Minggu, 18 Desember 2016

Konsep Iman dalam Teologi Islam



BAB I
KONSEP IMAN DALAM TEOLOGI ISLAM

A.      Latar Belakang Masalah
Setiap aliran teologi Islam meyakini bahwa Iman merupakan hal yang fundamental dalam ajaran Islam. Persoalan Iman sangat penting bukan hanya karena masalah tersebut berkaitan dengan esensi dan eksistensi Islam sebagai agama, tetapi juga karena perbincangan mengenai konsep ini manandai titik awal dari semua pemikiran teologis orang-orang Islam masa awal. Didalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman;
آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لانُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
Artinya: Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhan-Nya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, dan Rasul-Rasul-Nya.(Mereka mangatakan: “Kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun dengan yang lain dari Rasul-Rasul-Nya”, Dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat”.(Mereka Berdoa): “Ampunilah kami Ya Tuhan Kami dan Kepada Engkaulah tempat kembali”.( Q. S. Al-Baqarah 2: 285).[1]
يَسۡتَعۡجِلُ بِهَا ٱلَّذِينَ لَا يُؤۡمِنُونَ بِهَاۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مُشۡفِقُونَ مِنۡهَا وَيَعۡلَمُونَ أَنَّهَا ٱلۡحَقُّۗ أَلَآ إِنَّ ٱلَّذِينَ يُمَارُونَ فِي ٱلسَّاعَةِ لَفِي ضَلَٰلِۢ بَعِيدٍ ١٨
Artinya: “Orang-orang yang tidak beriman kepada hari kiamat meminta supaya hari itu segera didatangkan dan orang-orang yang beriman merasa takut kepadanya dan mereka yakin bahwa kiamat itu adalah benar (akan terjadi). Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang-orang yang membantah tentang terjadinya kiamat itu benar-benar dalam kesesatan yang jauh” (Q.S Asy-Syuura 42: 18)
فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ…..  رَوَاهُ مُسْلِمٌ
…..(Malaikat Jibril berkata “Beritahukanlah kepadaku tentang Iman“. Beliau (Rasulullah SAW)  bersabda: “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” ……(H.R.Muslim)[2]
Secara keseluruhan semua aliran teologi Islam sepaham bahwasannya Iman ialah kewajiban untuk percaya kepada Allah SWT, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, Hari Akhir, dan Qadha dan Qadar . Di dalam hadits Rasulullah SAW menjelaskan:
عَنِ ابْنِ حَجَرٍ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله صَلىَّ الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أْلإِيْمَانُ مَعْرِفَةٌ بِاْلقَلْبِ وَقَوْلٌ بِالِّلسَانِ وَعَمَلٌ بِاْلأَرْكَانِ (رواه ابن ماجه والطبراني(
 Dari Ibnu Hajar Radhiyallahu’Anhu: Rasulullah SAW bersabda: “Iman ialah pengetahuan di hati, mengucapkan dengan lisan dan pengamalan dengan anggota badan”( H.R. Ibnu Majah dan At-Tabrani).[3]
Para ulama sepakat berdasarkan hadits di atas bahwasannya pengertian Iman yaitu al-tasdiq bil qalbi, wa taq’rir bil lisan dan wal af’al bil jawari.[4] Akan tetapi, dalam perkembangannya menghadapi persoalan kehidupan manusia yang semakin rumit, para ulama mutakallimin berbeda pendapat mengenai konsep Iman.
Kemunculan awal aliran-aliran teologi dalam Islam dimulai pada peristiwa terbunuhnya khalifah Islam ketiga yaitu Utsman bin Affan yang berbuntut kepada penolakan Mu’awiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.[5] Ketegangan antara Mu’awiyah dengan Ali bin Abi Thalib memuncak sampai kepada perang Siffin yang berakhir dengan keputusan tahkim (arbitrase). Sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin Ash utusan dari pihak Mu’awiyah dalam tahkim, sungguh pun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian pengikutnya.[6] Golongan yang menolak keputusan tahkim ini dan mengaku keluar dari kelompok Ali dekenal dengan Khawarij.
Mereka berpendapat bahwa persoalan yang terjadi saat itu tidak dapat diselesaikan melalui jalan tahkim. Hal ini karena, mereka yang ikut dalam tahkim telah menggantikan hukum Allah SWT dengan hukum manusia. Khawarij beranggapan bahwasannya mereka yang terlibat dalam tahkim dicap bersatus sebagai pelaku dosa besar dan kafir.[7] Adapun dalil Al-Qur’an yang mendukung pendapat golongan Khawarij ini ialah Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 44:
….وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ ٤٤
Artinya: “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. ( Q.S. Al-Maidah 5: 44).[8]
Pembahasan tentang konsep Iman selanjutnya bergulir menjadi bahan perbincangan dalam setiap diskursus aliran-aliran teologi Islam yang tumbuh kemudian, termasuk aliran Murjiah. Aliran lain seperti Mu’tazilah, Asy’ariyyah, dan Maturidiyyah turut ambil bagian dalam polemik tersebut. Bahkan tak jarang didalam aliran-aliran tersebut terdapat perbedaan pandangan diantara sesama pengikutnya.
Timbulnya aliran-aliran dalam Islam tersebut akibat adanya perdebatan tentang persoalan siapa yang kafir dan siapa yang mukmin, dalam artian siapa yang sudah keluar dari Islam dan siapa yang masih dalam Islam.[9]
Perbedaan pendapat antara aliran teologi Islam dalam kaitannya dengan masalah-masalah teologi Islam sebenarnya berkaitan erat dengan cara (metode) berpikir dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an dan Hadits dari masing-masing aliran ilmu kalam, terutama dalam  menguraikan objek pengkajian (persoalan-persoalan kalam) khususnya mengenai konsep Iman. Perbedaan metode berpikir secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua macam yaitu kerangka berpikir tradisionalis dan kerangka berpikir rasional.
Pertama, metode berpikir tradisionalis. Metode ini lebih menekankan pada penafsiran akan dalil-dalil nash Al-Qur’an dan Hadits yang bersifat qath’i (dalil-dalil nash sudah jelas dan tegas sehingga tidak diperbolehkan melakukan interpretasi dalam Al-Qur’an dan Hadits).[10]
Metode berpikir ini banyak digunakan oleh aliran Khawarij, Murjiah, Asyariyah dan Maturidiyah. Dalil-dalil nash Al-Qur’an dan Hadits dipahami sebagai sesuatu yang muhkam dan akal dilarang untuk melakukan penafsiran akan dalil-dalil nash tersebut.
Kedua, metode berpikir rasional. Metode berpikir ini lebih mengedepankan penafsiran akan dalil-dalil nash Al-Qur’an dan Hadits secara rasio atau penggunaan akal dalam memahami dalil-dalil tersebut. Dalil-dalil nash ini diyakini bersifat mutasyabihat atau zhanni (dalil nash yang menunjukan atas suatu makna, akan tetapi masih memungkinkan penakwilan atau perluasan makna dalil nash tersebut).[11]
Aliran teologi Islam yang memiliki cara berpikir rasional adalah Mu’tazilah. Oleh sebab itu, Mu’tazilah dikenal sebagai aliran teologi yang bersifat rasionalis Islam (Ahl al-Ro’yi wa at-Tauhid).[12]
Perbincangan konsep Iman menurut tiap-tiap aliran teologi Islam, seperti yang terlihat dari berbagai literature ilmu kalam, seringkali lebih dititik beratkan pada satu atau dua aspek saja dari term pengertian Iman yaitu al-tasdiq bil qalbi, wa taq’rir bil lisan, atau wal af’al bil jawari. Ini dapat dipahami sebab kesimpulan tentang konsep Iman akan berhubungan dengan konsep kufur.
Golongan Khawarij berpendapat bahwa Iman bukan hanya sekedar pengakuan hati (tashdiq bi al-qalb) terhadap keesaan Allah, tetapi amal pun merupakan unsur dari Iman.[13] Mereka memandang amal sebagai unsur yang integral dari Iman sehingga menurut mereka seseorang yang bersalah karena dosa besar, ia bukan saja sebagai orang yang berdosa besar tetapi juga seorang kafir, sekalipun ia tetap meyakini keesaan Allah SWT.[14]
Pendapat golongan Khawarij ini pun disanggah oleh Murji’ah. Menurut golongan ini, bahwa iman ialah hanya pengakuan atau pembenaran dalam hati  (tashdiq bi al-qalb). Berangkat dari konsep ini, Murji’ah berpendapat bahwa seseorang tidak menjadi kafir oleh sebab dosa besar, bahkan jika ia menyatakan kekufurannya tersebut secara lisan. Menurut mereka yang terpenting adalah tasdiq dalam hati, mengakui keesaan Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya. Sedangkan amal tidak dipandang penting oleh Murji’ah.[15]
Perbedaan pandangan dan penafsiran tentang konsep Iman dari golongan Khawarij dan Murji’ah ini juga disanggah oleh golongan teologis lainnya. Golongan lain seperti Mu’tazilah, Asyariah, dan Maturidiyah beranggapan bahwasannya konsep Iman dari kedua golongan tersebut sama-sama memiliki ketimpangan dalam memahami Iman. Karena ketidakpuasan terhadap pandangan dari kedua golongan tersebut, ketiga golongan ini mengambil sisi tengah mengenai konsep Iman.
Uraian umum dari latar belakang ini menjadi gambaran singkat dari penelitian yang penulis teliti, dimana penulis akan menjelaskan perbedaan dan persamaan dari masing-masing aliran teologis mengenai konsep Iman, dimana akan dibahas hal-hal yang berkaitan dengan sejarah timbulnya perbedaan penafsiran tentang Iman dalam setiap aliran, kewajiban beriman dan beramal, serta bertambah dan berkurangnya Iman.
B.  Penegasan Istilah
       Untuk memperjelas arti dari judul agar tidak terjadi kesalahpahaman pengertian, maka penulis memberikan penjelasan dari beberapa istilah-istilah dalam judul diatas:
Teologi Islam    :ilmu tentang  ketuhanan (mengenai sifat-sifat Allah, dasar-dasar kepercayaan kepada Allah dan agama terutama pada kitab suci), yang didasarkan pada prinsip-prinsip dan ajaran Islam.[16]
Aliran Teologi   :Kelompok yang memahami ajaran agama Islam serta memiliki konsep-konsep atau pengetahuan mengenai masalah teologi. Aliran teologi ini juga disebut sebagai aliran kalam.
C.  Identifikasi Masalah
 Berdasarkan latar belakang masalah peneliti mengidentifikasi beberapa masalah yang ada sebagai berikut:
1.      Sejarah munculnya perbedaan penafsiran tentang konsep Iman diantara aliran-aliran teologi Islam
2.      Persoalan perbedaan penafsiran dalil-dalil nash Al-Qur’an dan Hadits mengenai konsep Iman diantara aliran-aliran teologi Islam
3.      Dalil argumentasi atau metode berpikir yang digunakan oleh masing-masing aliran teologi Islam terhadap pandangannya mengenai konsep Iman.
D.  Batasan Masalah
Dalam pembahasan kali ini, penulis akan membatasi masalah yang akan dibahas terutama mengenai konsep Iman dalam teologi Islam. Penulis hanya akan memaparkan sejarah perbedaan penafsiran konsep Iman antara masing-masing aliran teologi Islam serta pandangan dari masing-masing aliran teologi Islam terhadap konsep Iman seperti Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’riyah dan Maturidiyah. Adapun untuk aliran teologi Islam yang muncul belakangan di era modern saat ini, seperti aliran Salafi dan Wahabi dapat menjadi tema referensi di penelitian yang akan datang.



E.  Rumusan Masalah
Adapun pokok permasalahan yang akan dibahas penulis yaitu:
1.      Bagaimana pengertian konsep Iman dalam Al-Qur’an dan Hadits?
2.      Bagaimana sejarah munculnya perbedaan penafsiran konsep Iman antar aliran teologi Islam?
3.      Bagaimana perbedaan penafsiran mengenai konsep Iman dari masing-masing aliran teologi Islam dan korelasinya dengan konsep Iman dalam   Al-Qur’an dan Hadits?
F.       Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.    Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.1     Menjelaskan dan memaparkan konsep Iman dalam Al-Qur’an dan Hadits
1.2     Menjelaskan sejarah munculnya perbedaan penafsiran tentang konsep Iman dari masing-masing aliran teologi Islam
1.3     Menjelaskan dan memaparkan perbedaan penafsiran mengenai konsep Iman antara aliran-aliran teologi Islam dan hubungannya dengan konsep Iman dalam Al-Qur’an dan Hadits
2.    Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
2.1 Penelitian ini dapat menambah khazanah pengetahuan penulis maupun para akademisi yang mempelajari dan menggeluti penelitian dalam bidang teologi Islam.
2.2 Penelitian ini dapat menjadi referensi dalam penelitian literature ilmu kalam selanjutnya terutama mengenai konsep Iman dalam pandangan aliran teologi Islam.
2.3 Penelitian ini dapat memperluas wawasan pengetahuan masyarakat umum yang mempelajari konsep-konsep keimanan terutama dalam pandangan masing-masing aliran teologi Islam.
G.  Tinjauan Pustaka
Kajian yang berkenaan dengan konsep Iman dalam teologi Islam sebenarnya telah banyak ditulis oleh para pakar, ulama, dan para sejarahwan Muslim. Namun, sebagai dasar penelitian ini penulis berusaha menemukan dan mengutip beberapa pendapat dari para peneliti teologi Islam lainnya sebagai landasan untuk memperkuat dalil argument yang penulis sampaikan. Ada beberapa penulis yang hanya menjelaskan sejarah munculnya perbedaan penafsiran tentang konsep Iman dan tidak sedikit pula yang hanya mengemukakan beberapa pandangan umumnya mengenai konsep-konsep dalam teologi Islam.
Beberapa diantaranya yang bisa dikemukakan dalam tinjauan pustaka ini adalah buku Harun Nasution yang berjudul “Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan” terbit pada tahun 1972. Dalam bukunya ini, Harun Nasution menjelaskan pemikiran dari masing masing aliran ilmu kalam mengenai konsep-konsep teologi Islam mulai dari perbuatan Tuhan sampai kepada konsep mengenai Iman. Tulisan Harun Nasution dalam bukunya ini, hanya memberikan sedikit gambaran mengenai konsep Iman dari masing-masing aliran teologi Islam. Kelebihan dari pemikiran Harun Nasution ialah ia mampu memberikan gambaran argumentasi dari masing-masing aliran teologi Islam secara objektif.
Dalam tulisan lain, seperti yang ditulis oleh Suryan A. Jamrah dalam bukunya “Sejarah Pemikiran Islam”. Mengatakan bahwa sejarah timbulnya persoalan kalam (teologi) justru bermuara dari perbincangan umat tentang persoalan politik.[17] Dalam tulisannya, Suryan A. Jamrah memberikan gambaran umum dari sejarah lahirnya aliran-aliran dalam teologi Islam mulai dari Murji’ah sampai kepada Asya’riyah.
            Dr. Sahilun A. Nasir dalam bukunya “Pemikiran Kalam: Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya” yang terbit pada tahun 2010,  hanya menjelaskan pokok-pokok ajaran dari masing-masing aliran teologi Islam dan tidak memberikan gambaran secara rinci bagaimana pandangan diantara aliran tersebut mengenai konsep Iman.
H.      Kerangka Teori
Dengan memperhatikan aspek sejarah persoalan keimanan, Ibn Taimiyah, seorang teolog dari mazhab Hambali, menyatakan bahwa perselisihan atas makna kata Iman merupakan perselisihan intern pertama yang terjadi diantara orang-orang Islam yang mengakibatkan masyarakat Muslim terpecah kedalam beberapa sekte dan aliran yang berbeda-beda dalam menafsirkan term Iman.[18]
     Diantara sebab perbedaan tentang konsep Iman adalah karena perbedaan pemahaman mengenai pelaku dosa besar, apakah ia masih mukmin atau kafir. Juga disebabkan perbedaan pemahaman mengenai kekuatan akal dan fungsi wahyu.[19]          Oleh karena itu bagi kaum Mu’tazilah Iman bukanlah tasdiq. Iman dalam arti mengetahui pun belumlah cukup. Menurut Abd al-Jabbar, orang yang mengetahui Tuhan tetapi melawan kepada-Nya, bukanlah orang yang mukmin.[20] Tegasnya Iman bagi mereka adalah pelaksanaan perintah-perintah Tuhan.
     Hal senada dengan aliran Khawarij, Iman dalam pandangan mereka tidak semata-mata percaya kepada Allah. Mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Dengan demikian, siapapun yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah dan bahwa Nabi Muhammad adalah Rasulnya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban agama dan malah melakukan perbuatan dosa, ia dipandang kafir oleh  Khawarij.[21]
Menurut Harun Nasution, kelompok Murjiah bependapat bahwasannya pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Ciri khas dari kelompok ini adalah iqrar sebagai bagian penting dari Iman disamping tasdiq.[22] Bagi kaum Asy’riyah, iman ialah tasdiq yaitu tasdiq tentang adanya Tuhan, Rasul-Rasul dan berita yang mereka bawa. Bagi Asy’riyah Iman tidak akan sempurna jika hanya tasdiq saja tanpa disertai oleh pengetahuan.[23] Bagaimanapun batasan Iman dengan tasdiq hanya dapat sesuai dengan aliran Asy’riyah, Murjiah, dan Maturidiyah Bukhara. Adapun bagi aliran Mu’tazilah, Khawarij dan Maturidiyah Samarkand, iman mestilah lebih dari tasdiq yaitu ma’rifah dan ‘amal.
I.         Metode Penelitian
1.    Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research), yaitu suatu penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi yang sumbernya berasal dari kepustakaan baik berupa buku, jurnal, majalah dan hasil penelitian lainnya yang sesuai dengan topic kajian.[24]
Lebih lanjut penelitian ini bersifat deskriptif analitis,[25] yaitu memaparkan dan menjelaskan konsep Iman dari pemikiran masing-masing aliran teologi Islam berdasarkan fakta sebagaimana adanya, lalu dilakukan telaah dan analisa terhadap pandangan dari masing-masing aliran tersebut secara mendalam.
2.    Metode Pengumpulan Data
Untuk menggali data dalam penelitian ini ditempuh dengan beberapa langkah, yaitu: dengan metode dokumentasi.[26] Dimana sumber data diambil dan dikumpulkan dari buku-buku, naskah-naskah, artikel-artikel, dan dokumentasi lainnya yang mendukung penelitian. Sumber data didalam penelitian ini dibedakan menjadi sumber primer dan sumber sekunder.
-       Sumber Primer, ialah sumber data yang berhubungan langsung dengan fokus persoalan yang akan dikaji, yaitu konsep Iman dalam pandangan aliran-aliran teologi Islam. Diantara yang menjadi sumber primer adalah:
i.          Buku karya Abu al-Hasan Asy’ari, seorang ulama pendiri aliran teologi Asy’ ariyah dalam kitabnya al-Ibanat ‘An Ushul an-Diyanah, diterbitkan oleh Idarah at-Thiba’ah al-Muniriyyah, Kairo pada tahun 1953. Dalam kitab ini, Abu al-Hasan Asy’ari mengulas prinsip kaidah pokok agama Islam terutama mengenai konsep Iman.
ii.        Selanjutnya, buku yang ditulis Ahmad al-Jabbar ibn Ahmad seorang ulama Mu’tazilah dalam kitabnya “Syarh Ushul al-Khomsah”, diterbitkan oleh Maktabah Wahdah, Kairo tahun 1965. Didalam buku ini, Ahmad al-Jabbar mengulas panjang lebar tentang Ushul al-Khomsah dari teologi Mu’tazilah dengan dilandasi kajian dan corak pemikirannya. Dalam masalah Tauhid, ia secara deskriptif menggambarkan konsep-konsep ajaran Mu’tazilah dalam membangun stigma tentang konsep Iman dalam perspektif mereka.
iii.      Adapun buku primer yang dapat digunakan sebagai rujukan aliran teologi lainnya seperti Mur’jiah, dan Khawarij dapat ditelusuri dalam buku yang ditulis oleh Muhammad Ahmad Abu Zahrah dengan judul “al-Mazahib al-Islamiyah” diterbitkan olek Maktabah al-Adab, Kairo.
-          Sumber Sekunder, ialah sumber data penelitian yang berupa tulisan-tulisan yang diambil dari tokoh lain yang membahas tentang pemikiran dari masing-masing aliran teologi Islam, terutama yang berhubungan dengan konsep Iman. Diantaranya:
i.        Sahilun Nasir, dalam bukunya “Pemikiran Kalam Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya”, terbitan Raja Grafindo Persada, Jakarta tahun 2010, mengungkapkan sejarah dan konsep ajaran dari masing-masing aliran teologi Islam.
ii.      Suryan A. Jamrah, et.al, “Sejarah Pemikiran Islami”, diterbitkan oleh Amzah, Jakarta tahun 2012. Menjelaskan konsep-konsep pemikiran dari aliran ilmu kalam disertai dengan beberapa analisa perbandingan antar aliran.
iii.    “Teologi Islam: Aliran-Aliran dan Sejarah Analisa Perbandingan” oleh Harun Nasution, terbitan UI Press tahun 2010. Buku ini menjelaskan gambaran umum mengenai sejarah dan ajaran aliran teologi Islam disertai sudut pandangan penulis yang objektif.
iv.    Ahmad Hanafi, “Pengantar Teologi Islam” terbitan Djajamurni, Jakarta, tahun 1967. Menjelaskan prinsip-prinsip ajaran dari aliran-aliran teologi Islam secara komprehensif. Serta berbagai buku-buku pendukung lainnya.
3.      Analisa Data
         Mengingat penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research), maka data-data yang terkumpul dari bahan-bahan dokumentasi seperti buku, jurnal maupun artikel diklarifikasikan atau dikelompokan dalam satu uraian dasar sehingga dapat ditemukan pola, tema yang dapat di sesuaikan  dengan kebutuhan penelitian.[27]
Berdasarkan data yang diperoleh untuk menyusun dan menganalisa data-data yang terkumpul penulis memakai metode Deskriptif-Analitik. Metode deskriptif-analitik ini akan penulis pakai untuk melakukan analisa terhadap pemikiran, sejarah dan kerangka metodologis pemikiran dari masing-masing aliran teologi Islam mengenai konsep Iman. Selain itu metode ini akan penulis gunakan ketika menggambarkan dan menganalisa argumentasi yang disampaikan dari masing-masing aliran teologi dalam pandangannya mengenai konsep Iman.
Cara kerja dari metode Deskriptif-Analitik ini yaitu dengan cara menganalisa data yang diteliti dengan memaparkan data-data tersebut kemudian diperoleh kesimpulan.[28]
J.        Sistematika  Penulisan
      Secara sistematis agar lebih terarahnya penelitian ini, maka penulis merasa perlu untuk mengklasifikasikan sistematika penulisan sebagai berikut:
           Bab pertama pendahuluan, yang akan mengantarkan kepada bab-bab selanjutnya dengan menginformasikan tentang kerangka utuh proposal penelitian ini. Bab ini memuat tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, serta sistematika penulisan.
           Kemudian bab kedua, menjelaskan tentang konsep Iman dalam Al-Qur’an dan Hadits dengan memberikan analisa penafsiran akan dalil-dalil nash tersebut oleh para mufassirin dan mutakallimin.
            Bab ketiga mengurai tentang pandangan konsep Iman dan dalil argumentasi yang dipakai oleh masing-masing aliran teologi Islam. Pada bagian bab ketiga ini, penulis memberikan analisa deskiptif terhadap konsep Iman dari aliran-aliran teologi Islam serta memberikan analisa komparatif dengan membandingkan kepada penafsiran dalil-dalil nash Al-Qur’an dan Hadits.
            Selanjutnya pembahasan pada bab keempat, penulis memberikan kesimpulan dan saran serta dilengkapi dengan daftar kepustakaan.
BAB II
KONSEP IMAN DALAM AL-QUR’AN DAN HADITS

2.1 Konsep Iman dalam Al-Qur’an dan Hadits
Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya: "Firman Allah ta'ala dalam  al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 285 menjelaskan bahwasannya : "Demikian pula orang-orang beriman". Merupakan athaf (kata sambung) dari  "Rasul". Selanjutkan Allah Shubhanahu wa ta’alla mengabarkan tentang keberadaan semuanya,  Orang-orang yang beriman mengimani bahwasannya Allah Shubhanahu wa ta’alla adalah satu dan esa, sendiri tidak beranak pianak, yang tidak ada ilah yang berhak disembah melainkan diri-Nya, yang tidak ada Rabb selain diri -Nya. Begitu pula mereka mempercayai dengan seluruh para Nabi dan para Rasul, selanjutnya mengimani dengan kitab-kitab suci yang diturunkan oleh Allah ta'ala dari langit kepada para hamba -Nya dari kalangan para Rasul dan Nabi. [29]
Mereka tidak membedakan antara satu rasul dengan yang lainnya. Sehingga beriman kepada sebagian lalu mengingkari sebagian yang lain, akan tetapi bagi mereka semuanya sama, benar adanya, mengajak kepada kebaikan, yang memperoleh petunjuk, serta memberi petunjuk kepada jalan kebenaran, walaupun ada diantara mereka yang menghapus syari'at yang lainnya, namun, tentunya dengan izin -Nya.[30]

Dalam al-Qur’an surat Asy-Syuura ayat 18, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini menganjurkan seorang Muslim haruslah mengimani datangnya hari kiamat. Karena sesungguhnya orang-orang kafir mendustakan akan datangnya hari kiamat dan mereka menganggap mustahil datangnya hari kiamat tersebut, kafir dan ingkat terhadap ayat-ayat Allah.[31]
2.2.  Konsep Iman dalam Hadits
                Berdasarkan hadits nabi Muhammad SAW bahwasannya Iman ialah percaya kepada 6 perkara yaitu:[32]
1.      Beriman kepada Allah SWT
2.      Beriman Kepada Malaikat-Malaikat-Nya
3.      Beriman kepada Kitab-Kitab-Nya
4.      Beriman kepada Rasul-Rasul-Nya
5.      Beriman kepada hari akhir
6.      Beriman kepada qadha dan qadar
          Berdasarkan hadits Iman itu mengandung tiga unsur, yakni tashdiq bil al-qalb, iqrar bi al-lisan, dan ‘amal bi al-arkan.[33]

BAB III
KONSEP IMAN DALAM PANDANGAN ALIRAN TEOLOGI ISLAM

            Secara garis besarnya dapat disimpulkan bahwa bila iman diartikan sebagai percaya., yaitu  kepercayaan yang berkenaan dengan agama; keyakinan dan kepercayaan kepada Allah, nabi, kitab, malaikat, hari kiamat dan takdir baik dan buruk.[34] Dalam Al-Qur’an Iman itu selalu berkaitan dengan amal perbuatan baik berupa pelaksanaan rukun-rukun Islam, akan menyebabkan manusia hidup berbahagia di dunia dan di akhiratnya. Iman dari segi bahasa, kata iman berarti : pembenaran ( التَّصـْدِ يـْقُ ) inilah makna yang dimaksud dengan kata ( مُؤْ مِنٌ ) dalam surat Yusuf ayat, 17 yanga artinya “Dan kamu sekali-kali tidak akan membenarkan kami (مُؤْ مِنٍ لَّـنَا ) walaupun kami orang-orang yang benar”. Dari ayat di atas, makna mukmin yakni orang yang membenarkan. Adapun makna iman dari segi istilah ialah pembenaran atau pengakuan hati dengan penuh yakin tanpa ragu-ragu akan segala apa yang di bawa oleh Nabi Muhammad saw. yang diketahui dengan jelas sebagai ajaran agama yang berasal dari wahyu Allah.
3.1    KHAWARIJ
                    Khawarij merupakan suatu aliran dalam Ilmu Kalam yang di ambil dari kata kharaja dengan jamak khawarij yang berarti keluar.[35] Secara istilah Khawarij  bermakna kelompok yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib. Sebagai sebuah aliran yang lahir dari peristiwa politik, maka pandangan Khawarij terutama yang berkaitan tentang masalah Iman lebih bertendensi pada masalah politik . Dalam hal ini golongan Khawarij berpendapat, peristiwa tahkim (arbitrase) antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abu Sufyan di anggap sebagai orang yang kufur dan pelaku dosa yang tempatnya kekal di neraka.
Golongan Khawarij berpendapat bahwa Iman bukan hanya sekedar pengakuan hati (tashdiq bi al-qalb) terhadap keesaan Allah, tetapi amal pun merupakan unsur dari Iman.[36] Mereka memandang amal sebagai unsur yang integral dari Iman sehingga menurut mereka seseorang yang bersalah karena dosa besar, ia bukan saja sebagai orang yang berdosa besar tetapi juga seorang kafir, sekalipun ia tetap meyakini keesaan Allah SWT.[37]
Pendapat tentang siapa yang sebenarnya masih Islam dan siapa yang telah kufur dalam persoalan tahkim (arbitrase) tersebut tidak sepenuhnya sesama pengikut Khawarij sepaham, hal ini menimbulkan perpecahan dalam golongan Khawarij itu sendiri.[38]
3.1.1         Al-Muhakkimah
             Golongan ini merupakan golongan Khawarij asli yang keluar dari kelompok Ali bin Abi Thalib. Menutut sekte ini peristiwa tahkim tersebut dan semua yang menyetujuinya di nyatakan bersalah dan menjadi kufur. Hukum kafir ini mereka perluas sehingga termasuk kedalamnya tentang pelaku dosa besar. Seperti halnya zina dan membunuh, ini mereka sebut sebagai dosa besar dan pelakunya dianggap sebagai kafir dan keluar dari agama Islam.[39]
3.1.2 Al-Zariqah
     Subsekte ini merupakan subsekte yang paling ekstrim dan sikapnya lebih radikal. Golongan ini dipimpin oleh Nafi ibn al-‘Azraq yang sekaligus menjadi nama dari subsekte ini. Dalam subsekte ini tidak lagi memakai istilah kafir, akan tetapi memakai term musyrik atau polytheist.  Dalam Islam polytheisme merupakan suatu dosa besar dan lebih besar dari kafir.[40]
3.1.3   Al-Najdat
       Sekte al-Nadjat dipimpin oleh Ibn ‘Amir al-Hanfi dari Yamamah yang pada awalnya ingin menggabungkan diri dengan subsekte al-Azariqah. Kelompok ini berpecah dari kelompok Azariqah karena permasalahan-permasalahna yang timbul, mereka tidak setuju dengan anggapan Azariq yang berpendapat bahwa orang yang tidak berhijrah kelingkungan al-Azariq adalah musyrik. Dalam hal mereka juga tidak menyetujui  dengan pendapat tentang boleh dan halalnya dibunuh anak istri orang-orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka.[41]
3.1.4        Al-Ibadiyah
          Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat, namanya di ambil dari Abdullah ibn Ibad yang sekaligus sebagai penggugus pertama dari sekte ini. Ibadiyah memiliki pandangan yang berbeda dengan kelompok lain, bagi sekte ini pelaku dosa besar adalah mukmin yaitu muwabid (yang mengesakan Tuhan) tetapi bukan mukmin. Dengan istilah lain ia tetap di sebut kafir tetapi hanya kafir terhadap nikmat bukan kafir terhadap millah (agama).[42]
            Subsekte dari golongan Khawarij yang lain tidaklah seekstrim sekte yang telah di jelaskan di atas, akan tetapi pada dasarnya dapat di samakan bahwa konsep Iman dalam aliran Khawarij bukan hanya semata-mata percaya kepada Allah, akan tetapi harus diiringi dengan perbuatan. Golongan ini lebih mengutamakan perbuatan daripada pembenaran dalam hati. Sekte ini lebih menekankan logika, mereka beranggapan tanpa perbuatan, Iman tidak akan berguna dan pelakunya akan di anggap sebagai kafir.
3.2    MURJIAH
   Kata Murji’ah berasal dari kata irja atau arja’a yang berarti penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a juga memiliki arti memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Oleh karena itu, murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak.[43]
Adapun yang di maksud kaum Murji’ah di sini ialah suatu golongan atau kaum orang-orang yang tidak mau ikut terlibat dalam mengkafirkan tehadap sesama umat Islam seperti dilakukan kaum Khawarij yang mengatakan bahwa semua yang terlibat dalam tahkim adalah kafir, dan mengatakan bahwa orang Islam yang berdosa besar juga kafir. Bagi mereka, soal kafir atau tidaknya orang-orang yang terlibat dalam tahkim dan orang Islam yang berdosa besar, kita tidak tahu dan tidak dapat menentukan sekarang. Mereka mempunyai pandangan lebih baik menangguhkan penyelesain persoalan tersebut dan menyerahkanya kepada keputusan Allah di hari kemudian yakni pada hari perhitungan sesudah hari Kiamat nanti. Karena mereka berpendirian menangguhkan atau menunda persoalan tersebut, mereka kemudian disebut kaum Murji’ah.[44]
          Kebanyakan golongan Murji’ah berpendapat bahwa iman ialah hanya membenarkan dengan hati saja. Apabila seseorang beriman dengan hatinya, maka dia adalah Mukmin dan Muslim, sekalipun lahirnya menyerupai orang Yahudi atau Nasrani dan meskipun lisannya tidak mengucapkan dua kalimat syahadat. Mengikrarkan dengan lisan dan amal perbuatan, itu bukan bagian dari iman.[45]
            Kemudian sebagian dari golongan Murji’ah berpendapat bahwa iman itu terdiri dari dua unsur, yaitu membenarkan dengan hati dan mengikrarkan dengan lisan. Membenarkan dengan hati saja tidak cukup, dan mengikrarkan dengan lisan saja pun tidak cukup, tetapi harus dengan bersama kedua-duanya, supaya seseorang menjadi mukmin. Karena orang yang membenarkan dengan hati dan menyatakan kebohongannya dengan lisan tidak dinamakan mukmin.
Gassan al-Kufi (tokoh Murji’ah) beranggapan bahwa “iman adalah mengenal Allah dan Rasul-Nya, serta mengakui apa-apa yang telah diturunkan Allah, dan yang dibawa oleh Rasul-Nya. Karenanya, iman itu tidak dapat bertambah atau berkurang”.[46]

             Secara umum kelompok Murji’ah menyusun teori-teori keagamaan yang independen, sebagai dasar gerakannya, yang intisarinya sebagai berikut[47]
1.  Iman adalah cukup dengan mengakui dan percaya kepada Allah dan Rasulnya saja. Adapun amal atau perbuatan, tidak merupakan sesuatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap sebagai mukmin walaupun ia meninggalkan apa yang difardhukan kepadanya dan melakukan perbuatan-perbuatan dosa besar.
2.  Dasar keselamatan adalah iman semata-mata. Selama masih ada iman dihati, maka setiap maksiat tidak akan mendatangkan mudharat ataupun gangguan atas diri seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia hanya cukup dengan menjauhkan diri syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.

3.3    MU’TAZILAH
         Bagi kaum Mu’tazilah bahwa iman itu bukanlah tasdiq, dan Iman dalam arti pengetahuan pun belumlah cukup, tetapi iman itu bagi kaum Mu’tazilah ialah amal yang timbul sebagai akibat mengetahui tentang Tuhan. Menurut Abd al-Jabbar orang yang mengetahui Tuhan tetapi melawannya bukanlah mukmin. Menurut Abu Huzail yang dimaksud dengan perintah-perintah Tuhan bukanlah yang wajib saja, tetapi meliputi pula yang sunnah. Sedangkan menurut al-Jubba’i bahwa yang dimaksud dengan perintah Tuhan hanya yang wajib saja. Sedangkan menurut al-Nazzam yang dimaksud dengan perintah Tuhan ialah menjauhi dosa-dosa besar.[48]
Untuk pembahasan mengenai pelaku dosa besar menurut kaum Mu’tazilah masih berhubungan dengan doktrin mereka tentang al-manzilah bayna manzilatain.  Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan mati sebelum tobat, tidak lagi mukmin dan tidak pula kufur, tetapi dihukumi sebagai orang fasik. Di akhirat ia dimasukkan ke neraka untuk selama-lamanya, tetapi agak dingin tidak seperti nerakanya orang kafir. Dan tidak pula berhak masuk surga. Jelasnya menurut kaum Mu’tazilah, orang mukmin yang berbuat dosa besar mati sebelum tobat, maka menempati tempat di antara dua tempat, yakni antara neraka dan surga.[49]
Di akhirat ia dimasukkan ke neraka untuk selama-lamanya, tetapi agak dingin tidak seperti nerakanya orang kafir. Dan tidak pula berhak masuk surga. Jelasnya menurut kaum Mu’tazilah, orang mukmin yang berbuat dosa besar mati sebelum tobat, maka menempati tempat di antara dua tempat, yakni antara neraka dan surga.[50]
3.4    ASY’ARIAH
          Menurut Imam Asy’ari, Iman itu ialah pengakuan dalam hati tentang ke-Esaan Allah dan tentang kebenaran rasul-rasul-Nya apa yang segala mereka bawa, lalu mengucapkan dengan lisan. Asy’ari berpendapat seperti ini dengan tujuan untuk menetapkan orang yang fasik (berdosa besar) masih disebut orang mukmin. Bukti bahwa orang fasik itu masih disebut mukmin, bahwa orang fasik masih diberlakukan seperti orang mukmin di dalam menghukuminya. Bila mereka meninggal dunia, mereka masih dikuburkan di kuburan orang muslim dan dishalatkan serta di mandikan. Asy’ari mengatakan bahwa amal perbuatan itu tidak dimasukkan ke dalam konsep Iman, alasannya jika amal perbuatan dimasukkan ke dalam konsep Iman adalah orang yang berdosa besar banyak sekali dosanya yang akan bisa menghapus kebaikan-kebaikan yang pernah ia kerjakan dan ia akan kehilangan  Imannya.[51]
                 Pada dasarnya al-Asy’ari dan Mu’tazilah berpandangan yang sama bahwa Allah SWT itu adil. Hanya saja mereka berbeda dalam memandang makna keadilan. Aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa apabila pelaku dosa besar tidak bertaubat dari dosanya, meskipun ia mempunyai Iman dan keta’atan, tidak akan keluar dari neraka. Sebaliknya, mengatakan siapa yang beriman kepada Allah SWT dan mengikhlaskan diri kepada-Nya, maka bagaimanapun besar dosa yang dikerjakannya, tidak akan mempengaruhi imannya.
         Adapun al-Asy’ari menolak ajaran menengah (manzilah bainal manzilatain) yang dianut Mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa Iman merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu diantaranya. Jika tidak mukmin, berarti kafir. Oleh karena itu, al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besardan meninggal dunia sebelum sempat bertaubat, tetap dihukumi mukmin, tidak kafir, tidak pula berada diantara keduanya, dan di akhirat terserah Allah SWT dengan beberapa kemungkinan:
a)    Ia mendapat ampunan Allah SWT dengan rahmat-Nya sehingga pelaku dosa besar tersebut masuk surga.
b)   Ia mendapat syafa’at dari Nabi Muhammad SAW.
c)    Allah menghukum kepadanya dengan dimasukkan ke dalam neraka sesuai dengan dosa besar yang dilakukannya, kemudian ia di masukkan ke surge.[52]
3.5         MATURIDIAH
   Dalam masalah Iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa Iman adalah tashdiq bi al-qalb bukan semata-mata iqrar bi al-lisan.
Menurut Al-Maturidi sebagai suatu penegasan bahwa Iman tidak cukup hanya dengan perkataan, sementara kalbu tidak beriman. Apa yang oleh lidah dalam bentuk pernyataan Iman menjadi batal apabila hati tidak mengakui ucapan lidah. Tasdiq seperti yang dipahami diatas adalah yang harus diperohleh dari ma’rifah. Tasdiq hasil ma’rifah menurut Al-Maturidi yang didapatkan dari penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu.
Adapun pengertian Iman menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang dijelaskan oleh Al-Bazdawi adalah tasdiq bi al-qalb dan tasdiq bi al-lisan. Lebih lanjut dijelaskannya bahwa yang dimaksud dengan tasdiq bi al-qalb meyakini dan membenarkan dalam hati akan keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya beserta risalah yang dibawa dari-Nya. Adapun tasdiq bi al-lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok-pokok ajaran Islam secara verbal. Jadi, iman adalah tasdiq yang berisikn pembenaran dengan kalbu dan pengakuan secara verbal.[53]


[29] Ibnu Katsir, Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir, Terj. Muhammad Abduh (Bogor: Pustaka Imam Syafii, 2002), Jilid 8,h. 235
[30] Ahmad Mushtofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, terj. Bahrun Abu Bakar, dkk, (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), juz 3, h.145-146
[31] Ibnu Katsir, Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir, Terj. Muhammad Abduh (Bogor: Pustaka Imam Syafii, 2002), Jilid 8,h. 235
[32] فَأَخْبِرْنِي عَنِ اْلإِيْمَانِ قَالَ : أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ…..  رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Hadits ini di riwayatkan oleh Muslim. Dikutip pada laman http://www.almanhaj.com pada tanggal 23 November 2016
[33] Suryan A. Jamrah, dkk. Sejarah Pemikiran Islam, ( Jakarta: Amzah, 2011), h. 264
    Adapun hadits mengenai hal ini ialah sebagai berikut
عَنِ ابْنِ حَجَرٍ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله صَلىَّ الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أْلإِيْمَانُ مَعْرِفَةٌ بِاْلقَلْبِ وَقَوْلٌ بِالِّلسَانِ وَعَمَلٌ بِاْلأَرْكَانِ (رواه ابن ماجه والطبراني
[34] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan Online, (Jakarta: IT Kemendikbud, 2010), didownload pada laman http://www.ebsroft.web.com
[35] Adeng Mucktar Ghazali, Perkembangan Ilmu Kalam Dari Klasik Hingga Modren, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), Hlm. 77
[36] Suryan A. Jamrah, dkk. Sejarah Pemikiran Islam, ( Jakarta: Amzah, 2011), h. 264
[37] Ibid
[38] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 2010), h. 15
[39]Ibid
[40] Ibid, h. 16
[41] Suryan A. Jamrah, dkk. Sejarah Pemikiran Islam, ( Jakarta: Amzah, 2011), h.17
[42] Ibid
[43] Rozak Abdul, 2001,Ilmu Kalam (Bandung:CV Pustaka Setia). Hal. 56 
[44] Ahmad Hanafi, Teologi Islam/Ilmu Kalam(Jakarta: PT Bulan Bintang, 1974),h. 10-11.
[45] Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, (Jakarta: Logos, 1996), hlm. 143
[46] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 152-156
[47] Kholid Syamhudi, Pengaruh Buruk Pemikiran Murji'ah, 2008, http://almanhaj.or.id/ diakses tanggal 15 September 2015

[48]Harun Nasution, Teologi Islam: aliran aliran sejarah analisa perbandingan, (Jakarta:UI-Press, 2010) h. 147
[49] Moh. Rifa’I dan Rs. Abdul Aziz, Pelajaran Ilmu Kalam, (Semarang: CV. Wicaksana, 1994), h. 79
[50] Bakir Yusuf  Barmawi, Konsep Iman dan Kufur dalam Teologi Islam, ( Jakarta: PT. Bina Ilmu. 1987), h. 16
[51] Suryan A. Jamrah, dkk. Sejarah Pemikiran Islam, ( Jakarta: Amzah, 2011), , h. 269-267
[52] .M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), Cet.IV, h.123-126
[53] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam,(Bandung: Pustaka Setia, 2012), h. 174-175





[1] Yayasan Penyelenggara Penerjemah/ Penafsir Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’anul Karim . Q.S. al- Baqarah 2: 285
[2] Imam Nawawi, Hadits Arbain
[3] Dikutip pada laman http://www.almanhaj.com pada tanggal 23 November 2016
[4] Suryan A. Jamrah, dkk. Sejarah Pemikiran Islam, ( Jakarta: Amzah, 2011), h. 264
[5]Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam: Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), h. 60
[6] Ibid.,h. 123
[7] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 2010), h. 8
[8] Yayasan Penyelenggara Penerjemah/ Penafsir Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’anul Karim, ( Depok: Cahaya Qur’an, 2008),  h. 115
[9]   Abdul Razak, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, Cet. III, 2007), h. 31
[10] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terj. Moh. Zuhri, (Semarang: Dina Utama, 1994),  h. 36
[11]   Ibid., h. 38
[12] Ahmad Muthohar, Teologi Islam: Konsep Iman antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah, (Yogyakarta: Teras, 2008), h. 8
[13] Suryan A. Jamrah, dkk. Sejarah Pemikiran Islam, ( Jakarta: Amzah, 2011), h. 264
[14] Ibid
[15] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 2010), h. 26-27
[16] A. Hanafi, Theology Islam,  (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 10
[17] Suryan A. Jamrah, Sejarah Pemikiran Islam., h. 1
[18] Dikutip dalam tesis Ma’mun, Konsep Iman Menurut K.H Rifa’I, (Yogyakarta: UIN Suka Yogyakarta, 2010), h. 11
[19] Harun Nasution, Teologi Islam., h. 147
[20] Ahmad al-Jabbar ibn Ahmad, Syarh Ushul al-Khomsah, (Kairo: Maktabah Wahdah, 1965), h. 709
[21] Teuku Muhammad Hasbi Ash- Shiddieqy, Sejarah dan pengantar Ilmu Tauhid/ Kalam, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999), h. 154
[22] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam: Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), h. 152
[23] Ibid
[24] M. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, Cet. III, 2000), h. 54
[25] Penelitian deskriptif analitis  ialah metode penelitian yang menentukan dan menjelaskan suatu permasalahan yang diteliti apa adanya dengan memberikan analisa atau penalaran terhadap hasil penelitian tersebut. Lihat Sutanto Leo, Kiat Jitu Menulis Skripsi, Tesis dan Disertasi, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2013), h. 99
[26] Hidayat Syah, Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, (Pekanbaru: Indrasakti Riau, 2016), h. 33
[27] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), h. 210
[28] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Sarasin, 1996), h. 51

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diabolisme Salman Rushdie dan Ahok

ANTARA SALMAN RUSHDIE DAN AHOK Oleh: Dr. Adian Husaini Tahun 1988, dunia Islam digegerkan oleh seorang bernama Salman Rushdie. Kisahnya ...