PEMIKIRAN
HERMENEUTIKA HANS GEORG GADAMER
Debri Koeswoyo
Jurusan
Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin
Universitas
Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
E-mail:debrikoeswoyo46@gmail.com
Abstrak
Telaah kritik
sosial yang dipelopori oleh Immanuel Kant di abad kedua puluh menjadi salah
satu pisau analisa yang banyak digunakan kalangan filosof modernis dan
postmodernis. Pemikiran hermeneutika Gadamer menjadi salah satu konsep filosofi
yang berbeda dari pemikiran Neo-Kantisme. Pemikiran abad pencerahan
menghasilkan suatu paradigm baru didunia pengetahuan dan sosial manusia.
Pengetahuan yang dipahami haruslah bersifat objektif. Besarnya pengaruh
pemikiran Rene Descartes di abad pencerahan ini, menjadikan pengalaman dan
interpretasi manusia ditangguhkan. Namun, Gadamer memisahkan hermeneutika dari ranah
objektifitas ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu sosial yang diciptakan oleh
pemikiran Abad 18. Interpretasi manusia dalam ilmu pengetahuan bagi Gadamer
menjadi sebuah kebenaran yang sesungguhnya.
Kata Kunci: Hermeneutika,
Retorika, Filsafat praktis
Abstract
The study of social criticism that was pioneered by Immanuel Kant in the twentieth century became one analytic tool that is widely used among modernist and postmodernist philosophers. Thought to be one of Gadamer's hermeneutics concept different philosophy of thinking Neo-Kantisme. Thought Enlightenment produced a new paradigm in the world of social science and human. Knowledge is understood must be objective. The amount of influence thought Rene Descartes in this enlightened age, the experience and human interpretation suspended. However, Gadamer's hermeneutics separate from the realm of objectivity of science and the social sciences created by human interpretation of 18th century thinking in science for Gadamer be a real truth.
The study of social criticism that was pioneered by Immanuel Kant in the twentieth century became one analytic tool that is widely used among modernist and postmodernist philosophers. Thought to be one of Gadamer's hermeneutics concept different philosophy of thinking Neo-Kantisme. Thought Enlightenment produced a new paradigm in the world of social science and human. Knowledge is understood must be objective. The amount of influence thought Rene Descartes in this enlightened age, the experience and human interpretation suspended. However, Gadamer's hermeneutics separate from the realm of objectivity of science and the social sciences created by human interpretation of 18th century thinking in science for Gadamer be a real truth.
Keywords: Hermeneutics,
Rhetoric, practical philosophy
I.
PENDAHULUAN
Pemahaman dan memahami merupakan persoalan ilmu pengetahuan yang
menjadi dasar konsep-konsep pemikiran filosofi abad pencerahan. Pengaruh gereja
didalam ilmu pengetahuan pada abad ke 17 menjadi cikal bakal lahirnya pemikiran
modernisme. Rasionalisme Rene Descartes menjadi antitesis terhadap dogmatis
gereja tersebut. Konsep rasionalisme Descartes dikembangkan secara luas oleh
Martin Heidegger dengan teorinya “ontologi dasein”. Bagi Heidegger,
memahami berada pada ranah ontologis dimana dasein itulah yang memahami
dirinya sendiri.
Dalam kaitannya dengan Heidegger, Gadamer mengembangkan konsep yang
lebih spesifik walaupun jika dipahami secara mendalam pengaruh Heidegger sangat
jelas dalam pemikirannya. Pra struktur memahami dalam pemikiran Heidegger
berada didalam ranah ontologi yang berada dalam dunia metafisika dasein.
Sedangkan, konsep memahami bagi Gadamer dikembalikan ke ranah epistomologi
sehingga tidak ada unsur metafisis, lebih bersifat fenomenologis, diskriptif
dan tidak abstrak seperti pemikiran Heidegger.
Pada abad pencerahan, semua filosof sepakat bahwasannya ilmu
pengetahuan haruslah bersifat objektif, bebas dari pengaruh dogmatis gereja dan
subjektifitas penelitinya. Namun, Gadamer menolak dan membantah konsep ini. Kesadaran
objektifitas didalam ilmu pengetahuan bagi Gadamer haruslah ditembus, karena
objektifitas tidak mungkin benar-benar objektif tanpa adanya prasangka dalam
ilmu pengetahuan tersebut.
Gadamer
berpendapat bahwa hermeneutika filsafatnya adalah realisasi dari
kemungkinan-kemungkinan yang terdapat di dalam pemikiran Heidegger. Berdasarkan hal tersebut,
guna memahami pikiran Gadamer dalam banyak hal, kita perlu kembali mendalami
akar-akar pikiran Heidegger tentang wujud manusia, analitika eksistensial, Ada
dan bukan sebagai manusia dasar, ketiadaan yang hadir bersama Ada,
historikalitas Ada-manusia-pemahaman, analisis prastuktur pemahaman.
Dalam
karya Gadamer yaitu Wahrheit und Methode ia menjelaskan bagaimana konsep
hermeneutika mampu menjelaskan masalah-masalah kemanusiaan, ilmu pengetahuan
tanpa berada dalam aspek metafisik ontologi yang membingungkan.
II.
BIOGRAFI HANS GEORG GADAMER
Hans Georg Gadamer dilahirkan pada tanggal 11 Febuary 1900 di
Marburg[1],
Jerman dan wafat
pada tanggal 13 maret 2002 dari pasangan Johannes Gadamer dan
Johanna Geisse.[2]
Ayahnya seorang pakar bidang farmasi dan kimia yang menduduki tempat terhormat
di Marburg.[3] Ketertarikan Gadamer pada filsafat
sempat ditentang oleh ayahnya. Menurut ayah Gadamer, filsafat, kesusastraan,
dan ilmu-ilmu humaniora pada umumnya bukan merupakan ilmu pengetahuan yang
serius. Akan tetapi, Gadamer tidak mendengar perkataan ayahnya. Ia berpegang
teguh pada pilihannya untuk memperdalam filsafat.[4]
Petualangan
intelektual Gadamer di bidang filsafat dimulai di Universitas Breslau.
Kemudian, Gadamer pindah ke Marburg mengikuti kepindahan ayahnya ke kota
tersebut. Di kota ini, Gadamer belajar filsafat kepada sejumlah filsuf, di
antaranya Paul Natorp dan Nicolai Hartmann. Sesudah itu, Gadamer mengikuti
kuliah Martin Heidegger di Freiburg.[5]
Pada tahun 1927, Heidegger mengusulkan kepada Gadamer untuk membuat
Habilitation. Di bawah bimbingan Heidegger, akhirnya Gadamer berhasil
membuat Habilitation tentang etika dialektis Plato.[6]
Selain dipengaruhi oleh beberapa filsuf tersebut, Gadamer juga
banyak dipengaruhi oleh pemikiran Plato, Aristoteles, Immanuel Kant, G.W.F.
Hegel, Søren Kierkegaard, F.D.E. Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Edmund
Husserl, dan Karl Jaspers.[7] Pada periode nasional-sosialisme Hitler, Gadamer tidak melibatkan
diri dalam kancah politik dan lebih senang dalam urusan akademisi. Hal ini
justru sangat terbalik jika dibandingkan dengan gurunya yang terlibat sangat
intens dalam partai NAZI yaitu Martin Heidegger.[8]
Wahrheit
und Methode. Grundziige einer philosophischen Hermeneutik (Kebenaran dan Metode: Sebuah Hermeneutika Filosofis Menurut Garis
Besarnya, 1960) adalah karya utama Gadamer. Selain itu, masih banyak karya yang
dihasilkan dari tangan Gadamer. Di antaranya adalah Platons dialektische
Ethik und andere Studien zur platonischen Philosophie (Etika Dialektis dari
Plato dan Studi-studi Lain tentang Filsafat Plato, 1968).[9]
Dalam
karyanya Truth and Method ("Kebenaran dan Metode")
(1960) dan Gadamer terlibat dalam
perdebatannya yang terkenal dengan Jürgen
Habermas megnenai kemungkinan dalam
mentransendensikan sejarah dan kebudayaan guna menemukan posisi yang
benar-benar obyektif yang daripadanya orang dapat mengkritik masyarakat.
Perdebatan ini tidak menemukan kesimpulannya, tetapi merupakan awal dari
hubungan yang hangat antara kedua orang ini.[10]
III.
PENGERTIAN HERMENEUTIKA
Secara etimologis, kata
‘hermeneutik’ atau ‘hermeneutika’ berasal dari bahasa Inggris hermeneutics.
Kata hermeneutics sendiri berasal dari bahasa Yunani hermeneuo yang
berarti ‘mengungkapkan pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata’ atau hermeneuein
yang berarti ‘menafsirkan’ dan hermeneia yang berarti ‘penafsiran’.
Kata hermeneuo juga bermakna ‘menerjemahkan’ atau ‘bertindak sebagai
penafsir’.[11]
Hermeneutik
merupakan disiplin pemikiran yang membidik kehidupan sehingga tidak terkatakan
dari diskursus-diskursus kita ini. Sebagian besar dari apa yang tidak
terkatakan itu bersifat remeh. Sampai pada titik tertentu, hermeneutik adalah
disiplin yang bersangkut paut dengan motif-motif dan maksud-maksud yang dengan
mudah bisa diketahui melalui kata-kata yang ada secara eksplisit.[12]
Hermeneutik
adalah berfikir filosofis yang mencoba untuk menjelaskan concept of
verstehan dalam bahasa. Proses pemahaman ini biasa disebut dengan interpretation
apakah dalam bntuk penjelasan atau penerjemahan.
Pada
dasarnya hermeneutik berhubungan dengan bahasa. Menjadikan bahasa adalah
manifestasi dari realita untuk mengapresiasi bentuk-bentuk dalam kehidupan.
Penuangan ide serta konsep-konsep sebagai jalan agar mempunyai eksistensi yang
dibenturkan dengan ekplorasi dalam bahasa.
Dalam
bidang filsafat, pentingnya hermeneutik tidak dapat ditentukan secara
berlebihan, sebab pada kenyataannya, keseluruhan filsafat adalah interpretasi
dan pembahasan seluruh isi alam semesta ke dalam bahasa kebijaksanaan manusia.[13]
Kegiatan interpretatif adalah proses yang bersifat “triadic” yaitu
mempunyai tiga segi yang saling berhubungan. Konsep triadic berarti
kegiatan interpretasi mempunyai tiga segi yang saling berhubungan antara teks (text),
penafsir (reader), dan juga pengarang (author). Konsep tersebut
bisa dikatakan sama dengan apa yang ada dalam lingkaran hermeneutik (circle
of hermeneutic).[14]
Hermeneutika berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan
horison - horison (cakrawala) yang melingkupi teks tersebut. Horison yang
dimaksud adalah horison teks, pengarang, dan pembaca. Dengan memperhatikan
ketiga horison tersebut diharapkan suatu upaya pemahaman atau penafsiran
menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi makna teks, yang selain melacak
bagaimana suatu teks dimunculkan oleh pengarangnya dan muatan apa yang masuk
dan ingin dimasukkan oleh pengarang ke dalam teks, juga berusaha melahirkan
kembali makna sesuai dengan situasi dan kondisi saat teks dibaca atau dipahami.[15]
Dengan berkembangnya diskursus filsafat ke arah post-modernisme,
hermeneutik mulai berperan sebagai salah satu disiplin yang sangat kritis
terhadap metodologi memahami teks dan realitas. Tidak lagi sekedar disiplin
tentang teori penafsiran melainkan melebar menjadi metateori tentang teori
interpretasi. Peristiwa pemahaman terjadi ketika cakrawala makna historis dan
asumsi kita berpadu dengan cakrawala tempat karya itu berada. Hermeneutika
melihat sejarah sebagai dialog hidup antara masa lalu, masa kini, dan masa
depan.
IV. PEMIKIRAN HERMENEUTIKA HANS GEORG GADAMER
A. Hermeneutika
Filosofis Hans Georg Gadamer
Problem
hermeneutik pada intinya adalah terkait dengan proses menafsirkan teks yang
timbul ketika seorang mengalami alienasi terhadap teks dan maknanya.
Hermeneutika sendiri terbagi atas tiga tipologi yaitu, hermeneutik teori, hermeneutik
kritik dan hermeneutik filsafat. Pemikiran Gadamer didalam hermeneutikanya
termasuk kedalam hermeneutik filsafat.
Hermeneutik filsafat
adalah sebuah penafsiran yang selalu mempunyai arti proses produksi makna baru
dan bukan reproduksi makna awal.[16]
Hermeneutik filsafat
menolak scientific investigation of meaning sebagai dasar objektifitas.
Pandangan utama hermeneutik filsafat memandang ilmuan sosial atau penafsir dan
objek terkait dengan konteks tradisi, oleh karena itu manusia tidak dapat
dimulai dari pemikiran netral. Hermeneutik filsafat tidak menuju pada
pengetahuan murni (objective knowledge) yang harus melalui
prosedur ilmiah (dasein) secara eksplisit dan fenomenologi yang
dapat ditemukan dalam konteks sejarah.[17]
Bagi Hans Georg Gadamer
tugas hermeneutik tidak harus menemukan arti sebuah teks.[18]
Interpretasi bagi Gadamer tidak sama dengan mengambil suatu teks kemudian
mencari arti sebagaimana yang diletakkan oleh pengarang ke dalam teksnya. Arti
teks tidak hanya terbatas pada pengarang saja akan tetapi tetap terbuka
terhadap kemungkinan penafsiran terbaru sesuai dengan kreatifitas penafsir.
Bahkan baginya tidak ada jaminan bagi pengarang asli untuk menjadi penafsiran
ideal atas karyanya. Pandangan ini mengidentifikasikan suatu karya ilmiah yang
sudah dituangkan dalam tulisan sepenuhnya menjadi milik pembaca. Oleh karena
itu interpretasi tidak terbatas merekonstruksi makna tetapi juga memproduksi
makna.[19]
B. Hermeneutika dalam Sejarah dan Ilmu
Pengetahuan
Gadamer menegaskan bahwa setiap
pemahaman kita senantiasa merupakan suatu yang bersifat historis, dialektis dan
kebahasaan. Kunci bagi pemahaman adalah partisipasi dan keterbukaan bukan
manipulasi dan pengendalian. Menurut Gadamer hermeneutika berkaitan dengan
pengalaman bukan hanya pengetahuan, berkaitan dengan dialektika bukan
metodologi..[20]
Singkatnya, kerangka pemikiran (worldview)
dan pengetahuan (self-knowledge) manusia dibentuk dan mewujud dalam
seluruh proses sejarah. Dari sini dapat disimpulkan bahwa tugas utama
hermeneutik adalah memahami teks (baca: sejarah dan tradisi) dan hakikat
pengetahuan dalam tradisi hermeneutik filosofis Gadamer adalah pemahaman atau
penafsiran (verstehen) terhadap teks tersebut sesuai dengan situasi dan
kondisi sang penafsir.[21]
Bagi
Gadamer sangat sulit bagi seorang penafsir melepaskan begitu saja situasi
historisnya. Dalam memahami persoalan masa lalu tidak serta merta paham akan
situasi yang terjadi dalam kurun waktu yang lama. Karena itu suatu teks tidak
hanya disesuaikan dengan masa lampau, tetapi dapat pula disesuaikan dengan
situasi kita, dalam konteks kekinian bahkan juga bisa diproyeksikan ke masa
depan.[22]
Gadamer
juga mengemukakan bahwa penafsiran selalu merupakan proses sirkular. Penafsir
dan teks senantiasa terikat oleh konteks tradisinya masing-masing. Hal ini
menjadikan seorang penafsir sadar atau tidak selalu mempunyai pra-paham
tertentu terhadap teks yang ingin ditafsirkan. penafsir tidak mungkin melakukan
penafsiran dari sisi yang netral. Penafsir hanya mungkin dilakukan melaiui apa
yang Gadamer sebut sebagai the fusion of horizons, yakni mempertemukan
prapaham penafsir dan cakrawala makna yang dikandung teks. Dengan demikian,
dalam arti penafsir selalu merupakan re-interpretation, yang memahami
lagi teks secara baru dan makna baru.[23]
Menurut teori ini, proses penafsiran
seseorang dipengaruhi oleh dua horison, yakni cakrawala (pengetahuan) atau
horison yang ada di dalam teks dan cakrawala (pemahaman) atau horison pembaca.
Kedua horison ini selalu hadir dalam setiap proses pemahaman dan penafsiran.
Seorang pembaca teks akan memulai pemahaman dengan cakrawala hermeneutiknya.
Namun, dia juga memperhatikan bahwa teks yang dia baca mempunyai horisonnya
sendiri yang mungkin berbeda dengan horison yang dimiliki pembaca.[24]
Menurut Gadamer, sejarah atau
sosialitas masyarakat merupakan medium berlangsungnya semua sistem pengetahuan.
Sejarah sendiri merupakan sebuah perjalanan tradisi yang ingin membangun visi
dan horison kehidupan di masa depan. Hermeneutika seperti
yang digambarkan oleh Gadamer memperanggapkan pengetahuan yang bersifat steril,
bersih dari jejak kepentingan yang menindas. Gadamer menganggap interpretasi
merupakan unproblematic meditation of subject karena disatukan
oleh eksistensi mereka dalam suatu tradisi umum.
Bagi Gadamer hakikat hermeneutika
adalah ontologi dan fenomenologi pemahaman yakni, apa hakikat pemahaman dan
bagaimana mengungkapkannya sebagaimana adanya. Pemahaman selalu dapat
diterapkan pada keadaan kita pada saat ini, meskipun pemahaman itu berhubungan
dengan peristiwa sejarah, dialektik dan bahasa. Oleh karena itu pemahaman
selalu mempunyai posisi, misalnya posisi pribadi kita sendiri saat ini
pemahaman tidak pernah bersifat objektif dan ilmiah. Sebab pemahaman bukanlah
mengetahui secara statis dan di luar kerangka waktu, tetapi selalu dalam
keadaan tertentu. Misalnya dalam sejarah semua pengalaman yang hidup itu
menyejarah, bahasa dan pemahaman juga menyejarah. Interpretasi bukanlah sekedar
sesuatu yang ditambahkan atau dipaksakan masuk ke dalam pemahaman. Memahami
selalu dapat berarti membuat interpretasi. Oleh karena itu interpretasi secara
eksplisit adalah bentuk dari pemahaman.[25]
Dalam pandangan Gadamer, pemahaman manusia senantiasa merupakan
peristiwa historis, dialektik, dan linguistik.[26]
Dengan demikian, dalam sistem dan metode pengetahuan yang digagas oleh Gadamer,
kebenaran diperoleh melalui proses dialektika. Tujuan dari proses dialektika
adalah menggelitik realitas yang dijumpai, dalam hal ini teks, supaya
mengungkapkan dirinya. Oleh karena itu, dalam pandangan Gadamer, tugas
hermeneutik adalah mengeluarkan teks dari alienasinya, dan mengembalikannya ke
dalam dialog yang riil dengan kehidupan manusia di masa kini.[27]
BAGAN PROSES HERMEUNITIKA HISTORIKALITAS HANS GEORG GADAMER
![]() |
V. PANDANGAN ISLAM TERHADAP HERMENEUTIK HANS GEORG GADAMER
Dalam dunia pemikiran Islam,
terutama konsep interpretasi Al-Qur’an, hermeneurika tidak dengan mudah dapat
diterima. Setidak ada beberapa alasan penolakan Hermeneutika untuk diterapkan
dalam penafsiran Al-Qur’an:[28]
1) Dari aspek perkembangan historisnya,
Hermeneutika berasal dari tradisi kristiani, barat dan filsafat. Dan jika
ditarik lebih kebelakang, Hermeneutika berasosiasi dengan cerita dewa hermes,
si penerjemah bahasa dewa, yang sama sekali tidak dapat disamakan dengan wahyu
yang diterima Nabi Muhammad Saw.,
2) Kemapanan tradisi penafsiran
Al-Qur’an dalam dunia Islam, yang dinilai tidak memerluakan lagi tawaran baru
Hermeneutika,
3) Kerancuan Hermeneutika ketika
berhadapan dengan otentisitas Al-Qur’an. Hermeneutika hanya berpusat pada triadic
structure: teks, inrpreter dan audience saja. Sehingga ia tidak mengenal
otoritas interpretasi sebagaimana dalam Ilmu Tafsir, yaitu mengenai
siapa dan apa yang paling memiliki otoritas interpretasi, dan tidak dengan
mudah siapa saja dapat melakukan penafsiran pada seluruh teks, terutama seluruh
teks Al-Qur’an.
Apalagi teori Hermeneutika yang
menganggap bahwa penafsir dapat mengerti labih baik dibandingkan penulis
sendiri. Karena dalam Al-Qur’an diketahui terdapat ayat yang tidak dapat ditafsirkan
oleh siapapun, sejenius apapun dia. Selain relativitas tafsir, menurut
Adian Husaini, penerapan Hermeneutika juga berakibat buruk pada “kemapanan”
bangunan konsep Islam selama ini. Para hermeneut tidak segan-segan mencurigai
dan mencerca Ulama Islam, dan bahkan sampai menerjang “daerah-daerah” terlarang
seperti dekonstruksi konsep wahyu Al-Qur’an.[29]
VI. KESIMPULAN
Hermeneutika Gadamer merupakan suatu kritik terhadap positivisme
dengan menekankan pada subyek yang menafsirkan. Satu proposisi positivistik
yang dipandang oleh Gadamer sebagai istilah “haram” bagi hermeneutika, yaitu
generalitas. Kebenaran adalah kontekstualisasi (universalitas). Oleh karena
itu, menurut Gadamer, metodelogi yang digunakan adalah kualitatif dengan
pendekatan fenomenologis partisipan, yaitu memaknai realitas sosial atau
teks dengan memahami perilaku,
pemahaman, sikap, dan tindakan objek penelitian.
Sebagai kesimpulan akhir, penulis ingin
menyampaikan, filsafat hermeneutika Gadamer menjadi bagian penting dalam memaknai
realitas sosial. Bahasa tetap menjadi bagian penting dalam membongkar makna
bukan hanya terbatas pada rekonstruksi sosial. Bahasa sebagai alat membenturkan
teks,. tradisi, simbol, dengan realitas sosial. Jadi, proses memaknai perlu melalui pendekatan komprehensif dan ini menjadi ciri khas dalam ilmu hermeneutika.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Saidul.
2012. Filsafat Barat Abad 21. Pekanbaru: Daulat Riau.
Bertens, K. 2002. Filsafat Barat
Kontemporer: Inggris-Jerman. Jakarta: Gramedia.
Grondrin, Jean.
2007. Sejarah Hermeneutik; Dari Plato sampai Gadamer. Yogyakarta: Ar-ruz
Media.
Hardiman, F. Budi. 2003. Melampaui
Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan
Problem Modernitas. Yogyakarta: Kanisius.
Husaini, Adian.
2007. Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an,. Bandung: Gema Insani Press
Salahudin.
2011. Anatomi Teori Filsafat Hermeneutika Hans Georg Gadamer “Dialog
Historikalitas Dalam Memahami Teks”. Pascasarjana Universitas Muhammadiyah
Malang
Sumaryono. 1993. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius.
Kutipan dari Halaman Website tanggal 05 Oktober 2016
F. Budi Hardiman dalam diskusi komunitas salihara “ Filsafat
Hermeneutika Filosofis Hans Georg Gadamer” 25 Febuari 2014, dikutip pada
laman http://www.youtube.com
Hans Georg
Gadamer, Truth and Method, pdf, (London: Sheed and Ward, 1975)
Josef Bleicher,
Cotemporary Hermeneutics, pdf (London: Routledge and Kegen Paul)
Ponsa,
“Relevansi Konsep Gadamer tentang The Experience of History untuk Memaknai
Teks Kitab Suci yang Opresif”, dalam http://www.ponsa.wordpress.com
[1] Menurut sumber
lain Gadamer dilahirkan di kota Breslau,
lihat K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman (Jakarta:
Gramedia, 2002), h. 254.
[2] Hans Georg
Gadamer, dalam http://www.id.wikipedia.org,
diakses pada tanggal 05 Oktober 2016
[3] Saidul Amin, Filsafat
Barat Abad 21, (Pekanbaru: Daulat Riau, 2012), h. 109
[7] Hans Georg
Gadamer, dalam http://www.id.wikipedia.org,
diakses pada tanggal 05 Oktober 2016
[8] F. Budi
Hardiman dalam diskusi komunitas salihara “ Filsafat Hermeneutika Filosofis
Hans Georg Gadamer” 25 Febuari 2014, dikutip pada laman http://www.youtube.com pada tanggal 05 Oktober 2016
[10]Salahudin,
Anatomi Teori Filsafat Hermeneutika Hans Georg Gadamer “Dialog
Historikalitas Dalam Memahami Teks”. (Universitas Muhammadiyah Malang,
2011)
[11]F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan
Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas
(Yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 37.
[12]Jean Grondrin, Sejarah
Hermeneutik; Dari Plato sampai Gadamer, (Yogyakarta: Ar-ruz Media, 2007),
h. 10.
[13] Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 1993), h. 29
[14] Ibid.,
h. 31
[15] F. Budi
Hardiman dalam diskusi komunitas salihara “ Filsafat Hermeneutika Filosofis
Hans Georg Gadamer” 25 Febuari 2014, dikutip pada laman http://www.youtube.com pada tanggal 05 Oktober 2016
[16]
Josef Bleicher,
Cotemporary Hermeneutics, pdf (London: Routledge and Kegen Paul), h. 37
[17]F. Budi
Hardiman dalam diskusi komunitas salihara “ Filsafat Hermeneutika Filosofis
Hans Georg Gadamer” 25 Febuari 2014, dikutip pada laman http://www.youtube.com pada tanggal 05 Oktober 2016
[18] Hans Georg Gadamer, Truth and Method, pdf (London: Sheed
and Ward, 1975), h. 264.
[19] Ibid
[20] Kaelan, Filsafat Bahasa:Realitas Bahasa
Hermeneutika dan Postmodernisme, (Yogyakarta: Paradigma: 2002), h. 208
[21] Sumaryono, Hermeneutik
Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 80
[22] F. Budi
Hardiman dalam diskusi komunitas salihara “ Filsafat Hermeneutika Filosofis
Hans Georg Gadamer” 25 Febuari 2014, dikutip pada laman http://www.youtube.com pada tanggal 05 Oktober 2016
[23] Ibid
[24] F. Budi
Hardiman dalam diskusi komunitas salihara “ Filsafat Hermeneutika Filosofis
Hans Georg Gadamer” 25 Febuari 2014, dikutip pada laman http://www.youtube.com pada tanggal 05 Oktober 2016
[25] Sumaryono, Hermeneutik
Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 76
[26] F. Budi
Hardiman dalam diskusi komunitas salihara “ Filsafat Hermeneutika Filosofis
Hans Georg Gadamer” 25 Febuari 2014, dikutip pada laman http://www.youtube.com pada tanggal 05 Oktober 2016
[27] Ponsa, “Relevansi Konsep Gadamer tentang The
Experience of History untuk Memaknai Teks Kitab Suci yang Opresif”, dalam http://www.ponsa.wordpress.com, 05 Oktober 2016
[28]
Adian Husaini, Hermeneutika dan Tafsir Al-Qur’an, (Bandung: Gema Insani
Press, 2007), h. 1-7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar