Kamis, 13 Oktober 2016

Telaah Pemikiran Ontologi Martin Heidegger



TELAAH  PEMIKIRAN ONTOLOGI MARTIN HEIDEGGER

Debri Koeswoyo
Jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
E-mail:debrikoeswoyo46@gmail.com

Abstrak
            Perkembangan pemikiran filsafat abad-20 yang meninggalkan sisi-sisi postmodernitas,  mengantarkan kepada suatu aliran baru seperti fenomenologi (Merleau), eksistensialisme (Sartre), hermeneutika (Gadamer, Ricoeur), dan teori politik (Habermas). Kesemuanya tidak terlepas dari kontribusi pemikiran Martin Heidegger. Pemikiran ontologi Heidegger dalam Sein und Zeit mencerminkan pengalaman dasar manusia di era ini, yaitu: Angst (kecemasan), Sorge (kekhawatiran-kepedulian),dan Unheimlichkeit (kengerian).
Kata Kunci: Heidegger, Ontologi, Dasein

Abstract

              The development of philosophical thought of the 20th century that left-hand side of postmodernity, drove to a new stream as phenomenology (Merleau), existentialism (Sartre), hermeneutics (Gadamer, Ricoeur), and political theory (Habermas). All of which can not be separated from the contribution of the thought of Martin Heidegger. Thought ontology Heidegger in Sein und Zeit reflects the basic human experience in this era, namely: Angst (anxiety), Sorge (concern-concern), and Unheimlichkeit (horrors!).

Keywords: Heidegger, Ontology, Dasein








PENDAHULUAN
            Ontologi merupakan salah satu objek kajian filsafat yang utama untuk memahami berbagai sumber keilmuan baik di bidang filsafat itu sendiri, pengetahuan alam, sosial, dan lainnya. Pembelajaraan yang bertujuan untuk memahami bagaimana hakikat dari segala sesuatu yang ada, baik dari segi aspek fisik dan metafisik. Ontologi berbicara tentang aspek yang ada (being), kenyataan (reality), eksistensi (existence) dan perubahan (change).
            The Myth of the Cave paradigma awal yang dibangun Plato untuk memahami pemikiran ontologis dengan membuka perbedaan antara mereka yang berfilsafat dengan yang tidak, membedakan antara penampakan dan kenyataan, dan mencari asal dari semua yang ada ini (the nature reality).
            Ontologi tidak terlepas dari batas lingkup dan teori tentang realitas yang ada (being). Heidegger memberikan pemahaman yang ada ini untuk menjelaskan eksistensi dari manusia secara keseluruhan didalam bukunya Being and Time. Dalam pemikiran ontologi Heidegger ini pandangan-pandangan pokok pemikiran fenomenologi, hermeneutika akan sangat kental dan tidak ada celah yang memisahkan keduanya.

PEMBAHASAN
A.    Biografi Martin Heidegger
 Martin Heidegger lahir di Meßkirch, Jerman, 26 September 1889 – meninggal 26 Mei 1976 adalah seorang filsuf asal Jerman. Ia belajar di Universitas Freiburg di bawah Edmund Husserl, penggagas fenomenologi, dan kemudian menjadi profesor di sana pada tahun 1928. Ia memengaruhi banyak filsuf lainnya, dan murid-muridnya termasuk Hans-Georg Gadamer, Merleau, Jean-Paul Sartre, Jacques Derrida, Michel Foucault, dan Philippe Lacoue. Selain hubungannya dengan fenomenologi, Heidegger dianggap mempunyai pengaruh yang besar atau tidak dapat diabaikan terhadap eksistensialisme, dekonstruksi, hermeneutika dan pasca-modernisme.[1]
                Pada 1911, Heidegger mengalami krisis hidup dan drop out dari pendidikan imamat, dan delapan tahun kemudian, memutuskan hubungan dengan gereja Katolik. Sikap Heidegger ini oleh sebagian orang dipandang sebagai skandal. Kendati melawan “sistem agama Katolik”, Heidegger tetap membiarkan dirinya menerima bantuan dana dari gereja untuk studi, dan setelah selesai, ia berharap bisa mendapat posisi mengajar.[2]
            Dalam perjalanan karir intelektualnya Heidegger sering terlibat dengan berbagai aktivitas yang mencederai biografi filosof abad 20 ini. Keretakan hubungannya dengan gereja katholik, dukungan politisnya kepada NAZI dan hubungan asmara terlarang dengan muridnya Hannah Arendt.[3] Kehidupan Heidegger memasuki tahap bermasalah dan kontroversial dengan Hitler naik berkuasa. Pada bulan September 1930, Sosialis Jerman Partai Adolf Hitler Pekerja Nasional '(NSDAP) menjadi partai terbesar kedua di Jerman, dan pada tanggal 30 Januari, 1933, Hitler diangkat kanselir Jerman.[4] Pada tanggal 27 Mei 1933, Heidegger menyampaikan pidato Rectoral perdana pada "Sikap tegas dari Universitas Jerman." Naskah yang mendua dari pidato ini sering diartikan sebagai ekspresi dukungannya bagi rezim Hitler.[5]
B.     Pengertian Ontologi/ Metafisika Umum
Pembahasan tentang ontologi sebagi dasar ilmu berusaha untuk menjawab “apa” yang ada, menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda. Kata ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu On=being, dan Logos=logic. Jadi, ontologi adalah The Theory of Being Qua Being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan).[6]
Sedangkan Jujun S. Suriasamantri mengatakan bahwa ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan perkataan lain suatu pengkajian mengenai yang “ada”.[7]
Jadi dapat disimpulkan bahwa:
1.    Menurut bahasa, ontologi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu On/Ontos=ada, dan Logos=ilmu. Ontologi adalah ilmu tentang hakikat yang ada.
2.    Menurut istilah, ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan Kenyataan yg asas, baik yang berbentuk jasmani / konkret, maupun rohani / abstrak.

C.     Ontologi Martin Heidegger/ Dasein
Analitik dari Dasein adalah ciri utama pemikiran Heidegger. Dasein menjadi penting karena struktur ontologis yang sulit untuk dipahami. Heidegger menyebut manusia dengan kata Dasein, yang berarti ada di sana (being-in-there). Manusia itu terlempar di sana, dan kedisanaannya itu hidup saling membentuk dengan dunia sehingga untuk memahami manusia, pemahaman akan konsep Aku itu harus disingkirkan dulu agar fenomena manusia benar-benar terlihat.[8]
Ontologi dalam pemikiran Heidegger tidak dimaksudkan untuk mempelajari Ada dalam arti metafisika tradisional. Heidegger ingin kembali pada Ada yang paling asal ketika Ada belum disalahpahami. Bagi Heidegger, Dasein sebagai “ada” yang faktis berarti ke-di-sana-an Dasein berada dalam temporalitas waktu tertentu. Jadi ontologi yang dimaksud Heidegger di sini adalah sebuah penyelidikan mengenai kehidupan faktis Dasein sebagai “ada” partikular dalam temporalitasnya.[9]

Heidegger mencoba mempertanyakan masalah mendasar yaitu ihwal masalah
“mengada” (Dasein). Siapa saya?: dari mana (asal) saya dan hendak akan kemana?; hidup saya untuk apa?”[10]

Dengan kata lain, hal mengada kita sendiri (Dasein) selalu menjadi problema atau pertanyaan yang tidak pernah usai. Ini juga mengisaratkan bahwa berada dalam dunia bagi manusia tidak sama dengan keberadaan korek api didalam kotaknya. Dengan kata lain manusia sebagai Dasein berbeda dengan “mengada-ada” lain seperti hewan, meja, mobil, dan lain sebagainya. Sebagai daein yang berbeda dengan “mengada-ada” yang lain itu, manusia mempunyai kemampuan unik atau khas yakni menyadari (mempersoalkan) makna Adanya. Artinya, Dasein bersifat terbuka sekaligus memberikan pemaknaan Ada (dan hubungan Dasein dan Ada inilah yang disebut eksistensi).[11]
Heidegger mengemukakan analisis transendensinya dengan bertolak dari fenomena pemahaman atas dasein ( pemahaman ontologis), dengan pemahaman atas pengada ( pemahaman ontis). Jika saya memahami bahwasannya benda yang saya pegang adalah buku maka itu berarti saya memahami buku secara ontis dan ontologis. Pemahaman secara ontis adalah pemahaman terhadap cirri-ciri fisik atau cirri-ciri dari ukuran dan keadaan buku. Sedangkan pemahaman akan ontology dari buku tersebut ialah keberfungsian buku dalam konteks referensial; yakni dalam hubunganya dengan pensil, pena, meja.[12]
            Dasein dan dunia terkait internal. Heidegger mengatakan bahwa fakta dunia ini tidak diciptakan oleh Dasein dan bukan hanya dunia faktual yang ada independen dari kita, tapi kita juga berkontribusi terhadap penciptaan, hubungan Dasein dengan itu signifikan. Ini adalah dunia, yang dibuat oleh orang lain juga. orang lain memiliki peran dalam memutuskan struktur dunia. Oleh karena itu orang lain memainkan peran yang sangat penting dalam menentukan apa yang saya. Dasein mendiami dunia bersama dengan makhluk lain seperti  dirinya. Heidegger mengatakan bahwa -Setiap orang adalah lainnya, dan tidak ada yang sendiri.[13]
            Dasein adalah keberadaan manusia yang terlempar didalam dunia, begitu saja tanpa tahu dari mana dan mau kemana. Heidegger menyebut ini dengan faktisitas. Kita tidak pernah ditanya mau atau tidak hidup didunia ini. Kita ada begitu saja, kita berada “disana”didalam dunia.[14]
            Dasein memiliki hubungan dengan sesuatu yang disebut das man. Das man yaitu manusia yang berada dalam keadaan inautentik. Manusia enggan menerima Adanya sendiri melainkan menerima dan meguasakannya kepada orang lain. Dalam kondisi seperti itu, manusia mengizinkan mereka untuk membentuk dan megarahkan eksistensinya. Hal ini dikarenakan jika manusia menerima Adanya sendiri maka segala kegagalan akan selalu dirinya sendiri yang mempertanggung jawabkan bukan orang lain.[15]

ANALISA DAN KESIMPULAN   
                Fenomena pemahaman Ada dalam pemikiran Heidegger dicirikan setidaknya oleh tiga hal: Ada terpahami secara pra-ontologis, bersifat temporal (mewaktu), dan ditandai oleh keterlibatan dengan dunia. Suatu entitas menurut Heidegger tidak terpahami dengan cara meng-Ada nya (its mode of Being) semata-mata berdasarkan konsep-konsep seperti substansi, esensi, kausalitas, posibilitas, dan seterusnya, melainkan berdasarkan totalitas referensial entitas tersebut dalam merealisasikan dorongan manusia (dasein) untuk meng-Ada.
            Secara konseptual, Heidegger menyejajarkan pemahaman Ada dengan skema transcendental (atau pemahaman Ada) karena pada titik itulah transendensi terbentuk. Skema transcendental bagi Heidegger berupa fakta terjelas dalam kehidupan manusia (dasein) bukan sebagai fakta rasio yang ditafsirkan.
            Pemahaman Ada bagi Heidegger adalah fenomena yang kompleks dari sekedar pembentukan konsep-konsep. Seorang Jawa yang memahami dirinya sebagai Jawa harus mengandaikan pemahaman akan keterkaitan dengan seluruh modus Ada, seperti entitas (gesture,busana,bahasa,kesenian dan sebagainya) yang semua itu terungkap dalam rangka realisasi diri seorang Jawa (meng-Ada sebagai Jawa).
            Kecenderungan sikap religious pada manusia adalah sesuatu yang tersembunyi didalam penampakan; sesuatu yang sejati yang menjadi dasar terwujudnya kenyataan, sesuatu yang diharapkan, tujuan dari kehidupan dan kematian. Suatu perspektif Heidegger dimana kebutuhan ialah sesuatu yang bersifat temporal transendensi, fenomena yang ditandai dengan dorongan untuk meng-Ada. Keadaan temporal melahirkan sesuatu seperti Angst (kecemasan), Sorge (kekhawatiran-kepedulian),dan Unheimlichkeit (kengerian). Dengan dasar temporal ini membentuk kecenderungan religious sehingga agama dapat diterima.
                Dorongan untuk meng-Ada atau pemahaman Ada dalam pandangan Heidegger ialah fenomena transcendental. Apakah ini menjadi titik tolak konsep transedensi Heidegger untuk memahami pemahaman Ada itu?
            Dalam ajaran Islam kecenderungan beriman menemukan entitas Allah sebagai “yang tidak dipahami” sebenarnya dipahami dalam tatanan harmonis alam semesta, penciptaan manusia yang meliputi wujud dan daya hidupnya. Kecenderungan religius merupakan suatu suasana yang diliputi oleh ketidakhadiran dan ketidakhadiran itu ialah tanda-tanda kehadiran-Nya.


[1] Dikutip pada laman https://id.wikipedia.org/wiki/Martin-Heidegger pada tanggal 14 September 2016
[2] F. Budi, Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2003), h. 9
[3] Zaprulkhan, Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik,(Jakarta: Rajawali Press, 2013), h. 144
[4] W. J. Korab-Karpowicz, Journal Anglo-American University of Prague, dikutip pada laman http://www. iep.utm.edu pada tanggal 14 September 2016
[5] Ibid
[6] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Press, 2007), h. 132
[7] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003), h. 5
[8] Dikutip pada laman http://id.wikipedia.fenomenologi.org pada tanggal 14 September 2016
[9] F. Budi Hardiman, Hermeneutika Faktisitas Martin Heidegger, dalam Kelas Filsafat Komunitas Salihara 18 Febuary 2014 dilihat pada laman http://www.youtube.com
[10] Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu; klasik hingga kontemporer, (Jakarta: Rajawali Press, 2015) ,h.213
[11] Ibid
[12] Martin Heidegger, Basic Problems of Phenomenology, pen. Alfred Hofstadter (Bloomington: Indiana University Press, 1982), h. xvii  dikutip dalam skripsi Adry Nugraha Imajinasi dan Trasendensi: Pembacaan Destruktif Martin Heidegger Atas Doktin Skematisme Kant, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 28 pada laman  http://www.repository.uin.jakarta.id
[13] Martin Heidegger, Being and Time, Terj. John Macquarrie dan Edward Robinson, (San Francisco:  Harper, 1962), h. 165 dikutip pada tulisan Dr. Sreekumar Nellickapilly dalam Aspects of Western Philosopy IIT Madras
[14] F. Budi Hardiman, Hermeneutika Faktisitas Martin Heidegger, dalam Kelas Filsafat Komunitas Salihara 18 Febuary 2014 dilihat pada laman http://www.youtube.com
[15] Zaprulkhan, Filsafat Umum Sebuah Pendekatan Tematik,(Jakarta: Rajawali Press, 2013), h. 150

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diabolisme Salman Rushdie dan Ahok

ANTARA SALMAN RUSHDIE DAN AHOK Oleh: Dr. Adian Husaini Tahun 1988, dunia Islam digegerkan oleh seorang bernama Salman Rushdie. Kisahnya ...