TELAAH PEMIKIRAN ONTOLOGI MARTIN HEIDEGGER
Debri Koeswoyo
Jurusan
Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin
Universitas
Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
E-mail:debrikoeswoyo46@gmail.com
Abstrak
Perkembangan pemikiran filsafat
abad-20 yang meninggalkan sisi-sisi postmodernitas, mengantarkan kepada suatu aliran baru seperti fenomenologi (Merleau), eksistensialisme (Sartre), hermeneutika (Gadamer,
Ricoeur), dan teori politik (Habermas). Kesemuanya tidak terlepas dari kontribusi pemikiran Martin
Heidegger. Pemikiran ontologi Heidegger dalam Sein und Zeit mencerminkan pengalaman dasar manusia di era ini, yaitu: Angst (kecemasan), Sorge (kekhawatiran-kepedulian),dan Unheimlichkeit (kengerian).
Kata
Kunci: Heidegger, Ontologi, Dasein
Abstract
The development of philosophical thought of the 20th century that left-hand side of postmodernity, drove to a new stream as phenomenology (Merleau), existentialism (Sartre), hermeneutics (Gadamer, Ricoeur), and political theory (Habermas). All of which can not be separated from the contribution of the thought of Martin Heidegger. Thought ontology Heidegger in Sein und Zeit reflects the basic human experience in this era, namely: Angst (anxiety), Sorge (concern-concern), and Unheimlichkeit (horrors!).
Keywords: Heidegger, Ontology, Dasein
PENDAHULUAN
Ontologi merupakan salah satu objek kajian filsafat yang utama
untuk memahami berbagai sumber keilmuan baik di bidang filsafat itu sendiri,
pengetahuan alam, sosial, dan lainnya. Pembelajaraan yang bertujuan untuk
memahami bagaimana hakikat dari segala sesuatu yang ada, baik dari segi aspek
fisik dan metafisik. Ontologi berbicara tentang aspek yang ada (being),
kenyataan (reality), eksistensi (existence) dan perubahan (change).
The Myth of the
Cave paradigma awal yang dibangun Plato untuk memahami pemikiran ontologis
dengan membuka perbedaan antara mereka yang berfilsafat dengan yang tidak,
membedakan antara penampakan dan kenyataan, dan mencari asal dari semua yang
ada ini (the nature reality).
Ontologi tidak
terlepas dari batas lingkup dan teori tentang realitas yang ada (being).
Heidegger memberikan pemahaman yang ada ini untuk menjelaskan eksistensi dari
manusia secara keseluruhan didalam bukunya Being and Time. Dalam
pemikiran ontologi Heidegger ini pandangan-pandangan pokok pemikiran
fenomenologi, hermeneutika akan sangat kental dan tidak ada celah yang
memisahkan keduanya.
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Martin Heidegger
Martin Heidegger lahir di Meßkirch, Jerman, 26
September 1889 – meninggal 26 Mei 1976 adalah seorang filsuf asal Jerman. Ia
belajar di Universitas Freiburg di bawah Edmund Husserl, penggagas
fenomenologi, dan kemudian menjadi profesor di sana pada tahun 1928. Ia
memengaruhi banyak filsuf lainnya, dan murid-muridnya termasuk Hans-Georg
Gadamer, Merleau, Jean-Paul Sartre, Jacques Derrida, Michel Foucault, dan
Philippe Lacoue. Selain hubungannya dengan fenomenologi, Heidegger dianggap
mempunyai pengaruh yang besar atau tidak dapat diabaikan terhadap eksistensialisme,
dekonstruksi, hermeneutika dan pasca-modernisme.[1]
Pada 1911, Heidegger mengalami
krisis hidup dan drop out dari pendidikan imamat, dan delapan tahun
kemudian, memutuskan hubungan dengan gereja Katolik. Sikap Heidegger ini oleh
sebagian orang dipandang sebagai skandal. Kendati melawan “sistem agama
Katolik”, Heidegger tetap membiarkan dirinya menerima bantuan dana dari
gereja untuk studi, dan setelah selesai, ia berharap bisa mendapat posisi
mengajar.[2]
Dalam
perjalanan karir intelektualnya Heidegger sering terlibat dengan berbagai
aktivitas yang mencederai biografi filosof abad 20 ini. Keretakan hubungannya
dengan gereja katholik, dukungan politisnya kepada NAZI dan hubungan asmara
terlarang dengan muridnya Hannah Arendt.[3]
Kehidupan Heidegger memasuki tahap bermasalah dan kontroversial dengan
Hitler naik berkuasa. Pada bulan September 1930, Sosialis Jerman Partai Adolf
Hitler Pekerja Nasional '(NSDAP) menjadi partai terbesar kedua di Jerman, dan
pada tanggal 30 Januari, 1933, Hitler diangkat kanselir Jerman.[4] Pada tanggal 27 Mei 1933, Heidegger menyampaikan pidato Rectoral perdana pada
"Sikap tegas dari Universitas Jerman." Naskah yang mendua dari pidato
ini sering diartikan sebagai ekspresi dukungannya bagi rezim Hitler.[5]
B. Pengertian Ontologi/ Metafisika Umum
Pembahasan tentang
ontologi sebagi dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa” yang ada, menurut
Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai
esensi benda. Kata ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu On=being,
dan Logos=logic. Jadi, ontologi adalah The Theory of Being Qua
Being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan).[6]
Sedangkan Jujun S.
Suriasamantri mengatakan bahwa ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui,
seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain suatu pengkajian
mengenai yang “ada”.[7]
Jadi dapat disimpulkan
bahwa:
1. Menurut bahasa, ontologi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu On/Ontos=ada,
dan Logos=ilmu. Ontologi adalah ilmu tentang hakikat yang ada.
2. Menurut istilah, ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang
ada, yang merupakan Kenyataan yg asas, baik yang berbentuk jasmani / konkret,
maupun rohani / abstrak.
C. Ontologi Martin Heidegger/ Dasein
Analitik dari Dasein adalah ciri utama
pemikiran Heidegger. Dasein menjadi penting karena struktur ontologis yang sulit untuk dipahami. Heidegger menyebut manusia dengan kata Dasein,
yang berarti ada di sana (being-in-there). Manusia itu terlempar di
sana, dan kedisanaannya itu hidup saling membentuk dengan dunia sehingga untuk
memahami manusia, pemahaman akan konsep Aku itu harus disingkirkan dulu agar
fenomena manusia benar-benar terlihat.[8]
Ontologi
dalam pemikiran Heidegger tidak dimaksudkan untuk mempelajari Ada dalam arti
metafisika tradisional. Heidegger ingin kembali pada Ada yang paling asal
ketika Ada belum disalahpahami. Bagi Heidegger, Dasein sebagai “ada” yang faktis berarti ke-di-sana-an Dasein berada dalam temporalitas waktu
tertentu. Jadi ontologi yang dimaksud Heidegger di sini adalah sebuah
penyelidikan mengenai kehidupan faktis Dasein
sebagai “ada” partikular dalam temporalitasnya.[9]
Heidegger mencoba mempertanyakan masalah mendasar yaitu
ihwal masalah
“mengada” (Dasein). Siapa saya?: dari mana (asal)
saya dan hendak akan kemana?; hidup saya untuk apa?”[10]
Dengan
kata lain, hal mengada kita sendiri (Dasein)
selalu menjadi problema atau pertanyaan yang tidak pernah usai. Ini juga
mengisaratkan bahwa berada dalam dunia bagi manusia tidak sama dengan
keberadaan korek api didalam kotaknya. Dengan kata lain manusia sebagai Dasein berbeda dengan “mengada-ada” lain
seperti hewan, meja, mobil, dan lain sebagainya. Sebagai daein yang berbeda
dengan “mengada-ada” yang lain itu, manusia mempunyai kemampuan unik atau khas
yakni menyadari (mempersoalkan) makna Adanya. Artinya, Dasein bersifat terbuka sekaligus memberikan pemaknaan Ada (dan
hubungan Dasein dan Ada inilah yang
disebut eksistensi).[11]
Heidegger
mengemukakan analisis transendensinya dengan bertolak dari fenomena pemahaman
atas dasein ( pemahaman ontologis), dengan pemahaman atas pengada
( pemahaman ontis). Jika saya memahami bahwasannya benda yang saya pegang
adalah buku maka itu berarti saya memahami buku secara ontis dan ontologis.
Pemahaman secara ontis adalah pemahaman terhadap cirri-ciri fisik atau
cirri-ciri dari ukuran dan keadaan buku. Sedangkan pemahaman akan ontology dari
buku tersebut ialah keberfungsian buku dalam konteks referensial; yakni
dalam hubunganya dengan pensil, pena, meja.[12]
Dasein dan dunia terkait internal. Heidegger
mengatakan bahwa fakta dunia ini tidak diciptakan oleh Dasein dan bukan
hanya dunia faktual yang ada independen dari kita, tapi kita juga berkontribusi
terhadap penciptaan, hubungan Dasein dengan itu signifikan. Ini adalah
dunia, yang dibuat oleh orang lain juga. orang lain memiliki peran dalam
memutuskan struktur dunia. Oleh karena itu orang lain memainkan peran yang
sangat penting dalam menentukan apa yang saya. Dasein mendiami dunia
bersama dengan makhluk lain seperti dirinya. Heidegger mengatakan bahwa -Setiap orang adalah
lainnya, dan tidak ada yang sendiri.[13]
Dasein adalah keberadaan
manusia yang terlempar didalam dunia, begitu saja tanpa tahu dari mana dan mau
kemana. Heidegger menyebut ini dengan faktisitas. Kita tidak pernah
ditanya mau atau tidak hidup didunia ini. Kita ada begitu saja, kita berada “disana”didalam
dunia.[14]
Dasein
memiliki hubungan dengan sesuatu yang disebut das man. Das man yaitu
manusia yang berada dalam keadaan inautentik. Manusia enggan menerima Adanya
sendiri melainkan menerima dan meguasakannya kepada orang lain. Dalam kondisi
seperti itu, manusia mengizinkan mereka untuk membentuk dan megarahkan
eksistensinya. Hal ini dikarenakan jika manusia menerima Adanya sendiri maka
segala kegagalan akan selalu dirinya sendiri yang mempertanggung jawabkan bukan
orang lain.[15]
ANALISA DAN KESIMPULAN
Fenomena
pemahaman Ada dalam pemikiran Heidegger dicirikan setidaknya oleh tiga hal: Ada
terpahami secara pra-ontologis, bersifat temporal (mewaktu), dan
ditandai oleh keterlibatan dengan dunia. Suatu entitas menurut Heidegger
tidak terpahami dengan cara meng-Ada nya (its mode of Being) semata-mata
berdasarkan konsep-konsep seperti substansi, esensi, kausalitas, posibilitas,
dan seterusnya, melainkan berdasarkan totalitas referensial entitas tersebut
dalam merealisasikan dorongan manusia (dasein) untuk meng-Ada.
Secara konseptual,
Heidegger menyejajarkan pemahaman Ada dengan skema transcendental (atau
pemahaman Ada) karena pada titik itulah transendensi terbentuk. Skema
transcendental bagi Heidegger berupa fakta terjelas dalam kehidupan manusia (dasein)
bukan sebagai fakta rasio yang ditafsirkan.
Pemahaman Ada bagi
Heidegger adalah fenomena yang kompleks dari sekedar pembentukan konsep-konsep.
Seorang Jawa yang memahami dirinya sebagai Jawa harus mengandaikan pemahaman
akan keterkaitan dengan seluruh modus Ada, seperti entitas
(gesture,busana,bahasa,kesenian dan sebagainya) yang semua itu terungkap dalam
rangka realisasi diri seorang Jawa (meng-Ada sebagai Jawa).
Kecenderungan
sikap religious pada manusia adalah sesuatu yang tersembunyi didalam
penampakan; sesuatu yang sejati yang menjadi dasar terwujudnya kenyataan,
sesuatu yang diharapkan, tujuan dari kehidupan dan kematian. Suatu perspektif
Heidegger dimana kebutuhan ialah sesuatu yang bersifat temporal transendensi,
fenomena yang ditandai dengan dorongan untuk meng-Ada. Keadaan temporal
melahirkan sesuatu seperti Angst (kecemasan), Sorge (kekhawatiran-kepedulian),dan Unheimlichkeit (kengerian). Dengan dasar
temporal ini membentuk kecenderungan religious sehingga agama dapat diterima.
Dorongan
untuk meng-Ada atau pemahaman Ada dalam pandangan Heidegger ialah fenomena
transcendental. Apakah ini menjadi titik tolak konsep transedensi Heidegger
untuk memahami pemahaman Ada itu?
Dalam ajaran Islam
kecenderungan beriman menemukan entitas Allah sebagai “yang tidak dipahami”
sebenarnya dipahami dalam tatanan harmonis alam semesta, penciptaan manusia
yang meliputi wujud dan daya hidupnya. Kecenderungan religius merupakan suatu
suasana yang diliputi oleh ketidakhadiran dan ketidakhadiran itu ialah
tanda-tanda kehadiran-Nya.
[1] Dikutip pada
laman https://id.wikipedia.org/wiki/Martin-Heidegger pada tanggal
14 September 2016
[2] F. Budi, Hardiman, Heidegger dan Mistik
Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit, (Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2003), h. 9
[3] Zaprulkhan, Filsafat
Umum Sebuah Pendekatan Tematik,(Jakarta: Rajawali Press, 2013), h. 144
[4] W. J. Korab-Karpowicz, Journal Anglo-American University of Prague, dikutip pada
laman http://www. iep.utm.edu pada
tanggal 14 September 2016
[5] Ibid
[6] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Press, 2007), h. 132
[7] Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2003), h. 5
[9] F. Budi
Hardiman, Hermeneutika Faktisitas Martin Heidegger, dalam Kelas Filsafat
Komunitas Salihara 18 Febuary 2014 dilihat pada laman http://www.youtube.com
[10] Akhyar Yusuf
Lubis, Filsafat
Ilmu; klasik hingga kontemporer, (Jakarta: Rajawali Press, 2015) ,h.213
[11] Ibid
[12] Martin
Heidegger, Basic Problems of Phenomenology, pen. Alfred Hofstadter
(Bloomington: Indiana University Press, 1982), h. xvii dikutip dalam skripsi Adry Nugraha Imajinasi
dan Trasendensi: Pembacaan Destruktif Martin Heidegger Atas Doktin Skematisme
Kant, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 28 pada
laman http://www.repository.uin.jakarta.id
[13] Martin
Heidegger, Being and Time, Terj. John Macquarrie dan Edward Robinson, (San Francisco: Harper, 1962), h. 165
dikutip pada tulisan Dr. Sreekumar Nellickapilly dalam Aspects of Western
Philosopy IIT Madras
[14]
F. Budi
Hardiman, Hermeneutika Faktisitas Martin Heidegger, dalam Kelas Filsafat
Komunitas Salihara 18 Febuary 2014 dilihat pada laman http://www.youtube.com
[15]
Zaprulkhan, Filsafat
Umum Sebuah Pendekatan Tematik,(Jakarta: Rajawali Press, 2013), h. 150
Tidak ada komentar:
Posting Komentar