Senin, 07 Desember 2015

BIOGRAFI DAN AJARAN TASAWUF ABU MAHFUDZ MA'RUF BIN FAIRUZ AL-KARKHI



    

BIOGRAFI DAN AJARAN TASAWUF
ABU MAHFUDZ MA'RUF BIN FAIRUZ AL-KARKHI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Tugas Mata Kuliah Tasawuf I
Dosen Pembimbing Drs. H. Iskandar Arnel, MA., Ph. D




DEBRI KOESWOYO
11431101321



JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2015




             A.    Latar Belakang
Kehadiran tasawuf mewarnai dunia Islam dari abad pertama Hijriah hingga sekarang ini, banyak ajaran yang muncul dan sesuai dengan perkembangan zamannya. Bedanya hanya terletak pada esensi dan eksistensi tasawuf itu sendiri. Esensi tasawuf pada awal Hijriah sangat kuat dibandingkan dengan zaman sekarang, namun eksistensi tasawauf pada masa sekarang lebih eksis dari pada zaman dahulu. Pada abad ke 1-2 H para sufi hanya didominasi oleh kesadaran untuk berzuhud, kemudian dilanjutkan pada abad ke 3 H para sufi sudah mulai mengarah pada tasawuf falsafi.
Ma’rifat merupakan ajaran tasawuf awal yang berkembang dari kezuhudan sufi itu sendiri. Ma’rifat menjadi salah satu tujuan penantian seorang Muslim saat dirinya sudah mampu mengalahkan keinginan duniawi dan mengedepankan tujuan akhir manusia itu sendiri yaitu kembali kepada Sang Ilahi. Penulis mengambil biografi dan ajaran tasawuf dari Abu Mahfudz Ma'ruf Bin Fairuz Al-Karkhi karena ia merupakan tokoh sufi pertama yang memperkenalkan ajaran ma’rifat. Pengaruh ajarannya sangat kuat bagi tokoh- tokoh sufi selanjutnya dan ma’rifat menjadi citra tersendiri bagi pembeda antara kaum sufi dan awam.
Abu Mahfudz Ma'ruf Bin Fairuz Al-Karkhi merupakan seorang tokoh sufi yang menjadi pemberitaan yang hangat dikalangan orientalis karena dirinya merupakan seorang sufi yang sebelumnya bukan beragama Muslim. Ajaran ma’rifat yang bersumber dari ajarannya dikumandangkan oleh para orientalis merupakan bagian dari agama yang dianutnya sebelum ia masuk Islam. Hal yang menarik ketika ajaran sufi dihubungkan dengan ajaran diluar Islam. Dibutuhkan sebuah pendapat yang kuat untuk membantah tuduhan para orientalis ini. Namun, penulis hanya akan mendiskripsikan bagaimana Abu Mahfudz Ma'ruf Bin Fairuz Al-Karkhi dapat mencapai tahapan ajaran ma’rifat dan menjadi pembesar ajaran tersebut.









B.     Biografi Abu Mahfudz Ma'ruf Bin Fairuz Al-Karkhi
Abu Mahfuzh Ma'ruf bin Fairuz Al-Karkhi dilahirkan di desa Karkh yang terletak di sebelah barat Bagdad. Tidak ada satu pun ulama yang meriwayatkan kelahiran beliau,  beliau wafat pada tahun 200 H / 815 M [1]. Julukannya yang terkenal ialah Ma’ruf al- Karkhi. Kedua orangtuanya ialah penganut agama Nasrani dan sumber lain ada juga yang menyebutkan penganut Shabi’ah ( penyembah bintang) [2]. Pada masa kecil Ma’ruf al- Karkhi dikirim orangtuanya untuk belajar kepada seorang pendeta Nasrani
وكان المؤدب: يقول له قل: "ثالث ثلاثة"، فيقول معروف: "بل هو الواحد الصمد!"، فضربه على ذلك ضرباً مفرطاً، فهرب منه. فكان أبواه يقولان: "ليته يرجع ألينا، على أي دين كان، فنوافقه عليه!"، فرجع أليهما، فدق الباب، فقيل: "من?"، قال: "معروف!"، فقالا: "على أى دين?"، قال: "دين الإسلام"؛ فأسلم أبواه.[3]
Orang yg mendidik Ma'ruf berkata : " Katakanlah Allah adalah salah satu diantara tiga tuhan"
Ma'ruf berkata : " Bukan, Dia adalah Dzat yang Esa dan Dzat yang dituju dalam segala  kebutuhan"
Kemudian gurunya memukul Ma'ruf dengan pukulan yg keras, maka larilah Ma'ruf darinya.
Kedua ortunya ma'ruf berkata : " Andaikan Ma'ruf kembali kepada kami, masuk agama apapun dia maka kami akan mengikutinya!"
Kemudian Ma'ruf kembali, dan mengetuk pintu rumahnya , dari dalam rumah ada yg berkata : “siapa ?"
" Ma'ruf " jawabnya.
" Ikut agama mana ?" tanya kedua ortunya.
Ma'ruf : " Agama Islam. "
 kemudian kedua orang tuanya masuk Islam.[4]

       Dari cerita diatas dapat dilihat bagaimana Ma’ruf al-Karkhi melawan seorang pendeta yang mengajarkannya trinitas. Kasih sayang orangtua terhadap dirinya menyebabkan ayah ibunya masuk kedalam ajaran Islam. Hal ini bukan sebuah kebetulan atau paksaan tetapi melihatkan bagaimana hidayah Allah dapat sampai kepada seorang anak kecil yang belajar agama Nasrani menjadi seorang Muslim sejati.
Ma’ruf al-Karkhi mempelajari agama Islam melalui sejumlah ulama di Bagdad yang di antaranya Daud al-Thai, Bakar bin Humais dan Farqad as-Sabukhi [5]. Karena ketekunannya dan ketabahannya dalam menuntut ilmu pengetahuan dan khususnya ilmu tasawuf, ia berhasil menjadi sufi yang terkemuka di Bagdad. Ia membuka halaqah pengajian dan di antara murid-muridnya yang terkenal di kemudian hari adalah Sari al-Saqati [6].
C.    Ajaran Tasawuf Abu Mahfudz Ma'ruf Bin Fairuz Al-Karkhi
Ma’ruf al-Karkhi ialah sufi yang dikuasai oleh perasaan cinta yang membara kepada Allah seperti halnya Rabiatul Adawiyah. Berkenaan dengan cinta kepada Allah Ma’ruf al-Karkhi mengatakan: cinta kepada-Nya bukanlah diperoleh melalui pengajaran ia merupakan pemberian atau kurnia Tuhan. Pernyataan ini yakni cinta kepada Allah menurutnya bukan termasuk maqam (posisi yang didapat melalui usaha) tetapi termasuk hal (keadaan jiwa) yang dikurniakan Allah [7].
Dari pandangan mahabbah Ma’ruf al-Karkhi diatas bahwasannya kecintaan seseorang terhadap Allah SWT berasal dari pemberian dari karunia-Nya. Hal ini menunjukan jika sebenarnya cinta yang ada didalam diri kita  ialah sebuah karunia yang diberikan Allah SWT kepada hambanya. Namun, tidak semua manusia akan mampu menangkap indahnya cinta yang diberikan oleh Allah SWT kepada dirinya jika ia membangun hijab atau batasan dirinya dengan Sang Ilahi yaitu dosa-dosa yang terus diperbuat.
Makna cinta yang dikemukakan Ma’ruf al-Karkhi sebenarnya merupakan sebuah jalan yang akan mengantarkan seseorang kepada tingkatan Ma’rifat yang sudah dibahas diawal. Berangkat dari pendapat Abu Said al-Kharraj-rahimahullah yang pernah ditanya tentang Ma’rifat. Lalu ia menjawab, "Ma’rifat itu datang dari dua sisi: Pertama, dari anugerah Kedermawanan Allah langsung, dan kedua, dari mengerahkan segala kemampuan atau yang lebih dikenal dengan kasb ( usaha) seorang hamba”[8]
Syekh Abu Nashr as-Sarraj- rahimahullah- menjelaskan bahwasannya ma’rifat atau mengetahui yang hakiki tidak akan tercapai jika Allah SWT tidak berkehendak karena alam dengan apa yang ada didalamnya akan lenyap ketika bagian terkecil dari awal yang muncul dari Kekuasaan Keagungan-Nya [9]. Sesuai dengan Firman Allah:
<< وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ >>
   ”Dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari Ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya” ( Q.S. al- Baqarah 2: 255)
            Pendapat dari Abu Said al-Kharraz dan Syekh Abu Nashr as-Sarraj menunjukan bagaimana makrifat sesunggunya hanya dapat dicapai jika Allah menghendaki seorang hambanya untuk sampai kepada tahapan tersebut ( cinta yang sesunggunya). Manusia biasa juga akan dapat mencapai tahap ma’rifat jika dirinya memang ikhlas menjadi hamba Allah SWT dan menjalankan perintah-Nya. Seorang Ma’ruf al-Karkhi yang mendapatkan cinta dari Allah untuk mengenal diri-Nya dan lebih mencintai kepada-Nya.

            Menurut Ma’ruf al-Karkhi cinta kepada Allah SWT harus dilanjutkan sampai ketitik thuma’ninah ( ketenangan jiwa). Karena cinta dan ketenangan itulah yang menjadi tujuan tasawuf. Kebahagian yang sebenarnya dan yang kekal, bukan harta benda tetapi kakayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati. Kekayaan hati hanya dapat dicapai melalui ma’rifah ( pengenalan) akan yang dicintai. Apabila yang dicintai telah dikenal, terwujudlah kebahagiaan dan ketentraman dalam hati dan kecillah urusan keduniawian. Hal utama yang menjadi ajaran utama Ma’ruf al-Karkhi sebenarnya ialah bahwasannya tasawuf ialah memperoleh ma’rifat dan tidak mengharap sama sekali apa yang ada ditangan makhluk [10].
            Dalam kitab al- Luma dijelaskan bahwasannya thuma’ninah  ( ketenangan) adalah kondisi spritual yang tinggi. Dimana ia merupakan kondisi spritual seorang yang hamba yang akalnya kokoh, imannya kuat, ilmunya mendalam, dzikirnya jernih, dan hakikatnya tertancap kokoh.[11]
            Dari penjelasan diatas membuktikan bahwasannya seorang tokoh sufi yang selama ini dianggap merupakan orang-orang yang tertinggal pendidikannya, tidak pernah menggunakan akal, bodoh hanyalah diskripsi bagi mereka yang tidak pernah memasuki ranah sufi itu sendiri. Syarat yang tidak mungkin terpenuhi apabila seseorang biasa ingin memasuki tahap pencapaian ma’rifat jika dilihat dari pendapat Syekh Abu Nashr as-Sarraj.

            Thuma’ninah ( ketenangan) dapat dibedakan atas tiga macam yaitu [12]:
Pertama, ketenangan bagi orang awam yaitu mereka yang merasa tenang dengan berdzikir kepada-Nya, dimana doa-doa mereka dikabulkan dan dijauhkan dari bencana.
Kedua, Ketenangan bagi orang-orang khusus yaitu mereka yang rela dan senang atas keputusan takdir-Nya, sabar atas cobaan-Nya, tenang dan merasa mantap akan keimanannya.
Ketiga, Ketenangan golongan khusus yaitu mereka yang tahu bahwasannya rahasia hati mereka tidak sanggup merasa tentram kepada-Nya, karena kewibawaan-Nya dan keagungan-Nya.
Namun, menurut salah satu orientalis Barat yang di antaranya adalah Nicholson yang mencoba menghubungkan antara timbulnya ide memperoleh hakikat (ma’rifat) dengan latar belakang keagamaan Ma’ruf al-Karkhi di masa kecilnya [13]. Menurut Nicholson ide itu berasal dari ajaran agama yang dipeluknya yang dahulu ialah Kristen atau Sabiah [14].
Pendapat yang seperti ini hanya merupakan dugaan alasannya pada masa kecil Ma’ruf al-Karkhi belum tentu mengenal ajaran tentang hakikat bahkan dugaan besar ia belum mengenalnya karena usianya yang masih muda. Muncul ide mencai hakikat itu, mungkin saja hasil dari tafakur atau renungannya dalam tasawuf.











D.    Kesimpulan
Ma’ruf al-Karkhi merupakan sosok seorang sufi yang  mengantarkan mahabbah Rabiah al-Adawiyah ketingkat yang lebih tinggi yaitu Ma’rifat. Sebuah kecintaan seorang hamba yang akan memperkenalkan dirinya dihadapan Allah SWT. Kecintaan ini diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya yang ia pilih. Ma’ruf al-Karkhi mengajarkan bagaimana seorang hamba untuk terus berthuma’ninah yaitu terus tenang dalm kondisi ibadah maupun kehidupan sehari-hari. Para Orientalis yang menganggap bahwasannya ajaran ma’rifat Ma’ruf al-Karkhi berasal dari agama yang dianut sebelumnya tidaklah mempunyai landasan yang kuat.

























DAFTAR PUSTAKA

Abu Al-Wafa Al-Ghanimi At-Taftazani, Sufi Dari Zaman Ke Zaman, Bandung: Pustaka, 1985
Abu Nashr as-Sarraj, Al-Luma “ Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf”, Terjemahan
Reynold A. Nicholson, The Mystics Of Islam  London: Routledge Kegan Paul, 1914. Pdf.
                                    didownload pada laman https://www.themysticsofislam.com
Ibnu Mulaqqin, Tabaqatul Auliyah dikutip dalam https://www.pejalanruhani.com


[1] https://www.thesufism.com  diakses pada tanggal 26 November 2015
[2] Reynold A. Nicholson, The Mystics Of Islam ( London: Routledge Kegan Paul, 1914 ) Pdf, hlm 6. didownload pada laman https://www.themysticsofislam.com pada tanggal 26 November 2015
[3] Ibnu Mulaqqin, Tabaqatul Auliyah dikutip dalam https://www.pejalanruhani.com
[4] Ibid
[5] https://www.tarekataulia.com diakses pada tanggal 24 November 2015
[6] Ibid
[7] Abu Al-Wafa Al-Ghanimi At-Taftazani, Sufi Dari Zaman Ke Zaman ( Bandung: Pustaka, 1985),  hal 32
[8] Abu Nashr as-Sarraj, Al-Luma “ Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf”, Terjemahan hlm 73
[9] Ibid, Abu Nashr as-Sarraj   hlm 74
[10] http://mistikus-sufi.com diakses pada tanggal 05 Desember 2015
[11] Op.Cit, Abu Nashr as-Sarraj, Al-Luma “ Rujukan Lengkap Ilmu Tasawuf”, Terjemahan hlm 139
[12] Ibid
[13] Reynold A. Nicholson, The Mystics Of Islam ( London: Routledge Kegan Paul, 1914 ) Pdf, hlm 6. didownload pada laman https://www.themysticsofislam.com pada tanggal 26 November 2015
[14] Ibid

Diabolisme Salman Rushdie dan Ahok

ANTARA SALMAN RUSHDIE DAN AHOK Oleh: Dr. Adian Husaini Tahun 1988, dunia Islam digegerkan oleh seorang bernama Salman Rushdie. Kisahnya ...