Kamis, 13 Oktober 2016

Perkembangan Radikalisme Di Dunia Islam; Islamic State Iraq and Syria (ISIS) dan Mujahiddin Afganistan



PERKEMBANGAN RADIKALISME DI DUNIA ISLAM:
ISLAMIC STATE IRAQ AND SYRIA (ISIS) DAN MUJAHIDDIN
Debri Koeswoyo, Surma Hayani dan Jahra
Jurusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
E-mail:debrikoeswoyo46@gmail.com, hayanisurma@gmail.com, rarajahra@gmail.com

Abstrak

            Diskursus Islam dan politik tidak pernah selesai dibicarakan sampai dekade saat ini. Gerakan radikalisme dalam wacana Negara Islam mencapai puncak ancaman peradaban manusia. Fundamentalisme agama atau pemahaman agama secara eksklusif dipandang sebagai dasar lahirnya radikalisme. Seruan pendirian Negara Islam Iraq dan Syria yang dipelopori Abu Bakar al-Baghdad dan gerakan Mujahiddin di Afganistan telah melukai jutaan umat Muslim baik sacara moril maupun materil. Demi memuluskan jalan pembentukan Negara Islam, bayang-bayang ancaman terorisme dan peledakan bom dari mereka yang mensuarakan Negara Islam bukan sekedar cerita belaka namun fakta yang menderitakan umat Muslim sendiri. Gerakan radikalisme-terorisme sendiri bukan hanya disebabkan karena pemahaman eksklusif keagamaan tetapi memiliki faktor lain seperti kepentingan ekonomi politik, hegemoni Dunia Barat dan westtoxivication (meracuni budaya asli suatu bangsa).

Kata Kunci: Radikalisme-Terorisme, ISIS, Mujahiddin




I.       PENDAHULUAN
            Munculnya isu-isu radikalisme Islam merefleksikan persoalan keagamaan, politik, ekonomi dan budaya yang dihadapi kaum muslimin. Kapitalisme dan imperialisme dunia Barat abad ke 16 sampai akhir abad 20 di dunia Timur khususnya di negara-negara Islam meninggalkan luka yang sangat mendalam. Tidak sampai disini, kemerdekaan yang telah diperoleh Negara-Negara Islam juga tidak seratus persen bebas dari kolonialisme Dunia Barat. Sistem politik, ekonomi dan budaya yang cenderung ateis menjadi bangunan kokoh di dunia Islam akibat imperialisme ini. Kondisi yang berbeda antara sistem keyakinan yang sudah dianut di kawasan dunia Islam dengan masyarakat Barat menimbulkan sebuah ketegangan antara Timur dan Barat.
            Fenomena historis-sosiologis merupakan wacana yang dibicarakan dalam persoalan politik dan peradaban manusia. Ekspansi Amerika ke wilayah Irak tahun 2001 dengan dalil adanya senjata pemusnah massal yang diciptakan Saddam Husein menjadi ancaman politik di negara Irak  sendiri. Penguasaan tentara Amerika terhadap kilang minyak, zona ekonomi eksklusif lautan Irak membawa keuntungan ekonomis bagi Amerika. Penguasaan Uni Soviet akan Afganistan tahun  1979 melahirkan kelompok Mujahidin Islam yang datang dari seluruh dunia Islam untuk menghentikan invasi Uni Soviet terhadap Afganistan.
            Solidaritas kaum Muslimin di seluruh dunia dengan kesadaran tertindasnya negara-negara Islam memunculkan berbagai gerakan penolakan anti-Barat. Fenomena anti Barat yang disuarakan kaum Muslimin menjadikan media Barat dalam mengampanyekan label radikalisme Islam. Dalam perspektif Barat, gerakan Islam sudah menjadi fenomena yang perlu dicurigai. Terlebih-lebih pasca hancurnya gedung WTC New York 11 September 2001 yang menurutnya dilakukan oleh kelompok Islam garis keras (Al-Qaeda dan Taliban), semakin menjadikan term radikalisme Islam lebih mengglobal yang berimplikasi pada sikap kecurigaan masyarakat dunia, terutama bangsa Barat dan Amerika Serikat, terhadap gerakan Islam.
Praktik-praktik kekerasan yang dilakukan sekelompok Islam untuk mewujudkan Negara Islam yang bebas dari Barat dengan membawa simbol-simbol agama telah dimanfaatkan oleh orang-orang Barat dengan memanfaatkan media massa sebagai alat utama dalam memegang tampuk wacana peradaban, sehingga Islam terus menerus dipojokkan oleh publik. Semisalnya, ISIS (Islamic State Iraq And Syria) dengan semboyan syahadat dan symbol stempel nabi dan kelompok mujahidin dengan semboyan Allahu Akbar.


Tulisan ini menekankan pada karakteristik umum pandangan keagamaan, wawasan politik dan beberapa fenomena gerakan ideologi radikalisme yang muncul dikawasan Islam khususnya ISIS dan Mujahiddin. Pembahasan yang bertujuan untuk mengungkap motivasi sesunggunya akar ideologis yang mendorong gerakan radikal menjawab tantangan yang dihadapi umat Muslim diseluruh dunia. Islam tidak memiliki keterkaitan dengan gerakan radikal, bahkan tidak ada pesan moral Islam yang menunjuk kepada ajaran radikalisme baik dari sisi normatif maupun historis kenabian.
Radikalisme-terorisme yang selalu mengarah ke dunia Islam menjadi masalah internal  kaum Muslimin. Apakah pembentukan Negara Islam yang menjadi cita-cita ISIS dan Mujahiddin sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah?, serta bagaimana jalan kekerasaan yang ditempuh kelompok ekstrimisme ini? Apakah dapat dibenarkan atau tidak.

II.    PENGERTIAN RADIKALISME-TERORISME DALAM ISLAM
Dalam sejarah umat manusia, termasuk umat Muslim, radikalisme selalu muncul dalam pemikiran maupun gerakan. Radikalisme pemikiran didasarkan pada keyakinan tentang ide, nilai dan pandangan yang dimiliki oleh seseorang yang dinilainya paling benar dan menganggap yang lain salah. Sedangkan radikalisme tindakan atau gerakan ditandai oleh suatu aksi ekstrem yang dilakukan untuk mengubah suatu keadaan seperti yang diinginkan. Dalam politik, contoh gerakan yang dikategorikan sebagai radikal adalah tindakan makar, revolusi, demonstrasi dan protes sosial anarkis.[1]
Sedangkan menurut Azyumardi Azra bahwa, radikalisme mengacu pada gagasan dan tindakan kelompok yang bergerak untuk menumbangkan tatanan politik mapan, negara-negara atau rezim-rezim lain, yang bertujuan melemahkan otoritas politik dan legitimasi negara-negara dan rezim-rezim lain dan negara-negara yang berusaha menyesuaikan atau mengubah hubungan-hubungan kekuasaan yang ada dalam sistem internasional. Istilah radikalisme karenanya secara intrinsik berkaitan dengan konsep tentang perubahan politik dan sosial pada berbagai tingkatan.[2]
Radikalisme adalah gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka.[3] Islam tidak pernah membenarkan praktik penggunaan kekerasan dalam menyebarkan agama, paham keagamaan, serta paham politik. Tetapi memang tidak bisa dibantah bahwa dalam perjalanan sejarahnya terdapat kelompok-kelompok Islam tertentu yang menggunakan jalan kekerasan untuk mencapai tujuan politis atau mempertahankan paham keagamaannya secara kaku yang dalam bahasa peradaban global sering disebut kaum radikalisme Islam.
Istilah radikalisme Islam berasal dari media massa Barat untuk menunjuk gerakan Islam garis keras (ekstrim, fundamentalis, militan). Fenomena radikalisme yang dilakukan oleh sebagian kalangan umat Islam, oleh pers Barat dibesar-besarkan, sehingga menjadi wacana internasional dan terciptalah opini publik bahwa Islam itu mengerikan dan penuh dengan kekerasan.[4] Akibatnya tidak jarang image-image negatif banyak dialamatkan kepada Islam sehingga umat Islam terpojokkan sebagai umat perlu dicurigai.
Aksi tutup mulut para elit politik Barat atau aksi bicara dalam kepura-puraan ketika melihat praktik kekerasan yang dilakukan oleh ekstrimis Yahudi atau pun serdadu Israel atas orang-orang Arab Palestina.[5] Apa yang dilakukan oleh kelompok-kelompok pelaku kekerasan ini secara faktual sama dengan apa yang dilakukan oleh kelompok pelaku garis keras “radikalisme Islam.” Ketika pendiskreditan radikalisme hanya pada Islam pastinya ekstrimis Yahudi lebih radikal dibandingkan dengan apa yang mereka sebut radikalisme Islam.
Konsep tentang terorisme menurut Noam Chomsky,[6] masih tidak jelas dan pada umumnya orang saling berbeda tentang definisi terorisme.[7] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, terorisme ialah penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dl usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik); praktik tindakan terror.[8] Dalam artian istilah terorisme lebih mengarah kepada taktik untuk mencapai tujuan tertentu.
Pada tahun 1980, badan intelligent Amerika Serikat CIA (Central Intellegence Agency) mendefinisikan terorisme sama dengan ancaman atau penggunaan kekerasaan untuk tujuan politik yang dilakukan oleh individu atau kelompok, atas nama atau menentang pemerintahan yang sah, dengan menakuti masyarakat secara luas.[9]
Semua pengertian terorisme seperti yang telah diuraikan diatas menunjukan adanya tujuan pokok menakuti masyarakat dan menimbulkan sebuah kegelisahan. Kata “terorisme” sendiri berarti sebuah pelabelan terhadap suatu tindakan nirkekerasaan. Pelabelan kata terorisme sendiri pada umumnya dimenangkan oleh mereka yang berkuasa atas rakyat dan mereka lebih kuat atas yang lemah.[10]
Dengan pembelian label dari pihak yang kuat kepada pihak yang lemah maka tindakan apapun yang diberikan oleh kelompok yang terkuat dapat dibenarkan. Gambaran ini dapat dilihat dari dukungan Amerika Serikat kepada penguasaan Israel atas tanah dan rakyat Palestina. Perlawanan rakyat Palestina kepada Israel dianggap sebagai suatu tindakan ekstrimis dan teroris, maka gempuran bom dan tank atas rakyat yang tanpa bersenjata dan tidak berdaya dianggap sah dan benar oleh “komunitas internasional”.
Bentuk aksi terorisme dari waktu ke waktu selalu berubah dan mengalami perubahan. Terorisme klasik dan terorisme modern. Salah satu bentuk terorisme klasik ialah ekspansi wilayah ( Israel akan Palestina, Uni Soviet akan Afganistan), pembunuhan massal     ( Rezim Hitler yang membantai Yahudi Jerman), penyanderaan, sabotase, dan pembajakan. Namun, terorisme modern lebih berbahaya dibandingkan dengan terorisme klasik.
Terorisme modern mengantarkan kepada suatu terror yang diarahkan kepada kelompok suku, ideology, atau agama tertentu dengan memberikan pelabelan dan pengelabuan realitas.[11] Noam Chomsky, berani menuduh bahwasannya Amerika Serikat sebagai negara teroris yang teriak teroris. Menurutnya, AS telah menciptakan cerita historis dalam mengkondisikan atau menciptakan aksi terror di berbagai wilayah, seperti Nikaragua, El Salvador, Palestina dan Libanon. Betapapun, Amerika mampu membungkus dengan halus kegiatan terror yang menakutkan itu atas nama teroris internasional dan Amerika Serikat adalah negara dengan kewajiban memerangi para terorisme atas nama perdamaian global.[12]
Ideologis terror yang dilakukan Amerika Serikat telah menciptakan sosok terror yang immaterial, yaitu terror yang tidak menyebabkan kerusakan fisik secara langsung, melainkan kerusakan psikologis atau pikiran, yang disebut dengan soft-terorrism. Soft-terorrism adalah penciptaan berbagai citra dan ilusi  tentang Amerika Serikat dalam relasinya dengan bangsa dan negara lainnya dan melakukan intervensi subjektivitas yang memaksa masyarakat global memaksakan pemaknaan akan terror dan terorisme.[13]
Douglas Keller, seorang pengamat media, mengatakan bahwa didalam beberapa rezim kepresidenan Amerika Serikat masa lalu seperti Bush, Reagan, Clinton media mainstream seperti Times, New York Times dan Washington Post menjadi media Gedung Putih dan menyiarkan berbagai kebijakan perang Pentagon terhadap penanganan terorisme terutama menyangkut radikalisme Islam.[14]
Label Islam untuk menyebut gerakan fundamentalis sangat menyenangkan bagi pers Barat ketimbang label Tamil di Srilangka, militan Hindu di India, IRA (kelompok bersenjata Irlandia Utara), militan Yahudi sayap kanan, sekte kebatinan di Jepang atau bahkan musuh lamanya, komunis-marxis yang tidak jarang menggunakan jalan kekerasan sebagai solusi penyelesaian masalah.

وَقَٰتِلُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱلَّذِينَ يُقَٰتِلُونَكُمۡ وَلَا تَعۡتَدُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُعۡتَدِينَ ١٩٠
Artinya: Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas ( Q.S. Al-Baqarah 2: 190).[15]
Pada dasarnya, radikalisme Islam bergelora melalui penggunaan bendera jihad untuk memperjuangkan agama. Suatu ideologi yang kerap kali mempunyai fungsi menggugah militansi dan radikalisasi umat. Selanjutnya, radikalismeIslam diwujudkan dalam konteks pemberlakuan syariat Islam yang dianggap sebagai solusi alternatif terhadap penyelesaian masalah bangsa.
Dengan demikian, jelas bahwa label radikalisme yang dialamatkan oleh Barat kepada Islam merupakan pelecahan agama karena di dalam Islam tidak ada perintah menuju kekerasan. Istilah salah kaprah itu sesungguhnya tidak perlu terjadi jika Barat mau mengkaji Islam secara objektif bahwa Islam normatif terkadang tidak diimplementasikan oleh sekelompok Muslim dalam konteks historis-sosiologis. Islam berbeda dengan perilaku Muslim, artinya kebutralan (radikalisme) yang dilakukan oleh sekelompok Muslim tidak dapat dijadikan alasan untuk menjadikan Islam sebagai biang keladi radikalisme.
III.         KELOMPOK RADIKALISME ISLAM; ISIS DAN MUJAHIDDIN
A.  ISIS (ISLAMIC STATE IRAQ AND SYRIA)
ISIS singkatan dari Islamic State of Iraq and Syria merupakan kelompok radikal yang memiliki cita-cita mendirikan sebuah negara yang berlandaskan syariat Islam. Ada yang memandang bahwa kelompok ini pada awalnya merupakan binaan maupun ciptaan al-Qaeda untuk wilayah Irak. Namun, kelompok ini akhirnya meluas di Suriah (Syria) manakala terjadi konflik di wilayah tersebut.[16]Hal tersebut signifikan dengan ungkapan Arifin yang mengutip pendapat Can Acun yang menyatakan bahwa ISIS merupakan organisasi Islam radikal baru yang merupakan metamorfosis dari al-Qaeda. Sebagaimana al-Qaeda, ISIS juga ingin melaksanakan jihad dalam pengertian sebagai perang melawan kekuatan anti-Islam yang pada akhirnya negara Islam (daulah khilāfah Islāmiyah) bisa didirikan. Karena secara ideologi tidak berbeda dengan al-Qaeeda, maka ISIS disebut sebagai Neo-al Qaeda.[17]
ISIS juga dikenal dengan sebutan Islamic State Iraq and Levant (ISIL). Kelompok ini memang bermula dan didukung oleh berbagai kelompok perlawanan Sunni, seperti: Mujahiddin Shaura Council, Islamic State of Iraq (ISI), Al-Qaedah in Iraq (AQI), Jays al-Fatihin, Jund al-Sahaba, Katbiyan Anshar al-Tawhid wal Sunnah dan Jiesh al-Taifah al-Mansoura, serta sejumlah kabillah Sunni di Iraq.[18] Diskriminasi politik dan ekonomi yang dialami oleh kaum Sunni Iraq pasca tumbangnya rezim Saddam Husein dan ekspansi Amerika Serikat ke wilayah Irak membantu bertambanhya dukungan kepada kelompok ini.[19]
Pasca tumbangnya Saddam Husein dan masuknya Amerika Serikat ke Irak dengan dalil mencari senjata pemusnah massal yang disembunyikan kelompok pro Saddam Husein. Amerika Serikat berkolaborasi dengan kelompok minoritas Syiah untuk menumpas dan menguasai cadangan minyak serta jalur transportasi laut dari kelompok Sunni. Pertikaian dan perang didalam negeri ini akibat konflik antar mazhab memunculkan salah satu tokoh yang disegani oleh rakyat Irak yang mayoritas Sunni yaitu Abu Musa al-Zarqawi dari Katbiyan Anshar al-Tawhid wal Sunnah.[20]


Setelah Abu Musa al-Zarqawi meninggal, pangku kepemimpinan di pegang oleh Abu Umar al-Baghdady. Kepemimpinan Abu Umar tidak berjalan lama, ia tewas terbunuh dan digantikan oleh Abu Bakar al-Baghdady (khalifah yang membaiat dirinya sebagai khalifah Darul Islam/ Pimpinan ISIS).
Di bawah kepemimpinannya, ISIS menyatakan diri untuk bergabung dengan Front Al Nusra, kelompok yang menyatakan diri sebagai satu-satunya afiliasi Al-Qaidah di Suriah. ISIS memiliki hubungan dekat dengan Al-Qaeda hingga tahun 2014. Namun karena misi berbelok dari misi perjuangan nasional dengan menciptakan perang sektarian di Irak dan Suriah dan penggunaan aksi-aksi kekerasan, Al-Qaidah lalu tidak mengakui kelompok ini sebagai bagian darinya lagi. Abu Bakar al-Baghdadi bahkan bersumpah untuk memimpin penaklukan Roma. Pemimpin militan ISIS Abu Bakar al-Baghdadi ini juga menyerukan umat Islam untuk tunduk kepadanya.[21]
Kelompok Jabhah Nusrah yang menjadi pembela umat Muslim Sunni dari kekejaman rezim Bashar Al-Assad ditikam oleh ISIS dari belakang sehingga kota Roqqah dan Iqlib dikuasai oleh ISIS. Hal inilah yang menjadi cerminan bahwasannya kelompok ISIS bukanlah kelompok jihad yang bermazhab lurus dan seluruh ulama sepakat akan hal ini.[22]
ISIS dikenal karena interprestasinya yang kaku terhadap ajaran Islam, dan juga tindakan kekerasaan yang dilakukanya terutama terhadap kaum Syiah dan Kristiani. Konsep inilah yang dipakai ISIS sebelum dipimpin oleh Abu Bakar al-Baghdady.
Dalam waktu yang bersamaan, ISIS bermaksud untuk menegakan Islam yang berorientasi pada salafi ekstrem di Iraq, Suriah dan beberapa kawasan disekitar Syria. Namun, beberapa peneliti sarjana Muslim, menjelaskan bahwasannya ISIS bukanlah kelompok slafi melainkan kelompok Neo-Khawarij sesat yang merencanakan untuk menegakan kekaisaran anti-Islam.[23]
ISIS yakin bahwa hanya kelompok nyalah yang memiliki otoritas yang sah untuk memerintahkan dan melaksanakan jihad. Sehingga kelompok Hamas di Palestina dianggap menyimpang dan tidak memiliki otoritas yang sah untuk melakukan jihad. Sarah Birke seorang jurnalis internasional, menjelaskan bahwasannya Al-Nusra Front dan ISIS memiliki perbedaan yang sangat jauh, ISIS  cenderung untuk menegakan pemerintahan sendiri.
Setelah mengalami kemunduran di tahun 2012 akibat tidak didukungnya gerakan ISIS oleh Al-Qaeda, ISIS melakukan perekrutan anggota hingga mencapai 12.000 tentara yang menyebar di Iraq dan Suriah. Penggunaan media sosial oleh ISIS sebagai media perekrutan anggota terlihat sangat efektif. Beberapa panglima perang mereka berasal dari Indonesia, Filipina, Afganistan bahkan datang dari Eropa seperti Prancis dan Inggris.
Aliansi negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi dan Qatar dan negara adidaya Amerika Serikat tampaknya hanyalah sebuah kepentingan politik dan ekonomi untuk menguasai Suriah. Ketika pemberontakan Suriah berubah menjadi perang saudara, Amerika Serikat menjadi negara yang seharusnya bertanggung jawab. Pendanaan dan dukungan yang diberikan Amerika Serikat kepada ISIS guna menggoyahkan pemerintahan Bashar Al-Assad dan mengurangi dukungan Iran kepada Suriah.[24]
Perkembangan terakhir menunjukan bahwasannya ISIS memang menjadi sasaran guna memuluskan berbagai kepentingan politik, ekonomi dan hegemoni Amerika Serikat diwilayah Timur Tengah. Ada beberapa penyimpangan yang dilakukan ISIS dibawah rezim Abu Bakar al-Baghdady.[25]
1.         Berlebih-lebihan dalam masalah penghukuman, seperti memamerkan kepala-kepala orang yang mereka penggal di media sosial
2.         ISIS memfatwakan perbudakan seks diperbolehkan
3.         ISIS mengkafirkan orang-orang yang tidak sekelompok dengannya walaupun bersyahadat dan beraqidah sehingga darahnya halal untuk dibunuh.
4.         ISIS bekerjasama dengan rezim Bassar Al-Assad untuk memusnahkan kelompok mujahidin Suriah dengan memberikan informasi keberadaannya.
5.         Perampokan Bank dan rakyat kecil menjadi kegiatan untuk mengumpulkan pendanaan ISIS.
B.     MUJAHIDDIN AFGANISTAN ( TALIBAN)
  Afganistan adalah sebuah negara Islam yang terletak di Asia Tengah. Sepanjang abad ke-16 dan ke-21 terjadi peperangan hingga turun-temurun berebut kekuasaan, mulai dari perang antar suku di Afghanistan hingga perang dengan negara lain seperti Inggris, Uni Soviet dan Amerika Serikat. Ekspansi Uni Soviet di Tahun 1979 memunculkan perlawanan rakyat Afganistan dengan sebutan Mujahiddin yang tidak hanya berasal dari Afganistan tetapi  juga dari Asia Tenggara terutama Indonesia dan Malaysia. Taliban menjadi sebutan yang diberikan dunia Barat terutama Amerika Serikat terhadap gerakan yang disebut dengan radikalisme-Islam. Ada  satu  aspek  dari  Taliban  yang  sangat  dibenci  Barat,  terutama Amerika Serikat, yaitu Taliban akan membangun Afghanistan dengan Syari’at Islam.[26]
Taliban disebut-sebut sebagai kelompok perlawanan Islam paling penting dalam sejarah Afghanistan kontemporer. Pada awal kemunculannya pada tahun 1994, para pengamat politik, terutama dari Barat, memang belum begitu menempatkan Taliban sebagai sebagai entitas penting dalam menggambarkan politik di dunia Islam.[27] Namun studi mengenai Taliban kemudian mulai meningkat secara signifikan menjelang akhir tahun 1990, dan semakin masif setelah terjadi peristiwa 11 September pada tahun 2001.
Pasca tragedi WTC Presiden Amerika Serikat saat itu, George W. Bush, seakan tak mau ketinggalan dengan mengumumkan sebuah ultimatum terkenalnya terhadap publik dunia: “With us [Amerika Serikat], or with terrorist.[28] Di  bawah  bendera  perang  melawan  terorisme,  pemerintah  Taliban  di Afghanistan diserang tanpa ampun.[29] Hal ini tentu saja terkait dengan keengganan pemerintah Taliban yang dipimpin oleh Mullah Muhammad ‘Umar menyerahkan Usamah  bin  Ladin,  seorang  berkebangsaan  Arab  Saudi  yang  dituduh  oleh Amerika sebagai aktor intelektual peristiwa atau serangan 11 September 2001.6 Serangan  Amerika  Serikat  terhadap  Taliban  kemudian  menjadi  proyek  besar-besaran  Amerika  Serikat  dalam  agenda  ‘perang  melawan  terorisme’  yang diarahkan untuk mengejar “teroris Islam” yang membahayakan kepentingan Barat, dan Amerika Serikat khususnya.[30]
            Seiring dengan itu, Amerika Serikat juga dapat menggugat Taliban dengan mengatasnamakan Hak Asasi Manusia yang mengandung nilai-nilai Barat karena menggugat penerapan Hukum Islam yang disebut Barat sangatlah ketat. Taliban memang benar-benar serius melakukan pembangunan hukum dan identitas melalui program-program kenegaraan meliputi cara berpakaian, tata politik pemerintahan, ekonomi, sosial dan lainnya.[31]

Bagaimanapun, momentum perang melawan invasi Uni Soviet menggerakan aktifis-aktifis Islam, baik dari dalam Afghanistan maupun dari seluruh penjuru dunia, untuk bisa ikut menyumbangkan tenaganya dalam menghancurkan komunisme, mereka inilah yang kemudian disebut sebagai Mujahidin. Ketika gerakan-gerakan Islam dengan para aktifisnya mulai menjadikan Afghanistan sebagai sebuah “sekolah jihad”, perkembangan infrastruktur militer beserta gagasan-gagasan ideologis bertemakan Islam dan jihad semakin mengakar di Afghanistan. Hal ini tentu saja didukung dengan kondisi psiko-sosial bangsa Afghan yang selalu berdenyut perang.[32]
Secara otomatis, Afghanistan menjadi sebuah negara strategis bagi para aktifis gerakan-gerakan jihad nasional maupun internasional. Kebanyakan aktifis-aktifis gerakan jihad tersebut juga merupakan alumni perang Afghan dalam medan melawan Uni Soviet. Hanya ada dua pilihan bagi para aktifis itu: kembali ke negerinya sebagai buron, atau kembali ke Afghanistan dan mulai membangun konsolidasi untuk melawan Amerika Serikat.[33]
Pemerintahan Islam Taliban di Afghanistan menjelma menjadi sebuah teror bagi Amerika Serikat, mengingat pemerintahan ini telah menampung prajurit-prajurit yang di dalam akal dan hatinya telah tersimpan dendam yang kuat terhadap Amerika Serikat. Sementara di bawah Taliban, aktifis-aktifis gerakan jihad tersebut tak lagi dipanggil sebagai Mujahdin, namun sebutan-sebutan opositif semacam “Fundamentalisme  Islam”,  “Islam  radikal”,  “Teroris  Islam”,  atau  Militan Islam”.
Amerika        Serikat  dan  Barat  bisa  saja  berteriak-teriak  dengan  isu demokrasi dan hak asasi manusia, bahwa pemerintahan Taliban itu “bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan” mereka yang dijunjung tinggi dan diglobalkan. Namun apakah demikian dengan Taliban dan para “fundamentalis Islam layaknya Usamah bin Ladin peduli dengan itu semua? Jawabannya tentu tidak. Maka dengannya, pilihan militer tentu menjadi opsi terbaik bagi AS untuk menunjukkan “siapa yang kuat”, bukan “siapa yang benar”. Barat mungkin akan terus menjerit, “Lihatlah, di sana telah ada negara yang menerapkan syari’at Islam, mereka Taliban! Itu adalah gagasan yang bertolak-belakang dengan nilai- nilai demokrasi kita!”[34]
“Hari ini ISAF menggulung benderanya dalam atmosfer kegagalan dan kekecewaan tanpa meraih hasil yang substansial atau cukup terlihat….
Kami menganggap langkah ini sebagai indikasi yang nyata atas kekalahan dan kekecewaan mereka.”

(Zabihullah Mujahid, juru bicara Taliban Afghanistan, 29 Desember 2014)[35]

Inilah politik global Amerika Serikat dan Barat, juga, tentu saja, keadaan strategis kekuatan Islam dalam mempertahankan identitas dan mencoba membangun kembali hegemoni. Tidak heran mengapa Amerika Serikat dan Barat begitu gencar terhadap para “Radikalisme Islam” ini. Terkait, pada masa ini Amerika Serikat harus menghadapi kekuatan sistematis pemerintahan Islam Taliban yang menaungi resisten-resisten Islam yang mendeklarasikan perang melawan Amerika Serikat, yang sebelumnya Amerika Serikat hanya menangani gerakan-gerakan resisten Islam lokal-nasional, itupun dibantu oleh penguasa-penguasa sekuler.

KESIMPULAN
   Praktik kekerasan (radikalisme) yang dilakukan oleh sekelompok umat Islam di belahan Bumi Timur Tengah seperti ISIS dan Mujahiddin tidak dapat dialamatkan kepada Islam saja sehingga propaganda media Barat yang memojokkan Islam dan umat Islam secara umum tidak dapat diterima. Islam tidak mengajarkan radikalisme, tetapi perilaku kekerasan sekelompok umat Islam atas simbol-simbol Barat memang merupakan realitas historis-sosiologis yang dimanfaatkan media pers Barat untuk memberi label dan mengampanyekan anti-radikalisme Islam.

Identitas keislaman (kesadaran umum sebagai Muslim) memang menjadi identitas yang tepat dan referensi yang efektif bagi gerakan radikalisme. Tetapi faktor eksternal yaitu dominasi dan kesewenang-wenangan Barat atas negeri-negeri Muslim merupakan faktor yang lebih dominan yang memunculkan radikalisme Muslim sebagai reaksi. Jadi jelas, bahwa radikalisme muncul dari kebanggan (identitas keislaman) yang terluka (oleh Barat), kekuatan media Barat dalam merepresentasi Islam, tekanan politik penguasa terhadap keberadaannya, emosi keagamaan, faktor kultural, tidak menerima perbedaan, ideologis anti westernisme, dan faktor kebijakan pemerintah.


 Solusi-solusi yang muncul harus dapat mencakup kompleksitas permasalahan yang kesemuanya harus berangkat dari kearifan para pemimpin Barat dan juga negeri-negeri Muslim untuk mampu membaca fenomena perkembangan zaman yang mencerminkan aspirasi dari kalangan Muslim. Di samping itu, perlu dipertimbangkan konsep penting religious revolution dan religion subcultures yang ditandai dengan adanya penghargaan terhadap pluralitas dan mendudukkan kondisi sosial-politik dan ekonomi supaya tidak terjadi kekerasan agama.

DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Syamsul, 2015, Studi Islam Kontemporer Arus Radikalisasi dan Multikulturalisme di Indonesia, Malang: Intrans Publishing
Azra, Azyumardi, et.al, 1996, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisasi Hingga Postmodernisme, Jakarta: Paramadina
Baidhawy, Zakiyuddin, 2002, Ambivalensi Agama Konflik dan Nirkekerasan, Yogyakarta: LESFI
Bashori, Ahmad Dumyathi (ed.), 2001, Osama bin Laden Melawan Amerika, Bandung: Penerbit Mizan
Chomsky, Noam, 2001, Maling Teriak Maling: Amerika Sang Teroris, Bandung: Mizan
Haryono, Endi dan Rahmi Yunita, 1998, Politik Muslim: Wacana Kekuasaan dan Hegemoni dalam Masyarakat Muslim, Yogyakarta: Tiara Wacana
Husaini, Adian, 2005, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular Liberal, Jakarta: Gema Insani Press
Ismail, Noor Huda, 2010, Temanku Teroris? Saat Dua Santri Ngruki Menempuh Jalan Berbeda, Bandung: Hikmah, Cet. III
Jainuri, Achmad, 2016, Radikalisme dan Terorisme Akar Ideologi dan Tuntutan Aksi, Malang: Instrans Publishing
Keller, Douglas, 1992, The Persian Gulf TV War,New York: Westview. PDF
May, Asmal, 2016, Menyingkap Takbir Paham Salafi, Wahabi, ISIS dan Gafatar, Pekanbaru: Suska Press
Nasution, Harun, 1995, Islam Rasional, Bandung: Mizan
Piliang, Yasraf Amir, 2011, Bayang-Bayang Tuhan: Agama dan Imajinasi,Bandung: Mizan Publika,
Rahman, Musthafa Abd, 2002, Afganistan di Tengah Arus Perubahan: Laporan dari Lapangan, Jakarta: Kompas dikutip pada laman http://www.kompas.com
Samantho, Yanuana Ahmad, 2014, Sejarah ISIS dan Illuminati, Jakarta: Ufuk Publishing House
Samad, Duski, Radikalisme dan Antisipasi ISIS, Bahan Rapat Kordinasi Pemda dengan MUI dan Pimpinan Ormas Islam, Rabu, 13 Agustus 2014, Auditorium Gubernur Sumatra Barat.
Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an Departeman Agama Republik Indonesia, Al-Qur’anul Karim,
Yudha, Syaifullah Z., 2007, Pion-pion Iblis: Para Penghujat Islam Dari Salman Rushdie hingga George W. Bush, Jakarta: Pustaka al-Kautsar
Diskusi Pemikiran Hyper-Reality Jean Baudrillard oleh Dr. Saidul Amin, MA dalam kelas A  Aqidah Filsafat Semester IV Fakultas Ushuluddin UIN Suska Riau.
Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan, didownload pada laman http://ebsoft.web.id
Lembaga Kajian Syamina Edisi XVI/November-Desember 2014 Kegagalan Amerika Serikat di Afghanistan dikutip pada laman http://www.syamina.co
http://www.wikipedia.com diakses pada tanggal 25 September 2016
http://twf.terorrism.org  dalam artikel Realpolitic, Definition of Terorrism, Terorrism Research, War On Terorrism diakses pada tanggal 25 September 2016


[1] Achmad Jainuri, Radikalisme dan Terorisme Akar Ideologi dan Tuntutan Aksi, (Malang: Instrans Publishing, 2016), h. 4-5
[2] Azyumardi Azra, et.al, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisasi Hingga Postmodernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 147-148.
[3] Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1995), h. 124
[4] Yasraf Amir Piliang, Bayang-Bayang Tuhan: Agama dan Imajinasi, (Bandung: Mizan Publika, 2011), h. 98
[5] Zakiyuddin Baidhawy, Ambivalensi Agama Konflik dan Nirkekerasan, (Yogyakarta: LESFI, 2002), h. 157
[6] Noam Chomsky adalah seorang Profesor linguistik di Massachussets Institute of Technology (MIT) yang sangat terkenal didunia dan merupakan seorang intelektual dibidang sosiologi agama yang pikirannya jauh berbeda dengan kebanyakan koleganya, karena kritiknya yang tajam terhadap pokok kebijakan luar negeri pemerintahan Amerika Serikat. Dikutip pada laman http://www.wikipedia.Noam-Chomsky.com  pada tanggal 25 September 2016
[7] Achmad Jainuri, Radikalisme dan Terorisme Akar Ideologi dan Tuntutan Aksi, (Malang: Instrans Publishing, 2016), h. 123
[8] Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia Luar Jaringan, didownload pada laman http://ebsoft.web.id
[9]Dikutip pada laman http://twf.terorrism.org  dalam artikel Realpolitic, Definition of Terorrism.
[10] Achmad Jainuri, Radikalisme dan Terorisme Akar Ideologi dan Tuntutan Aksi, (Malang: Instrans Publishing, 2016), h. 127
[11] Dikutip dalam diskusi Pemikiran Hyper-Reality Jean Baudrillard oleh Dr. Saidul Amin, MA dalam kelas A  Aqidah Filsafat Semester IV Fakultas Ushuluddin UIN Suska Riau.
[12]Noam Chomsky, Maling Teriak Maling: Amerika Sang Teroris,(Bandung: Mizan, 2001), h. 24
[13] Yasraf Amir Piliang, Bayang-Bayang Tuhan: Agama dan Imajinasi, (Bandung: Mizan Publika, 2011), h. 106
[14]Douglas Keller, The Persian Gulf TV War, (New York: Westview, 1992, PDF), h. 1
[15] Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an Departeman Agama Republik Indonesia, Al-Qur’anul Karim, (Depok: Cahaya Qur’an, 2008), h. 29
                [16] Yanuana Ahmad Samantho, Sejarah ISIS dan Illuminati (Jakarta: Ufuk Publishing House, 2014), hlm. 29.
[17] Syamsul Arifin, Studi Islam Kontemporer Arus Radikalisasi dan Multikulturalisme di Indonesia (Malang: Intrans Publishing, 2015), h. 60
[18]Dikutip pada laman http://www.wikipedia.com pada tanggal 25 September 2016
[19] Achmad Jainuri, Radikalisme dan Terorisme Akar Ideologi dan Tuntutan Aksi, (Malang: Instrans Publishing, 2016), h. 147
[20] Asmal May, Menyingkap Takbir Paham Salafi, Wahabi, ISIS dan Gafatar, (Pekanbaru: Suska Press, 2016), h. 158
[21] Duski Samad, Radikalisme dan Antisipasi ISIS, Bahan Rapat Kordinasi Pemda dengan MUI dan Pimpinan Ormas Islam, Rabu, 13 Agustus 2014, Auditorium Gubernur Sumatra Barat.
[22] Asmal May, Menyingkap Takbir Paham Salafi, Wahabi, ISIS dan Gafatar, (Pekanbaru: Suska Press, 2016), h. 171
[23] Achmad Jainuri, Radikalisme dan Terorisme Akar Ideologi dan Tuntutan Aksi, (Malang: Instrans Publishing, 2016), h. 148
[24] Ibid., h. 155
[25] Asmal May, Menyingkap Takbir Paham Salafi, Wahabi, ISIS dan Gafatar, (Pekanbaru: Suska Press, 2016), h. 181-186
[26] Ehtasham Anwar Mahar, “Realitas Taliban”, dalam Ahmad Dumyathi Bashori (ed.), Osama bin Laden Melawan Amerika, (Bandung: Penerbit Mizan, 2001), h. 78
[27] Endi Haryono dan Rahmi Yunita, Politik Muslim: Wacana Kekuasaan dan Hegemoni dalam Masyarakat Muslim, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998), h. 15
[28] Syaifullah Z. Yudha, Pion-pion Iblis: Para Penghujat Islam Dari Salman Rushdie hingga George W. Bush, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007), h. 46
[29] Sebenarnya Taliban hanyalah salah satu dari beberapa kasus dibombambardirnya suatu gerakan atau kelompok, yang dilakuakan atas nama perang melawan terorisme.
[30] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular Liberal, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 132.
[31] Musthafa Abd. Rahman, Afganistan di Tengah Arus Perubahan: Laporan dari Lapangan, (Jakarta: Kompas, 2002), h. 4 dikutip pada laman http://www.kompas.com
[32] Noor Huda Ismail dalam Afganistan dan Derita Umat Islam, Temanku Teroris? Saat Dua Santri Ngruki Menempuh Jalan Berbeda, ( Bandung: Hikmah, Cet. III 2010), h. 4
[33] Ibid
[34] Ehtasham Anwar Mahar, “Realitas Taliban”, dalam Ahmad Dumyathi Bashori (ed.), Osama bin Laden Melawan Amerika, (Bandung: Penerbit Mizan, 2001), h. 78
[35] Lembaga Kajian Syamina Edisi XVI/November-Desember 2014 Kegagalan Amerika Serikat di Afghanistan dikutip pada laman http://www.syamina.co

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diabolisme Salman Rushdie dan Ahok

ANTARA SALMAN RUSHDIE DAN AHOK Oleh: Dr. Adian Husaini Tahun 1988, dunia Islam digegerkan oleh seorang bernama Salman Rushdie. Kisahnya ...