MANUSIA: AL-INSAN, AN-NAS DAN AL-BASYAR
Nama : Debri
Koeswoyo Mata
Kuliah : Filsafat Manusia
NIM :
11431101321 Dosen : Dr. Saidul Amin, MA
Jurusan/Sem : Aqidah
Filsafat/ IV Tanggal
: 10-03-2016
Pemikiran terhadap
hakikat manusia sudah muncul sejak Socrates menjadikan manusia sebagai tema
sentral dalam pemikirannya.[1]
Rentang waktu sejak Socrates memberikan argument tentang hakikat manusia sampai
sekarang sangatlah lama. Namun, sejarah pemikiran intelektualitas manusia
sampai sekarang pun masih terus berupaya memahami hakikat manusia. Di dalam
tulisan ini, akan dipaparkan bagaimana konsep hakikat manusia didalam kitab
suci Al-Qur’an dan filsafat manusia.
1.
Al-Insan
Didalam Al-Qur’an kata الإنسان disebutkan sebanyak 56 kali.[2]
Namun beberapa ulama tafsir berbeda pendapat berapa sebenarnya jumlah kata الإنسان
yang disebutkan didalam Al-Qur’an. Muhammad
Fu’ad Abdul Baqi berpendapat bahwasannya kata الإنسان
disebutkan sebanyak 65 kali dan tersebar dalam 43 surat.[3]
Hal ini disebabkan karena perbedaan analisa linguistik kata al-insan itu
sendiri.
Etimologi kata al-Insan yang
berakar kata dari huruf hamzah (ء), nun (ن), dan sin
(س), Menurut beberapa ulama memiliki kata
turunan (derifasi) ins (إنس), unas (أناس), anasiyy
(أناسي), insiyy (إنسي), dan Al-nas (الناس).[4]
Insan dapat
diartikan harmonis, lemah lembut, tampak atau pelupa.[5]
يُرِيدُ
ٱللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمۡۚ وَخُلِقَ ٱلۡإِنسَٰنُ ضَعِيفٗا ٢٨
Artinya
: Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat
lemah ( Q.S An-Nisa 4: 28).[6]
Menurut Ali Shariati, Al-Insan memiliki tiga sifat pokok
yaitu:
1.
Kesadaran diri. Kesadaran diri
merupakan pengalaman tentang kualitas dan esensi dirinya, dunia dan
hubungan antara dirinya dan dunia serta alam. Makin tinggi kesadaran akan tiga
unsur tersebut, makin cepat manusia bergerak ke arah tahap-tahap yang lebih tinggi
dari proses awalnya.
2.
Kemauan bebas. Kemauan bebas tampak
dalam kebebasan memilih, Pilihannya bisa saja bertentangan dengan insting
naturalnya, masyarakatnya, atau dorongan-dorongan psikologisnya. Kebebasan
memungkinkan manusia untuk melakukan evolusi ke tingkat tertinggi
kemanusiaannya menerobos sekat-sekat alam, masyarakat, sejarah dan egonya.
3.
Kreativitas atau daya cipta.
Potensi kreatif insan memungkinkannya menjadi makhluk yang mampu
mencipta benda, barang dan alat, dari yang paling kecil sampai yang kolosal,
karya-karya industri dan seni yang tak disediakan alam. Penciptaan dan
pembuatan barang tersebut dilakukan insan karena alam tak menyediakan
semua yang dibutuhkannya.[7]
Pemikiran
Ali Shariati tentang konsep al-insan yang terdapat di Al-Qur’an, didalam
filsafat dikenal dengan humanisme. Humanisme merujuk kepada pembebasan manusia
dimana kesadaran diri, kemauan bebas dan kreativitas manusia merupakan tiga hal
yang menjadi esensi manusia. Namun, didalam Al-Qur’an ketiga hal ini tidak
dilepas begitu saja, manusia harus tetap berada didalam koridornya. Sikap
keduniawian tersebut dibatasi dengan penjelasan bahwasannya akan ada pembalasan
setiap perbuatan kecil manusia. Sebaliknya, paham humanisme menjadikan manusia
bersifat rasionalisme dan pragmatisme.
2.
An-Nas
Kata
An-nas (الناس) dalam al-Qur’an
disebutkan sebanyak 241 kali dan tersebar dalam 55 surat.[8]
Dalam Al-Qur’an kata ini menjelaskan tentang eksistensi manusia sebagai makhluk
hidup dan makhluk sosial secara keseluruhan tanpa melihat status keimanan dan
kekafirannya, atau menunjukan kepada keterangan yang jelas tentang keturunan
nabi adam.[9]
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ
إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ
لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ
عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal( Q.S Al-Hujarat
49:13)[10]
Kata
An-nas (الناس) juga menunjukan
aktivitas atau kegiatan sekelompok orang yang menonjolkan makhluk sosial dimana
manusia tidak dapat hidup tanpa adanya bantuan dari orang lain.[11]
3.
Al- Basyar
Didalam
Al-Qur’an kata al-Basyar
(البشر) terdapat pada 36 ayat dan tersebar
dalam 26 surat.[12] Di
dalam al-Qur'an kata al-Basyar (البشر) berakar dari
huruf ba (ب), syin
(ش), dan ra (ر), memiliki
kata derifasi basysyir/yubasysyiru, busyra, mubsyirin,
yastabsyirun, dan absyiru. Kata derifasi basysyir /yubasysyiru
berarti memberikan kabar gembira, busyra berarti berita
gembira, mubsyirin berarti pemberi kabar gembira (pemberi peringatan),
yastabsyirun berarti bergembira, dan absyiru berarti gembira.[13]
Al-Ashfahaniy menguraikan kata al-basyar dengan
menyebutkan kata al-basyroh (البشرة) yang berarti
kulit luar (ظاهر الجلد), kemudian
mengibaratkan disebutnya manusia itu sebagai basyar karena kulitnya yang
tampak dengan jelas. Berbeda dengan binatang yang kulitnya tertutupi oleh bulu.[14]
Abu al-Husain Ahmad ibn Faris ibn
Zakariya diartikan sebagai ظهور السئ مع حسن وجمال yang berarti
tampaknya sesuatu dengan baik dan indah.[15]
Penamaan ini
menunjukkan makna bahwa secara biologis yang mendominasi manusia adalah pada
kulitnya. Pada aspek ini terlihat perbedaan umum biologis manusia dengan hewan
yang lebih didominasi oleh bulu atau rambut.[16]
Basyar adalah makhluk
yang sekedar ada (being). Artinya, manusia dalam kategori basyar
adalah makhluk statis, tidak mengalami perubahan, berkaki dua yang berjalan
tegak di muka bumi ( fifis- biologis). Oleh karenanya, manusia memiliki
definisi yang sama sepanjang zaman, terlepas dari ruang dan waktunya.[17]
Manusia dilihat sudut fisik tidaklah jauh berbeda dengan hewan.
Manusia bisa makan, minum, tidur, sakit dan mati. Begitu pula hewan. Bahkan,
bila manusia dan hewan dibandingkan dari segi perbuatan nistanya, maka manusia
lebih inferior dari hewan (dalam arti bisa lebih jahat dan kejam).
وَبَشِّرِ
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أَنَّ لَهُمۡ جَنَّٰتٖ تَجۡرِي
مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُۖ كُلَّمَا رُزِقُواْ مِنۡهَا مِن ثَمَرَةٖ رِّزۡقٗا
قَالُواْ هَٰذَا ٱلَّذِي رُزِقۡنَا مِن قَبۡلُۖ وَأُتُواْ بِهِۦ مُتَشَٰبِهٗاۖ
وَلَهُمۡ فِيهَآ أَزۡوَٰجٞ مُّطَهَّرَةٞۖ وَهُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ ٢٥
Artinya: Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan
berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam
surga-surga itu, mereka mengatakan: "Inilah yang pernah diberikan kepada
kami dahulu". Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di
dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya ( Q.S
Al-Baqarah 2: 25).[18]
Pengertian kata
al-basyar memiliki kandungan makna dengan empirisme dimana eksistensi
sesuatu ada karena bentuk fisik yang dapat dilihat, dirasakan, diraba. Bentuk
materialisme manusia merupakan hal utama dimana bentuk metafisik diabaikan.
Makna al-insan
dan al-basyar sebenarnya menunjukan dua hal yang saling berhubungan
erat dan tidak dapat dipisahkan untuk memahami hakikat manusia. Al-Insan
menjelaskan esensi dari manusia dan al-basyar menunjukan eksistensi dari
manusia. An-Nas sendiri menjelaskan sosial manusia.
[1]
Juraid Abdul Latief, Manusia, Filsafat dan Sejarah, ( Jakarta: Bumi
Aksara, 2006), hlm. 15
[2] Masiyan M. Syam, Disampaikan pada seminar
mata kuliah Tafsir Maudlu'iy Program S3 Konsentrasi Hadis Universitas Islam
Negeri Makassar, dikutip pada laman https://www.masiyansyam.blogspot pada tanggal 06 Maret 2016
[3]
Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li alfadz al-Qur’an al-Karim,
(Beirut: Darul Fikri , 1992), hlm. 119-120 dikutip pada laman https://www.hakamabbas.blogspot
pada tanggal 06 Maret 2016
[4]
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 223
[5] Quraish
Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat,
(Bandung : Mizan, 1996), hlm. 280
[6] Departemen
Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, ( Semarang:
Asy-Syifa, 2007), hlm.107.
[7] Ali Syari’ati,
Man and Islam, terj. M. Amin Rais, Tugas Cendikiawan Muslim ( Cet II,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 59
[8] Op.Cit.,
Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li alfadz al-Qur’an
al-Karim, (Beirut: Darul Fikri , 1992), hlm. 895 dikutip pada laman https://www.hakamabbas.blogspot
pada tanggal 06 Maret 2016
[9] Op.Cit.,
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan
Umat, (Bandung : Mizan, 1996), hlm. 281
[10]
Departemen
Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, ( Semarang:
Asy-Syifa, 2007), hlm.745
[11] Dawam Raharjo,
Pandangan Al-Qur’an tentang Manusia dalam Pendidikan dan Perspektif
Al-Qur’an, ( Yogyakarta: LPPI,1999), hlm.
53
[12] Op.Cit.,
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan
Umat, (Bandung : Mizan, 1996), hlm. 279
[13]
Ibid
[14] Al-Raghib al-ashfahaniy, Mufradat Alfaz
al-Qur'an, (Beirut: al-Dar al-Syamiyah, 1996), hlm. 124 dikutip pada laman https://www.d3ndri.wordpress.com diakses
pada tanggal 10 Maret 2016
[15] Abu al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Mu'jam
Maqayis al-Lughah, I dan II (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabiy wa Awladuh,
1971), h. 251 dikutip pada laman. https://www.d3ndri.wordpress.com diakses pada tanggal 10 Maret 2016
[16]
Samsul Nizar, Filsafat
Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta:
Ciputat Pers, 2002), hlm. 2
[17] Ali Syari’ati,
Man and Islam, terj. M. Amin Rais, Tugas Cendikiawan Muslim ( Cet II,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 53
[18] Departemen
Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, ( Semarang:
Asy-Syifa, 2007), hlm.8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar