BIOGRAFI DAN AJARAN TASAWUF
ABU MAHFUDZ
MA'RUF BIN FAIRUZ AL-KARKHI
Diajukan Untuk
Memenuhi Salah Satu Syarat Tugas Mata Kuliah Tasawuf I
Dosen
Pembimbing Drs. H. Iskandar Arnel, MA., Ph. D
DEBRI
KOESWOYO
11431101321
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2015
A.
Latar Belakang
Kehadiran tasawuf mewarnai dunia Islam dari abad pertama Hijriah
hingga sekarang ini, banyak ajaran yang muncul dan sesuai dengan perkembangan
zamannya. Bedanya hanya terletak pada esensi dan eksistensi tasawuf itu
sendiri. Esensi tasawuf pada awal Hijriah sangat kuat dibandingkan dengan zaman
sekarang, namun eksistensi tasawauf pada masa sekarang lebih eksis dari pada
zaman dahulu. Pada abad ke 1-2 H para sufi hanya didominasi oleh kesadaran
untuk berzuhud, kemudian dilanjutkan pada abad ke 3 H para sufi sudah mulai
mengarah pada tasawuf falsafi.
Ma’rifat
merupakan ajaran tasawuf awal yang berkembang dari kezuhudan sufi itu sendiri. Ma’rifat
menjadi salah satu tujuan penantian seorang Muslim saat dirinya sudah mampu
mengalahkan keinginan duniawi dan mengedepankan tujuan akhir manusia itu
sendiri yaitu kembali kepada Sang Ilahi. Penulis mengambil biografi dan ajaran
tasawuf dari Abu
Mahfudz Ma'ruf Bin Fairuz Al-Karkhi karena ia merupakan tokoh sufi pertama yang
memperkenalkan ajaran ma’rifat. Pengaruh ajarannya sangat kuat bagi tokoh-
tokoh sufi selanjutnya dan ma’rifat menjadi citra tersendiri bagi pembeda
antara kaum sufi dan awam.
Abu Mahfudz Ma'ruf Bin Fairuz Al-Karkhi
merupakan seorang tokoh sufi yang menjadi pemberitaan yang hangat dikalangan
orientalis karena dirinya merupakan seorang sufi yang sebelumnya bukan beragama
Muslim. Ajaran ma’rifat yang bersumber dari ajarannya dikumandangkan oleh para
orientalis merupakan bagian dari agama yang dianutnya sebelum ia masuk Islam.
Hal yang menarik ketika ajaran sufi dihubungkan dengan ajaran diluar Islam.
Dibutuhkan sebuah pendapat yang kuat untuk membantah tuduhan para orientalis
ini. Namun, penulis hanya akan mendiskripsikan bagaimana Abu Mahfudz Ma'ruf Bin
Fairuz Al-Karkhi dapat mencapai tahapan ajaran ma’rifat dan menjadi pembesar
ajaran tersebut.
B.
Biografi Abu Mahfudz Ma'ruf Bin Fairuz Al-Karkhi
Abu Mahfuzh Ma'ruf bin Fairuz
Al-Karkhi dilahirkan di desa Karkh yang terletak di sebelah barat Bagdad. Tidak
ada satu pun ulama yang meriwayatkan kelahiran beliau, beliau wafat pada tahun 200 H / 815 M [1]. Julukannya
yang terkenal ialah Ma’ruf al- Karkhi. Kedua orangtuanya ialah penganut agama
Nasrani dan sumber lain ada juga yang menyebutkan penganut Shabi’ah ( penyembah
bintang) [2].
Pada masa kecil Ma’ruf al- Karkhi dikirim orangtuanya untuk belajar kepada seorang
pendeta Nasrani
وكان المؤدب: يقول له قل: "ثالث ثلاثة"،
فيقول معروف: "بل هو الواحد الصمد!"، فضربه على ذلك ضرباً مفرطاً، فهرب
منه. فكان أبواه يقولان: "ليته يرجع ألينا، على أي دين كان، فنوافقه
عليه!"، فرجع أليهما، فدق الباب، فقيل: "من?"، قال:
"معروف!"، فقالا: "على أى دين?"، قال: "دين
الإسلام"؛ فأسلم أبواه.[3]
Orang yg mendidik Ma'ruf berkata : "
Katakanlah Allah adalah salah satu diantara tiga tuhan"
Ma'ruf berkata : " Bukan, Dia adalah Dzat yang Esa dan Dzat yang dituju dalam segala kebutuhan"
Kemudian gurunya memukul Ma'ruf dengan pukulan yg keras, maka larilah Ma'ruf darinya.
Kedua ortunya ma'ruf berkata : " Andaikan Ma'ruf kembali kepada kami, masuk agama apapun dia maka kami akan mengikutinya!"
Kemudian Ma'ruf kembali, dan mengetuk pintu rumahnya , dari dalam rumah ada yg berkata : “siapa ?"
" Ma'ruf " jawabnya.
" Ikut agama mana ?" tanya kedua ortunya.
Ma'ruf : " Agama Islam. "
kemudian kedua orang tuanya masuk Islam.[4]
Ma'ruf berkata : " Bukan, Dia adalah Dzat yang Esa dan Dzat yang dituju dalam segala kebutuhan"
Kemudian gurunya memukul Ma'ruf dengan pukulan yg keras, maka larilah Ma'ruf darinya.
Kedua ortunya ma'ruf berkata : " Andaikan Ma'ruf kembali kepada kami, masuk agama apapun dia maka kami akan mengikutinya!"
Kemudian Ma'ruf kembali, dan mengetuk pintu rumahnya , dari dalam rumah ada yg berkata : “siapa ?"
" Ma'ruf " jawabnya.
" Ikut agama mana ?" tanya kedua ortunya.
Ma'ruf : " Agama Islam. "
kemudian kedua orang tuanya masuk Islam.[4]
Dari cerita diatas dapat dilihat
bagaimana Ma’ruf al-Karkhi melawan seorang pendeta yang mengajarkannya
trinitas. Kasih sayang orangtua terhadap dirinya menyebabkan ayah ibunya masuk
kedalam ajaran Islam. Hal ini bukan sebuah kebetulan atau paksaan tetapi
melihatkan bagaimana hidayah Allah dapat sampai kepada seorang anak kecil yang
belajar agama Nasrani menjadi seorang Muslim sejati.
Ma’ruf al-Karkhi mempelajari agama Islam melalui sejumlah
ulama di Bagdad yang di antaranya Daud al-Thai, Bakar bin Humais dan Farqad
as-Sabukhi [5].
Karena ketekunannya dan ketabahannya dalam menuntut ilmu pengetahuan dan
khususnya ilmu tasawuf, ia berhasil menjadi sufi yang terkemuka di Bagdad. Ia
membuka halaqah pengajian dan di antara murid-muridnya yang terkenal di kemudian
hari adalah Sari al-Saqati [6].
C.
Ajaran Tasawuf Abu Mahfudz
Ma'ruf Bin Fairuz Al-Karkhi
Ma’ruf al-Karkhi ialah sufi yang dikuasai oleh perasaan
cinta yang membara kepada Allah seperti halnya Rabiatul Adawiyah. Berkenaan
dengan cinta kepada Allah Ma’ruf al-Karkhi mengatakan: cinta kepada-Nya
bukanlah diperoleh melalui pengajaran ia merupakan pemberian atau kurnia Tuhan.
Pernyataan ini yakni cinta kepada Allah menurutnya bukan termasuk maqam (posisi
yang didapat melalui usaha) tetapi termasuk hal (keadaan jiwa) yang dikurniakan
Allah [7].
Dari pandangan mahabbah Ma’ruf al-Karkhi diatas
bahwasannya kecintaan seseorang terhadap Allah SWT berasal dari pemberian dari
karunia-Nya. Hal ini menunjukan jika sebenarnya cinta yang ada didalam diri
kita ialah sebuah karunia yang diberikan
Allah SWT kepada hambanya. Namun, tidak semua manusia akan mampu menangkap
indahnya cinta yang diberikan oleh Allah SWT kepada dirinya jika ia membangun
hijab atau batasan dirinya dengan Sang Ilahi yaitu dosa-dosa yang terus
diperbuat.
Makna cinta yang dikemukakan Ma’ruf al-Karkhi sebenarnya
merupakan sebuah jalan yang akan mengantarkan seseorang kepada tingkatan
Ma’rifat yang sudah dibahas diawal. Berangkat dari pendapat Abu Said
al-Kharraj-rahimahullah yang pernah ditanya tentang Ma’rifat. Lalu ia
menjawab, "Ma’rifat itu datang dari dua sisi:
Pertama, dari anugerah Kedermawanan Allah langsung, dan kedua, dari mengerahkan
segala kemampuan atau yang lebih dikenal dengan kasb ( usaha) seorang hamba”[8]
Syekh Abu Nashr as-Sarraj- rahimahullah- menjelaskan
bahwasannya ma’rifat atau mengetahui yang hakiki tidak akan tercapai jika Allah
SWT tidak berkehendak karena alam dengan apa yang ada didalamnya akan lenyap
ketika bagian terkecil dari awal yang muncul dari Kekuasaan Keagungan-Nya [9].
Sesuai dengan Firman Allah:
<< وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ
عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ >>
”Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari
Ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya” ( Q.S. al- Baqarah 2: 255)
Pendapat dari Abu Said al-Kharraz
dan Syekh Abu Nashr as-Sarraj menunjukan bagaimana makrifat sesunggunya hanya
dapat dicapai jika Allah menghendaki seorang hambanya untuk sampai kepada
tahapan tersebut ( cinta yang sesunggunya). Manusia biasa juga akan dapat
mencapai tahap ma’rifat jika dirinya memang ikhlas menjadi hamba Allah SWT dan
menjalankan perintah-Nya. Seorang Ma’ruf al-Karkhi yang mendapatkan cinta dari
Allah untuk mengenal diri-Nya dan lebih mencintai kepada-Nya.
Menurut Ma’ruf al-Karkhi cinta
kepada Allah SWT harus dilanjutkan sampai ketitik thuma’ninah ( ketenangan
jiwa). Karena cinta dan ketenangan itulah yang menjadi tujuan tasawuf.
Kebahagian yang sebenarnya dan yang kekal, bukan harta benda tetapi kakayaan
yang sebenarnya adalah kekayaan hati. Kekayaan hati hanya dapat dicapai melalui
ma’rifah ( pengenalan) akan yang dicintai. Apabila yang dicintai telah dikenal,
terwujudlah kebahagiaan dan ketentraman dalam hati dan kecillah urusan
keduniawian. Hal utama yang menjadi ajaran utama Ma’ruf al-Karkhi sebenarnya
ialah bahwasannya tasawuf ialah memperoleh ma’rifat dan tidak mengharap sama
sekali apa yang ada ditangan makhluk [10].
Dalam kitab al- Luma dijelaskan
bahwasannya thuma’ninah (
ketenangan) adalah kondisi spritual yang tinggi. Dimana ia merupakan kondisi
spritual seorang yang hamba yang akalnya kokoh, imannya kuat, ilmunya mendalam,
dzikirnya jernih, dan hakikatnya tertancap kokoh.[11]
Dari penjelasan diatas membuktikan bahwasannya seorang
tokoh sufi yang selama ini dianggap merupakan orang-orang yang tertinggal
pendidikannya, tidak pernah menggunakan akal, bodoh hanyalah diskripsi bagi
mereka yang tidak pernah memasuki ranah sufi itu sendiri. Syarat yang tidak
mungkin terpenuhi apabila seseorang biasa ingin memasuki tahap pencapaian
ma’rifat jika dilihat dari pendapat Syekh Abu Nashr as-Sarraj.
Thuma’ninah
( ketenangan) dapat dibedakan atas tiga macam yaitu [12]:
Pertama, ketenangan bagi
orang awam yaitu mereka yang merasa tenang dengan berdzikir kepada-Nya, dimana
doa-doa mereka dikabulkan dan dijauhkan dari bencana.
Kedua, Ketenangan bagi
orang-orang khusus yaitu mereka yang rela dan senang atas keputusan takdir-Nya,
sabar atas cobaan-Nya, tenang dan merasa mantap akan keimanannya.
Ketiga, Ketenangan
golongan khusus yaitu mereka yang tahu bahwasannya rahasia hati mereka tidak
sanggup merasa tentram kepada-Nya, karena kewibawaan-Nya dan keagungan-Nya.
Namun, menurut salah satu orientalis Barat yang di
antaranya adalah Nicholson yang mencoba menghubungkan antara timbulnya ide
memperoleh hakikat (ma’rifat) dengan latar belakang keagamaan Ma’ruf al-Karkhi
di masa kecilnya [13].
Menurut Nicholson ide itu berasal dari ajaran agama yang dipeluknya yang dahulu
ialah Kristen atau Sabiah [14].
Pendapat yang seperti ini hanya merupakan dugaan
alasannya pada masa kecil Ma’ruf al-Karkhi belum tentu mengenal ajaran tentang
hakikat bahkan dugaan besar ia belum mengenalnya karena usianya yang masih
muda. Muncul ide mencai hakikat itu, mungkin saja hasil dari tafakur atau
renungannya dalam tasawuf.
D. Kesimpulan
Ma’ruf al-Karkhi merupakan sosok seorang sufi yang mengantarkan mahabbah Rabiah
al-Adawiyah ketingkat yang lebih tinggi yaitu Ma’rifat. Sebuah kecintaan
seorang hamba yang akan memperkenalkan dirinya dihadapan Allah SWT. Kecintaan
ini diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya yang ia pilih. Ma’ruf al-Karkhi
mengajarkan bagaimana seorang hamba untuk terus berthuma’ninah yaitu terus
tenang dalm kondisi ibadah maupun kehidupan sehari-hari. Para Orientalis yang
menganggap bahwasannya ajaran ma’rifat Ma’ruf al-Karkhi berasal dari agama yang
dianut sebelumnya tidaklah mempunyai landasan yang kuat.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Al-Wafa
Al-Ghanimi At-Taftazani, Sufi Dari Zaman Ke Zaman, Bandung: Pustaka,
1985
Abu Nashr
as-Sarraj, Al-Luma “ Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf”, Terjemahan
Reynold A.
Nicholson, The Mystics Of Islam London: Routledge Kegan Paul, 1914. Pdf.
didownload
pada laman https://www.themysticsofislam.com
[2]
Reynold A.
Nicholson, The Mystics Of Islam ( London: Routledge Kegan Paul, 1914 ) Pdf,
hlm 6. didownload pada laman https://www.themysticsofislam.com pada tanggal
26 November 2015
[4]
Ibid
[6]
Ibid
[7]
Abu Al-Wafa
Al-Ghanimi At-Taftazani, Sufi Dari Zaman Ke Zaman ( Bandung: Pustaka,
1985), hal 32
[8] Abu Nashr
as-Sarraj, Al-Luma “ Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf”, Terjemahan hlm 73
[12]
Ibid
[13]
Reynold A.
Nicholson, The Mystics Of Islam ( London: Routledge Kegan Paul, 1914 ) Pdf,
hlm 6. didownload pada laman https://www.themysticsofislam.com pada tanggal
26 November 2015
[14]
Ibid