Kamis, 17 Maret 2016

Manusia Di Dalam Al-Qur'an: Al-Insan, An-Nas dan Al-Basyar



MANUSIA: AL-INSAN, AN-NAS DAN AL-BASYAR

Nama               : Debri Koeswoyo                                           Mata Kuliah    : Filsafat Manusia
NIM                : 11431101321                                                Dosen              : Dr. Saidul Amin, MA
Jurusan/Sem    : Aqidah Filsafat/ IV                                          Tanggal           : 10-03-2016

            Pemikiran terhadap hakikat manusia sudah muncul sejak Socrates menjadikan manusia sebagai tema sentral dalam pemikirannya.[1] Rentang waktu sejak Socrates memberikan argument tentang hakikat manusia sampai sekarang sangatlah lama. Namun, sejarah pemikiran intelektualitas manusia sampai sekarang pun masih terus berupaya memahami hakikat manusia. Di dalam tulisan ini, akan dipaparkan bagaimana konsep hakikat manusia didalam kitab suci Al-Qur’an dan filsafat manusia.
1.      Al-Insan
Didalam Al-Qur’an kata الإنسان disebutkan sebanyak 56 kali.[2] Namun beberapa ulama tafsir berbeda pendapat berapa sebenarnya jumlah kata الإنسان yang disebutkan didalam Al-Qur’an. Muhammad Fu’ad Abdul Baqi berpendapat bahwasannya kata الإنسان disebutkan sebanyak 65 kali dan tersebar dalam 43 surat.[3] Hal ini disebabkan karena perbedaan analisa linguistik kata al-insan itu sendiri.
Etimologi kata ­al-Insan yang berakar kata dari huruf hamzah (ء), nun (ن), dan sin (س), Menurut beberapa ulama memiliki kata turunan (derifasi) ins (إنس), unas (أناس), anasiyy (أناسي), insiyy (إنسي), dan Al-nas (الناس).[4] Insan dapat diartikan harmonis, lemah lembut, tampak atau pelupa.[5]
يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمۡۚ وَخُلِقَ ٱلۡإِنسَٰنُ ضَعِيفٗا ٢٨
Artinya : Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah ( Q.S An-Nisa 4: 28).[6]

Menurut Ali Shariati, Al-Insan memiliki tiga sifat pokok yaitu:
1.    Kesadaran diri. Kesadaran diri merupakan pengalaman  tentang kualitas dan esensi dirinya, dunia dan hubungan antara dirinya dan dunia serta alam. Makin tinggi kesadaran akan tiga unsur tersebut, makin cepat manusia bergerak ke arah tahap-tahap yang lebih tinggi dari proses awalnya.
2.    Kemauan bebas. Kemauan bebas tampak dalam kebebasan memilih, Pilihannya bisa saja bertentangan dengan insting naturalnya, masyarakatnya, atau dorongan-dorongan psikologisnya. Kebebasan memungkinkan manusia untuk melakukan evolusi ke tingkat tertinggi kemanusiaannya menerobos sekat-sekat alam, masyarakat, sejarah dan egonya.
3.    Kreativitas atau daya cipta. Potensi kreatif insan memungkinkannya menjadi makhluk yang mampu mencipta benda, barang dan alat, dari yang paling kecil sampai yang kolosal, karya-karya industri dan seni yang tak disediakan alam. Penciptaan dan pembuatan barang tersebut dilakukan insan karena alam tak menyediakan semua yang dibutuhkannya.[7]

Pemikiran Ali Shariati tentang konsep al-insan yang terdapat di Al-Qur’an, didalam filsafat dikenal dengan humanisme. Humanisme merujuk kepada pembebasan manusia dimana kesadaran diri, kemauan bebas dan kreativitas manusia merupakan tiga hal yang menjadi esensi manusia. Namun, didalam Al-Qur’an ketiga hal ini tidak dilepas begitu saja, manusia harus tetap berada didalam koridornya. Sikap keduniawian tersebut dibatasi dengan penjelasan bahwasannya akan ada pembalasan setiap perbuatan kecil manusia. Sebaliknya, paham humanisme menjadikan manusia bersifat rasionalisme dan pragmatisme.
2.      An-Nas
Kata An-nas (الناس) dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 241 kali dan tersebar dalam 55 surat.[8] Dalam Al-Qur’an kata ini menjelaskan tentang eksistensi manusia sebagai makhluk hidup dan makhluk sosial secara keseluruhan tanpa melihat status keimanan dan kekafirannya, atau menunjukan kepada keterangan yang jelas tentang keturunan nabi adam.[9]
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal( Q.S Al-Hujarat 49:13)[10]
Kata An-nas (الناس) juga menunjukan aktivitas atau kegiatan sekelompok orang yang menonjolkan makhluk sosial dimana manusia tidak dapat hidup tanpa adanya bantuan dari orang lain.[11]
3.      Al- Basyar
Didalam Al-Qur’an kata al-Basyar (البشر) terdapat pada 36 ayat dan tersebar dalam 26 surat.[12] Di dalam al-Qur'an kata al-Basyar (البشر) berakar dari huruf ba (ب), syin (ش), dan ra (ر), memiliki kata derifasi basysyir/yubasysyiru, busyra, mubsyirin, yastabsyirun, dan absyiru. Kata derifasi basysyir /yubasysyiru  berarti memberikan kabar gembira, busyra  berarti berita gembira, mubsyirin berarti pemberi kabar gembira (pemberi peringatan), yastabsyirun berarti bergembira, dan absyiru  berarti gembira.[13]
Al-Ashfahaniy menguraikan kata al-basyar dengan menyebutkan kata al-basyroh (البشرة) yang berarti kulit luar (ظاهر الجلد), kemudian mengibaratkan disebutnya manusia itu sebagai basyar karena kulitnya yang tampak dengan jelas. Berbeda dengan binatang yang kulitnya tertutupi oleh bulu.[14]
Abu al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariya diartikan sebagai ظهور السئ مع حسن وجمال yang berarti tampaknya sesuatu dengan baik dan indah.[15]
Penamaan ini menunjukkan makna bahwa secara biologis yang mendominasi manusia adalah pada kulitnya. Pada aspek ini terlihat perbedaan umum biologis manusia dengan hewan yang lebih didominasi oleh bulu atau rambut.[16]
Basyar adalah makhluk yang sekedar ada (being).  Artinya,  manusia dalam kategori basyar adalah makhluk statis, tidak mengalami perubahan, berkaki dua yang berjalan tegak di muka bumi ( fifis- biologis). Oleh karenanya, manusia memiliki definisi yang sama sepanjang zaman, terlepas dari ruang dan waktunya.[17]
Manusia dilihat sudut fisik tidaklah jauh berbeda dengan hewan. Manusia bisa makan, minum, tidur, sakit dan mati. Begitu pula hewan. Bahkan, bila manusia dan hewan dibandingkan dari segi perbuatan nistanya, maka manusia lebih inferior dari hewan (dalam arti bisa lebih jahat dan kejam).

وَبَشِّرِ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُۖ كُلَّمَا رُزِقُواْ مِنۡهَا مِن ثَمَرَةٖ رِّزۡقٗا قَالُواْ هَٰذَا ٱلَّذِي رُزِقۡنَا مِن قَبۡلُۖ وَأُتُواْ بِهِۦ مُتَشَٰبِهٗاۖ وَلَهُمۡ فِيهَآ أَزۡوَٰجٞ مُّطَهَّرَةٞۖ وَهُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ ٢٥
Artinya: Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu". Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya ( Q.S Al-Baqarah 2: 25).[18]
Pengertian kata al-basyar memiliki kandungan makna dengan empirisme dimana eksistensi sesuatu ada karena bentuk fisik yang dapat dilihat, dirasakan, diraba. Bentuk materialisme manusia merupakan hal utama dimana bentuk metafisik diabaikan.
Makna al-insan dan al-basyar sebenarnya menunjukan dua hal yang saling berhubungan erat dan tidak dapat dipisahkan untuk memahami hakikat manusia. Al-Insan menjelaskan esensi dari manusia dan al-basyar menunjukan eksistensi dari manusia. An-Nas sendiri menjelaskan sosial manusia.










[1] Juraid Abdul Latief, Manusia, Filsafat dan Sejarah, ( Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hlm. 15
[2] Masiyan M. Syam, Disampaikan pada seminar mata kuliah Tafsir Maudlu'iy Program S3 Konsentrasi Hadis Universitas Islam Negeri Makassar, dikutip pada laman https://www.masiyansyam.blogspot pada tanggal 06 Maret 2016
[3] Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li alfadz al-Qur’an al-Karim, (Beirut: Darul Fikri , 1992), hlm. 119-120 dikutip pada laman https://www.hakamabbas.blogspot pada tanggal 06 Maret 2016
[4] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 223
[5] Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung : Mizan, 1996), hlm. 280
[6] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, ( Semarang: Asy-Syifa, 2007), hlm.107.
[7] Ali Syari’ati, Man and Islam, terj. M. Amin Rais, Tugas Cendikiawan Muslim ( Cet II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 59
[8] Op.Cit., Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li alfadz al-Qur’an al-Karim, (Beirut: Darul Fikri , 1992), hlm. 895 dikutip pada laman https://www.hakamabbas.blogspot pada tanggal 06 Maret 2016
[9] Op.Cit., Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung : Mizan, 1996), hlm. 281
[10] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, ( Semarang: Asy-Syifa, 2007), hlm.745
[11] Dawam Raharjo, Pandangan Al-Qur’an tentang Manusia dalam Pendidikan dan Perspektif Al-Qur’an, ( Yogyakarta: LPPI,1999), hlm.  53
[12] Op.Cit., Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung : Mizan, 1996), hlm. 279
[13] Ibid
[14] Al-Raghib al-ashfahaniy, Mufradat Alfaz al-Qur'an, (Beirut: al-Dar al-Syamiyah, 1996), hlm. 124 dikutip pada laman https://www.d3ndri.wordpress.com  diakses pada tanggal 10 Maret 2016
[15] Abu al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Mu'jam Maqayis al-Lughah, I dan II (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabiy wa Awladuh, 1971), h. 251 dikutip pada laman. https://www.d3ndri.wordpress.com diakses pada tanggal 10 Maret 2016
[16] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 2
[17] Ali Syari’ati, Man and Islam, terj. M. Amin Rais, Tugas Cendikiawan Muslim ( Cet II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 53
[18] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, ( Semarang: Asy-Syifa, 2007), hlm.8

Sinkritisme dalam pandangan Antropologi Agama



SINKRITISME
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Tugas Mata Kuliah Antropologi Agama
Oleh Dr. Hasbullah, M.Si
DEBRI KOESWOYO
11431101321



JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2015

KATA PENGANTAR
            Alhamdullilah,segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada baginda alam kita Muhammad SAW. Yang telah mengajak manusia kejalan yang benar ,sehingga terwujudnya agama yang benar. Makalah yang berjudul Sinkritisme ini disusun bertujuan agar kita semakin mengenal dan mengetahui perihal Sinkritisme.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Disini kami sebagai penyusun juga menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan membimbing kami dalam penyusunan makalah ini.
            Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

                                                                                                 Pekanbaru, November 2015



                                                                                                             Penyusun








BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sebagai makhluk sosial, setiap manusia ditakdirkan untuk hidup bersama manusia yang lainnya. Mereka hidup bermasyarakat; saling membantu dalam kesulitan, saling menghormati hak asasi masing-masing, juga saling bertoleransi. Di samping itu, sebagai makhluk yang beragama, manusia akan senantiasa memenuhi konsekwensinya terhadap kepercayaan yang ia anut. Kedua status inilah; sebagai makhluk sosial dan beragama sekaligus, yang akhirnya memungkinkan terjadinya kemiringan dan pembelotan aqidah. Seseorang berusaha tetap beribadah sesuai kepercayaannya, tapi sekaligus ia bertoleransi terhadap kepercayaan lain, sehingga akhirnya sedikit demi sedikit kepercayaan itu luntur dan menyatu dengan apa yang tersebut dalam norma bermasyarakat sebagai kerukunan, kedamaian, ketidak bertentangan dan beberapa istilah lain yang ‘amat sosial’. Hal-hal semacam inilah yang dimaksud sebagai sinkretisasi.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian sinkritisme?
2.      Bagaimana sinkritisme dalam sejarah agama?
3.      Bagaimana sinkritisme dalam ajaran agama?
4.      Apa saja bentuk-bentuk sinkritisme?
5.      Bagaimana sinkritisme didalam masyarakat Indonesia?
C.     Tujuan Penulisan
1.      Menjelaskan pengertian sinkritisme
2.      Menjelaskan dan memaparkan sinkritisme didalam sejarah agama
3.      Menjelaskan dan memaparkan sinkritisme dalam ajaran agama
4.      Menjelaskan bentuk-bentuk sinkritisme
5.      Menjelaskan dan memaparkan keberadaan sinkritisme didalam masyarakat Indonesia.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Sinkritisme

Secara etimologis, sinkretisme berasal dari kata syin dan kretiozein atau kerannynai, yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan[1]. Adapun seorang tokoh aliran kepercayaan, Simuh, menambahkan bahwa sinkretisme dalam beragama adalah suatu sikap atau pandangan yang tidak mempersoalkan murni atau tidaknya suatu agama. Oleh karena itu, mereka berusaha memadukan unsur-unsur yang baik dari berbagai agama, yang tentu saja berbeda antara satu dengan yang lainnya, dan dijadikannya sebagai satu aliran, sekte, dan bahkan agama.[2]
Dalam pengertian yang lain yang serupa, sinkretisme adalah upaya untuk penyesuaian pertentangan perbedaan kepercayaan. Istilah ini bisa mengacu kepada upaya untuk bergabung dan melakukan sebuah analogi atas beberapa ciri-ciri tradisi, terutama dalam teologi dan mitologi agama, dan dengan demikian menegaskan sebuah kesatuan pendekatan yang melandasi memungkinkan untuk berlaku inklusif pada agama lain.[3]

Istilah sinkretisme dalam hal agama oleh Berkhof dan Enklaar disebut "Mencampur adukkan agama-agama ini disebut sinkretisme".[4]  Josh McDowell dalam bukunya menyebut bahwa Syncretistic berarti ‘tending to reconcile different beliefs, as philosophy and religion’.[5] Dari beberapa kutipan tersebut dapatlah dimengerti bahwa Sinkretisme dalam agama adalah usaha penyatuan dan pencampuradukkan berbagai-bagai paham agama dengan kecenderungan untuk mendamaikan paham-paham itu.

B.     Sinkritisme dalam Sejarah Agama
Sinkretisme adalah salah satu fenomena yang mungkin terjadi dalam sejarah agama. Kemungkinan sinkretisme itu bisa dikaji dari titik singgung antara satu agama dengan agama lainnya dan antara agama dengan kebudayaan tertentu. Pada Abad ke-17 Gereja Katholik mencap sinkritisme kepada Gereja Protestan. Hal ini dikarenakan para misionaris telah mencampuradukan ajaran Kristen dengan elemen-elemen agama local.[6]
Dalam ajaran Kristen Protestan dapat dilihat bagaimana para misionaris tetap mempertahankan ajaran dari budaya local dan akhirnya melanggar ajaran Injil mereka seperti pada para penganut Kristen yang berasal dari Tanah Batak ( Sumatera Utara). Penganut ajaran Kristen yang berasal dari Batak ini tetap mengkonsumsi daging babi walaupun dalam ajaran Injil babi merupakan hewan yang dilarang untuk dimakan. Cara ini digunakan oleh para misionaris agar ajaran Kristen Protestan tetap dengan mudah diterima ditengah masyarakat Batak dan tidak menimbulkan konflik antara adat dan agama Kristen.
Adanya titik singgung antara berbagai agama itu juga dirasakan oleh tradisi sufisme Islam. Sufisme dalam Islam adalah usaha untuk mendapatkan keselamatan individu melalui pencapaian hakikat tauhid. Lebih dari itu bahwa realitas sufisme sepertinya tidak saja terdapat dalam Islam melainkan berada dalam sepanjang sejarah mistisisme seperti dalam ajaran Hindu, namun dengan redaksi yang berbeda, ada yang mengatakan bahwa tidak ada dewa kecuali Allah, dan Tuhan merupakan objek mistisisme.[7] 

C.     Sinkritisme dalam Ajaran Agama
Sinkretisme berusaha menyatukan perbedaan-perbedaan dan pertentangan-pertentangan yang signifikan antara beberapa paham yang berlainan. Paham di sini bisa berupa aliran, kepercayaan, bahkan agama. Secara jelas bisa dikatakan bahwa paham ini adalah usaha pluralisme agama. Sebut saja begini, agama-agama yang berlainan di Indonesia ini; Hindu Budha, Kristen, Katolik dan Islam bertentangan ajarannya, kemudian dicarilah dari masing-masing agama perbedaan yang mencolok yang berpotensi menimbulkan perpecahan dan ketidaktoleran, dari situlah perbedaan itu akan dilebur dan disatukan kembali menjadi sesuatu yang satu dan utuh, ‘Semua Agama Benar’.[8]
Jika paham ini diterapkan sebagai sarana bertoleransi antar umat beragama, maka yang terjadi selanjutnya adalah terbentuknya masyarakat yang harmonis karena terwujudya keserasian dan toleransi antar mereka. Namun satu hal lain yang jauh lebih penting dipertimbangkan daripada ‘sekedar’ kerukunan adalah tergadaikannya iman dan konsekwensi kita sebagai muslim terhadap Allah SWT dan Muhammad SAW beserta ajaran-ajarannya.
Sesungguhnya agama Islam dengan aqidah, syariah dan tuntunannya yang termaktub dalam al Qur’an dan hadits adalah keseluruhan yang sempurna dan tidak membutuhkan reduksi, revisi, maupun tambahan dari agama lainnya. Karena itu seorang muslim haruslah menjadikan agama ini sebagai satu-satunya pedoman.[9]
Allah SWT berfirman dalam Surat al- Maidah: 5/ 3:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا
Artinya: ““Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku dan telah Kuridhai Islam jadi agama bagimu.[10]

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ
Artinya:“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan itu. Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”( Q.S. al- Jaatsiyah: 45/ 18)[11]
Jelaslah dari ayat tersebut, bahwa syariat Islam adalah suatu perkara yang tauqifiyah, artinya berasal dari Allah SWT. Dengan kata lain, segala hukum; halal, haram, mubah, makruh dan seterusnya adalah hak Allah untuk menentukan dan menetapkannya.
            Sinkretisme, jika diterapkan oleh umat berlainan agama (Yahudi, Nasrani dan Islam), maka ia akan akan mengerucut pada suatu titik bernama ‘Teologi Pluralis’. Adapun jika diterapkan dalam suatu tradisi Jawa yang agama aslinya adalah Islam, maka akan tercipta aliran Islam yang tidak lagi murni dan biasa dikenal sebagai ‘Islam Kejawen’.[12]





D.    Bentuk-Bentuk Sinkritisme
Dalam sinkritisme ada beberapa bentuk yang dapat terpengaruh proses penggabungan atau campur aduknya sinkritisme yaitu:
1.      Penggabungan Antara Dua Agama/ Aliran Atau Lebih
Menggabungkan dua agama atau lebih dimaksudkan untuk membentuk suatu aliran baru, yang biasanya merupakan sinkretisasi antara kepercayaan lokal (umumnya di Jawa) dengan ajaran-ajaran agama Islam dan agama agama lainnya. Dari masing-masing agama tersebut diambil yang sesuai dengan alur pikiran mereka. [13]
2.      Dalam Masalah Kepercayaan
Dalam masyarakat telah beredar beberapa mite tentang penciptaan alam dan manusia. Walaupun mite-mite tersebut berbeda, tetapi di dalamnya terdapat satu persamaan. Semuanya menyebut adam sebagai manusia dan nabi pertama.[14]
Salah satu mite menyebutkan bahwa Brahma adalah pencipta bumi, sedangkan Wisnu adalah pencipta manusia. Setelah berhasil menciptakan bumi, Brahma berusaha menciptakan manusia. Namun, setelah berusaha tiga kali dan gagal, ia menyuruh Wisnu untuk meneruskan usahanya yang gagal. Setelah manusia dan nabi pertama tercipta, sadarlah Wisnu bahwa seorang manusia Adam saja belum memadai untuk mengisi dunia ini. Kemudian terpikirlah oleh Wisnu untuk mencarikan Adam seorang teman, oleh karena itu, ketika Wisnu melihat setangkai teratai di atas kolam, maka ia meminta untuk menjelma menjadi seorang perempuan sebagai teman adam, kemudian menjelmalah ia menjadi perempuan cantik yang diberi nama Kana (Haa). Dari uraian di atas terlihat bahwa mite ini berusaha untuk mengkompromoikan ajaran Islam dengan penyebutan Adam dan Hawa, dan ajaran Hindu dengan menyebut nama Brahma dan Wisnu dalam penciptaan alam dan manusia.[15]
3.      Bidang Ritual
Bagi masyarakat tradisional, pergantian waktu dan perubahan fase kehidupan adalah saat-saat genting yang perlu dicermati dan diwaspadai. Untuk itu mereka mengadakan crisis rites dan rites de passage, yaitu upacara peralihan yang berupa slametan, makam bersama (kenduri), prosesi dengan benda-benda keramat dan sebagainya begitu pula sebelum Islam datang.[16] Ketika Islam datang ritual-ritual ini tetap dilanjutkan hanya isinya diubah dengan unsur-unsur dari ajaran Islam maka terjadilah islamisasi.[17]
Dalam contoh,ketika seorang bayi lahir, ayah ibunya disyariatkan untuk melaksanakan aqiqah, dengan menyembelih seekor kambing kalau yang dilahirkannya seorang perempuan, dan dua ekor kambing kalau yang dilahirkan laki-laki. Namun kenyataan menunjukkan bahwa sebagian masyarakat muslim Jawa tidak melaksanakan perintah ini. Sebagai gantinya mereka mengadakan upacara brokohan (diadakan setelah bayi lahir ke dunia dengan selamat) dan sepasaran (ketika bayi berusia lima hari).[18]
Kedua slametan ini, mereka tidak tidak menyembelih kambing tapi menggantinya dengan sego janganan, nasi urap yang sengaja dibikin pedas urapnya untuk secara tidak langsung memberitahu bahwa bayi yang dilahirkan adalah laki-laki. Dan apabila yang dilahirkan adalah perempuan, urap sengaja dibikin tidak pedas. Dengan harapan dan doa agar anak yang dilahirkan tersebut akan menjadi orang yang bermanfaat di kemudian hari.[19]
4.      Dalam Doa dan Mantera

Salah satu jasa Sunan makhdum Ibrahim, yang dikenal sebagai Sunan Bonang, dalam menyebarkan Islam di Jawa adalah mengganti nama-nama dewa yang terdapat pada mantera dan doa dengan nama-nama nabi, malaikat dan tokoh-tokoh terkemuka di dalam Islam. Dengan cara ini diharapkan masyarakat berpaling dari pemujaan dewa-dewa dan menggantinya dengan tokoh-tokoh yang berasal dari dunia Islam. berikut ini adalah contoh mantera dan doa untuk mendapatkan keperkasaan jasmani:[20]
“Jabarail sumurup maring Fatimah. Fatimah sumurup maring badandu, kapracaya dening Allah ta’ala, cik ancik macan putih dudu"
E.     Sinkritisme Didalam Masyarakat Indonesia
Dalam menerangkan keberagaman masyarakat Jawa, Koenjraningrat membagi mereka menjadi dua, yaitu agama Islam Jawa dan agama Islam Santri. Yang pertama kurang taat kepada syariat dan bersikap sinkretis yang menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu, dan Islam, sedangkan yang kedua lebih taat dalam menjalankan ajaran agama Islam dan bersifat puritan.Namun demikian, meski tidak sekental pengikut agama Islam Jawa dalam keberagamaan, para pemeluk Islam santri juga masih terpengaruh oleh animisme, dinamisme, dan Hindu-Buddha.[21]
Menurut Mulder, kepercayaan Jawa sebelum banyak bersentuhan dengan agama-agama besar dimaksud telah memiliki pandangan hidup yang disebut dengan kejawen atau jawanisme. Pandangan jawa ini bersifat sinkretis dan toleran. Bermula dari sikap ini “ kejawen” merupakan dasar yang baik untuk menerima masukan-masukan baru dari agama-agama besar tersebut.[22]
Mentalitas kejawen condong kepada sinkretisme dan sanggup menampung berbagai argumentasi agama formal. Perlu dimaklumi bersama bahwa yang dimaksud dengan kejawen disini terdiri dari dua jenis lingkungan, yaitu lingkungan budaya istana yang relatif telah menyerap unsur-unsur Hinduisme dan lingkungan budaya pedesaan (wong cilik) yang masih hidup dalam bayang-bayang animisme-dinamisme.  Dalam prakteknya, perjalanan sejarah islamisasi di Jawa itu justru menghadapi kesulitan, utamanya di kalangan budaya istana.[23]
Kesulitan itu dikarenakan raja Majapahit ketika itu menolak islamisasi di kalangan istana tersebut. Jika raja menolak maka Islam merasakan kesulitan untuk masuk di kalangan istana.[24] Atas dasar kenyataan ini para penyebar islam lebih menekankan islamisasi itu di lingkungan pedesaan, khususnya di kalangan pesisir Pulau Jawa.[25] Disanalah Islam berkembang, dan tidak lama kemudian perkembangan islam yang ada di lingkungan pedesaan itu menjadi pesaing intelektual kalangan istana. Inilah kemudian terjadinya proses inkulturisasi dan akulturisasi budaya jawa dan budaya Islam yang memanifestasi menjadi Islam Jawa. [26]



[1] http://id.Wikipedia/Sinkritisme.org  diakses pada tanggal 19 November 2015
[2] M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, ( Gama Media, Yogyakarta, 2000) . hlm. 87
[3]
[4]
[5]
[6] http://pengertiansinkritisme.com diakses pada tanggal 20 November 2015
[7] Ibtihadj Musyarof, Islam Jawa, Cet I( Yogyakarta: Tugu Publisher, 2006). hlm. 108 dikutip pada laman http://www.mitologijawa.com pada tanggal 21 November 2015
[8]
[9]
[10] Tim Al-Mizan Publishing House, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Penerjemah Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia ( Bandung: Mizan Bunaya Kreativa, 2014). Hlm 108
[11] Ibid hlm 501
[12] http://bangunaninteletual.wordpress.com diakses pada tanggal 19 November 2015
[13] Akrim Mariyat, Ajaran Sinkretisme di Indonesia,( Jurnal Tsaqafah, Ponorogo, 1428 Hijriah) Volume 4 Nomor 1 didownload  pada laman https://www.IslamdanSinkritisme.blogspot.com  tanggal 19 November 2015
[14]Ibid
[15] Karkono Kamajaya, Kebudayaan Islam  Perpaduannya dengan Islam , ( Yogyakarta: IKAPI DIY, 1995)  pdf . hlm 292 didownload pada laman https://pdftools.com/book/ebook-antropologi-agama-pdf.html
[16] Op.Cit, Akrim Mariyat
[17] Ibid
[18] Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa.( Jakarta Selatan: Teraju, 2000) hlm 37
[19] Ibid hlm 38
[20] Ibid
[21] Sumanto Al-Qurtubi, Arus Cina-Islam-Jawa “Bongkar Sejarah Atas Peranan Thionghoa dalam Penyebaran Islam di Nusantara Abad XV & XVI”, ( Inspeal Ahimsakarya Press, Jogjakarta, 2003) hlm 67 diakses pada laman http://islamdanjawa.wordpress.com
[22] Niels Mulder, Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya ,( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999) hlm 43
[23] Anderson, Benedict R.O’G, Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, (Yogyakarta: Qalam, 2000) hlm 14
[24] Ibid
[25] Nur Syam, Islam Pesisir, ( Yogyakarta: LKiS, 2005)  hlm 6 diakses pada tanggal 20 November 2015 pada laman https://www.fadliblaze.blogspot.com
[26] Ibid
 

Diabolisme Salman Rushdie dan Ahok

ANTARA SALMAN RUSHDIE DAN AHOK Oleh: Dr. Adian Husaini Tahun 1988, dunia Islam digegerkan oleh seorang bernama Salman Rushdie. Kisahnya ...