SINKRITISME
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Tugas Mata Kuliah Antropologi
Agama
Oleh Dr. Hasbullah, M.Si
DEBRI
KOESWOYO
11431101321
JURUSAN
AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS
USHULUDDIN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2015
KATA
PENGANTAR
Alhamdullilah,segala puji bagi Allah
SWT yang telah memberikan karunia-Nya kepada kami dalam menyelesaikan makalah
ini. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada baginda alam kita Muhammad SAW. Yang
telah mengajak manusia kejalan yang benar ,sehingga terwujudnya agama yang
benar. Makalah yang berjudul Sinkritisme ini disusun bertujuan agar kita
semakin mengenal dan mengetahui perihal Sinkritisme.
Kami
menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran
dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan
makalah ini. Disini kami sebagai penyusun juga menyampaikan ucapan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan membimbing
kami dalam penyusunan makalah ini.
Akhir
kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT
senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
Pekanbaru, November 2015
Penyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sebagai makhluk sosial, setiap manusia ditakdirkan untuk
hidup bersama manusia yang lainnya. Mereka hidup bermasyarakat; saling membantu
dalam kesulitan, saling menghormati hak asasi masing-masing, juga saling bertoleransi.
Di samping itu, sebagai makhluk yang beragama, manusia akan senantiasa memenuhi
konsekwensinya terhadap kepercayaan yang ia anut. Kedua status inilah; sebagai
makhluk sosial dan beragama sekaligus, yang akhirnya memungkinkan terjadinya
kemiringan dan pembelotan aqidah. Seseorang berusaha tetap beribadah sesuai
kepercayaannya, tapi sekaligus ia bertoleransi terhadap kepercayaan lain,
sehingga akhirnya sedikit demi sedikit kepercayaan itu luntur dan menyatu
dengan apa yang tersebut dalam norma bermasyarakat sebagai kerukunan,
kedamaian, ketidak bertentangan dan beberapa istilah lain yang ‘amat sosial’.
Hal-hal semacam inilah yang dimaksud sebagai sinkretisasi.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian sinkritisme?
2. Bagaimana sinkritisme dalam sejarah
agama?
3. Bagaimana sinkritisme dalam ajaran
agama?
4. Apa saja bentuk-bentuk sinkritisme?
5. Bagaimana sinkritisme didalam
masyarakat Indonesia?
C.
Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan pengertian sinkritisme
2. Menjelaskan dan memaparkan
sinkritisme didalam sejarah agama
3. Menjelaskan dan memaparkan
sinkritisme dalam ajaran agama
4. Menjelaskan bentuk-bentuk
sinkritisme
5. Menjelaskan dan memaparkan
keberadaan sinkritisme didalam masyarakat Indonesia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Sinkritisme
Secara etimologis, sinkretisme berasal dari kata syin dan
kretiozein atau kerannynai, yang berarti mencampurkan
elemen-elemen yang saling bertentangan[1].
Adapun seorang tokoh aliran kepercayaan, Simuh, menambahkan bahwa sinkretisme
dalam beragama adalah suatu sikap atau pandangan yang tidak mempersoalkan murni
atau tidaknya suatu agama. Oleh karena itu, mereka berusaha memadukan
unsur-unsur yang baik dari berbagai agama, yang tentu saja berbeda antara satu
dengan yang lainnya, dan dijadikannya sebagai satu aliran, sekte, dan bahkan
agama.[2]
Dalam
pengertian yang lain yang serupa, sinkretisme adalah upaya untuk penyesuaian
pertentangan perbedaan kepercayaan. Istilah ini bisa mengacu kepada upaya untuk
bergabung dan melakukan sebuah analogi atas beberapa ciri-ciri tradisi,
terutama dalam teologi dan mitologi agama, dan dengan demikian menegaskan
sebuah kesatuan pendekatan yang melandasi memungkinkan untuk berlaku inklusif
pada agama lain.[3]
Istilah
sinkretisme dalam hal agama oleh Berkhof dan Enklaar disebut "Mencampur adukkan
agama-agama ini disebut sinkretisme".[4] Josh McDowell dalam bukunya menyebut bahwa Syncretistic
berarti ‘tending to reconcile different beliefs, as philosophy and religion’.[5]
Dari beberapa kutipan tersebut dapatlah dimengerti bahwa Sinkretisme dalam
agama adalah usaha penyatuan dan pencampuradukkan berbagai-bagai paham agama
dengan kecenderungan untuk mendamaikan paham-paham itu.
B.
Sinkritisme dalam Sejarah Agama
Sinkretisme adalah salah satu fenomena yang mungkin terjadi dalam sejarah agama.
Kemungkinan sinkretisme itu bisa dikaji dari titik singgung antara satu agama
dengan agama lainnya dan antara agama dengan kebudayaan tertentu. Pada Abad ke-17 Gereja Katholik mencap sinkritisme kepada Gereja Protestan.
Hal ini dikarenakan para misionaris telah mencampuradukan ajaran Kristen dengan
elemen-elemen agama local.[6]
Dalam ajaran Kristen
Protestan dapat dilihat bagaimana para misionaris tetap mempertahankan ajaran
dari budaya local dan akhirnya melanggar ajaran Injil mereka seperti pada para
penganut Kristen yang berasal dari Tanah Batak ( Sumatera Utara). Penganut
ajaran Kristen yang berasal dari Batak ini tetap mengkonsumsi daging babi
walaupun dalam ajaran Injil babi merupakan hewan yang dilarang untuk dimakan.
Cara ini digunakan oleh para misionaris agar ajaran Kristen Protestan tetap
dengan mudah diterima ditengah masyarakat Batak dan tidak menimbulkan konflik
antara adat dan agama Kristen.
Adanya
titik singgung antara berbagai agama itu juga dirasakan oleh tradisi sufisme Islam. Sufisme dalam Islam adalah
usaha untuk mendapatkan keselamatan individu melalui pencapaian hakikat tauhid.
Lebih dari itu bahwa realitas sufisme sepertinya tidak saja terdapat dalam Islam
melainkan berada dalam sepanjang sejarah mistisisme seperti dalam ajaran Hindu,
namun dengan redaksi yang berbeda, ada yang mengatakan bahwa tidak ada dewa
kecuali Allah, dan Tuhan merupakan objek mistisisme.[7]
C. Sinkritisme dalam Ajaran Agama
Sinkretisme berusaha menyatukan perbedaan-perbedaan dan
pertentangan-pertentangan yang signifikan antara beberapa paham yang berlainan.
Paham di sini bisa berupa aliran, kepercayaan, bahkan agama. Secara jelas bisa
dikatakan bahwa paham ini adalah usaha pluralisme agama. Sebut saja begini,
agama-agama yang berlainan di Indonesia ini; Hindu Budha, Kristen, Katolik dan
Islam bertentangan ajarannya, kemudian dicarilah dari masing-masing agama
perbedaan yang mencolok yang berpotensi menimbulkan perpecahan dan
ketidaktoleran, dari situlah perbedaan itu akan dilebur dan disatukan kembali
menjadi sesuatu yang satu dan utuh, ‘Semua Agama Benar’.[8]
Jika paham
ini diterapkan sebagai sarana bertoleransi antar umat beragama, maka yang
terjadi selanjutnya adalah terbentuknya masyarakat yang harmonis karena
terwujudya keserasian dan toleransi antar mereka. Namun satu hal lain yang jauh
lebih penting dipertimbangkan daripada ‘sekedar’ kerukunan adalah
tergadaikannya iman dan konsekwensi kita sebagai muslim terhadap Allah SWT dan
Muhammad SAW beserta ajaran-ajarannya.
Sesungguhnya agama Islam dengan
aqidah, syariah dan tuntunannya yang termaktub dalam al Qur’an dan hadits
adalah keseluruhan yang sempurna dan tidak membutuhkan reduksi, revisi, maupun
tambahan dari agama lainnya. Karena itu seorang muslim haruslah menjadikan agama
ini sebagai satu-satunya pedoman.[9]
Allah SWT berfirman dalam Surat al-
Maidah: 5/ 3:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِيْنًا
Artinya:
““Pada hari ini telah Kusempurnakan
untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku dan telah Kuridhai
Islam jadi agama bagimu.”[10]
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الأَمْرِ
فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ
Artinya:“Kemudian
Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan itu. Maka ikutilah
syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak
mengetahui.”(
Q.S. al- Jaatsiyah: 45/ 18)[11]
Jelaslah
dari ayat tersebut, bahwa syariat Islam adalah suatu perkara yang tauqifiyah,
artinya berasal dari Allah SWT. Dengan kata lain, segala hukum; halal, haram,
mubah, makruh dan seterusnya adalah hak Allah untuk menentukan dan
menetapkannya.
Sinkretisme,
jika diterapkan oleh umat berlainan agama (Yahudi, Nasrani dan Islam), maka ia
akan akan mengerucut pada suatu titik bernama ‘Teologi Pluralis’. Adapun jika
diterapkan dalam suatu tradisi Jawa yang agama aslinya adalah Islam, maka akan
tercipta aliran Islam yang tidak lagi murni dan biasa dikenal sebagai ‘Islam
Kejawen’.[12]
D.
Bentuk-Bentuk
Sinkritisme
Dalam
sinkritisme ada beberapa bentuk yang dapat terpengaruh proses penggabungan atau
campur aduknya sinkritisme yaitu:
1.
Penggabungan
Antara Dua Agama/ Aliran Atau Lebih
Menggabungkan dua agama atau lebih dimaksudkan untuk
membentuk suatu aliran baru, yang biasanya merupakan sinkretisasi antara
kepercayaan lokal (umumnya di Jawa) dengan ajaran-ajaran agama Islam dan agama
agama lainnya. Dari masing-masing agama tersebut diambil yang sesuai dengan
alur pikiran mereka. [13]
2.
Dalam Masalah Kepercayaan
Dalam masyarakat telah beredar beberapa mite tentang
penciptaan alam dan manusia. Walaupun mite-mite tersebut berbeda, tetapi di
dalamnya terdapat satu persamaan. Semuanya menyebut adam sebagai manusia dan
nabi pertama.[14]
Salah satu mite menyebutkan bahwa Brahma adalah pencipta
bumi, sedangkan Wisnu adalah pencipta manusia. Setelah berhasil menciptakan
bumi, Brahma berusaha menciptakan manusia. Namun, setelah berusaha tiga kali
dan gagal, ia menyuruh Wisnu untuk meneruskan usahanya yang gagal. Setelah
manusia dan nabi pertama tercipta, sadarlah Wisnu bahwa seorang manusia Adam
saja belum memadai untuk mengisi dunia ini. Kemudian terpikirlah oleh Wisnu
untuk mencarikan Adam seorang teman, oleh karena itu, ketika Wisnu melihat
setangkai teratai di atas kolam, maka ia meminta untuk menjelma menjadi seorang
perempuan sebagai teman adam, kemudian menjelmalah ia menjadi perempuan cantik
yang diberi nama Kana (Haa). Dari uraian di atas terlihat bahwa mite ini
berusaha untuk mengkompromoikan ajaran Islam dengan penyebutan Adam dan Hawa,
dan ajaran Hindu dengan menyebut nama Brahma dan Wisnu dalam penciptaan alam
dan manusia.[15]
3.
Bidang
Ritual
Bagi masyarakat tradisional, pergantian waktu dan perubahan
fase kehidupan adalah saat-saat genting yang perlu dicermati dan diwaspadai.
Untuk itu mereka mengadakan crisis rites dan rites de passage, yaitu upacara
peralihan yang berupa slametan, makam bersama (kenduri), prosesi dengan
benda-benda keramat dan sebagainya begitu pula sebelum Islam datang.[16]
Ketika Islam datang ritual-ritual ini tetap dilanjutkan hanya isinya diubah
dengan unsur-unsur dari ajaran Islam maka terjadilah islamisasi.[17]
Dalam contoh,ketika seorang bayi lahir, ayah ibunya
disyariatkan untuk melaksanakan aqiqah, dengan menyembelih seekor kambing kalau
yang dilahirkannya seorang perempuan, dan dua ekor kambing kalau yang
dilahirkan laki-laki. Namun kenyataan menunjukkan bahwa sebagian masyarakat
muslim Jawa tidak melaksanakan perintah ini. Sebagai gantinya mereka mengadakan
upacara brokohan (diadakan setelah bayi lahir ke dunia dengan selamat) dan
sepasaran (ketika bayi berusia lima hari).[18]
Kedua slametan ini, mereka tidak tidak menyembelih kambing
tapi menggantinya dengan sego janganan, nasi urap yang sengaja dibikin pedas
urapnya untuk secara tidak langsung memberitahu bahwa bayi yang dilahirkan
adalah laki-laki. Dan apabila yang dilahirkan adalah perempuan, urap sengaja
dibikin tidak pedas. Dengan harapan dan doa agar anak yang dilahirkan tersebut
akan menjadi orang yang bermanfaat di kemudian hari.[19]
4.
Dalam
Doa dan Mantera
Salah satu
jasa Sunan makhdum Ibrahim, yang dikenal sebagai Sunan Bonang, dalam
menyebarkan Islam di Jawa adalah mengganti nama-nama dewa yang terdapat pada
mantera dan doa dengan nama-nama nabi, malaikat dan tokoh-tokoh terkemuka di
dalam Islam. Dengan cara ini diharapkan masyarakat berpaling dari pemujaan
dewa-dewa dan menggantinya dengan tokoh-tokoh yang berasal dari dunia Islam.
berikut ini adalah contoh mantera dan doa untuk mendapatkan keperkasaan
jasmani:[20]
“Jabarail sumurup maring Fatimah.
Fatimah sumurup maring badandu, kapracaya dening Allah ta’ala, cik ancik macan
putih dudu"
E. Sinkritisme Didalam Masyarakat
Indonesia
Dalam
menerangkan keberagaman masyarakat Jawa, Koenjraningrat membagi mereka menjadi
dua, yaitu agama Islam Jawa dan agama Islam Santri. Yang pertama kurang taat
kepada syariat dan bersikap sinkretis yang menyatukan unsur-unsur pra-Hindu,
Hindu, dan Islam, sedangkan yang kedua lebih taat dalam menjalankan ajaran
agama Islam dan bersifat puritan.Namun demikian, meski tidak sekental pengikut
agama Islam Jawa dalam keberagamaan, para pemeluk Islam santri juga masih
terpengaruh oleh animisme, dinamisme, dan Hindu-Buddha.[21]
Menurut
Mulder, kepercayaan Jawa sebelum banyak bersentuhan dengan agama-agama
besar dimaksud telah memiliki pandangan hidup yang disebut dengan kejawen atau
jawanisme. Pandangan jawa ini bersifat sinkretis dan toleran. Bermula dari
sikap ini “ kejawen” merupakan dasar yang baik untuk menerima masukan-masukan
baru dari agama-agama besar tersebut.[22]
Mentalitas
kejawen condong kepada sinkretisme dan sanggup menampung berbagai argumentasi
agama formal. Perlu dimaklumi bersama bahwa yang dimaksud dengan kejawen disini
terdiri dari dua jenis lingkungan, yaitu lingkungan budaya istana yang relatif
telah menyerap unsur-unsur Hinduisme dan lingkungan budaya pedesaan (wong
cilik) yang masih hidup dalam bayang-bayang animisme-dinamisme. Dalam
prakteknya, perjalanan sejarah islamisasi di Jawa itu justru menghadapi
kesulitan, utamanya di kalangan budaya istana.[23]
Kesulitan
itu dikarenakan raja Majapahit ketika itu menolak islamisasi di kalangan
istana tersebut. Jika raja menolak maka Islam merasakan kesulitan untuk masuk di kalangan
istana.[24] Atas
dasar kenyataan ini para penyebar islam lebih menekankan islamisasi itu di
lingkungan pedesaan, khususnya di kalangan pesisir Pulau Jawa.[25]
Disanalah Islam
berkembang, dan tidak lama kemudian perkembangan islam yang ada di lingkungan
pedesaan itu menjadi pesaing intelektual kalangan istana. Inilah kemudian
terjadinya proses inkulturisasi dan akulturisasi budaya jawa dan budaya Islam yang memanifestasi menjadi Islam Jawa. [26]
[1]
http://id.Wikipedia/Sinkritisme.org diakses pada tanggal 19 November 2015
[2]
M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, ( Gama
Media, Yogyakarta, 2000) . hlm. 87
[6]
http://pengertiansinkritisme.com diakses pada
tanggal 20 November 2015
[7]
Ibtihadj
Musyarof, Islam Jawa, Cet I( Yogyakarta: Tugu Publisher, 2006). hlm. 108
dikutip pada laman http://www.mitologijawa.com
pada tanggal 21 November 2015
[10]
Tim Al-Mizan
Publishing House, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Penerjemah Yayasan
Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia (
Bandung: Mizan Bunaya Kreativa, 2014). Hlm 108
[11] Ibid
hlm 501
[12]
http://bangunaninteletual.wordpress.com
diakses pada tanggal 19 November 2015
[13]
Akrim Mariyat, Ajaran
Sinkretisme di Indonesia,( Jurnal Tsaqafah, Ponorogo, 1428 Hijriah) Volume
4 Nomor 1 didownload pada laman https://www.IslamdanSinkritisme.blogspot.com tanggal 19 November 2015
[14]Ibid
[15]
Karkono
Kamajaya, Kebudayaan Islam
Perpaduannya dengan Islam , ( Yogyakarta: IKAPI DIY, 1995) pdf . hlm 292 didownload pada laman https://pdftools.com/book/ebook-antropologi-agama-pdf.html
[16] Op.Cit,
Akrim Mariyat
[17] Ibid
[18] Simuh, Islam dan Pergumulan
Budaya Jawa.( Jakarta Selatan: Teraju, 2000) hlm 37
[19] Ibid
hlm 38
[20]
Ibid
[21]
Sumanto Al-Qurtubi, Arus Cina-Islam-Jawa “Bongkar Sejarah
Atas Peranan Thionghoa dalam Penyebaran Islam di Nusantara Abad XV & XVI”,
( Inspeal Ahimsakarya Press, Jogjakarta, 2003) hlm 67 diakses pada laman http://islamdanjawa.wordpress.com
[22] Niels Mulder, Agama, Hidup Sehari-hari dan
Perubahan Budaya ,( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999) hlm 43
[23] Anderson, Benedict R.O’G, Mitologi dan Toleransi
Orang Jawa, (Yogyakarta: Qalam, 2000) hlm 14
[24] Ibid
[25]
Nur Syam, Islam Pesisir, ( Yogyakarta: LKiS, 2005) hlm 6 diakses pada tanggal 20 November 2015
pada laman https://www.fadliblaze.blogspot.com
[26]
Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar