Kamis, 26 Mei 2016

Manusia dalam Pandangan Filsafat Fenomenologi



MANUSIA DALAM PANDANGAN FENOMENOLOGI
 Oleh
Debri Koeswoyo
A. PENDAHULUAN
Fenomenologi adalah gerakan filsafat yang dipelopori oleh Edmund Husserl (1859-1938). Salah satu arus pemikiran yang paling berpengaruh pada abad ke-20. Husserl membedakan antara dunia yang dikenal dalam sains dan dunia di mana kita hidup. Selanjutnya ia juga mendiskusikan tentang kesadaran dan perhatian terhadap dunia di mana kita hidup. Kita dapat menganggap sepi objek apapun tetapi kita tidak dapat menganggap sepi kesadaran kita. Eksistensi kesadaran adalah satu-satunya benda yang tidak dapat dianggap sepi. Pengkajian tentang dunia yang kita hayati serta pengalaman kita yang langsung tentang dunia tersebut adalah pusat perhatian fenomenologi.[1]

B. PEMBAHASAN
            Kata fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phainomenon, dari phainesthai / phainomai / phainein yang artinya menampakkan, memperlihatkan.[2] Dalam bahasa Indonesia biasa dipakai istilah gejala. Yaitu suatu hal yang tidak nyata dan semu, kebalikan kenyataan, juga dapat diartikan sebagai ungkapan kejadian yang dapat diamati lewat indera. Dan yang lebih penting dalam filsafat fenomenologi sebagai sumber berpikir yang kritis.[3] Fenomenologi juga berarti ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon). Jadi, fenomenologi itu mempelajari apa yang tampak atau apa yang menampakkan diri atau fenomena.[4]
            Sedangkan fenomenologi secara terminologi dapat didefinisikan dengan suatu disiplin ilmu yang mencoba mengkaji realitas yang memiliki objek dunia atau benda, dimana tidak ada hal tanpa hal lain. Benda biasa dilihat sebagai suatu objek yang dapat dilihat, dipegang, diraba, atau didengar. Identik dengan dirinya sendiri dan berada dalam ruang yang kemudian muncul sebagai hal yang terjadi dalam suatu waktu.[5]
            Kant membedakan antara phenomenon dan noumenon, yang pertama sebagai objek yang kita alami dan yang kedua kejadian sebagaimana hal itu terjadi. Menurut Kant, manusia hanya dapat mengenal fenomena-fenomena yang nampak dalam kesadaraan, bukan noumena yaitu yaitu realitas di luar (berupa benda-benda atau atau nampak tetap menjadi objek kesadaran kita) yang kita kenal. Melihat warna biru , misalnya tidak lain adalah hasil cerapan indrawi yang membentuk pengalaman batin yang diakibatkan oleh sesuatu dari luar. Warna biru itu sendiri merupakan realitas yang tidak dikenal pada diri sendiri (in se).Ini berarti kesadaran kita tertutup dan terisolasi dari realitas. Demikianlah, Kant sebenarnya mengakui adanya realitas eksernal yang berada diluar diri manusia, yaitu sebuah realitas itu ia sebut das Ding an sich (objek pada dirinya sendiri) atau noumena, tetapi menurutnya, manusia tidak ada sarana ilmiah untuk mengetahuinya.
            Hegel memandang phenomena sebagai tahapan untuk sampai ke noumenon.[6] Problema untuk mengompromikan realitas dengan pikiran tentang realitas merupakan problema yang sama tuanya dengan filsafat sendiri. Problema itu menjadi lebih sulit karena kita tak dapat mengetahui realitas tanpa hubungan dengan kesadaran kita, dan kita tak dapat mengetahui kesadaran tanpa hubungan dengan realitas.[7]

a. Fenomenologi Edmund Husserl
Dalam pemikiran Husserl, konsep fenomenologi itu berpusat pada persoalan tentang kebenaran. Husserl yakin bahwa ada kebenaran bagi semua dan manusia dapat mencapai kebenaran itu.[8] Bagi Husserl metode yang benar-benar ilmiah adalah metode yang sanggup membuat fenomena menampakkan diri sesuai dengan realitas yang sesungguhnya tanpa memanipulasinya. Ada suatu slogan yang terkenal di kalangan penganut fenomenologi, yaitu: zu den sachen selbst (terarah kepada benda itu sendiri). Dalam keterarahan benda itu, sesungguhnya benda itu sendirilah yang dibiarkan untuk mengungkapkan hakikat dirinya sendiri. Berangkat dari proses pemikiran yang demikian, maka lahirlah metode fenomenologis.[9]
            Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran harus menjadi dasar filsafat. Alasannya ialah bahwa hanya kesadaran yang diberikan secara langsung kepada saya sebagai subjek, seperti akan kita lihat lagi.[10] Fenomen” merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung yang memisahkan realitas dari kita., realitas itu sendiri tampak bagi kita. Kesadaran menurut kodratnya mengarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Kesadaran menurut kodratnya bersifat intensionalitas. (intensionalitas merupakan unsur hakiki kesadaran). Dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas, fenomena harus dimengerti sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri.[11]

C. MANUSIA DALAM PANDANGAN FENOMENOLOGI
1.    Pandangan Heidegger
Menurut Heidegger, manusia itu terbuka bagi dunianya dan sesamanya. Kemampuan seseorang untuk bereksistensi dengan hal-hal yang ada di luar dirinya karena memiliki kemampuan seperti kepekaan, pengertian, pemahaman, perkataan atau pembicaraan. Bagi Heidegger untuk mencapai manusia utuh maka manusia harus merealisasikan segala potensinya meski dalam kenyataannya seseorang itu tidak mampu merealisasikannya. Ia tetap sekuat tenaga tidak pantang menyerah dan selalu bertanggungjawab atas potensi yang  belum teraktualisasikan.[12]
Dalam persfektif yang lain mengenai sesosok Heidegger menjadi salah satu filsafat yang fenomenal yaitu bahwa ia mengemukakan tentang konsep suasana hati (mood). Seperti yang kita ketahui bahwa dengan suasana hatilah kita diatur oleh dunia kita, bukan dalam pendirian pengetahuan observasional yang berjarak. Biasanya, dengan posisi kita yang sedang bersahabat dengan suasana hati, maka kita akan bisa mengenali diri kita yang sesungguhnya. Karena suasana hati bisa menjadi tolak ukur untuk mengetahui hakikat diri dengan banyaknya pertanyaan yang muncul seperti pencarian jati diri siapa kita sesungguhnya, apa kemampuan kita, dan apa kekurangan atau kelebihan yang kita miliki, bagaimanakah kehidupan kita yang selanjutnya dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Konsep inilah yang menguatkan pendapat banyak orang mengenai sesosok orang yang mampu melihat noumena dan phenoumena.[13]
Pendekatan fenomenologi berakar pada filosofi dan psikologi, dan berfokus pada pengalaman hidup manusia (sosiologi). Pendekatan fenomenologi hampir serupa dengan pendekatan hermeneutics yang menggunakan pengalaman hidup sebagai alat untuk memahami secara lebih baik tentang sosial budaya, politik atau konteks sejarah dimana pengalaman itu terjadi.
2. Pandangan Edmund Husserl
Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung manusia yang meliputi; religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Perhatian filsafat, menurutnya, hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.[14]
Berikut adalah komponen konseptual dalam fenomenologi transendental Husserl:[15]

a.       Kesengajaan (Intentionality)
Kesengajaan (intentionality) adalah orientasi pikiran terhadap suatu objek (sesuatu) yang menurut Husserl, objek atau sesuatu tersebut bisa nyata atau tidak nyata.Objek nyata seperti sebongkah batu yang dibentuk dengan tujuan tertentu maka jadilah batu permata. Objek yang tidak nyata misalnya konsep tentang tanggung jawab, kesabaran, dan konsep lain yang abstrak atau tidak real. Husserl menyatakan bahwa kesengajaan sangat terkait dengan kesadaran atau pengalaman seseorang dimana kesengajaan atau pengalaman tersebut dipengaruhi oleh faktor kesenangan (minat), penilaian awal, dan harapan terhadap objek. Misalnya minat terhadap dunia pendidikan akan menentukan kesengajaan kuliah di bidang pendidikan.
b.      Noema dan Noesis
Noema atau noesis merupakan turunan dari kesengajaan atau intentionalityatau  maksud memahami sesuatu, dimana setiap pengalaman individu memiliki sisi obyektif dan subyektif. Noema adalah sisi obyektif dari fenomena, artinya sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dirasakan, dipikirkan, atau sekalipun sesuatu yang masih akan dipikirkan (ide). Sedangkan sisi subyektif noesis adalah tindakan yang dimaksud (intended act) seperti merasa, mendengar, memikirkan, dan menilai ide.


c.       Intuisi
Intuisi yakni kemampuan membedakan “yang murni” dan yang diperhatikan dari the light of reason alone (semata-mata alasannya).Intuisi lah yang membimbing manusia mendapatkan pengetahuan. Bagi Husserl, intuisi yang menghubungkan noema dan noesis. Inilah sebabnya fenomenologi Husserl dinamakan fenomenologi transendental, karena terjadi dalam diri individu secara mental (transenden).
d.      Intersubjektivitas
Bahwa makna intersubjektif ini berawal dari konsep ‘sosial’ dan konsep ‘tindakan’.Konsep sosial didefinisikan sebagai hubungan antara dua atau lebih orang dan konsep tindakan didefinisikan sebagai perilaku yang membentuk makna subjektif. Akan tetapi, makna subjektif tersebut bukan berada di dunia privat individu melainkan dimaknai secara sama dan bersama dengan individu lain. Oleh karenanya, sebuah makna subjektif dikatakan intersubjektif karena memiliki aspek kesamaan dan kebersamaan (common and shared).
D. ANALISA
Asumsi dasar dari fenomenologi adalah bahwa manusia dalam berilmu pengetahuan tidak lepas dari pandangan moralnya, baik pada taraf mengamati, menghimpun data, menganalisis, ataupun dalam membuat kesimpulan. Fenomenolgi yang selalu bersandar kepada kesadaran manusia, jika dilihat lebih jauh dalam kehidupan sehari-hari atau ditipifikasikan, maka bahasa menjadi medium sentral untuk tranformasi tipifikatif, oleh karena ada makna yang dapat ditemukan dalam tipifikasi (pergaulan sehar-hari).[16] Keadaan ini memberikan orientasi metodologi bagi fenomenologi tentang kehidupan sosial dengan memberikan perhatian lebih kepada relasi antara bahasa yang digunakan dengan obyek pengalaman. Dengan demikian maka fenomenologi sosial dilandaskan atas ajaran bahwa interaksi sosial adalah rancang bangun sepanjang di dalamnya memuat makna yang dapat diungkap. 
E. KESIMPULAN
Pada dasarnya fenomenologi adalah suatu tradisi pengkajian yang digunakan untuk mengeksplorasi pengalaman manusia.Seperti yang dikemukakan oleh Littlejohn bahwa fenomenologi adalah suatu tradisi untuk mengeksplorasi pengalaman manusia.Dalam konteks ini ada asumsi bahwa manusia aktif memahami dunia disekelilingnya sebagai sebuah pengalaman hidupnya dan aktif menginterpretasikan pengalaman tersebut. Asumsi pokok fenomenologi adalah manusia secara aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan memberikan makna atas sesuatu yang dialaminya. Oleh karena itu interpretasi merupakan proses aktif untuk memberikan makna atas sesuatu yang dialami manusia. Dengan kata lain pemahaman adalah suatu tindakan kreatif, yakni tindakan menuju pemaknaan.
Manusia memiliki paradigma tersendiri dalam memaknai sebuah realitas. Pengertian paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya.Paradigma menunjukkan sesuatu yang penting, absah, dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan kepada praktisinya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epistimologis yang panjang.



[1] Harold Titus, dkk, Living Issues in Philosophy (Persoalan-Persoalan Filsafat), alih bahasa Prof. Dr. H.M. Rasjidi, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984), hlm. 400
[2]  Save M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), Cet. 1, hlm. 37
[3]  Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 122
[4]  K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jerman, (Jakarta: PT. Gramedia, 1981), hlm. 98.
[5] M. A. W. Brouwer, Alam Manusia dalam Fenomenologi, (Jakarta: Kanisius, 1995), hlm. 6
[6]  Dikutip pada laman http://yoyoksiemo.blogspot.com pada tanggal 05 Mei 2016
[7] Saidul Amin, Filsafat Barat Abad 21,( Pekanbaru: Pusaka Riau, 2012), hlm. 69
[8]  Dikutip pada laman http://yoyoksiemo.blogspot.com pada tanggal 05 Mei 2016
[9]  Dikutip pada laman http://id.wikipedia.org pada tanggal 05 Mei 2016
[10]  K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jerman......................................., hlm. 99 – 100
[11]  Ibid, h. 101
[12]  Syamsul Arifin, Fenomenologi Agama, ( Pasuruan: PT.Garoeda Buana Indah, 1996 ), hlm. 8 didownload pada laman https://ebooks-online.com pada tanggal 07 Mei 2016
[13]  Ibid
[14] Zainal Abidin, Filsafat Manusia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), h. 149
[15] Ibid.,h. 147
[16] Dikutip pada laman http://mudjiarahardjo.com pada tanggal  07 Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diabolisme Salman Rushdie dan Ahok

ANTARA SALMAN RUSHDIE DAN AHOK Oleh: Dr. Adian Husaini Tahun 1988, dunia Islam digegerkan oleh seorang bernama Salman Rushdie. Kisahnya ...