BAB
I
KONSEP
IMAN DALAM TEOLOGI ISLAM
A.
Latar Belakang Masalah
Setiap aliran
teologi Islam meyakini bahwa Iman merupakan hal yang fundamental dalam ajaran
Islam. Persoalan Iman sangat penting bukan hanya karena masalah tersebut
berkaitan dengan esensi dan eksistensi Islam sebagai agama, tetapi juga karena
perbincangan mengenai konsep ini manandai titik awal dari semua pemikiran
teologis orang-orang Islam masa awal. Didalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman;
آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ
كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لانُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ
رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ
الْمَصِيرُ
Artinya: Rasul telah
beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhan-Nya, demikian
pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah,
Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, dan Rasul-Rasul-Nya.(Mereka mangatakan:
“Kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun dengan yang lain dari
Rasul-Rasul-Nya”, Dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat”.(Mereka
Berdoa): “Ampunilah kami Ya Tuhan Kami dan Kepada Engkaulah tempat kembali”.(
Q. S. Al-Baqarah 2: 285).[1]
يَسۡتَعۡجِلُ
بِهَا ٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ بِهَاۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مُشۡفِقُونَ
مِنۡهَا وَيَعۡلَمُونَ أَنَّهَا ٱلۡحَقُّۗ أَلَآ إِنَّ ٱلَّذِينَ يُمَارُونَ فِي ٱلسَّاعَةِ
لَفِي ضَلَٰلِۢ بَعِيدٍ ١٨
Artinya: “Orang-orang yang tidak
beriman kepada hari kiamat meminta supaya hari itu segera didatangkan dan
orang-orang yang beriman merasa takut kepadanya dan mereka yakin bahwa kiamat
itu adalah benar (akan terjadi). Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang-orang yang
membantah tentang terjadinya kiamat itu benar-benar dalam kesesatan yang jauh” (Q.S Asy-Syuura 42: 18)
…فَأَخْبِرْنِي
عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ
وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ….. رَوَاهُ مُسْلِمٌ
…..(Malaikat Jibril berkata “Beritahukanlah kepadaku tentang Iman“. Beliau (Rasulullah
SAW) bersabda: “Engkau beriman kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir
dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” ……(H.R.Muslim)[2]
Secara keseluruhan semua aliran teologi Islam
sepaham bahwasannya Iman ialah kewajiban untuk percaya kepada Allah SWT,
Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, Hari Akhir, dan Qadha
dan Qadar . Di dalam hadits Rasulullah SAW
menjelaskan:
عَنِ
ابْنِ حَجَرٍ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله صَلىَّ الله
ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أْلإِيْمَانُ مَعْرِفَةٌ بِاْلقَلْبِ وَقَوْلٌ بِالِّلسَانِ
وَعَمَلٌ بِاْلأَرْكَانِ (رواه ابن ماجه والطبراني(
Dari Ibnu Hajar
Radhiyallahu’Anhu: Rasulullah SAW bersabda: “Iman ialah pengetahuan di hati,
mengucapkan dengan lisan dan pengamalan dengan anggota badan”( H.R. Ibnu Majah
dan At-Tabrani).[3]
Para ulama sepakat berdasarkan hadits di atas bahwasannya pengertian
Iman yaitu al-tasdiq bil qalbi, wa taq’rir bil lisan dan wal af’al
bil jawari.[4]
Akan tetapi, dalam perkembangannya menghadapi persoalan kehidupan manusia yang
semakin rumit, para ulama mutakallimin berbeda pendapat mengenai konsep Iman.
Kemunculan awal aliran-aliran teologi dalam Islam dimulai pada
peristiwa terbunuhnya khalifah Islam ketiga yaitu Utsman bin Affan yang
berbuntut kepada penolakan Mu’awiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.[5]
Ketegangan antara Mu’awiyah dengan Ali bin Abi Thalib memuncak sampai kepada perang
Siffin yang berakhir dengan keputusan tahkim (arbitrase). Sikap
Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin Ash utusan dari pihak Mu’awiyah dalam tahkim,
sungguh pun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian pengikutnya.[6]
Golongan yang menolak keputusan tahkim ini dan mengaku keluar dari
kelompok Ali dekenal dengan Khawarij.
Mereka
berpendapat bahwa persoalan yang terjadi saat itu tidak dapat diselesaikan
melalui jalan tahkim. Hal ini karena, mereka yang ikut dalam tahkim
telah menggantikan hukum Allah SWT dengan hukum manusia. Khawarij
beranggapan bahwasannya mereka yang terlibat dalam tahkim dicap bersatus
sebagai pelaku dosa besar dan kafir.[7]
Adapun dalil Al-Qur’an yang mendukung pendapat golongan Khawarij ini
ialah Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 44:
….وَمَن
لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ ٤٤
Artinya:
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. ( Q.S. Al-Maidah 5: 44).[8]
Pembahasan
tentang konsep Iman selanjutnya bergulir menjadi bahan perbincangan dalam
setiap diskursus aliran-aliran teologi Islam yang tumbuh kemudian, termasuk
aliran Murjiah. Aliran lain seperti Mu’tazilah, Asy’ariyyah, dan Maturidiyyah
turut ambil bagian dalam polemik tersebut. Bahkan tak jarang didalam
aliran-aliran tersebut terdapat perbedaan pandangan diantara sesama
pengikutnya.
Timbulnya
aliran-aliran dalam Islam tersebut akibat adanya perdebatan tentang persoalan
siapa yang kafir dan siapa yang mukmin, dalam artian siapa yang sudah keluar
dari Islam dan siapa yang masih dalam Islam.[9]
Perbedaan
pendapat antara aliran teologi Islam dalam kaitannya dengan masalah-masalah
teologi Islam sebenarnya berkaitan erat dengan cara (metode) berpikir dalam
menafsirkan ayat Al-Qur’an dan Hadits dari masing-masing aliran ilmu kalam,
terutama dalam menguraikan objek
pengkajian (persoalan-persoalan kalam) khususnya mengenai konsep Iman.
Perbedaan metode berpikir secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua
macam yaitu kerangka berpikir tradisionalis dan kerangka berpikir rasional.
Pertama, metode berpikir tradisionalis. Metode ini lebih menekankan pada penafsiran
akan dalil-dalil nash Al-Qur’an dan Hadits yang bersifat qath’i (dalil-dalil
nash sudah jelas dan tegas sehingga tidak diperbolehkan melakukan interpretasi
dalam Al-Qur’an dan Hadits).[10]
Metode berpikir
ini banyak digunakan oleh aliran Khawarij, Murjiah, Asyariyah dan Maturidiyah.
Dalil-dalil nash Al-Qur’an dan Hadits dipahami sebagai sesuatu yang muhkam dan
akal dilarang untuk melakukan penafsiran akan dalil-dalil nash tersebut.
Kedua, metode berpikir rasional. Metode berpikir ini lebih mengedepankan
penafsiran akan dalil-dalil nash Al-Qur’an dan Hadits secara rasio atau
penggunaan akal dalam memahami dalil-dalil tersebut. Dalil-dalil nash ini
diyakini bersifat mutasyabihat atau zhanni (dalil nash yang
menunjukan atas suatu makna, akan tetapi masih memungkinkan penakwilan atau
perluasan makna dalil nash tersebut).[11]
Aliran teologi
Islam yang memiliki cara berpikir rasional adalah Mu’tazilah. Oleh sebab
itu, Mu’tazilah dikenal sebagai aliran teologi yang bersifat rasionalis
Islam (Ahl al-Ro’yi wa at-Tauhid).[12]
Perbincangan
konsep Iman menurut tiap-tiap aliran teologi Islam, seperti yang terlihat dari
berbagai literature ilmu kalam, seringkali lebih dititik beratkan pada satu
atau dua aspek saja dari term pengertian Iman yaitu al-tasdiq bil
qalbi, wa taq’rir bil lisan, atau wal af’al bil jawari. Ini dapat
dipahami sebab kesimpulan tentang konsep Iman akan berhubungan dengan konsep
kufur.
Golongan Khawarij
berpendapat bahwa Iman bukan hanya sekedar pengakuan hati (tashdiq bi
al-qalb) terhadap keesaan Allah, tetapi amal pun merupakan unsur dari Iman.[13]
Mereka memandang amal sebagai unsur yang integral dari Iman sehingga menurut
mereka seseorang yang bersalah karena dosa besar, ia bukan saja sebagai orang
yang berdosa besar tetapi juga seorang kafir, sekalipun ia tetap meyakini
keesaan Allah SWT.[14]
Pendapat
golongan Khawarij ini pun disanggah oleh Murji’ah. Menurut
golongan ini, bahwa iman ialah hanya pengakuan atau pembenaran dalam hati (tashdiq bi al-qalb). Berangkat dari
konsep ini, Murji’ah berpendapat bahwa seseorang tidak menjadi kafir
oleh sebab dosa besar, bahkan jika ia menyatakan kekufurannya tersebut secara
lisan. Menurut mereka yang terpenting adalah tasdiq dalam hati, mengakui
keesaan Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya. Sedangkan amal
tidak dipandang penting oleh Murji’ah.[15]
Perbedaan
pandangan dan penafsiran tentang konsep Iman dari golongan Khawarij dan Murji’ah
ini juga disanggah oleh golongan teologis lainnya. Golongan lain seperti Mu’tazilah,
Asyariah, dan Maturidiyah beranggapan bahwasannya konsep Iman dari
kedua golongan tersebut sama-sama memiliki ketimpangan dalam memahami Iman.
Karena ketidakpuasan terhadap pandangan dari kedua golongan tersebut, ketiga
golongan ini mengambil sisi tengah mengenai konsep Iman.
Uraian umum dari latar belakang ini menjadi gambaran singkat dari penelitian
yang penulis teliti, dimana penulis akan menjelaskan perbedaan dan persamaan
dari masing-masing aliran teologis mengenai konsep Iman, dimana akan dibahas
hal-hal yang berkaitan dengan sejarah timbulnya perbedaan penafsiran tentang
Iman dalam setiap aliran, kewajiban beriman dan beramal, serta bertambah dan
berkurangnya Iman.
B.
Penegasan Istilah
Untuk
memperjelas arti dari judul agar tidak terjadi kesalahpahaman pengertian, maka
penulis memberikan penjelasan dari beberapa istilah-istilah dalam judul diatas:
Teologi Islam :ilmu
tentang ketuhanan (mengenai sifat-sifat
Allah, dasar-dasar kepercayaan kepada Allah dan agama terutama pada kitab suci),
yang didasarkan pada prinsip-prinsip dan ajaran Islam.[16]
Aliran Teologi :Kelompok
yang memahami ajaran agama Islam serta memiliki konsep-konsep atau pengetahuan
mengenai masalah teologi. Aliran teologi ini juga disebut sebagai aliran kalam.
C. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah peneliti
mengidentifikasi beberapa masalah yang ada sebagai berikut:
1.
Sejarah
munculnya perbedaan penafsiran tentang konsep Iman diantara aliran-aliran
teologi Islam
2.
Persoalan
perbedaan penafsiran dalil-dalil nash Al-Qur’an dan Hadits mengenai konsep Iman
diantara aliran-aliran teologi Islam
3.
Dalil
argumentasi atau metode berpikir yang digunakan oleh masing-masing aliran
teologi Islam terhadap pandangannya mengenai konsep Iman.
D.
Batasan Masalah
Dalam
pembahasan kali ini, penulis akan membatasi masalah yang akan dibahas terutama
mengenai konsep Iman dalam teologi Islam. Penulis hanya akan memaparkan sejarah
perbedaan penafsiran konsep Iman antara masing-masing aliran teologi Islam
serta pandangan dari masing-masing aliran teologi Islam terhadap konsep Iman
seperti Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’riyah dan Maturidiyah.
Adapun untuk aliran teologi Islam yang muncul belakangan di era modern saat
ini, seperti aliran Salafi dan Wahabi dapat menjadi tema
referensi di penelitian yang akan datang.
E.
Rumusan Masalah
Adapun pokok
permasalahan yang akan dibahas penulis yaitu:
1.
Bagaimana
pengertian konsep Iman dalam Al-Qur’an dan Hadits?
2.
Bagaimana
sejarah munculnya perbedaan penafsiran konsep Iman antar aliran teologi Islam?
3.
Bagaimana
perbedaan penafsiran mengenai konsep Iman dari masing-masing aliran teologi
Islam dan korelasinya dengan konsep Iman dalam Al-Qur’an dan Hadits?
F.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.
Tujuan
Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1.1
Menjelaskan
dan memaparkan konsep Iman dalam Al-Qur’an dan Hadits
1.2
Menjelaskan
sejarah munculnya perbedaan penafsiran tentang konsep Iman dari masing-masing
aliran teologi Islam
1.3
Menjelaskan
dan memaparkan perbedaan penafsiran mengenai konsep Iman antara aliran-aliran
teologi Islam dan hubungannya dengan konsep Iman dalam Al-Qur’an dan Hadits
2.
Manfaat
Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
2.1 Penelitian
ini dapat menambah khazanah pengetahuan penulis maupun para akademisi yang
mempelajari dan menggeluti penelitian dalam bidang teologi Islam.
2.2 Penelitian
ini dapat menjadi referensi dalam penelitian literature ilmu kalam selanjutnya
terutama mengenai konsep Iman dalam pandangan aliran teologi Islam.
2.3 Penelitian
ini dapat memperluas wawasan pengetahuan masyarakat umum yang mempelajari
konsep-konsep keimanan terutama dalam pandangan masing-masing aliran teologi
Islam.
G. Tinjauan Pustaka
Kajian yang
berkenaan dengan konsep Iman dalam teologi Islam sebenarnya telah banyak
ditulis oleh para pakar, ulama, dan para sejarahwan Muslim. Namun, sebagai
dasar penelitian ini penulis berusaha menemukan dan mengutip beberapa pendapat
dari para peneliti teologi Islam lainnya sebagai landasan untuk memperkuat
dalil argument yang penulis sampaikan. Ada beberapa penulis yang hanya
menjelaskan sejarah munculnya perbedaan penafsiran tentang konsep Iman dan
tidak sedikit pula yang hanya mengemukakan beberapa pandangan umumnya mengenai
konsep-konsep dalam teologi Islam.
Beberapa
diantaranya yang bisa dikemukakan dalam tinjauan pustaka ini adalah buku Harun
Nasution yang berjudul “Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan” terbit pada tahun 1972. Dalam bukunya ini, Harun Nasution
menjelaskan pemikiran dari masing masing aliran ilmu kalam mengenai
konsep-konsep teologi Islam mulai dari perbuatan Tuhan sampai kepada konsep
mengenai Iman. Tulisan Harun Nasution dalam bukunya ini, hanya memberikan
sedikit gambaran mengenai konsep Iman dari masing-masing aliran teologi Islam.
Kelebihan dari pemikiran Harun Nasution ialah ia mampu memberikan gambaran
argumentasi dari masing-masing aliran teologi Islam secara objektif.
Dalam tulisan
lain, seperti yang ditulis oleh Suryan A. Jamrah dalam bukunya “Sejarah
Pemikiran Islam”. Mengatakan bahwa sejarah timbulnya persoalan kalam
(teologi) justru bermuara dari perbincangan umat tentang persoalan politik.[17]
Dalam tulisannya, Suryan A. Jamrah memberikan gambaran umum dari sejarah
lahirnya aliran-aliran dalam teologi Islam mulai dari Murji’ah sampai
kepada Asya’riyah.
Dr. Sahilun A. Nasir dalam bukunya “Pemikiran
Kalam: Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya” yang terbit pada tahun
2010, hanya menjelaskan pokok-pokok
ajaran dari masing-masing aliran teologi Islam dan tidak memberikan gambaran
secara rinci bagaimana pandangan diantara aliran tersebut mengenai konsep Iman.
H. Kerangka Teori
Dengan
memperhatikan aspek sejarah persoalan keimanan, Ibn Taimiyah, seorang teolog
dari mazhab Hambali, menyatakan bahwa perselisihan atas makna kata Iman
merupakan perselisihan intern pertama yang terjadi diantara orang-orang Islam
yang mengakibatkan masyarakat Muslim terpecah kedalam beberapa sekte dan aliran
yang berbeda-beda dalam menafsirkan term Iman.[18]
Diantara sebab perbedaan tentang konsep Iman adalah karena
perbedaan pemahaman mengenai pelaku dosa besar, apakah ia masih mukmin atau
kafir. Juga disebabkan perbedaan pemahaman mengenai kekuatan akal dan fungsi
wahyu.[19] Oleh karena itu bagi kaum Mu’tazilah
Iman bukanlah tasdiq. Iman dalam arti mengetahui pun belumlah cukup.
Menurut Abd al-Jabbar, orang yang mengetahui Tuhan tetapi melawan kepada-Nya,
bukanlah orang yang mukmin.[20]
Tegasnya Iman bagi mereka adalah pelaksanaan perintah-perintah Tuhan.
Hal senada dengan aliran Khawarij,
Iman dalam pandangan mereka tidak semata-mata percaya kepada Allah. Mengerjakan
segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Dengan
demikian, siapapun yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah dan bahwa Nabi
Muhammad adalah Rasulnya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban agama dan malah
melakukan perbuatan dosa, ia dipandang kafir oleh Khawarij.[21]
Menurut Harun
Nasution, kelompok Murjiah bependapat bahwasannya pelaku dosa besar
tidaklah menjadi kafir. Ciri khas dari kelompok ini adalah iqrar sebagai
bagian penting dari Iman disamping tasdiq.[22]
Bagi kaum Asy’riyah, iman ialah tasdiq yaitu tasdiq
tentang adanya Tuhan, Rasul-Rasul dan berita yang mereka bawa. Bagi Asy’riyah
Iman tidak akan sempurna jika hanya tasdiq saja tanpa disertai oleh
pengetahuan.[23]
Bagaimanapun batasan Iman dengan tasdiq hanya dapat sesuai dengan aliran
Asy’riyah, Murjiah, dan Maturidiyah Bukhara. Adapun bagi
aliran Mu’tazilah, Khawarij dan Maturidiyah Samarkand, iman
mestilah lebih dari tasdiq yaitu ma’rifah dan ‘amal.
I.
Metode Penelitian
1.
Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian ini
merupakan penelitian kepustakaan (library research), yaitu suatu
penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi yang sumbernya
berasal dari kepustakaan baik berupa buku, jurnal, majalah dan hasil penelitian
lainnya yang sesuai dengan topic kajian.[24]
Lebih lanjut
penelitian ini bersifat deskriptif analitis,[25]
yaitu memaparkan dan menjelaskan konsep Iman dari pemikiran masing-masing
aliran teologi Islam berdasarkan fakta sebagaimana adanya, lalu dilakukan
telaah dan analisa terhadap pandangan dari masing-masing aliran tersebut secara
mendalam.
2.
Metode Pengumpulan Data
Untuk menggali data
dalam penelitian ini ditempuh dengan beberapa langkah, yaitu: dengan metode dokumentasi.[26]
Dimana sumber data diambil dan dikumpulkan dari buku-buku, naskah-naskah,
artikel-artikel, dan dokumentasi lainnya yang mendukung penelitian. Sumber data
didalam penelitian ini dibedakan menjadi sumber primer dan sumber sekunder.
- Sumber Primer, ialah sumber data yang berhubungan langsung dengan
fokus persoalan yang akan dikaji, yaitu konsep Iman dalam pandangan
aliran-aliran teologi Islam. Diantara yang menjadi sumber primer adalah:
i.
Buku
karya Abu al-Hasan Asy’ari, seorang ulama pendiri aliran teologi Asy’ ariyah
dalam kitabnya al-Ibanat ‘An Ushul an-Diyanah, diterbitkan oleh Idarah
at-Thiba’ah al-Muniriyyah, Kairo pada tahun 1953. Dalam kitab ini, Abu al-Hasan
Asy’ari mengulas prinsip kaidah pokok agama Islam terutama mengenai konsep
Iman.
ii.
Selanjutnya,
buku yang ditulis Ahmad al-Jabbar ibn Ahmad seorang ulama Mu’tazilah dalam
kitabnya “Syarh Ushul al-Khomsah”, diterbitkan oleh Maktabah Wahdah,
Kairo tahun 1965. Didalam buku ini, Ahmad al-Jabbar mengulas panjang lebar
tentang Ushul al-Khomsah dari teologi Mu’tazilah dengan dilandasi kajian dan
corak pemikirannya. Dalam masalah Tauhid, ia secara deskriptif menggambarkan
konsep-konsep ajaran Mu’tazilah dalam membangun stigma tentang konsep Iman
dalam perspektif mereka.
iii.
Adapun
buku primer yang dapat digunakan sebagai rujukan aliran teologi lainnya seperti
Mur’jiah, dan Khawarij dapat ditelusuri dalam buku yang ditulis
oleh Muhammad Ahmad Abu Zahrah dengan judul “al-Mazahib al-Islamiyah”
diterbitkan olek Maktabah al-Adab, Kairo.
-
Sumber
Sekunder, ialah sumber data penelitian yang berupa tulisan-tulisan yang diambil
dari tokoh lain yang membahas tentang pemikiran dari masing-masing aliran
teologi Islam, terutama yang berhubungan dengan konsep Iman. Diantaranya:
i.
Sahilun
Nasir, dalam bukunya “Pemikiran Kalam Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya”,
terbitan Raja Grafindo Persada, Jakarta tahun 2010, mengungkapkan sejarah dan konsep
ajaran dari masing-masing aliran teologi Islam.
ii.
Suryan
A. Jamrah, et.al, “Sejarah Pemikiran Islami”, diterbitkan oleh Amzah,
Jakarta tahun 2012. Menjelaskan konsep-konsep pemikiran dari aliran ilmu kalam
disertai dengan beberapa analisa perbandingan antar aliran.
iii.
“Teologi
Islam: Aliran-Aliran dan Sejarah Analisa Perbandingan” oleh Harun Nasution, terbitan UI Press tahun 2010. Buku ini
menjelaskan gambaran umum mengenai sejarah dan ajaran aliran teologi Islam
disertai sudut pandangan penulis yang objektif.
iv.
Ahmad
Hanafi, “Pengantar Teologi Islam” terbitan Djajamurni, Jakarta, tahun
1967. Menjelaskan prinsip-prinsip ajaran dari aliran-aliran teologi Islam secara
komprehensif. Serta berbagai buku-buku pendukung lainnya.
3.
Analisa Data
Mengingat penelitian
ini merupakan penelitian kepustakaan (library research), maka data-data
yang terkumpul dari bahan-bahan dokumentasi seperti buku, jurnal maupun artikel
diklarifikasikan atau dikelompokan dalam satu uraian dasar sehingga dapat
ditemukan pola, tema yang dapat di sesuaikan dengan kebutuhan penelitian.[27]
Berdasarkan
data yang diperoleh untuk menyusun dan menganalisa data-data yang terkumpul
penulis memakai metode Deskriptif-Analitik. Metode deskriptif-analitik ini akan
penulis pakai untuk melakukan analisa terhadap pemikiran, sejarah dan kerangka
metodologis pemikiran dari masing-masing aliran teologi Islam mengenai konsep
Iman. Selain itu metode ini akan penulis gunakan ketika menggambarkan dan
menganalisa argumentasi yang disampaikan dari masing-masing aliran teologi
dalam pandangannya mengenai konsep Iman.
Cara kerja dari
metode Deskriptif-Analitik ini yaitu dengan cara menganalisa data yang diteliti
dengan memaparkan data-data tersebut kemudian diperoleh kesimpulan.[28]
J.
Sistematika Penulisan
Secara sistematis agar lebih terarahnya
penelitian ini, maka penulis merasa perlu untuk mengklasifikasikan sistematika
penulisan sebagai berikut:
Bab pertama
pendahuluan, yang akan mengantarkan kepada bab-bab selanjutnya dengan
menginformasikan tentang kerangka utuh proposal penelitian ini. Bab ini memuat
tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, serta sistematika
penulisan.
Kemudian bab kedua,
menjelaskan tentang konsep Iman dalam Al-Qur’an dan Hadits dengan memberikan
analisa penafsiran akan dalil-dalil nash tersebut oleh para mufassirin dan
mutakallimin.
Bab ketiga mengurai tentang pandangan
konsep Iman dan dalil argumentasi yang dipakai oleh masing-masing aliran
teologi Islam. Pada bagian bab ketiga ini, penulis memberikan analisa deskiptif
terhadap konsep Iman dari aliran-aliran teologi Islam serta memberikan analisa
komparatif dengan membandingkan kepada penafsiran dalil-dalil nash Al-Qur’an
dan Hadits.
Selanjutnya
pembahasan pada bab keempat, penulis memberikan kesimpulan dan saran serta
dilengkapi dengan daftar kepustakaan.
BAB II
KONSEP IMAN DALAM AL-QUR’AN DAN HADITS
2.1 Konsep Iman dalam Al-Qur’an dan Hadits
Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya: "Firman Allah ta'ala
dalam al-Qur’an
surat Al-Baqarah ayat 285 menjelaskan bahwasannya : "Demikian pula orang-orang
beriman". Merupakan athaf (kata sambung) dari "Rasul". Selanjutkan Allah Shubhanahu wa ta’alla mengabarkan
tentang keberadaan semuanya, Orang-orang
yang beriman mengimani bahwasannya Allah Shubhanahu
wa ta’alla adalah satu dan esa, sendiri tidak beranak pianak, yang tidak
ada ilah yang berhak disembah melainkan diri-Nya, yang tidak ada Rabb selain
diri -Nya. Begitu pula mereka mempercayai dengan seluruh para Nabi dan para
Rasul, selanjutnya mengimani dengan kitab-kitab suci yang diturunkan oleh Allah
ta'ala dari langit kepada para hamba -Nya dari kalangan para Rasul dan Nabi. [29]
Mereka tidak membedakan antara satu rasul dengan yang lainnya. Sehingga
beriman kepada sebagian lalu mengingkari sebagian yang lain, akan tetapi bagi
mereka semuanya sama, benar adanya, mengajak kepada kebaikan, yang memperoleh
petunjuk, serta memberi petunjuk kepada jalan kebenaran, walaupun ada diantara
mereka yang menghapus syari'at yang lainnya, namun, tentunya dengan izin -Nya.[30]
Dalam al-Qur’an surat Asy-Syuura
ayat 18, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini menganjurkan seorang Muslim
haruslah mengimani datangnya hari kiamat. Karena sesungguhnya orang-orang kafir
mendustakan akan datangnya hari kiamat dan mereka menganggap mustahil datangnya
hari kiamat tersebut, kafir dan ingkat terhadap ayat-ayat Allah.[31]
2.2. Konsep Iman dalam
Hadits
Berdasarkan
hadits nabi Muhammad SAW bahwasannya Iman ialah percaya kepada 6 perkara yaitu:[32]
1.
Beriman
kepada Allah SWT
2.
Beriman
Kepada Malaikat-Malaikat-Nya
3.
Beriman
kepada Kitab-Kitab-Nya
4.
Beriman
kepada Rasul-Rasul-Nya
5.
Beriman
kepada hari akhir
6.
Beriman
kepada qadha dan qadar
Berdasarkan hadits Iman itu
mengandung tiga unsur, yakni tashdiq bil al-qalb, iqrar bi al-lisan, dan
‘amal bi al-arkan.[33]
BAB III
KONSEP IMAN DALAM PANDANGAN ALIRAN TEOLOGI ISLAM
Secara
garis besarnya dapat disimpulkan bahwa bila iman diartikan sebagai percaya.,
yaitu kepercayaan
yang berkenaan dengan agama; keyakinan dan kepercayaan kepada Allah, nabi,
kitab, malaikat, hari kiamat dan takdir baik dan buruk.[34] Dalam
Al-Qur’an Iman itu selalu berkaitan dengan amal perbuatan baik berupa
pelaksanaan rukun-rukun Islam, akan menyebabkan manusia hidup berbahagia di
dunia dan di akhiratnya. Iman dari segi bahasa, kata iman berarti : pembenaran
( التَّصـْدِ يـْقُ )
inilah makna yang dimaksud dengan kata ( مُؤْ مِنٌ ) dalam surat Yusuf ayat, 17 yanga artinya “Dan
kamu sekali-kali tidak akan membenarkan kami (مُؤْ
مِنٍ لَّـنَا ) walaupun kami orang-orang yang benar”. Dari ayat di atas, makna mukmin yakni orang yang
membenarkan. Adapun makna iman dari segi istilah ialah pembenaran atau
pengakuan hati dengan penuh yakin tanpa ragu-ragu akan segala apa yang di bawa
oleh Nabi Muhammad saw. yang diketahui dengan jelas sebagai ajaran agama yang
berasal dari wahyu Allah.
3.1
KHAWARIJ
Khawarij
merupakan suatu aliran dalam Ilmu Kalam yang di ambil dari kata kharaja dengan jamak khawarij yang berarti keluar.[35]
Secara istilah Khawarij bermakna kelompok yang keluar dari barisan Ali
bin Abi Thalib. Sebagai sebuah aliran yang lahir dari peristiwa politik, maka
pandangan Khawarij terutama yang berkaitan tentang masalah Iman lebih
bertendensi pada masalah politik . Dalam hal ini golongan Khawarij berpendapat,
peristiwa tahkim (arbitrase) antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abu
Sufyan di anggap sebagai orang yang kufur dan pelaku dosa yang tempatnya kekal
di neraka.
Golongan Khawarij
berpendapat bahwa Iman bukan hanya sekedar pengakuan hati (tashdiq bi
al-qalb) terhadap keesaan Allah, tetapi amal pun merupakan unsur dari Iman.[36]
Mereka memandang amal sebagai unsur yang integral dari Iman sehingga menurut
mereka seseorang yang bersalah karena dosa besar, ia bukan saja sebagai orang
yang berdosa besar tetapi juga seorang kafir, sekalipun ia tetap meyakini
keesaan Allah SWT.[37]
Pendapat tentang siapa yang sebenarnya
masih Islam dan siapa yang telah kufur dalam persoalan tahkim (arbitrase)
tersebut tidak sepenuhnya sesama pengikut Khawarij sepaham, hal ini
menimbulkan perpecahan dalam golongan Khawarij
itu sendiri.[38]
3.1.1
Al-Muhakkimah
Golongan ini merupakan golongan Khawarij asli yang keluar dari kelompok
Ali bin Abi Thalib. Menutut sekte ini peristiwa tahkim tersebut dan semua
yang menyetujuinya di nyatakan bersalah dan menjadi kufur. Hukum kafir ini
mereka perluas sehingga termasuk kedalamnya tentang pelaku dosa besar. Seperti
halnya zina dan membunuh, ini mereka sebut sebagai dosa besar dan pelakunya
dianggap sebagai kafir dan keluar dari agama Islam.[39]
3.1.2 Al-Zariqah
Subsekte ini merupakan subsekte yang paling
ekstrim dan sikapnya lebih radikal. Golongan ini dipimpin oleh Nafi ibn
al-‘Azraq yang sekaligus menjadi nama dari subsekte ini. Dalam subsekte ini
tidak lagi memakai istilah kafir, akan tetapi memakai term musyrik atau polytheist. Dalam Islam polytheisme merupakan suatu dosa besar dan lebih besar dari kafir.[40]
3.1.3 Al-Najdat
Sekte al-Nadjat dipimpin oleh Ibn ‘Amir
al-Hanfi dari Yamamah yang pada awalnya ingin menggabungkan diri dengan
subsekte al-Azariqah. Kelompok ini berpecah dari kelompok Azariqah karena
permasalahan-permasalahna yang timbul, mereka tidak setuju dengan anggapan
Azariq yang berpendapat bahwa orang yang tidak berhijrah kelingkungan al-Azariq
adalah musyrik. Dalam hal mereka juga
tidak menyetujui dengan pendapat tentang
boleh dan halalnya dibunuh anak istri orang-orang Islam yang tidak sepaham
dengan mereka.[41]
3.1.4
Al-Ibadiyah
Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat, namanya di ambil
dari Abdullah ibn Ibad yang sekaligus sebagai penggugus pertama dari sekte ini.
Ibadiyah memiliki pandangan yang berbeda dengan kelompok lain, bagi sekte ini
pelaku dosa besar adalah mukmin yaitu muwabid (yang mengesakan Tuhan) tetapi
bukan mukmin. Dengan istilah lain ia tetap di sebut kafir tetapi hanya kafir
terhadap nikmat bukan kafir terhadap millah (agama).[42]
Subsekte dari golongan Khawarij
yang lain tidaklah seekstrim sekte yang telah di jelaskan di atas, akan
tetapi pada dasarnya dapat di samakan bahwa konsep Iman dalam aliran Khawarij bukan hanya semata-mata percaya
kepada Allah, akan tetapi harus diiringi dengan perbuatan. Golongan ini lebih
mengutamakan perbuatan daripada pembenaran dalam hati. Sekte ini lebih menekankan
logika, mereka beranggapan tanpa perbuatan, Iman tidak akan berguna dan pelakunya
akan di anggap sebagai kafir.
3.2
MURJIAH
Kata
Murji’ah berasal dari kata irja atau arja’a yang berarti
penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a juga memiliki arti
memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk
memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Oleh karena itu, murji’ah artinya
orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali
dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.[43]
Adapun yang di maksud kaum Murji’ah di sini ialah suatu
golongan atau kaum orang-orang yang tidak mau ikut terlibat dalam mengkafirkan
tehadap sesama umat Islam seperti dilakukan kaum Khawarij yang mengatakan bahwa
semua yang terlibat dalam tahkim adalah kafir, dan mengatakan bahwa orang Islam
yang berdosa besar juga kafir. Bagi mereka, soal kafir atau tidaknya
orang-orang yang terlibat dalam tahkim dan orang Islam yang berdosa besar, kita
tidak tahu dan tidak dapat menentukan sekarang. Mereka mempunyai pandangan
lebih baik menangguhkan penyelesain persoalan tersebut dan menyerahkanya kepada
keputusan Allah di hari kemudian yakni pada hari perhitungan sesudah hari
Kiamat nanti. Karena mereka berpendirian menangguhkan atau menunda persoalan
tersebut, mereka kemudian disebut kaum Murji’ah.[44]
Kebanyakan golongan Murji’ah
berpendapat bahwa iman ialah hanya membenarkan dengan hati saja. Apabila
seseorang beriman dengan hatinya, maka dia adalah Mukmin dan Muslim, sekalipun
lahirnya menyerupai orang Yahudi atau Nasrani dan meskipun lisannya tidak
mengucapkan dua kalimat syahadat. Mengikrarkan dengan lisan dan amal perbuatan,
itu bukan bagian dari iman.[45]
Kemudian sebagian dari golongan
Murji’ah berpendapat bahwa iman itu terdiri dari dua unsur, yaitu membenarkan
dengan hati dan mengikrarkan dengan lisan. Membenarkan dengan hati saja tidak
cukup, dan mengikrarkan dengan lisan saja pun tidak cukup, tetapi harus dengan
bersama kedua-duanya, supaya seseorang menjadi mukmin. Karena orang yang
membenarkan dengan hati dan menyatakan kebohongannya dengan lisan tidak
dinamakan mukmin.
Gassan al-Kufi
(tokoh Murji’ah) beranggapan bahwa “iman adalah mengenal Allah dan
Rasul-Nya, serta mengakui apa-apa yang telah diturunkan Allah, dan yang dibawa
oleh Rasul-Nya. Karenanya, iman itu tidak dapat bertambah atau berkurang”.[46]
Secara umum kelompok Murji’ah menyusun teori-teori keagamaan yang
independen, sebagai dasar gerakannya, yang intisarinya sebagai berikut[47]
1. Iman adalah
cukup dengan mengakui dan percaya kepada Allah dan Rasulnya saja. Adapun amal
atau perbuatan, tidak merupakan sesuatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan
hal ini, seseorang tetap dianggap sebagai mukmin walaupun ia meninggalkan apa
yang difardhukan kepadanya dan melakukan perbuatan-perbuatan dosa besar.
2. Dasar keselamatan adalah iman semata-mata. Selama masih ada iman dihati,
maka setiap maksiat tidak akan mendatangkan mudharat ataupun gangguan atas diri
seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia hanya cukup dengan menjauhkan
diri syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.
3.3
MU’TAZILAH
Bagi kaum Mu’tazilah bahwa iman itu
bukanlah tasdiq, dan Iman dalam arti pengetahuan pun belumlah cukup, tetapi iman
itu bagi kaum Mu’tazilah ialah amal yang timbul sebagai akibat mengetahui
tentang Tuhan. Menurut Abd al-Jabbar orang yang mengetahui Tuhan tetapi
melawannya bukanlah mukmin. Menurut Abu Huzail yang dimaksud dengan
perintah-perintah Tuhan bukanlah yang wajib saja, tetapi meliputi pula yang
sunnah. Sedangkan menurut al-Jubba’i bahwa yang dimaksud dengan perintah Tuhan
hanya yang wajib saja. Sedangkan menurut al-Nazzam yang dimaksud dengan
perintah Tuhan ialah menjauhi dosa-dosa besar.[48]
Untuk pembahasan mengenai pelaku dosa besar menurut kaum Mu’tazilah masih berhubungan dengan doktrin mereka tentang al-manzilah bayna manzilatain. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa orang mukmin yang
mengerjakan dosa besar dan mati sebelum tobat, tidak lagi mukmin dan tidak pula
kufur, tetapi dihukumi sebagai orang fasik. Di akhirat ia dimasukkan ke neraka
untuk selama-lamanya, tetapi agak dingin tidak seperti nerakanya orang kafir.
Dan tidak pula berhak masuk surga. Jelasnya menurut kaum Mu’tazilah, orang
mukmin yang berbuat dosa besar mati sebelum tobat, maka menempati tempat di
antara dua tempat, yakni antara neraka dan surga.[49]
Di akhirat ia dimasukkan ke neraka untuk selama-lamanya,
tetapi agak dingin tidak seperti nerakanya orang kafir. Dan tidak pula berhak
masuk surga. Jelasnya menurut kaum Mu’tazilah, orang mukmin yang berbuat dosa
besar mati sebelum tobat, maka menempati tempat di antara dua tempat, yakni
antara neraka dan surga.[50]
3.4
ASY’ARIAH
Menurut Imam Asy’ari, Iman itu ialah pengakuan
dalam hati tentang ke-Esaan Allah dan tentang kebenaran rasul-rasul-Nya apa
yang segala mereka bawa, lalu mengucapkan dengan lisan. Asy’ari berpendapat
seperti ini dengan tujuan untuk menetapkan orang yang fasik (berdosa besar) masih
disebut orang mukmin. Bukti bahwa orang fasik itu masih disebut mukmin, bahwa
orang fasik masih diberlakukan seperti orang mukmin di dalam menghukuminya.
Bila mereka meninggal dunia, mereka masih dikuburkan di kuburan orang muslim
dan dishalatkan serta di mandikan. Asy’ari mengatakan bahwa amal perbuatan itu
tidak dimasukkan ke dalam konsep Iman, alasannya jika amal perbuatan dimasukkan
ke dalam konsep Iman adalah orang yang berdosa besar banyak sekali dosanya yang
akan bisa menghapus kebaikan-kebaikan yang pernah ia kerjakan dan ia akan
kehilangan Imannya.[51]
Pada dasarnya al-Asy’ari dan Mu’tazilah berpandangan yang
sama bahwa Allah SWT itu adil. Hanya saja mereka berbeda dalam memandang makna
keadilan. Aliran
Mu’tazilah mengatakan bahwa apabila pelaku dosa besar
tidak bertaubat dari dosanya, meskipun ia mempunyai Iman dan keta’atan, tidak
akan keluar dari neraka. Sebaliknya, mengatakan siapa yang beriman kepada Allah
SWT dan mengikhlaskan diri kepada-Nya, maka bagaimanapun besar dosa yang
dikerjakannya, tidak akan mempengaruhi imannya.
Adapun al-Asy’ari menolak ajaran
menengah (manzilah bainal manzilatain) yang dianut Mu’tazilah. Mengingat
kenyataan bahwa Iman merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang
haruslah salah satu diantaranya. Jika tidak mukmin, berarti kafir. Oleh karena
itu, al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besardan meninggal
dunia sebelum sempat bertaubat, tetap dihukumi mukmin, tidak kafir, tidak pula
berada diantara keduanya, dan di akhirat terserah Allah SWT dengan beberapa
kemungkinan:
a) Ia mendapat ampunan Allah SWT dengan rahmat-Nya sehingga
pelaku dosa besar tersebut masuk surga.
b) Ia mendapat syafa’at dari Nabi Muhammad SAW.
c) Allah menghukum kepadanya dengan dimasukkan ke dalam
neraka sesuai dengan dosa besar yang dilakukannya, kemudian ia di masukkan ke surge.[52]
3.5
MATURIDIAH
Dalam
masalah Iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa Iman adalah tashdiq
bi al-qalb bukan semata-mata iqrar bi al-lisan.
Menurut
Al-Maturidi sebagai suatu penegasan bahwa Iman tidak cukup hanya dengan
perkataan, sementara kalbu tidak beriman. Apa yang oleh lidah dalam bentuk
pernyataan Iman menjadi batal apabila hati tidak mengakui ucapan lidah. Tasdiq
seperti yang dipahami diatas adalah yang harus diperohleh dari ma’rifah.
Tasdiq hasil ma’rifah menurut Al-Maturidi yang didapatkan dari penalaran
akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu.
Adapun
pengertian Iman menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang dijelaskan oleh
Al-Bazdawi adalah tasdiq bi al-qalb dan tasdiq bi al-lisan. Lebih
lanjut dijelaskannya bahwa yang dimaksud dengan tasdiq bi al-qalb
meyakini dan membenarkan dalam hati akan keesaan Allah dan rasul-rasul yang
diutus-Nya beserta risalah yang dibawa dari-Nya. Adapun tasdiq bi al-lisan
adalah mengakui kebenaran seluruh pokok-pokok ajaran Islam secara verbal. Jadi,
iman adalah tasdiq yang berisikn pembenaran dengan kalbu dan pengakuan secara
verbal.[53]
[29] Ibnu Katsir, Terjemahan
Tafsir Ibnu Katsir, Terj. Muhammad Abduh (Bogor: Pustaka Imam Syafii,
2002), Jilid 8,h. 235
[30] Ahmad Mushtofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar, dkk, (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), juz 3, h.145-146
[31] Ibnu Katsir, Terjemahan
Tafsir Ibnu Katsir, Terj. Muhammad Abduh (Bogor: Pustaka Imam Syafii,
2002), Jilid 8,h. 235
[32] فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ
تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ….. رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Hadits ini
di riwayatkan oleh Muslim. Dikutip pada laman http://www.almanhaj.com pada tanggal 23 November 2016
Adapun hadits mengenai hal ini ialah
sebagai berikut
عَنِ
ابْنِ حَجَرٍ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله صَلىَّ الله
ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أْلإِيْمَانُ مَعْرِفَةٌ بِاْلقَلْبِ وَقَوْلٌ بِالِّلسَانِ
وَعَمَلٌ بِاْلأَرْكَانِ (رواه ابن ماجه والطبراني
[34] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar
Bahasa Indonesia Luar Jaringan Online, (Jakarta: IT Kemendikbud, 2010),
didownload pada laman http://www.ebsroft.web.com
[35] Adeng Mucktar
Ghazali, Perkembangan Ilmu Kalam Dari
Klasik Hingga Modren, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), Hlm. 77
[38] Harun
Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran
Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 2010), h. 15
[39]Ibid
[43] Rozak Abdul,
2001,Ilmu Kalam (Bandung:CV Pustaka Setia). Hal. 56
[44] Ahmad Hanafi, Teologi
Islam/Ilmu Kalam(Jakarta: PT Bulan Bintang, 1974),h. 10-11.
[45] Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam
Islam, (Jakarta: Logos, 1996), hlm. 143
[46] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam),
(Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 152-156
[47] Kholid Syamhudi, Pengaruh Buruk Pemikiran Murji'ah, 2008, http://almanhaj.or.id/ diakses tanggal 15 September 2015
[48]Harun Nasution, Teologi Islam: aliran aliran sejarah analisa
perbandingan, (Jakarta:UI-Press, 2010)
h. 147
[49] Moh. Rifa’I dan Rs. Abdul Aziz, Pelajaran Ilmu Kalam, (Semarang:
CV. Wicaksana, 1994), h. 79
[50] Bakir Yusuf
Barmawi, Konsep Iman
dan Kufur dalam Teologi Islam, ( Jakarta: PT. Bina Ilmu. 1987), h. 16
[52] .M.
Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000),
Cet.IV, h.123-126
[53] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam,(Bandung: Pustaka
Setia, 2012), h. 174-175
[1] Yayasan Penyelenggara Penerjemah/ Penafsir Al-Qur’an Departemen Agama
Republik Indonesia, Al-Qur’anul Karim . Q.S. al- Baqarah 2: 285
[5]Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam: Sejarah, Ajaran dan
Perkembangannya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), h. 60
[7] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 2010), h. 8
[8] Yayasan Penyelenggara Penerjemah/ Penafsir Al-Qur’an Departemen Agama
Republik Indonesia, Al-Qur’anul Karim, ( Depok: Cahaya Qur’an,
2008), h. 115
[12] Ahmad Muthohar, Teologi Islam: Konsep Iman antara Mu’tazilah dan
Asy’ariyah, (Yogyakarta: Teras, 2008), h. 8
[15] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 2010), h. 26-27
[18] Dikutip dalam tesis Ma’mun, Konsep Iman Menurut K.H
Rifa’I, (Yogyakarta: UIN Suka Yogyakarta, 2010), h. 11
[21] Teuku Muhammad Hasbi Ash- Shiddieqy, Sejarah dan pengantar Ilmu
Tauhid/ Kalam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), h. 154
[22] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam: Sejarah, Ajaran dan
Perkembangannya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), h. 152
[25] Penelitian deskriptif analitis
ialah metode penelitian yang menentukan dan menjelaskan suatu
permasalahan yang diteliti apa adanya dengan memberikan analisa atau penalaran
terhadap hasil penelitian tersebut. Lihat Sutanto Leo, Kiat Jitu Menulis
Skripsi, Tesis dan Disertasi, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2013), h. 99
[26] Hidayat Syah, Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, (Pekanbaru:
Indrasakti Riau, 2016), h. 33
[27] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Pendekatan Praktek, (Jakarta:
Rineka Cipta, 1992), h. 210
Tidak ada komentar:
Posting Komentar