (Syatahiyyat).
Pada dasarnya, banyak ahli sufi yang mengartikan pemahaman tasawuf falsafi, namun dalam hal ini tasawuf pada intinya merupakan sebuah cara atau metode oleh seorang manusia dengan tujuan agar dapat lebih mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Sedangkan arti dari tasawuf falsafi sendiri merupakan sebuah konsep atau cara yang digunakan untuk mengenal Tuhan secara rasio atau akal, sehingga dapat mencapai pada tingkat tertinggi, bukan hanya mengenal tuhan saja (ma’rifatullah), melainkan kesatuan wujud (Wahdatul Wujud).
IV.   PEMIKIRAN TASAWUF FALSAFI AL-FARABI
Dalam memahami konsep tasawuf falsafi al-Farabi, kita tidak dapat terlepas dari konsep falsafah yang dikembangkannya, mulai dari teori emanasi sampai kepada konsep manusia.
a.         Teori Emanasi
Tidak dapat dipungkiri bahwa semua muslim percaya bahwa semua wujud yang ada adalah ciptaan Allah SWT, tetapi bila dikejar pada pertanyaan paling mendasar tentang dari mana dan bagaimana prosesnya Tuhan Yang Maha Tunggal itu menciptakan jagad raya? menjadi beragam, karena hal ikhwal penciptaan secara detail tidak pernah dikupas secara elaboratif oleh Alquran maupun hadits, karena kita tahu bahwa Alquran memuat hal-hal yang bersifat pokok dan global saja.[9]

Mengawali filsafat emanasi versi al-Farabi, mungkin akan lebih mudah dimengerti bila dilihat melalui tangga filsafat metafisika neo-platonisme, keduanya mempunyai kedekatan dalam pola pikirnya. Menurut Plato (w. 347 SM) di balik wujud alam ini, ada alam ide (‘alam mitsāl) yang kekal dan abadi. Ide-ide abadi tersebut bersifat non-material bersifat tetap dan tidak berubah-ubah.[10] Dunia ide adalah dunia kekal dan abadi, sementara yang tampak di dunia ini adalah dunia bayang-bayang atau copy dari dunia ide yang abadi tersebut. Dunia ide tetap ada dan kekal meskipun dunia bayangannya musnah, seperti manusia ini akan musnah tetapi dunia ‘ide’ manusia akan abadi selamanya,
            Bagi neo-platonis gerakan yang diajarkan oleh Plotinus, akal adalah wujud yang paling jelas menyerupai Tuhan dari segala alam semesta. Kemudian dari akal tersebut ber-emanasi dan menghasilkan jiwa, jiwa-jiwa ini mempunyai daya pemahaman dan melahirkan bentuk alam semesta.[11]
Teori emanasi al-Farabi sendiri adalah teori pancaran tentang urutan-urutan wajud atau teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam dan makhluk) dari Zat yang wajibul wujud (Tuhan). Al-Farabi berpendapat bahwa segala sesuatu itu keluar/berasal dari Tuhan, karena Tuhan mengetahui zat-Nya dan mengetahui bahwa ia menjadi dasar susunan wujud yang sebaik-baiknya.[12]
Tuhan berpikir tentang dirinya dan dari pemikiran ini timbul maujud lain. Karena pemikiran tuhan tentang diri-Nya merupakan daya yang dahsyat, maka daya itu dapat menciptakan sesuatu. Tuhan meupakan wujud yang pertama. Karena Tuhan berpikir tentang diri-Nya sendiri yang Esa, maka timbullah maujud kedua yang disebut akal pertama yang tidak bersifat materi. Selanjutnya, akal pertama berpikir tentang Tuhan sehingga timbul akal kedua. Akal pertama juga berpikir tentang diri-Nya sehingga terciptalah langit. Akal kedua berpikir tentang Tuhan, timbul akal ketiga, dan berpikir tentang dirinya, maka terciptalah bintang-bintang. Begitu seterusnya hingga sampai pada akal kesepuluh.
Maujudul Awwal

Berfikir tentang Tuhan
Akal berfikir
Tuhan


tentang dirinya




Wujud 2

Akal 1
Langit
Wujdu 3

Akal 2
Bintang
Wujud 4

Akal 3
Saturnus
Wujud 5

Akal 4
Yupiter
Wujud 6

Akal 5
Mars
Wujud 7

Akal 6
Matahari
Wujud 8

Akal 7
Venus
Wujud 9

Akal 8
Mercuri
Wujud 10

Akal 9
Rembulan




Wujud 11

Akal 10 (Akal Fa’al)
Wujud Roh

            Pada akal kesepuluh dayanya sudah melemah dan tidak mampu lagi beremanasi. Begitulah mata rantai emanasi berlangsung. Akal kesepuluh ini mengatur dunia fana dan ruh ruh manusia serta empat unsur materi pertama dalam bentuk yakni air, tanah, api, udara.[13] Dari teori emanasi inilah, muncul apa yang lebih di kenal Wahdatul Wujud.[14]
            Wahdat al-wujud adalah istilah yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal, dan kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada.[15] Dengan demikian wahdat al-wujud mempunyai arti kesatuan wujud. Kata wahdat selanjutnya digunakan untuk arti yang bermacam-macam. Sebagian ulama’ terdahulu mengartikan wahdat sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi lagi. Selain itu kata wahdat menurut ahli filasafat dan sufistik sebagai suatu kesatuan antara roh dengan materinya, substansi (hakikat) dan forma (bentuk), antara yang lahir dan yang bathin.[16] Adapun pemahaman yang digunakan oleh para sufi selanjutnya mengenai wahdat al-wujud yaitu sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya memiliki satu kesatuan wujud.
b.        Eksistensi Jiwa Manusia
Al-Farabi menaruh perhatian besar pada eksistensi jiwa dalam kaitannya dengan kekuatan berpikir menurut dia jiwa ada dalam tubuh manusia, memancar dari akal kesepuluh.[17] Dari akal kesepuluh ini pulalah memancar bumi, roh, api udara dan tanah.[18] Al-Farabi mencoba memilah jiwa yang ada pada jiwa itu kepada tiga macam. Pertama, seperti gerak untuk makan, gerak untuk memelihara sesuatu, dan gerak untuk berkembang biak. Kedua, daya mengetahui seperti mengetahui dalam merasa dan mengetahui dalam berimajinasi. Ketiga, daya berpikir yang dipilah-pilahkan kepada akal praktis dan akal teoritis.[19]
Tentang akal praktis dan teoritis, masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda, akal praktis berfungsi untuk menyimpulkan apa yang mesti dikerjakan oleh seseorang. Sedangkan akal teoritis berfungsi untuk membantu dalam menyempurnakan jiwa.[20]
Akal teoritis memiliki 4 tingkatan, yaitu akal potensial (material), akal mungkin (Bakat/pengetahuan rasional I), akal aktual (pengetahuan rasional II), dan akal mustafad (akal perolehan/pengetahuan intuitif). Akal tingkat keempat inilah yang tertinggi dan dimiliki para filosof. Akal mustafad sudah dapat menangkap arti-arti murni yang tidak berhubungan dengan material karena akal ini sudah tidak membutuhkannya. Akal mustafad mepunyai kesanggupan berkomunikasi dengan akal kesepuluh. Ia sudah tidak mempedulikan dan membutuhkan serta telah sanggup melepaskan diri dari segala ikatan jasmani dan material. Inilah akal yang sempurna dalam jiwa manusia.[21]
Melalui akal intelektual, manusia bisa menyerap hal-hal abstrak yang sama sekali tidak berhubungan dengan materi, bagi seorang Nabi dengan akal intelektual akal mustafadh, seorang Nabi bisa menerima kode atau isyarat wahyu. Sedangkan upaya filosof untuk berkomunikasi dengan akal fa’al melalui akal intelektual dapat dicapai melalui jalan kontemplasi dan perenungan atau melalui kegiatan berfikir mendalam terhadap sesuatu.
Para nabi diberi kemampuan akal mustafadh untuk mencercap isyarat wahyu dalam bentuk kemampuan akal intelek berkomunikasi dengan aql fa’al sehingga kebenaran yang dihasilkan wahyu adalah kebenaran yang pasti bukan kebenaran nisbi. Kemampuan istimewa untuk berkomunikasi dengan aql fa’al ini bersifat pemberian dari Allah. Menurut Amin Abdullah, pembahasan filsafat kenabian dalam filsafat Islam merupakan pembahasan yang khas, tidak ditemui di dalam filsafat Yunani secara detail.[22]
Al-Farabi hadir dengan konsep kenabian untuk menepis keraguan Ar-Razi dan pengikutnya. Bagi al-Farabi, Nabi merupakan gelar kehormatan yang disematkan oleh Allah kepada hamba pilihan-Nya. Kepadanya dituangkan kalam Tuhan berupa wahyu untuk di sampaikan kepada makhluk di alam ini. Menurut al Farabi, manusia bisa berhubungan dengan aql fa’al melalui dua cara, yakni: penalaran atau perenungan pemikiran dan imaginasi atau intuisi (ilham). Cara pertama hanya bisa dilakukan oleh pribadi terpilih yang dapat menembus alam materi untuk mencapai cahaya keTuhanan. Sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh para Nabi.[23]


V.      KESIMPULAN
Pertalian pemikiran al-Farabi sangat erat dengan filsafat Yunani, Oleh karena itu untuk memahami pokok pikiran al-Farabi mutlak dibutuhkan menyelami pemikiran filsafat. Al-Farabi adalah sosok filosof muslim yang pengetahuannya mapan, di samping ilmuwan juga seorang yang ‘alim, yang hidup dalam kesederhanaan.
Dalam filsafat metafisika, al-Farabi berpendapat bahwa penciptaan alam ini terjadi secara emanasi atau pancaran Tuhan (al faidh al ilahiy) melalui daya akal yang tunggal dan esa, kekal, abadi yang disebut akal murni, kemudian menjadi alam raya yang beraneka ragam, proses emanasi berhenti pada akal ke sepuluh yang dinamai akal fa’al, pada akal kesepuluh ini tidak lagi ber-emanasi karena daya kekuatan akalnya melemah. Dari akal kesepuluh ini melahirkan materi, seperti air, api, udara, tanah kemudian diikuti berbagai unsur lainnya. Pada konsep emanasi ini, nampak sekali pengaruh filsafat metafisikanya neo-platonisme.
Bagi al-Farabi, baik Nabi dan filosof adalah satu kesatuan makna, namun berbeda pendekatannya. Nabi adalah orang suci yang terpilih untuk menerima titah kebenaran berupa wahyu, sedangkan filosof melalui logika berpikirnya dapat mencapai sebuah kebenaran yang hakiki,












DAFTAR PUSTAKA
A.  Buku
Abdullah, Amin. 2000.  Aspek Epistemologis Filsafat Islam, Yogyakarta: Uin-Suka Press
Amin, Saidul. 2012. Filsafat Barat Abad 21, Pekanbaru: Daulat Riau
Amin, Samsul Munir. 2012. Ilmu Tasawuf,(Jakarta: AMZAH
Armstrong, Karen. 2003. Sejarah Tuhan, terj. Zaimul Am, Bandung: Mizan Media Utama
Hawa, Said. 1998. Allah Jallā Jalāluhu, terj.  Muhtadi Abdul Mun’im, Jakarta: Gema Insani Press
Kartanegara, Mulyadhi. 2007. Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon Terhadap Modernitas, Jakarta: Erlangga
Madkour, Ibrahim. 2009. Aliran dan Teori Filsafat Islam, Terj. Yudian Wahyudi Asim, Jakarta: Bumi Aksara
M. M. Syarif. 1994.  History of Muslim Philisophy, peny. Ilyas Hasan, Para Filosof Muslim, Bandung: Mizan
Nasution, Harun. 1992.  Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang
Nata, Abuddin. 2006.  Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Sholihin, M. Rosihon Anwar. 2008. Ilmu Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia

B.  E-Jurnal
Muhammad Hasbi, “Pemikiran Emanasi dalam Filsafat Islam dan Hubungannya dengan Sains Modern” Jurnal Al-Fikr Volume 14, No.3, 2010. Diakses pada laman https://ejournal.uin-alauddin.ac.id pada tanggal 10 Maret 2017
Qosim Nursheha Dzulhadi, "Al-Farabi dan Filsafat Kenabian."Jurnal Kalimah Vol. 12, No.1, 2014. Diakses pada laman https://ejournal.unida.gontor.ac.id pada tanggal 10 Maret 2017
C.Website


[1] Said Hawa, Allah Jallā Jalāluhu, terj. Muhtadi Abdul Mun’im, (Jakarta, Gema Insani Press, 1998), h. 22
[2] Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, terj. Zaimul Am, (Bandung: Mizan Utama, 2003), h. 240
[3] Supriyadi Dedi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), Cet. Ke-1, h. 80
[4] Dikutip dalam laman http://www.id.wikipedia.org pada tanggal 10 Maret 2017
[5] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta: AMZAH, 2012), h. 264
[6] Ibid
[7] M. Sholihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 171
[8] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, h. 266
[9] Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respon Terhadap Modernitas, (Jakarta: Erlangga, 2007), 65.
[10]  Saidul Amin, Filsafat Barat Abad 21, (Pekanbaru: Daulat Riau, 2012), h. 23
[11] Ibid
[12] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Terj. Yudian Wahyudi Asim, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 123
[13] Muhammad Hasbi, “Pemikiran Emanasi dalam Filsafat Islam dan Hubungannya dengan Sains Modern” Jurnal Al-Fikr Volume 14, No.3, 2010, h. 68
[14] Walaupun wahdatul Wujud merupakan pandangan atau konsep tasawuf yang lebih sering disandarkan kepada Ibnu Arabi, penulis memahami bahwasannya konsep penciptaan mula-mula antara al-Farabi Ibnu Arabi memiliki persamaan. Sehingga untuk memahami konsep al-Farabi mengenai hubungan antara emanasi dengan dunia tasawuf dapat melihat pemikiran dari Ibnu Arabi.
[15] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2006),  h.247
[16] Ibid
[17] Menurut al-Farabi, Allah menciptakan alam ini melalui emanasi, dalam arti bahwa wujud Tuhan melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi melalui tafakkur (berfikir) Tuhan tentang dzat-Nya yang merupakan prinsip dari peraturan dan kebaikan dalam alam. Dengan kata lain, berpikirnya Allah swt tentang dzat-Nya adalah sebab dari adanya alam ini. Dalam arti bahwa ialah yang memberi wujud kekal dari segala yang ada.
[18] Ibrahim Madkûr, Aliran dan Teori Filsafat Islam, h. 122
[19] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan bintang, 1992), h.29
[20] M. M. Syarif, History of Muslim Philisophy, penyunting Ilyas Hasan, Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1994), h.70
[21] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, h. 29
[22] Amin Abdullah, Aspek Epistemologis Filsafat Islam, (Yogyakarta: Uin-Suka Press, 2000), h. 16
       [23] Qosim Nursheha Dzulhadi, "Al-Farabi dan Filsafat Kenabian."Jurnal Kalimah Vol. 12, No.1, 2014,

131

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diabolisme Salman Rushdie dan Ahok

ANTARA SALMAN RUSHDIE DAN AHOK Oleh: Dr. Adian Husaini Tahun 1988, dunia Islam digegerkan oleh seorang bernama Salman Rushdie. Kisahnya ...