Minggu, 18 Desember 2016

Hermeneutika Hans Georg Gadamer



PEMIKIRAN HERMENEUTIKA HANS GEORG GADAMER
Debri Koeswoyo
Jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
E-mail:debrikoeswoyo46@gmail.com

Abstrak
            Telaah kritik sosial yang dipelopori oleh Immanuel Kant di abad kedua puluh menjadi salah satu pisau analisa yang banyak digunakan kalangan filosof modernis dan postmodernis. Pemikiran hermeneutika Gadamer menjadi salah satu konsep filosofi yang berbeda dari pemikiran Neo-Kantisme. Pemikiran abad pencerahan menghasilkan suatu paradigm baru didunia pengetahuan dan sosial manusia. Pengetahuan yang dipahami haruslah bersifat objektif. Besarnya pengaruh pemikiran Rene Descartes di abad pencerahan ini, menjadikan pengalaman dan interpretasi manusia ditangguhkan. Namun,  Gadamer memisahkan hermeneutika dari ranah objektifitas ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu sosial yang diciptakan oleh pemikiran Abad 18. Interpretasi manusia dalam ilmu pengetahuan bagi Gadamer menjadi sebuah kebenaran yang sesungguhnya.
Kata Kunci: Hermeneutika, Retorika, Filsafat praktis

                                                                  Abstract
         The study of social criticism that was pioneered by Immanuel Kant in the twentieth century became one analytic tool that is widely used among modernist and postmodernist philosophers. Thought to be one of Gadamer's hermeneutics concept different philosophy of thinking Neo-Kantisme. Thought Enlightenment produced a new paradigm in the world of social science and human. Knowledge is understood must be objective. The amount of influence thought Rene Descartes in this enlightened age, the experience and human interpretation suspended. However, Gadamer's hermeneutics separate from the realm of objectivity of science and the social sciences created by human interpretation of 18th century thinking in science for Gadamer be a real truth.
Keywords: Hermeneutics, Rhetoric, practical philosophy




I.          PENDAHULUAN
Pemahaman dan memahami merupakan persoalan ilmu pengetahuan yang menjadi dasar konsep-konsep pemikiran filosofi abad pencerahan. Pengaruh gereja didalam ilmu pengetahuan pada abad ke 17 menjadi cikal bakal lahirnya pemikiran modernisme. Rasionalisme Rene Descartes menjadi antitesis terhadap dogmatis gereja tersebut. Konsep rasionalisme Descartes dikembangkan secara luas oleh Martin Heidegger dengan teorinya “ontologi dasein”. Bagi Heidegger, memahami berada pada ranah ontologis dimana dasein itulah yang memahami dirinya sendiri.
Dalam kaitannya dengan Heidegger, Gadamer mengembangkan konsep yang lebih spesifik walaupun jika dipahami secara mendalam pengaruh Heidegger sangat jelas dalam pemikirannya. Pra struktur memahami dalam pemikiran Heidegger berada didalam ranah ontologi yang berada dalam dunia metafisika dasein. Sedangkan, konsep memahami bagi Gadamer dikembalikan ke ranah epistomologi sehingga tidak ada unsur metafisis, lebih bersifat fenomenologis, diskriptif dan tidak abstrak seperti pemikiran Heidegger.
Pada abad pencerahan, semua filosof sepakat bahwasannya ilmu pengetahuan haruslah bersifat objektif, bebas dari pengaruh dogmatis gereja dan subjektifitas penelitinya. Namun, Gadamer menolak dan membantah konsep ini. Kesadaran objektifitas didalam ilmu pengetahuan bagi Gadamer haruslah ditembus, karena objektifitas tidak mungkin benar-benar objektif tanpa adanya prasangka dalam ilmu pengetahuan tersebut.
Gadamer berpendapat bahwa hermeneutika filsafatnya adalah realisasi dari kemungkinan-kemungkinan yang terdapat di dalam  pemikiran Heidegger. Berdasarkan hal tersebut, guna memahami pikiran Gadamer dalam banyak hal, kita perlu kembali mendalami akar-akar pikiran Heidegger tentang wujud manusia, analitika eksistensial, Ada dan bukan sebagai manusia dasar, ketiadaan yang hadir bersama Ada, historikalitas Ada-manusia-pemahaman, analisis prastuktur pemahaman.
Dalam karya Gadamer yaitu Wahrheit und Methode ia menjelaskan bagaimana konsep hermeneutika mampu menjelaskan masalah-masalah kemanusiaan, ilmu pengetahuan tanpa berada dalam aspek metafisik ontologi yang membingungkan.


II.         BIOGRAFI HANS GEORG GADAMER
Hans Georg Gadamer dilahirkan pada tanggal 11 Febuary 1900 di Marburg[1], Jerman dan wafat pada tanggal 13 maret 2002 dari pasangan Johannes Gadamer dan Johanna Geisse.[2] Ayahnya seorang pakar bidang farmasi dan kimia yang menduduki tempat terhormat di Marburg.[3] Ketertarikan Gadamer pada filsafat sempat ditentang oleh ayahnya. Menurut ayah Gadamer, filsafat, kesusastraan, dan ilmu-ilmu humaniora pada umumnya bukan merupakan ilmu pengetahuan yang serius. Akan tetapi, Gadamer tidak mendengar perkataan ayahnya. Ia berpegang teguh pada pilihannya untuk memperdalam filsafat.[4]
                Petualangan intelektual Gadamer di bidang filsafat dimulai di Universitas Breslau. Kemudian, Gadamer pindah ke Marburg mengikuti kepindahan ayahnya ke kota tersebut. Di kota ini, Gadamer belajar filsafat kepada sejumlah filsuf, di antaranya Paul Natorp dan Nicolai Hartmann. Sesudah itu, Gadamer mengikuti kuliah Martin Heidegger di Freiburg.[5]
Pada tahun 1927, Heidegger mengusulkan kepada Gadamer untuk membuat Habilitation. Di bawah bimbingan Heidegger, akhirnya Gadamer berhasil membuat Habilitation tentang etika dialektis Plato.[6]
Selain dipengaruhi oleh beberapa filsuf tersebut, Gadamer juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran Plato, Aristoteles, Immanuel Kant, G.W.F. Hegel, Søren Kierkegaard, F.D.E. Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Edmund Husserl, dan Karl Jaspers.[7] Pada periode nasional-sosialisme Hitler, Gadamer tidak melibatkan diri dalam kancah politik dan lebih senang dalam urusan akademisi. Hal ini justru sangat terbalik jika dibandingkan dengan gurunya yang terlibat sangat intens dalam partai NAZI yaitu Martin Heidegger.[8]
                Wahrheit und Methode. Grundziige einer philosophischen Hermeneutik (Kebenaran dan Metode: Sebuah Hermeneutika Filosofis Menurut Garis Besarnya, 1960) adalah karya utama Gadamer. Selain itu, masih banyak karya yang dihasilkan dari tangan Gadamer. Di antaranya adalah Platons dialektische Ethik und andere Studien zur platonischen Philosophie (Etika Dialektis dari Plato dan Studi-studi Lain tentang Filsafat Plato, 1968).[9]
                Dalam karyanya Truth and Method ("Kebenaran dan Metode") (1960) dan Gadamer  terlibat dalam perdebatannya yang terkenal dengan Jürgen Habermas megnenai kemungkinan dalam mentransendensikan sejarah dan kebudayaan guna menemukan posisi yang benar-benar obyektif yang daripadanya orang dapat mengkritik masyarakat. Perdebatan ini tidak menemukan kesimpulannya, tetapi merupakan awal dari hubungan yang hangat antara kedua orang ini.[10]

III.      PENGERTIAN HERMENEUTIKA
Secara etimologis, kata ‘hermeneutik’ atau ‘hermeneutika’ berasal dari bahasa Inggris hermeneutics. Kata hermeneutics sendiri berasal dari bahasa Yunani hermeneuo yang berarti ‘mengungkapkan pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata’ atau hermeneuein yang berarti ‘menafsirkan’ dan hermeneia yang berarti ‘penafsiran’. Kata hermeneuo juga bermakna ‘menerjemahkan’ atau ‘bertindak sebagai penafsir’.[11]
Hermeneutik merupakan disiplin pemikiran yang membidik kehidupan sehingga tidak terkatakan dari diskursus-diskursus kita ini. Sebagian besar dari apa yang tidak terkatakan itu bersifat remeh. Sampai pada titik tertentu, hermeneutik adalah disiplin yang bersangkut paut dengan motif-motif dan maksud-maksud yang dengan mudah bisa diketahui melalui kata-kata yang ada secara eksplisit.[12]
Hermeneutik adalah berfikir filosofis yang mencoba untuk menjelaskan concept of verstehan dalam bahasa. Proses pemahaman ini biasa disebut dengan interpretation apakah dalam bntuk penjelasan atau penerjemahan.
Pada dasarnya hermeneutik berhubungan dengan bahasa. Menjadikan bahasa adalah manifestasi dari realita untuk mengapresiasi bentuk-bentuk dalam kehidupan. Penuangan ide serta konsep-konsep sebagai jalan agar mempunyai eksistensi yang dibenturkan dengan ekplorasi dalam bahasa.
Dalam bidang filsafat, pentingnya hermeneutik tidak dapat ditentukan secara berlebihan, sebab pada kenyataannya, keseluruhan filsafat adalah interpretasi dan pembahasan seluruh isi alam semesta ke dalam bahasa kebijaksanaan manusia.[13] Kegiatan interpretatif adalah proses yang bersifat “triadic” yaitu mempunyai tiga segi yang saling berhubungan. Konsep triadic berarti kegiatan interpretasi mempunyai tiga segi yang saling berhubungan antara teks (text), penafsir (reader), dan juga pengarang (author). Konsep tersebut bisa dikatakan sama dengan apa yang ada dalam lingkaran hermeneutik (circle of hermeneutic).[14]
Hermeneutika berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horison - horison (cakrawala) yang melingkupi teks tersebut. Horison yang dimaksud adalah horison teks, pengarang, dan pembaca. Dengan memperhatikan ketiga horison tersebut diharapkan suatu upaya pemahaman atau penafsiran menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi makna teks, yang selain melacak bagaimana suatu teks dimunculkan oleh pengarangnya dan muatan apa yang masuk dan ingin dimasukkan oleh pengarang ke dalam teks, juga berusaha melahirkan kembali makna sesuai dengan situasi dan kondisi saat teks dibaca atau dipahami.[15]
Dengan berkembangnya diskursus filsafat ke arah post-modernisme, hermeneutik mulai berperan sebagai salah satu disiplin yang sangat kritis terhadap metodologi memahami teks dan realitas. Tidak lagi sekedar disiplin tentang teori penafsiran melainkan melebar menjadi metateori tentang teori interpretasi. Peristiwa pemahaman terjadi ketika cakrawala makna historis dan asumsi kita berpadu dengan cakrawala tempat karya itu berada. Hermeneutika melihat sejarah sebagai dialog hidup antara masa lalu, masa kini, dan masa depan.


IV.    PEMIKIRAN HERMENEUTIKA HANS GEORG GADAMER
A.  Hermeneutika Filosofis Hans Georg Gadamer
Problem hermeneutik pada intinya adalah terkait dengan proses menafsirkan teks yang timbul ketika seorang mengalami alienasi terhadap teks dan maknanya. Hermeneutika sendiri terbagi atas tiga tipologi yaitu, hermeneutik teori, hermeneutik kritik dan hermeneutik filsafat. Pemikiran Gadamer didalam hermeneutikanya termasuk kedalam hermeneutik filsafat.
Hermeneutik filsafat adalah sebuah penafsiran yang selalu mempunyai arti proses produksi makna baru dan bukan reproduksi makna awal.[16]
Hermeneutik filsafat menolak scientific investigation of meaning sebagai dasar objektifitas. Pandangan utama hermeneutik filsafat memandang ilmuan sosial atau penafsir dan objek terkait dengan konteks tradisi, oleh karena itu manusia tidak dapat dimulai dari pemikiran netral. Hermeneutik filsafat tidak menuju pada pengetahuan murni (objective knowledge) yang harus melalui prosedur ilmiah (dasein) secara eksplisit dan fenomenologi yang dapat ditemukan dalam konteks sejarah.[17]
Bagi Hans Georg Gadamer tugas hermeneutik tidak harus menemukan arti sebuah teks.[18] Interpretasi bagi Gadamer tidak sama dengan mengambil suatu teks kemudian mencari arti sebagaimana yang diletakkan oleh pengarang ke dalam teksnya. Arti teks tidak hanya terbatas pada pengarang saja akan tetapi tetap terbuka terhadap kemungkinan penafsiran terbaru sesuai dengan kreatifitas penafsir. Bahkan baginya tidak ada jaminan bagi pengarang asli untuk menjadi penafsiran ideal atas karyanya. Pandangan ini mengidentifikasikan suatu karya ilmiah yang sudah dituangkan dalam tulisan sepenuhnya menjadi milik pembaca. Oleh karena itu interpretasi tidak terbatas merekonstruksi makna tetapi juga memproduksi makna.[19]

B.  Hermeneutika dalam Sejarah dan Ilmu Pengetahuan
Gadamer menegaskan bahwa setiap pemahaman kita senantiasa merupakan suatu yang bersifat historis, dialektis dan kebahasaan. Kunci bagi pemahaman adalah partisipasi dan keterbukaan bukan manipulasi dan pengendalian. Menurut Gadamer hermeneutika berkaitan dengan pengalaman bukan hanya pengetahuan, berkaitan dengan dialektika bukan metodologi..[20]
Singkatnya, kerangka pemikiran (worldview) dan pengetahuan (self-knowledge) manusia dibentuk dan mewujud dalam seluruh proses sejarah. Dari sini dapat disimpulkan bahwa tugas utama hermeneutik adalah memahami teks (baca: sejarah dan tradisi) dan hakikat pengetahuan dalam tradisi hermeneutik filosofis Gadamer adalah pemahaman atau penafsiran (verstehen) terhadap teks tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi sang penafsir.[21]
Bagi Gadamer sangat sulit bagi seorang penafsir melepaskan begitu saja situasi historisnya. Dalam memahami persoalan masa lalu tidak serta merta paham akan situasi yang terjadi dalam kurun waktu yang lama. Karena itu suatu teks tidak hanya disesuaikan dengan masa lampau, tetapi dapat pula disesuaikan dengan situasi kita, dalam konteks kekinian bahkan juga bisa diproyeksikan ke masa depan.[22]
Gadamer juga mengemukakan bahwa penafsiran selalu merupakan proses sirkular. Penafsir dan teks senantiasa terikat oleh konteks tradisinya masing-masing. Hal ini menjadikan seorang penafsir sadar atau tidak selalu mempunyai pra-paham tertentu terhadap teks yang ingin ditafsirkan. penafsir tidak mungkin melakukan penafsiran dari sisi yang netral. Penafsir hanya mungkin dilakukan melaiui apa yang Gadamer sebut sebagai the fusion of horizons, yakni mempertemukan prapaham penafsir dan cakrawala makna yang dikandung teks. Dengan demikian, dalam arti penafsir selalu merupakan re-interpretation, yang memahami lagi teks secara baru dan makna baru.[23]
Menurut teori ini, proses penafsiran seseorang dipengaruhi oleh dua horison, yakni cakrawala (pengetahuan) atau horison yang ada di dalam teks dan cakrawala (pemahaman) atau horison pembaca. Kedua horison ini selalu hadir dalam setiap proses pemahaman dan penafsiran. Seorang pembaca teks akan memulai pemahaman dengan cakrawala hermeneutiknya. Namun, dia juga memperhatikan bahwa teks yang dia baca mempunyai horisonnya sendiri yang mungkin berbeda dengan horison yang dimiliki pembaca.[24]
Menurut Gadamer, sejarah atau sosialitas masyarakat merupakan medium berlangsungnya semua sistem pengetahuan. Sejarah sendiri merupakan sebuah perjalanan tradisi yang ingin membangun visi dan horison kehidupan di masa depan. Hermeneutika seperti yang digambarkan oleh Gadamer memperanggapkan pengetahuan yang bersifat steril, bersih dari jejak kepentingan yang menindas. Gadamer menganggap interpretasi merupakan unproblematic meditation of subject karena disatukan oleh eksistensi mereka dalam suatu tradisi umum.
Bagi Gadamer hakikat hermeneutika adalah ontologi dan fenomenologi pemahaman yakni, apa hakikat pemahaman dan bagaimana mengungkapkannya sebagaimana adanya. Pemahaman selalu dapat diterapkan pada keadaan kita pada saat ini, meskipun pemahaman itu berhubungan dengan peristiwa sejarah, dialektik dan bahasa. Oleh karena itu pemahaman selalu mempunyai posisi, misalnya posisi pribadi kita sendiri saat ini pemahaman tidak pernah bersifat objektif dan ilmiah. Sebab pemahaman bukanlah mengetahui secara statis dan di luar kerangka waktu, tetapi selalu dalam keadaan tertentu. Misalnya dalam sejarah semua pengalaman yang hidup itu menyejarah, bahasa dan pemahaman juga menyejarah. Interpretasi bukanlah sekedar sesuatu yang ditambahkan atau dipaksakan masuk ke dalam pemahaman. Memahami selalu dapat berarti membuat interpretasi. Oleh karena itu interpretasi secara eksplisit adalah bentuk dari pemahaman.[25]
Dalam pandangan Gadamer, pemahaman manusia senantiasa merupakan peristiwa historis, dialektik, dan linguistik.[26] Dengan demikian, dalam sistem dan metode pengetahuan yang digagas oleh Gadamer, kebenaran diperoleh melalui proses dialektika. Tujuan dari proses dialektika adalah menggelitik realitas yang dijumpai, dalam hal ini teks, supaya mengungkapkan dirinya. Oleh karena itu, dalam pandangan Gadamer, tugas hermeneutik adalah mengeluarkan teks dari alienasinya, dan mengembalikannya ke dalam dialog yang riil dengan kehidupan manusia di masa kini.[27]

BAGAN PROSES HERMEUNITIKA HISTORIKALITAS HANS GEORG GADAMER


 








V.  PANDANGAN ISLAM TERHADAP HERMENEUTIK HANS GEORG GADAMER
Dalam dunia pemikiran Islam, terutama konsep interpretasi Al-Qur’an, hermeneurika tidak dengan mudah dapat diterima. Setidak ada beberapa alasan penolakan Hermeneutika untuk diterapkan dalam penafsiran Al-Qur’an:[28]
 1) Dari aspek perkembangan historisnya, Hermeneutika berasal dari tradisi kristiani, barat dan filsafat. Dan jika ditarik lebih kebelakang, Hermeneutika berasosiasi dengan cerita dewa hermes, si penerjemah bahasa dewa, yang sama sekali tidak dapat disamakan dengan wahyu yang diterima Nabi Muhammad Saw.,
2) Kemapanan tradisi penafsiran Al-Qur’an dalam dunia Islam, yang dinilai tidak memerluakan lagi tawaran baru Hermeneutika,
3) Kerancuan Hermeneutika ketika berhadapan dengan otentisitas Al-Qur’an. Hermeneutika hanya berpusat pada triadic structure: teks, inrpreter dan audience saja. Sehingga ia tidak mengenal otoritas interpretasi sebagaimana dalam Ilmu Tafsir, yaitu mengenai siapa dan apa yang paling memiliki otoritas interpretasi, dan tidak dengan mudah siapa saja dapat melakukan penafsiran pada seluruh teks, terutama seluruh teks Al-Qur’an.
Apalagi teori Hermeneutika yang menganggap bahwa  penafsir dapat mengerti labih baik dibandingkan penulis sendiri. Karena dalam Al-Qur’an diketahui terdapat ayat yang tidak dapat ditafsirkan oleh siapapun, sejenius apapun dia. Selain relativitas tafsir, menurut Adian Husaini, penerapan Hermeneutika juga berakibat buruk pada “kemapanan” bangunan konsep Islam selama ini. Para hermeneut tidak segan-segan mencurigai dan mencerca Ulama Islam, dan bahkan sampai menerjang “daerah-daerah” terlarang seperti dekonstruksi konsep wahyu Al-Qur’an.[29]
VI.   KESIMPULAN
Hermeneutika Gadamer merupakan suatu kritik terhadap positivisme dengan menekankan pada subyek yang menafsirkan. Satu proposisi positivistik yang dipandang oleh Gadamer sebagai istilah “haram” bagi hermeneutika, yaitu generalitas. Kebenaran adalah kontekstualisasi (universalitas). Oleh karena itu, menurut Gadamer, metodelogi yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan fenomenologis partisipan, yaitu memaknai realitas sosial atau teks  dengan memahami perilaku, pemahaman, sikap, dan tindakan objek penelitian.
Sebagai kesimpulan akhir, penulis ingin menyampaikan, filsafat hermeneutika Gadamer menjadi bagian penting dalam memaknai realitas sosial. Bahasa tetap menjadi bagian penting dalam membongkar makna bukan hanya terbatas pada rekonstruksi sosial. Bahasa sebagai alat membenturkan teks,. tradisi, simbol, dengan realitas sosial. Jadi, proses memaknai perlu melalui pendekatan komprehensif dan ini menjadi ciri khas dalam ilmu hermeneutika.



DAFTAR PUSTAKA
Amin, Saidul. 2012. Filsafat Barat Abad 21. Pekanbaru: Daulat Riau.
Bertens, K. 2002. Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia.
Grondrin, Jean. 2007. Sejarah Hermeneutik; Dari Plato sampai Gadamer. Yogyakarta: Ar-ruz Media.
Hardiman, F. Budi. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Yogyakarta: Kanisius.
Husaini, Adian. 2007. Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an,. Bandung: Gema Insani Press
Salahudin. 2011. Anatomi Teori Filsafat Hermeneutika Hans Georg Gadamer “Dialog Historikalitas Dalam Memahami Teks”. Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Malang
Sumaryono. 1993. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Kutipan dari Halaman Website tanggal 05 Oktober 2016
F. Budi Hardiman dalam diskusi komunitas salihara “ Filsafat Hermeneutika Filosofis Hans Georg Gadamer” 25 Febuari 2014, dikutip pada laman http://www.youtube.com
Hans Georg Gadamer, Truth and Method, pdf, (London: Sheed and Ward, 1975)
                                   http://www.id.wikipedia.org
Josef Bleicher, Cotemporary Hermeneutics, pdf (London: Routledge and Kegen Paul)
Ponsa, “Relevansi Konsep Gadamer tentang The Experience of History untuk Memaknai Teks Kitab Suci yang Opresif”, dalam http://www.ponsa.wordpress.com



[1] Menurut sumber lain Gadamer dilahirkan di kota Breslau, lihat K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 254.
[2] Hans Georg Gadamer, dalam http://www.id.wikipedia.org, diakses pada tanggal 05 Oktober 2016
[3] Saidul Amin, Filsafat Barat Abad 21, (Pekanbaru: Daulat Riau, 2012), h. 109
[4] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 254.
[5] Dikutip pada laman http://www.stanford.edu pada tanggal 05 Oktober 2016
[6] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 254.
[7] Hans Georg Gadamer, dalam http://www.id.wikipedia.org, diakses pada tanggal 05 Oktober 2016
[8] F. Budi Hardiman dalam diskusi komunitas salihara “ Filsafat Hermeneutika Filosofis Hans Georg Gadamer” 25 Febuari 2014, dikutip pada laman http://www.youtube.com pada tanggal 05 Oktober 2016
[9] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 256
[10]Salahudin, Anatomi Teori Filsafat Hermeneutika Hans Georg Gadamer “Dialog Historikalitas Dalam Memahami Teks”. (Universitas Muhammadiyah Malang, 2011)
[11]F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 37.
[12]Jean Grondrin, Sejarah Hermeneutik; Dari Plato sampai Gadamer, (Yogyakarta: Ar-ruz Media, 2007), h. 10.
[13] Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 29
[14] Ibid., h. 31
[15] F. Budi Hardiman dalam diskusi komunitas salihara “ Filsafat Hermeneutika Filosofis Hans Georg Gadamer” 25 Febuari 2014, dikutip pada laman http://www.youtube.com pada tanggal 05 Oktober 2016
[16] Josef Bleicher, Cotemporary Hermeneutics, pdf (London: Routledge and Kegen Paul), h. 37
[17]F. Budi Hardiman dalam diskusi komunitas salihara “ Filsafat Hermeneutika Filosofis Hans Georg Gadamer” 25 Febuari 2014, dikutip pada laman http://www.youtube.com pada tanggal 05 Oktober 2016
[18] Hans Georg Gadamer, Truth and Method, pdf (London: Sheed and Ward, 1975), h. 264.
[19] Ibid
[20] Kaelan, Filsafat Bahasa:Realitas Bahasa Hermeneutika dan Postmodernisme, (Yogyakarta: Paradigma: 2002), h. 208
[21] Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 80
[22] F. Budi Hardiman dalam diskusi komunitas salihara “ Filsafat Hermeneutika Filosofis Hans Georg Gadamer” 25 Febuari 2014, dikutip pada laman http://www.youtube.com pada tanggal 05 Oktober 2016
[23] Ibid
[24] F. Budi Hardiman dalam diskusi komunitas salihara “ Filsafat Hermeneutika Filosofis Hans Georg Gadamer” 25 Febuari 2014, dikutip pada laman http://www.youtube.com pada tanggal 05 Oktober 2016
[25] Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 76
[26] F. Budi Hardiman dalam diskusi komunitas salihara “ Filsafat Hermeneutika Filosofis Hans Georg Gadamer” 25 Febuari 2014, dikutip pada laman http://www.youtube.com pada tanggal 05 Oktober 2016
[27] Ponsa, “Relevansi Konsep Gadamer tentang The Experience of History untuk Memaknai Teks Kitab Suci yang Opresif”, dalam http://www.ponsa.wordpress.com, 05 Oktober 2016
[28] Adian Husaini, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, (Bandung: Gema Insani Press, 2007), h. 1-7.
[29] Ibid, h. 27- 31

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diabolisme Salman Rushdie dan Ahok

ANTARA SALMAN RUSHDIE DAN AHOK Oleh: Dr. Adian Husaini Tahun 1988, dunia Islam digegerkan oleh seorang bernama Salman Rushdie. Kisahnya ...