PERKEMBANGAN RADIKALISME DI DUNIA ISLAM:
ISLAMIC STATE IRAQ AND SYRIA (ISIS) DAN MUJAHIDDIN
Debri Koeswoyo,
Surma Hayani dan Jahra
Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin
Universitas
Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
Abstrak
Diskursus Islam dan politik tidak
pernah selesai dibicarakan sampai dekade saat ini. Gerakan radikalisme dalam
wacana Negara Islam mencapai puncak ancaman peradaban manusia. Fundamentalisme
agama atau pemahaman agama secara eksklusif dipandang sebagai dasar lahirnya
radikalisme. Seruan pendirian Negara Islam Iraq dan Syria yang dipelopori Abu
Bakar al-Baghdad dan gerakan Mujahiddin di Afganistan telah melukai jutaan
umat Muslim baik sacara moril maupun materil. Demi memuluskan jalan pembentukan
Negara Islam, bayang-bayang ancaman terorisme dan peledakan bom dari mereka
yang mensuarakan Negara Islam bukan sekedar cerita belaka namun fakta yang
menderitakan umat Muslim sendiri. Gerakan radikalisme-terorisme sendiri bukan
hanya disebabkan karena pemahaman eksklusif keagamaan tetapi memiliki faktor
lain seperti kepentingan ekonomi politik, hegemoni Dunia Barat dan westtoxivication
(meracuni budaya asli suatu bangsa).
Kata Kunci: Radikalisme-Terorisme,
ISIS, Mujahiddin
I.
PENDAHULUAN
Munculnya isu-isu radikalisme Islam merefleksikan persoalan
keagamaan, politik, ekonomi dan budaya yang dihadapi kaum muslimin. Kapitalisme
dan imperialisme dunia Barat abad ke 16 sampai akhir abad 20 di dunia Timur
khususnya di negara-negara Islam meninggalkan luka yang sangat mendalam. Tidak
sampai disini, kemerdekaan yang telah diperoleh Negara-Negara Islam juga tidak
seratus persen bebas dari kolonialisme Dunia Barat. Sistem politik, ekonomi dan
budaya yang cenderung ateis menjadi bangunan kokoh di dunia Islam akibat
imperialisme ini. Kondisi yang berbeda antara sistem keyakinan yang sudah
dianut di kawasan dunia Islam dengan masyarakat Barat menimbulkan sebuah
ketegangan antara Timur dan Barat.
Fenomena
historis-sosiologis merupakan wacana yang dibicarakan dalam persoalan politik
dan peradaban manusia. Ekspansi Amerika ke wilayah Irak tahun 2001 dengan dalil
adanya senjata pemusnah massal yang diciptakan Saddam Husein menjadi ancaman
politik di negara Irak sendiri.
Penguasaan tentara Amerika terhadap kilang minyak, zona ekonomi eksklusif
lautan Irak membawa keuntungan ekonomis bagi Amerika. Penguasaan Uni Soviet
akan Afganistan tahun 1979 melahirkan
kelompok Mujahidin Islam yang datang dari seluruh dunia Islam untuk
menghentikan invasi Uni Soviet terhadap Afganistan.
Solidaritas kaum
Muslimin di seluruh dunia dengan kesadaran tertindasnya negara-negara Islam
memunculkan berbagai gerakan penolakan anti-Barat. Fenomena anti Barat yang
disuarakan kaum Muslimin menjadikan media Barat dalam
mengampanyekan label radikalisme Islam. Dalam perspektif Barat, gerakan Islam
sudah menjadi fenomena yang perlu dicurigai. Terlebih-lebih pasca hancurnya
gedung WTC New York 11 September 2001 yang menurutnya dilakukan oleh kelompok
Islam garis keras (Al-Qaeda dan Taliban), semakin menjadikan term radikalisme
Islam lebih mengglobal yang berimplikasi pada sikap kecurigaan masyarakat
dunia, terutama bangsa Barat dan Amerika Serikat, terhadap gerakan Islam.
Praktik-praktik
kekerasan yang dilakukan sekelompok Islam untuk mewujudkan Negara Islam yang
bebas dari Barat dengan membawa simbol-simbol agama telah dimanfaatkan oleh
orang-orang Barat dengan memanfaatkan media massa sebagai alat utama dalam
memegang tampuk wacana peradaban, sehingga Islam terus menerus dipojokkan oleh
publik. Semisalnya, ISIS (Islamic State
Iraq And Syria) dengan
semboyan syahadat dan symbol stempel nabi dan kelompok mujahidin dengan
semboyan Allahu Akbar.
Tulisan
ini menekankan pada karakteristik umum pandangan keagamaan, wawasan politik dan
beberapa fenomena gerakan ideologi radikalisme yang muncul dikawasan Islam
khususnya ISIS dan Mujahiddin. Pembahasan yang bertujuan untuk mengungkap
motivasi sesunggunya akar ideologis yang mendorong gerakan radikal menjawab
tantangan yang dihadapi umat Muslim diseluruh dunia. Islam
tidak memiliki keterkaitan dengan gerakan radikal, bahkan tidak ada pesan moral
Islam yang menunjuk kepada ajaran radikalisme baik dari sisi normatif maupun
historis kenabian.
Radikalisme-terorisme yang selalu mengarah ke dunia Islam menjadi
masalah internal kaum Muslimin. Apakah
pembentukan Negara Islam yang menjadi cita-cita ISIS dan Mujahiddin sesuai
dengan Al-Qur’an dan Sunnah?, serta bagaimana jalan kekerasaan yang ditempuh
kelompok ekstrimisme ini? Apakah dapat dibenarkan atau tidak.
II.
PENGERTIAN RADIKALISME-TERORISME DALAM ISLAM
Dalam sejarah umat manusia, termasuk umat Muslim, radikalisme
selalu muncul dalam pemikiran maupun gerakan. Radikalisme pemikiran didasarkan
pada keyakinan tentang ide, nilai dan pandangan yang dimiliki oleh seseorang
yang dinilainya paling benar dan menganggap yang lain salah. Sedangkan
radikalisme tindakan atau gerakan ditandai oleh suatu aksi ekstrem yang
dilakukan untuk mengubah suatu keadaan seperti yang diinginkan. Dalam politik,
contoh gerakan yang dikategorikan sebagai radikal adalah tindakan makar,
revolusi, demonstrasi dan protes sosial anarkis.[1]
Sedangkan menurut Azyumardi Azra bahwa, radikalisme mengacu pada
gagasan dan tindakan kelompok yang bergerak untuk menumbangkan tatanan politik mapan,
negara-negara atau rezim-rezim lain, yang bertujuan melemahkan otoritas politik
dan legitimasi negara-negara dan rezim-rezim lain dan negara-negara yang
berusaha menyesuaikan atau mengubah hubungan-hubungan kekuasaan yang ada dalam
sistem internasional. Istilah radikalisme karenanya secara intrinsik berkaitan
dengan konsep tentang perubahan politik dan sosial pada berbagai tingkatan.[2]
Radikalisme adalah
gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam
mengajarkan keyakinan mereka.[3] Islam
tidak pernah membenarkan praktik penggunaan kekerasan dalam menyebarkan agama,
paham keagamaan, serta paham politik. Tetapi memang tidak bisa dibantah bahwa
dalam perjalanan sejarahnya terdapat kelompok-kelompok Islam tertentu yang
menggunakan jalan kekerasan untuk mencapai tujuan politis atau mempertahankan
paham keagamaannya secara kaku yang dalam bahasa peradaban global sering
disebut kaum radikalisme Islam.
Istilah
radikalisme Islam berasal dari media massa Barat untuk menunjuk gerakan Islam garis
keras (ekstrim, fundamentalis, militan). Fenomena radikalisme yang dilakukan
oleh sebagian kalangan umat Islam, oleh pers Barat dibesar-besarkan, sehingga
menjadi wacana internasional dan terciptalah opini publik bahwa Islam itu
mengerikan dan penuh dengan kekerasan.[4]
Akibatnya tidak jarang image-image negatif banyak dialamatkan kepada Islam
sehingga umat Islam terpojokkan sebagai umat perlu dicurigai.
Aksi
tutup mulut para elit politik Barat atau aksi bicara dalam kepura-puraan ketika
melihat praktik kekerasan yang dilakukan oleh ekstrimis Yahudi atau pun serdadu
Israel atas orang-orang Arab Palestina.[5]
Apa yang dilakukan oleh kelompok-kelompok pelaku kekerasan ini secara faktual
sama dengan apa yang dilakukan oleh kelompok pelaku garis keras “radikalisme
Islam.” Ketika pendiskreditan radikalisme hanya pada Islam pastinya ekstrimis
Yahudi lebih radikal dibandingkan dengan apa yang mereka sebut radikalisme
Islam.
Konsep tentang terorisme menurut Noam Chomsky,[6]
masih tidak jelas dan pada umumnya orang saling berbeda tentang definisi
terorisme.[7]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, terorisme ialah penggunaan kekerasan
untuk menimbulkan ketakutan dl usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik);
praktik tindakan terror.[8]
Dalam artian istilah terorisme lebih mengarah kepada taktik untuk mencapai
tujuan tertentu.
Pada tahun 1980, badan intelligent Amerika Serikat CIA (Central
Intellegence Agency) mendefinisikan terorisme sama dengan ancaman atau
penggunaan kekerasaan untuk tujuan politik yang dilakukan oleh individu atau
kelompok, atas nama atau menentang pemerintahan yang sah, dengan menakuti
masyarakat secara luas.[9]
Semua pengertian terorisme seperti yang telah diuraikan diatas
menunjukan adanya tujuan pokok menakuti masyarakat dan menimbulkan sebuah
kegelisahan. Kata “terorisme” sendiri berarti sebuah pelabelan terhadap suatu
tindakan nirkekerasaan. Pelabelan kata terorisme sendiri pada umumnya
dimenangkan oleh mereka yang berkuasa atas rakyat dan mereka lebih kuat atas
yang lemah.[10]
Dengan pembelian label dari pihak yang kuat kepada pihak yang lemah
maka tindakan apapun yang diberikan oleh kelompok yang terkuat dapat
dibenarkan. Gambaran ini dapat dilihat dari dukungan Amerika Serikat kepada
penguasaan Israel atas tanah dan rakyat Palestina. Perlawanan rakyat Palestina
kepada Israel dianggap sebagai suatu tindakan ekstrimis dan teroris, maka
gempuran bom dan tank atas rakyat yang tanpa bersenjata dan tidak berdaya
dianggap sah dan benar oleh “komunitas internasional”.
Bentuk aksi terorisme dari waktu ke waktu selalu berubah dan
mengalami perubahan. Terorisme klasik dan terorisme modern. Salah satu bentuk
terorisme klasik ialah ekspansi wilayah ( Israel akan Palestina, Uni Soviet
akan Afganistan), pembunuhan massal (
Rezim Hitler yang membantai Yahudi Jerman), penyanderaan, sabotase, dan
pembajakan. Namun, terorisme modern lebih berbahaya dibandingkan dengan
terorisme klasik.
Terorisme modern mengantarkan kepada suatu terror yang diarahkan
kepada kelompok suku, ideology, atau agama tertentu dengan memberikan pelabelan
dan pengelabuan realitas.[11]
Noam Chomsky, berani menuduh bahwasannya Amerika Serikat sebagai negara teroris
yang teriak teroris. Menurutnya, AS telah menciptakan cerita historis
dalam mengkondisikan atau menciptakan aksi terror di berbagai
wilayah, seperti Nikaragua, El Salvador, Palestina dan Libanon. Betapapun,
Amerika mampu membungkus dengan halus kegiatan terror yang menakutkan itu atas
nama teroris internasional dan Amerika Serikat adalah negara dengan
kewajiban memerangi para terorisme atas nama perdamaian global.[12]
Ideologis terror yang dilakukan Amerika Serikat telah menciptakan
sosok terror yang immaterial, yaitu terror yang tidak menyebabkan kerusakan
fisik secara langsung, melainkan kerusakan psikologis atau pikiran, yang
disebut dengan soft-terorrism. Soft-terorrism adalah penciptaan
berbagai citra dan ilusi tentang Amerika
Serikat dalam relasinya dengan bangsa dan negara lainnya dan melakukan intervensi
subjektivitas yang memaksa masyarakat global memaksakan pemaknaan akan
terror dan terorisme.[13]
Douglas Keller, seorang pengamat media, mengatakan bahwa didalam
beberapa rezim kepresidenan Amerika Serikat masa lalu seperti Bush, Reagan,
Clinton media mainstream seperti Times, New York Times dan Washington
Post menjadi media Gedung Putih dan menyiarkan berbagai kebijakan perang
Pentagon terhadap penanganan terorisme terutama menyangkut radikalisme Islam.[14]
Label
Islam untuk menyebut gerakan fundamentalis sangat menyenangkan bagi pers Barat
ketimbang label Tamil di Srilangka, militan Hindu di India, IRA (kelompok
bersenjata Irlandia Utara), militan Yahudi sayap kanan, sekte kebatinan di
Jepang atau bahkan musuh lamanya, komunis-marxis yang tidak jarang menggunakan
jalan kekerasan sebagai solusi penyelesaian masalah.
وَقَٰتِلُواْ
فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱلَّذِينَ يُقَٰتِلُونَكُمۡ وَلَا تَعۡتَدُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ
لَا يُحِبُّ ٱلۡمُعۡتَدِينَ ١٩٠
Artinya: Dan
perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah
kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas ( Q.S. Al-Baqarah 2: 190).[15]
Pada dasarnya, radikalisme Islam bergelora melalui penggunaan
bendera jihad untuk memperjuangkan agama. Suatu ideologi yang kerap kali
mempunyai fungsi menggugah militansi dan radikalisasi umat. Selanjutnya, radikalismeIslam
diwujudkan dalam konteks pemberlakuan syariat Islam yang dianggap sebagai
solusi alternatif terhadap penyelesaian masalah bangsa.
Dengan
demikian, jelas bahwa label radikalisme yang dialamatkan oleh Barat kepada
Islam merupakan pelecahan agama karena di dalam Islam tidak ada perintah menuju
kekerasan. Istilah salah kaprah itu sesungguhnya tidak perlu terjadi jika Barat
mau mengkaji Islam secara objektif bahwa Islam normatif terkadang tidak
diimplementasikan oleh sekelompok Muslim dalam konteks historis-sosiologis.
Islam berbeda dengan perilaku Muslim, artinya kebutralan (radikalisme) yang
dilakukan oleh sekelompok Muslim tidak dapat dijadikan alasan untuk menjadikan
Islam sebagai biang keladi radikalisme.
III.
KELOMPOK
RADIKALISME ISLAM; ISIS DAN MUJAHIDDIN
A. ISIS
(ISLAMIC STATE IRAQ AND SYRIA)
ISIS singkatan dari Islamic State of Iraq and Syria
merupakan kelompok radikal yang memiliki cita-cita mendirikan sebuah negara
yang berlandaskan syariat Islam. Ada yang memandang bahwa kelompok ini pada
awalnya merupakan binaan maupun ciptaan al-Qaeda untuk wilayah Irak. Namun,
kelompok ini akhirnya meluas di Suriah (Syria) manakala terjadi konflik di
wilayah tersebut.[16]Hal
tersebut signifikan dengan ungkapan Arifin yang mengutip pendapat Can Acun yang
menyatakan bahwa ISIS merupakan organisasi Islam radikal baru yang merupakan
metamorfosis dari al-Qaeda. Sebagaimana al-Qaeda, ISIS juga ingin melaksanakan
jihad dalam pengertian sebagai perang melawan kekuatan anti-Islam yang pada
akhirnya negara Islam (daulah khilāfah Islāmiyah) bisa didirikan. Karena
secara ideologi tidak berbeda dengan al-Qaeeda, maka ISIS disebut sebagai
Neo-al Qaeda.[17]
ISIS juga dikenal dengan sebutan Islamic State Iraq and Levant
(ISIL). Kelompok ini memang bermula dan didukung oleh berbagai kelompok
perlawanan Sunni, seperti: Mujahiddin Shaura Council, Islamic State of Iraq (ISI),
Al-Qaedah in Iraq (AQI), Jays al-Fatihin, Jund al-Sahaba, Katbiyan
Anshar al-Tawhid wal Sunnah dan Jiesh al-Taifah al-Mansoura, serta
sejumlah kabillah Sunni di Iraq.[18]
Diskriminasi politik dan ekonomi yang dialami oleh kaum Sunni Iraq pasca
tumbangnya rezim Saddam Husein dan ekspansi Amerika Serikat ke wilayah Irak
membantu bertambanhya dukungan kepada kelompok ini.[19]
Pasca tumbangnya Saddam Husein dan masuknya Amerika Serikat ke Irak
dengan dalil mencari senjata pemusnah massal yang disembunyikan kelompok pro
Saddam Husein. Amerika Serikat berkolaborasi dengan kelompok minoritas Syiah
untuk menumpas dan menguasai cadangan minyak serta jalur transportasi laut dari
kelompok Sunni. Pertikaian dan perang didalam negeri ini akibat konflik antar
mazhab memunculkan salah satu tokoh yang disegani oleh rakyat Irak yang
mayoritas Sunni yaitu Abu Musa al-Zarqawi dari Katbiyan Anshar al-Tawhid wal
Sunnah.[20]
Setelah Abu Musa al-Zarqawi meninggal, pangku kepemimpinan di
pegang oleh Abu Umar al-Baghdady. Kepemimpinan Abu Umar tidak berjalan lama, ia
tewas terbunuh dan digantikan oleh Abu Bakar al-Baghdady (khalifah yang
membaiat dirinya sebagai khalifah Darul Islam/ Pimpinan ISIS).
Di bawah kepemimpinannya, ISIS menyatakan diri untuk bergabung
dengan Front Al Nusra, kelompok yang menyatakan diri sebagai satu-satunya
afiliasi Al-Qaidah di Suriah. ISIS memiliki hubungan dekat dengan Al-Qaeda
hingga tahun 2014. Namun karena misi berbelok dari misi perjuangan nasional
dengan menciptakan perang sektarian di Irak dan Suriah dan penggunaan aksi-aksi
kekerasan, Al-Qaidah lalu tidak mengakui kelompok ini sebagai bagian darinya
lagi. Abu Bakar al-Baghdadi bahkan bersumpah untuk memimpin penaklukan Roma.
Pemimpin militan ISIS Abu Bakar al-Baghdadi ini juga menyerukan umat Islam
untuk tunduk kepadanya.[21]
Kelompok Jabhah Nusrah yang menjadi pembela umat Muslim Sunni dari
kekejaman rezim Bashar Al-Assad ditikam oleh ISIS dari belakang sehingga kota
Roqqah dan Iqlib dikuasai oleh ISIS. Hal inilah yang menjadi cerminan
bahwasannya kelompok ISIS bukanlah kelompok jihad yang bermazhab lurus dan
seluruh ulama sepakat akan hal ini.[22]
ISIS dikenal karena interprestasinya yang kaku terhadap ajaran
Islam, dan juga tindakan kekerasaan yang dilakukanya terutama terhadap kaum
Syiah dan Kristiani. Konsep inilah yang dipakai ISIS sebelum dipimpin oleh Abu
Bakar al-Baghdady.
Dalam waktu yang bersamaan, ISIS bermaksud untuk menegakan Islam
yang berorientasi pada salafi ekstrem di Iraq, Suriah dan beberapa kawasan
disekitar Syria. Namun, beberapa peneliti sarjana Muslim, menjelaskan
bahwasannya ISIS bukanlah kelompok slafi melainkan kelompok Neo-Khawarij sesat
yang merencanakan untuk menegakan kekaisaran anti-Islam.[23]
ISIS yakin bahwa hanya kelompok nyalah yang memiliki otoritas yang
sah untuk memerintahkan dan melaksanakan jihad. Sehingga kelompok Hamas di
Palestina dianggap menyimpang dan tidak memiliki otoritas yang sah untuk
melakukan jihad. Sarah Birke seorang jurnalis internasional, menjelaskan
bahwasannya Al-Nusra Front dan ISIS memiliki perbedaan yang sangat jauh,
ISIS cenderung untuk menegakan
pemerintahan sendiri.
Setelah mengalami kemunduran di tahun 2012 akibat tidak didukungnya
gerakan ISIS oleh Al-Qaeda, ISIS melakukan perekrutan anggota hingga mencapai
12.000 tentara yang menyebar di Iraq dan Suriah. Penggunaan media sosial oleh
ISIS sebagai media perekrutan anggota terlihat sangat efektif. Beberapa
panglima perang mereka berasal dari Indonesia, Filipina, Afganistan bahkan
datang dari Eropa seperti Prancis dan Inggris.
Aliansi negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi dan Qatar dan
negara adidaya Amerika Serikat tampaknya hanyalah sebuah kepentingan politik
dan ekonomi untuk menguasai Suriah. Ketika pemberontakan Suriah berubah menjadi
perang saudara, Amerika Serikat menjadi negara yang seharusnya bertanggung
jawab. Pendanaan dan dukungan yang diberikan Amerika Serikat kepada ISIS guna
menggoyahkan pemerintahan Bashar Al-Assad dan mengurangi dukungan Iran kepada
Suriah.[24]
Perkembangan terakhir menunjukan bahwasannya ISIS memang menjadi
sasaran guna memuluskan berbagai kepentingan politik, ekonomi dan hegemoni
Amerika Serikat diwilayah Timur Tengah. Ada beberapa penyimpangan yang
dilakukan ISIS dibawah rezim Abu Bakar al-Baghdady.[25]
1.
Berlebih-lebihan
dalam masalah penghukuman, seperti memamerkan kepala-kepala orang yang mereka
penggal di media sosial
2.
ISIS
memfatwakan perbudakan seks diperbolehkan
3.
ISIS
mengkafirkan orang-orang yang tidak sekelompok dengannya walaupun bersyahadat
dan beraqidah sehingga darahnya halal untuk dibunuh.
4.
ISIS
bekerjasama dengan rezim Bassar Al-Assad untuk memusnahkan kelompok mujahidin
Suriah dengan memberikan informasi keberadaannya.
5.
Perampokan
Bank dan rakyat kecil menjadi kegiatan untuk mengumpulkan pendanaan ISIS.
B. MUJAHIDDIN AFGANISTAN ( TALIBAN)
Afganistan adalah sebuah
negara Islam yang terletak di Asia Tengah. Sepanjang abad ke-16 dan ke-21
terjadi peperangan hingga turun-temurun berebut kekuasaan, mulai dari perang
antar suku di Afghanistan hingga perang dengan negara lain seperti Inggris, Uni
Soviet dan Amerika Serikat. Ekspansi Uni Soviet di Tahun 1979 memunculkan
perlawanan rakyat Afganistan dengan sebutan Mujahiddin yang tidak hanya berasal
dari Afganistan tetapi juga dari Asia
Tenggara terutama Indonesia dan Malaysia. Taliban menjadi sebutan yang
diberikan dunia Barat terutama Amerika Serikat terhadap gerakan yang disebut
dengan radikalisme-Islam. Ada satu aspek
dari Taliban yang
sangat dibenci Barat,
terutama Amerika Serikat, yaitu Taliban akan membangun Afghanistan
dengan Syari’at Islam.[26]
Taliban disebut-sebut sebagai kelompok perlawanan Islam paling
penting dalam sejarah Afghanistan kontemporer. Pada awal kemunculannya pada
tahun 1994, para pengamat politik, terutama dari Barat, memang belum begitu
menempatkan Taliban sebagai sebagai entitas penting dalam menggambarkan politik
di dunia Islam.[27]
Namun studi mengenai Taliban kemudian mulai meningkat secara signifikan
menjelang akhir tahun 1990, dan semakin masif setelah terjadi peristiwa 11
September pada tahun 2001.
Pasca tragedi WTC Presiden Amerika Serikat saat itu, George W.
Bush, seakan tak mau ketinggalan dengan mengumumkan sebuah ultimatum
terkenalnya terhadap publik dunia: “With us [Amerika Serikat], or
with terrorist.”[28]
Di bawah
bendera perang melawan
terorisme, pemerintah Taliban
di Afghanistan diserang tanpa ampun.[29]
Hal ini tentu saja terkait dengan keengganan pemerintah Taliban yang dipimpin
oleh Mullah Muhammad ‘Umar menyerahkan Usamah
bin Ladin, seorang
berkebangsaan Arab Saudi
yang dituduh oleh Amerika sebagai aktor intelektual
peristiwa atau serangan 11 September 2001.6 Serangan Amerika
Serikat terhadap Taliban
kemudian menjadi proyek
besar-besaran Amerika Serikat
dalam agenda ‘perang
melawan terorisme’ yang diarahkan untuk mengejar “teroris Islam”
yang membahayakan kepentingan Barat, dan Amerika Serikat khususnya.[30]
Seiring dengan itu, Amerika Serikat juga dapat menggugat
Taliban dengan mengatasnamakan Hak Asasi Manusia yang mengandung nilai-nilai
Barat karena menggugat penerapan Hukum Islam yang disebut Barat sangatlah
ketat. Taliban memang benar-benar serius melakukan pembangunan hukum dan
identitas melalui program-program kenegaraan meliputi cara berpakaian, tata
politik pemerintahan, ekonomi, sosial dan lainnya.[31]
Bagaimanapun, momentum perang melawan invasi Uni Soviet menggerakan
aktifis-aktifis Islam, baik dari dalam Afghanistan maupun dari seluruh penjuru
dunia, untuk bisa ikut menyumbangkan tenaganya dalam menghancurkan komunisme,
mereka inilah yang kemudian disebut sebagai Mujahidin. Ketika gerakan-gerakan
Islam dengan para aktifisnya mulai menjadikan Afghanistan sebagai sebuah
“sekolah jihad”, perkembangan infrastruktur militer beserta gagasan-gagasan
ideologis bertemakan Islam dan jihad semakin mengakar di Afghanistan. Hal ini
tentu saja didukung dengan kondisi psiko-sosial bangsa Afghan yang selalu
berdenyut perang.[32]
Secara
otomatis, Afghanistan menjadi sebuah negara strategis bagi para aktifis
gerakan-gerakan jihad nasional maupun internasional. Kebanyakan aktifis-aktifis
gerakan jihad tersebut juga merupakan alumni perang Afghan dalam medan melawan
Uni Soviet. Hanya ada dua pilihan bagi para aktifis itu: kembali ke negerinya
sebagai buron, atau kembali ke Afghanistan dan mulai membangun konsolidasi
untuk melawan Amerika Serikat.[33]
Pemerintahan Islam Taliban di Afghanistan menjelma menjadi sebuah
teror bagi Amerika Serikat, mengingat pemerintahan ini telah menampung
prajurit-prajurit yang di dalam akal dan hatinya telah tersimpan dendam yang
kuat terhadap Amerika Serikat. Sementara di bawah Taliban, aktifis-aktifis
gerakan jihad tersebut tak lagi dipanggil sebagai Mujahdin, namun
sebutan-sebutan opositif semacam “Fundamentalisme Islam”,
“Islam radikal”, “Teroris
Islam”, atau “Militan Islam”.
Amerika Serikat dan
Barat bisa saja
berteriak-teriak dengan isu demokrasi
dan hak asasi manusia, bahwa pemerintahan Taliban itu
“bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan” mereka yang
dijunjung tinggi dan diglobalkan. Namun apakah demikian
dengan Taliban dan para “fundamentalis Islam” layaknya
Usamah bin Ladin peduli dengan itu semua? Jawabannya tentu tidak. Maka
dengannya, pilihan militer tentu menjadi opsi terbaik bagi AS untuk
menunjukkan “siapa yang kuat”, bukan “siapa yang benar”. Barat mungkin
akan
terus menjerit, “Lihatlah, di sana telah ada negara yang menerapkan syari’at Islam,
mereka Taliban! Itu adalah gagasan yang bertolak-belakang dengan nilai-
nilai demokrasi kita!”[34]
“Hari ini ISAF menggulung benderanya dalam atmosfer kegagalan dan
kekecewaan tanpa meraih hasil yang substansial atau cukup terlihat….
Kami menganggap langkah ini sebagai indikasi yang nyata atas
kekalahan dan kekecewaan mereka.”
(Zabihullah Mujahid, juru bicara Taliban Afghanistan, 29
Desember 2014)[35]
Inilah politik global Amerika Serikat dan Barat, juga, tentu saja,
keadaan strategis kekuatan Islam dalam mempertahankan identitas dan mencoba
membangun kembali hegemoni. Tidak heran mengapa Amerika Serikat dan Barat
begitu gencar terhadap para “Radikalisme Islam” ini. Terkait, pada masa ini
Amerika Serikat harus menghadapi kekuatan sistematis pemerintahan Islam Taliban
yang menaungi resisten-resisten Islam yang mendeklarasikan perang melawan
Amerika Serikat, yang sebelumnya Amerika Serikat hanya menangani
gerakan-gerakan resisten Islam lokal-nasional, itupun dibantu oleh
penguasa-penguasa sekuler.
KESIMPULAN
Praktik kekerasan
(radikalisme) yang dilakukan oleh sekelompok umat Islam di belahan Bumi Timur
Tengah seperti ISIS dan Mujahiddin tidak dapat dialamatkan kepada Islam saja
sehingga propaganda media Barat yang memojokkan Islam dan umat Islam secara
umum tidak dapat diterima. Islam tidak mengajarkan radikalisme, tetapi perilaku
kekerasan sekelompok umat Islam atas simbol-simbol Barat memang merupakan
realitas historis-sosiologis yang dimanfaatkan media pers Barat untuk memberi
label dan mengampanyekan anti-radikalisme Islam.
Identitas keislaman
(kesadaran umum sebagai Muslim) memang menjadi identitas yang tepat dan
referensi yang efektif bagi gerakan radikalisme. Tetapi faktor eksternal yaitu
dominasi dan kesewenang-wenangan Barat atas negeri-negeri Muslim merupakan
faktor yang lebih dominan yang memunculkan radikalisme Muslim sebagai reaksi.
Jadi jelas, bahwa radikalisme muncul dari kebanggan (identitas keislaman) yang
terluka (oleh Barat), kekuatan media Barat dalam merepresentasi Islam, tekanan
politik penguasa terhadap keberadaannya, emosi keagamaan, faktor kultural,
tidak menerima perbedaan, ideologis anti westernisme, dan faktor kebijakan
pemerintah.
Solusi-solusi yang muncul harus dapat mencakup
kompleksitas permasalahan yang kesemuanya harus berangkat dari kearifan para
pemimpin Barat dan juga negeri-negeri Muslim untuk mampu membaca fenomena
perkembangan zaman yang mencerminkan aspirasi dari kalangan Muslim. Di samping
itu, perlu dipertimbangkan konsep penting religious revolution dan religion
subcultures yang ditandai dengan adanya penghargaan terhadap pluralitas dan
mendudukkan kondisi sosial-politik dan ekonomi supaya tidak terjadi kekerasan
agama.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin,
Syamsul, 2015, Studi Islam Kontemporer Arus Radikalisasi dan
Multikulturalisme di Indonesia, Malang: Intrans Publishing
Azra,
Azyumardi, et.al, 1996, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme,
Modernisasi Hingga Postmodernisme, Jakarta: Paramadina
Baidhawy,
Zakiyuddin, 2002, Ambivalensi Agama Konflik dan Nirkekerasan, Yogyakarta:
LESFI
Bashori, Ahmad
Dumyathi (ed.), 2001, Osama bin Laden Melawan Amerika, Bandung: Penerbit
Mizan
Chomsky, Noam,
2001, Maling Teriak Maling: Amerika Sang Teroris, Bandung: Mizan
Haryono, Endi
dan Rahmi Yunita, 1998, Politik Muslim: Wacana Kekuasaan dan Hegemoni dalam
Masyarakat Muslim, Yogyakarta: Tiara Wacana
Husaini, Adian,
2005, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular
Liberal, Jakarta: Gema Insani Press
Ismail, Noor
Huda, 2010, Temanku Teroris? Saat Dua Santri Ngruki Menempuh Jalan Berbeda,
Bandung: Hikmah, Cet. III
Jainuri,
Achmad, 2016, Radikalisme dan Terorisme Akar Ideologi dan Tuntutan Aksi,
Malang: Instrans Publishing
Keller,
Douglas, 1992, The Persian Gulf TV War,New York: Westview. PDF
May, Asmal,
2016, Menyingkap Takbir Paham Salafi, Wahabi, ISIS dan Gafatar, Pekanbaru:
Suska Press
Nasution,
Harun, 1995, Islam Rasional, Bandung: Mizan
Piliang, Yasraf
Amir, 2011, Bayang-Bayang Tuhan: Agama dan Imajinasi,Bandung: Mizan Publika,
Rahman,
Musthafa Abd, 2002, Afganistan di Tengah Arus Perubahan: Laporan dari
Lapangan, Jakarta: Kompas dikutip pada laman http://www.kompas.com
Samantho,
Yanuana Ahmad, 2014, Sejarah ISIS dan Illuminati, Jakarta: Ufuk
Publishing House
Samad, Duski, Radikalisme
dan Antisipasi ISIS, Bahan Rapat Kordinasi Pemda dengan MUI dan Pimpinan
Ormas Islam, Rabu, 13 Agustus 2014, Auditorium Gubernur Sumatra Barat.
Yayasan
Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an Departeman Agama Republik Indonesia,
Al-Qur’anul Karim,
Yudha,
Syaifullah Z., 2007, Pion-pion Iblis: Para Penghujat Islam Dari Salman
Rushdie hingga George W. Bush, Jakarta: Pustaka al-Kautsar
Diskusi Pemikiran
Hyper-Reality Jean Baudrillard oleh Dr. Saidul Amin, MA dalam kelas A Aqidah Filsafat Semester IV Fakultas
Ushuluddin UIN Suska Riau.
Dapertemen
Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar
Jaringan, didownload pada laman http://ebsoft.web.id
Lembaga Kajian
Syamina Edisi XVI/November-Desember 2014 Kegagalan Amerika Serikat di
Afghanistan dikutip pada laman http://www.syamina.co
http://www.wikipedia.com diakses
pada tanggal 25 September 2016
http://twf.terorrism.org dalam artikel Realpolitic, Definition of
Terorrism, Terorrism Research, War On Terorrism diakses pada tanggal 25
September 2016
[1] Achmad
Jainuri, Radikalisme dan Terorisme Akar Ideologi dan Tuntutan Aksi, (Malang:
Instrans Publishing, 2016), h. 4-5
[2] Azyumardi Azra, et.al, Pergolakan Politik Islam dari
Fundamentalisme, Modernisasi Hingga Postmodernisme (Jakarta:
Paramadina, 1996), h. 147-148.
[3] Harun
Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1995), h. 124
[4] Yasraf Amir
Piliang, Bayang-Bayang Tuhan: Agama dan Imajinasi, (Bandung: Mizan
Publika, 2011), h. 98
[5] Zakiyuddin
Baidhawy, Ambivalensi Agama Konflik dan Nirkekerasan, (Yogyakarta:
LESFI, 2002), h. 157
[6] Noam Chomsky
adalah seorang Profesor linguistik di Massachussets Institute of Technology
(MIT) yang sangat terkenal didunia dan merupakan seorang intelektual dibidang
sosiologi agama yang pikirannya jauh berbeda dengan kebanyakan koleganya,
karena kritiknya yang tajam terhadap pokok kebijakan luar negeri pemerintahan
Amerika Serikat. Dikutip pada laman http://www.wikipedia.Noam-Chomsky.com pada tanggal 25 September 2016
[7] Achmad
Jainuri, Radikalisme dan Terorisme Akar Ideologi dan Tuntutan Aksi, (Malang:
Instrans Publishing, 2016), h. 123
[8] Dapertemen
Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar
Jaringan, didownload pada laman http://ebsoft.web.id
[10]
Achmad Jainuri,
Radikalisme dan Terorisme Akar Ideologi dan Tuntutan Aksi, (Malang:
Instrans Publishing, 2016), h. 127
[11] Dikutip dalam
diskusi Pemikiran Hyper-Reality Jean Baudrillard oleh Dr. Saidul Amin,
MA dalam kelas A Aqidah Filsafat
Semester IV Fakultas Ushuluddin UIN Suska Riau.
[12]Noam Chomsky, Maling
Teriak Maling: Amerika Sang Teroris,(Bandung: Mizan, 2001), h. 24
[13] Yasraf Amir
Piliang, Bayang-Bayang Tuhan: Agama dan Imajinasi, (Bandung: Mizan
Publika, 2011), h. 106
[14]Douglas Keller,
The Persian Gulf TV War, (New York: Westview, 1992, PDF), h. 1
[15] Yayasan
Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an Departeman Agama Republik Indonesia, Al-Qur’anul
Karim, (Depok: Cahaya Qur’an, 2008), h. 29
[17] Syamsul
Arifin, Studi Islam Kontemporer Arus Radikalisasi dan Multikulturalisme di
Indonesia (Malang: Intrans Publishing, 2015), h. 60
[19]
Achmad Jainuri,
Radikalisme dan Terorisme Akar Ideologi dan Tuntutan Aksi, (Malang:
Instrans Publishing, 2016), h. 147
[20]
Asmal May, Menyingkap
Takbir Paham Salafi, Wahabi, ISIS dan Gafatar, (Pekanbaru: Suska Press,
2016), h. 158
[21]
Duski
Samad, Radikalisme dan Antisipasi ISIS, Bahan Rapat Kordinasi Pemda
dengan MUI dan Pimpinan Ormas Islam, Rabu, 13 Agustus 2014, Auditorium Gubernur
Sumatra Barat.
[22]
Asmal May, Menyingkap
Takbir Paham Salafi, Wahabi, ISIS dan Gafatar, (Pekanbaru: Suska Press,
2016), h. 171
[23]
Achmad Jainuri,
Radikalisme dan Terorisme Akar Ideologi dan Tuntutan Aksi, (Malang:
Instrans Publishing, 2016), h. 148
[24] Ibid., h.
155
[25]
Asmal May, Menyingkap
Takbir Paham Salafi, Wahabi, ISIS dan Gafatar, (Pekanbaru: Suska Press,
2016), h. 181-186
[26]
Ehtasham Anwar Mahar, “Realitas Taliban”, dalam Ahmad Dumyathi Bashori
(ed.), Osama bin Laden Melawan Amerika, (Bandung: Penerbit Mizan, 2001),
h. 78
[27] Endi Haryono
dan Rahmi Yunita, Politik Muslim: Wacana Kekuasaan dan Hegemoni dalam
Masyarakat Muslim, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998), h. 15
[28] Syaifullah Z.
Yudha, Pion-pion Iblis: Para Penghujat Islam Dari Salman Rushdie
hingga George W. Bush, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007), h. 46
[29] Sebenarnya Taliban hanyalah salah satu dari beberapa kasus
dibombambardirnya suatu gerakan atau kelompok, yang dilakuakan atas nama perang
melawan terorisme.
[30] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke
Dominasi Sekular Liberal, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h.
132.
[31] Musthafa Abd. Rahman, Afganistan di Tengah Arus Perubahan:
Laporan dari Lapangan, (Jakarta: Kompas, 2002), h. 4 dikutip pada
laman http://www.kompas.com
[32] Noor Huda
Ismail dalam Afganistan dan Derita Umat Islam, Temanku Teroris? Saat
Dua Santri Ngruki Menempuh Jalan Berbeda, ( Bandung: Hikmah, Cet. III
2010), h. 4
[33] Ibid
[34]
Ehtasham Anwar Mahar, “Realitas Taliban”, dalam Ahmad Dumyathi Bashori
(ed.), Osama bin Laden Melawan Amerika, (Bandung: Penerbit Mizan, 2001),
h. 78
[35]
Lembaga Kajian Syamina Edisi XVI/November-Desember 2014 Kegagalan Amerika
Serikat di Afghanistan dikutip pada laman http://www.syamina.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar