MANUSIA DALAM PANDANGAN FENOMENOLOGI
Oleh
Debri Koeswoyo
A. PENDAHULUAN
Fenomenologi
adalah gerakan filsafat yang dipelopori oleh Edmund Husserl (1859-1938). Salah
satu arus pemikiran yang paling berpengaruh pada abad ke-20. Husserl membedakan antara
dunia yang dikenal dalam sains dan dunia di mana kita hidup. Selanjutnya ia
juga mendiskusikan tentang kesadaran dan perhatian terhadap dunia di mana kita
hidup. Kita dapat menganggap sepi objek apapun tetapi kita tidak dapat
menganggap sepi kesadaran kita. Eksistensi kesadaran adalah satu-satunya benda
yang tidak dapat dianggap sepi. Pengkajian tentang dunia yang kita hayati serta
pengalaman kita yang langsung tentang dunia tersebut adalah pusat perhatian
fenomenologi.[1]
B. PEMBAHASAN
Kata fenomenologi berasal
dari bahasa Yunani, phainomenon, dari phainesthai / phainomai /
phainein yang artinya menampakkan, memperlihatkan.[2]
Dalam bahasa Indonesia biasa dipakai istilah gejala. Yaitu suatu hal yang tidak
nyata dan semu, kebalikan kenyataan, juga dapat diartikan sebagai ungkapan
kejadian yang dapat diamati lewat indera. Dan yang lebih penting dalam filsafat
fenomenologi sebagai sumber berpikir yang kritis.[3]
Fenomenologi juga berarti ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang
tampak (phainomenon). Jadi, fenomenologi itu mempelajari apa yang tampak
atau apa yang menampakkan diri atau fenomena.[4]
Sedangkan fenomenologi
secara terminologi dapat didefinisikan dengan suatu disiplin ilmu yang mencoba
mengkaji realitas yang memiliki objek dunia atau benda, dimana tidak ada hal
tanpa hal lain. Benda biasa dilihat sebagai suatu objek yang dapat dilihat,
dipegang, diraba, atau didengar. Identik dengan dirinya sendiri dan berada dalam ruang yang
kemudian muncul sebagai hal yang terjadi dalam suatu waktu.[5]
Kant membedakan antara
phenomenon dan noumenon, yang pertama sebagai objek yang kita alami dan yang
kedua kejadian sebagaimana hal itu terjadi. Menurut
Kant, manusia hanya dapat mengenal fenomena-fenomena yang nampak dalam
kesadaraan, bukan noumena yaitu yaitu realitas di luar (berupa benda-benda atau
atau nampak tetap menjadi objek kesadaran kita) yang kita kenal. Melihat warna
biru , misalnya tidak lain adalah hasil cerapan indrawi yang membentuk
pengalaman batin yang diakibatkan oleh sesuatu dari luar. Warna biru itu
sendiri merupakan realitas yang tidak dikenal pada diri sendiri (in se).Ini
berarti kesadaran kita tertutup dan terisolasi dari realitas. Demikianlah, Kant
sebenarnya mengakui adanya realitas eksernal yang berada diluar diri manusia,
yaitu sebuah realitas itu ia sebut das Ding an sich (objek pada dirinya
sendiri) atau noumena, tetapi menurutnya, manusia tidak ada sarana ilmiah untuk
mengetahuinya.
Hegel memandang phenomena
sebagai tahapan untuk sampai ke noumenon.[6] Problema
untuk mengompromikan realitas dengan pikiran tentang realitas merupakan
problema yang sama tuanya dengan filsafat sendiri. Problema itu menjadi lebih
sulit karena kita tak dapat mengetahui realitas tanpa hubungan dengan kesadaran
kita, dan kita tak dapat mengetahui kesadaran tanpa hubungan dengan realitas.[7]
a. Fenomenologi Edmund Husserl
Dalam pemikiran
Husserl, konsep fenomenologi itu berpusat pada persoalan tentang kebenaran. Husserl
yakin bahwa ada kebenaran bagi semua dan manusia dapat mencapai kebenaran itu.[8] Bagi Husserl metode yang
benar-benar ilmiah adalah metode yang sanggup membuat fenomena menampakkan diri
sesuai dengan realitas yang sesungguhnya tanpa memanipulasinya. Ada suatu
slogan yang terkenal di kalangan penganut fenomenologi, yaitu: zu den sachen
selbst (terarah kepada benda itu sendiri). Dalam keterarahan benda itu,
sesungguhnya benda itu sendirilah yang dibiarkan untuk mengungkapkan hakikat
dirinya sendiri. Berangkat dari proses pemikiran yang demikian, maka lahirlah
metode fenomenologis.[9]
Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran harus menjadi dasar
filsafat. Alasannya ialah bahwa hanya kesadaran yang diberikan secara langsung
kepada saya sebagai subjek, seperti akan kita lihat lagi.[10]
“Fenomen”
merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung yang memisahkan
realitas dari kita., realitas itu sendiri tampak bagi kita. Kesadaran menurut
kodratnya mengarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan
sesuatu. Kesadaran menurut kodratnya bersifat intensionalitas. (intensionalitas
merupakan unsur hakiki kesadaran). Dan justru karena kesadaran ditandai oleh
intensionalitas, fenomena harus dimengerti sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri.[11]
C. MANUSIA DALAM PANDANGAN FENOMENOLOGI
1.
Pandangan Heidegger
Menurut
Heidegger, manusia itu terbuka bagi dunianya dan sesamanya. Kemampuan seseorang
untuk bereksistensi dengan hal-hal yang ada di luar dirinya karena memiliki
kemampuan seperti kepekaan, pengertian, pemahaman, perkataan atau pembicaraan. Bagi Heidegger
untuk mencapai manusia utuh maka manusia harus merealisasikan segala potensinya
meski dalam kenyataannya seseorang itu tidak mampu merealisasikannya. Ia tetap
sekuat tenaga tidak pantang menyerah dan selalu bertanggungjawab atas potensi
yang belum teraktualisasikan.[12]
Dalam persfektif yang lain mengenai sesosok Heidegger
menjadi salah satu filsafat yang fenomenal yaitu bahwa ia mengemukakan tentang
konsep suasana hati (mood). Seperti yang kita ketahui bahwa dengan
suasana hatilah kita diatur oleh dunia kita, bukan dalam pendirian pengetahuan
observasional yang berjarak. Biasanya, dengan posisi kita yang sedang
bersahabat dengan suasana hati, maka kita akan bisa mengenali diri kita yang
sesungguhnya. Karena suasana hati bisa menjadi tolak ukur untuk mengetahui
hakikat diri dengan banyaknya pertanyaan yang muncul seperti pencarian jati
diri siapa kita sesungguhnya, apa kemampuan kita, dan apa kekurangan atau
kelebihan yang kita miliki, bagaimanakah kehidupan kita yang selanjutnya dan
pertanyaan-pertanyaan lainnya. Konsep inilah yang menguatkan pendapat banyak
orang mengenai sesosok orang yang mampu melihat noumena dan phenoumena.[13]
Pendekatan fenomenologi berakar pada filosofi dan
psikologi, dan berfokus pada pengalaman hidup manusia (sosiologi). Pendekatan fenomenologi hampir serupa
dengan pendekatan hermeneutics yang menggunakan pengalaman hidup sebagai alat
untuk memahami secara lebih baik tentang sosial budaya, politik atau konteks
sejarah dimana pengalaman itu terjadi.
2. Pandangan Edmund Husserl
Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu
analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk
kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung manusia yang meliputi; religius, moral, estetis,
konseptual, serta indrawi. Perhatian
filsafat, menurutnya, hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang Labenswelt
(dunia kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Penyelidikan
ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan
praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.[14]
Berikut
adalah komponen konseptual dalam fenomenologi transendental Husserl:[15]
a.
Kesengajaan (Intentionality)
Kesengajaan (intentionality) adalah orientasi
pikiran terhadap suatu objek (sesuatu) yang menurut Husserl, objek atau sesuatu
tersebut bisa nyata atau tidak nyata.Objek nyata seperti sebongkah batu yang
dibentuk dengan tujuan tertentu maka jadilah batu permata. Objek yang tidak
nyata misalnya konsep tentang tanggung jawab, kesabaran, dan konsep lain yang
abstrak atau tidak real. Husserl menyatakan bahwa kesengajaan sangat terkait
dengan kesadaran atau pengalaman seseorang dimana kesengajaan atau pengalaman tersebut
dipengaruhi oleh faktor kesenangan (minat), penilaian awal, dan harapan
terhadap objek. Misalnya minat terhadap dunia pendidikan akan menentukan
kesengajaan kuliah di bidang pendidikan.
b.
Noema dan Noesis
Noema atau noesis merupakan turunan dari kesengajaan atau intentionalityatau maksud memahami sesuatu, dimana setiap
pengalaman individu memiliki sisi obyektif dan subyektif. Noema adalah sisi
obyektif dari fenomena, artinya sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dirasakan,
dipikirkan, atau sekalipun sesuatu yang masih akan dipikirkan (ide). Sedangkan
sisi subyektif noesis adalah tindakan yang dimaksud (intended act) seperti
merasa, mendengar, memikirkan, dan menilai ide.
c.
Intuisi
Intuisi yakni kemampuan membedakan “yang murni” dan
yang diperhatikan dari the light of reason alone (semata-mata
alasannya).Intuisi lah yang membimbing manusia mendapatkan pengetahuan. Bagi
Husserl, intuisi yang menghubungkan noema dan noesis. Inilah sebabnya
fenomenologi Husserl dinamakan fenomenologi transendental, karena terjadi dalam
diri individu secara mental (transenden).
d. Intersubjektivitas
Bahwa makna intersubjektif ini
berawal dari konsep ‘sosial’ dan konsep ‘tindakan’.Konsep sosial didefinisikan
sebagai hubungan antara dua atau lebih orang dan konsep tindakan didefinisikan
sebagai perilaku yang membentuk makna subjektif. Akan tetapi, makna subjektif
tersebut bukan berada di dunia privat individu melainkan dimaknai secara sama
dan bersama dengan individu lain. Oleh karenanya, sebuah makna subjektif
dikatakan intersubjektif karena memiliki aspek kesamaan dan kebersamaan (common
and shared).
D. ANALISA
Asumsi dasar dari
fenomenologi adalah bahwa manusia dalam berilmu pengetahuan tidak lepas dari
pandangan moralnya, baik pada taraf mengamati, menghimpun data, menganalisis,
ataupun dalam membuat kesimpulan. Fenomenolgi yang selalu
bersandar kepada kesadaran manusia, jika dilihat lebih jauh dalam kehidupan
sehari-hari atau ditipifikasikan, maka bahasa menjadi medium sentral untuk
tranformasi tipifikatif, oleh karena ada makna yang dapat ditemukan dalam
tipifikasi (pergaulan sehar-hari).[16]
Keadaan ini memberikan orientasi metodologi bagi fenomenologi tentang kehidupan
sosial dengan memberikan perhatian lebih kepada relasi antara bahasa yang
digunakan dengan obyek pengalaman. Dengan demikian maka fenomenologi sosial
dilandaskan atas ajaran bahwa interaksi sosial adalah rancang bangun sepanjang
di dalamnya memuat makna yang dapat diungkap.
E. KESIMPULAN
Pada dasarnya fenomenologi adalah
suatu tradisi pengkajian yang digunakan untuk mengeksplorasi pengalaman
manusia.Seperti yang dikemukakan oleh Littlejohn bahwa fenomenologi adalah
suatu tradisi untuk mengeksplorasi pengalaman manusia.Dalam konteks ini ada
asumsi bahwa manusia aktif memahami dunia disekelilingnya sebagai sebuah
pengalaman hidupnya dan aktif menginterpretasikan pengalaman tersebut. Asumsi pokok
fenomenologi adalah manusia secara aktif menginterpretasikan pengalamannya
dengan memberikan makna atas sesuatu yang dialaminya. Oleh
karena itu interpretasi merupakan proses aktif untuk memberikan makna atas
sesuatu yang dialami manusia. Dengan kata lain pemahaman adalah suatu tindakan
kreatif, yakni tindakan menuju pemaknaan.
Manusia memiliki paradigma tersendiri dalam memaknai
sebuah realitas. Pengertian paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami
kompleksitas dunia nyata. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para
penganut dan praktisinya.Paradigma menunjukkan sesuatu yang penting, absah, dan
masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan kepada praktisinya
apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau
epistimologis yang panjang.
[1] Harold
Titus, dkk, Living Issues in Philosophy (Persoalan-Persoalan Filsafat), alih
bahasa Prof. Dr. H.M. Rasjidi, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984), hlm. 400
[10] K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jerman......................................., hlm. 99 – 100
[12] Syamsul Arifin, Fenomenologi Agama, ( Pasuruan:
PT.Garoeda Buana Indah, 1996 ), hlm. 8 didownload pada laman https://ebooks-online.com pada tanggal 07 Mei 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar