Kamis, 26 Mei 2016

Manusia dalam Pandangan Filsafat Fenomenologi



MANUSIA DALAM PANDANGAN FENOMENOLOGI
 Oleh
Debri Koeswoyo
A. PENDAHULUAN
Fenomenologi adalah gerakan filsafat yang dipelopori oleh Edmund Husserl (1859-1938). Salah satu arus pemikiran yang paling berpengaruh pada abad ke-20. Husserl membedakan antara dunia yang dikenal dalam sains dan dunia di mana kita hidup. Selanjutnya ia juga mendiskusikan tentang kesadaran dan perhatian terhadap dunia di mana kita hidup. Kita dapat menganggap sepi objek apapun tetapi kita tidak dapat menganggap sepi kesadaran kita. Eksistensi kesadaran adalah satu-satunya benda yang tidak dapat dianggap sepi. Pengkajian tentang dunia yang kita hayati serta pengalaman kita yang langsung tentang dunia tersebut adalah pusat perhatian fenomenologi.[1]

B. PEMBAHASAN
            Kata fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, phainomenon, dari phainesthai / phainomai / phainein yang artinya menampakkan, memperlihatkan.[2] Dalam bahasa Indonesia biasa dipakai istilah gejala. Yaitu suatu hal yang tidak nyata dan semu, kebalikan kenyataan, juga dapat diartikan sebagai ungkapan kejadian yang dapat diamati lewat indera. Dan yang lebih penting dalam filsafat fenomenologi sebagai sumber berpikir yang kritis.[3] Fenomenologi juga berarti ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon). Jadi, fenomenologi itu mempelajari apa yang tampak atau apa yang menampakkan diri atau fenomena.[4]
            Sedangkan fenomenologi secara terminologi dapat didefinisikan dengan suatu disiplin ilmu yang mencoba mengkaji realitas yang memiliki objek dunia atau benda, dimana tidak ada hal tanpa hal lain. Benda biasa dilihat sebagai suatu objek yang dapat dilihat, dipegang, diraba, atau didengar. Identik dengan dirinya sendiri dan berada dalam ruang yang kemudian muncul sebagai hal yang terjadi dalam suatu waktu.[5]
            Kant membedakan antara phenomenon dan noumenon, yang pertama sebagai objek yang kita alami dan yang kedua kejadian sebagaimana hal itu terjadi. Menurut Kant, manusia hanya dapat mengenal fenomena-fenomena yang nampak dalam kesadaraan, bukan noumena yaitu yaitu realitas di luar (berupa benda-benda atau atau nampak tetap menjadi objek kesadaran kita) yang kita kenal. Melihat warna biru , misalnya tidak lain adalah hasil cerapan indrawi yang membentuk pengalaman batin yang diakibatkan oleh sesuatu dari luar. Warna biru itu sendiri merupakan realitas yang tidak dikenal pada diri sendiri (in se).Ini berarti kesadaran kita tertutup dan terisolasi dari realitas. Demikianlah, Kant sebenarnya mengakui adanya realitas eksernal yang berada diluar diri manusia, yaitu sebuah realitas itu ia sebut das Ding an sich (objek pada dirinya sendiri) atau noumena, tetapi menurutnya, manusia tidak ada sarana ilmiah untuk mengetahuinya.
            Hegel memandang phenomena sebagai tahapan untuk sampai ke noumenon.[6] Problema untuk mengompromikan realitas dengan pikiran tentang realitas merupakan problema yang sama tuanya dengan filsafat sendiri. Problema itu menjadi lebih sulit karena kita tak dapat mengetahui realitas tanpa hubungan dengan kesadaran kita, dan kita tak dapat mengetahui kesadaran tanpa hubungan dengan realitas.[7]

a. Fenomenologi Edmund Husserl
Dalam pemikiran Husserl, konsep fenomenologi itu berpusat pada persoalan tentang kebenaran. Husserl yakin bahwa ada kebenaran bagi semua dan manusia dapat mencapai kebenaran itu.[8] Bagi Husserl metode yang benar-benar ilmiah adalah metode yang sanggup membuat fenomena menampakkan diri sesuai dengan realitas yang sesungguhnya tanpa memanipulasinya. Ada suatu slogan yang terkenal di kalangan penganut fenomenologi, yaitu: zu den sachen selbst (terarah kepada benda itu sendiri). Dalam keterarahan benda itu, sesungguhnya benda itu sendirilah yang dibiarkan untuk mengungkapkan hakikat dirinya sendiri. Berangkat dari proses pemikiran yang demikian, maka lahirlah metode fenomenologis.[9]
            Husserl menyimpulkan bahwa kesadaran harus menjadi dasar filsafat. Alasannya ialah bahwa hanya kesadaran yang diberikan secara langsung kepada saya sebagai subjek, seperti akan kita lihat lagi.[10] Fenomen” merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung yang memisahkan realitas dari kita., realitas itu sendiri tampak bagi kita. Kesadaran menurut kodratnya mengarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Kesadaran menurut kodratnya bersifat intensionalitas. (intensionalitas merupakan unsur hakiki kesadaran). Dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas, fenomena harus dimengerti sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri.[11]

C. MANUSIA DALAM PANDANGAN FENOMENOLOGI
1.    Pandangan Heidegger
Menurut Heidegger, manusia itu terbuka bagi dunianya dan sesamanya. Kemampuan seseorang untuk bereksistensi dengan hal-hal yang ada di luar dirinya karena memiliki kemampuan seperti kepekaan, pengertian, pemahaman, perkataan atau pembicaraan. Bagi Heidegger untuk mencapai manusia utuh maka manusia harus merealisasikan segala potensinya meski dalam kenyataannya seseorang itu tidak mampu merealisasikannya. Ia tetap sekuat tenaga tidak pantang menyerah dan selalu bertanggungjawab atas potensi yang  belum teraktualisasikan.[12]
Dalam persfektif yang lain mengenai sesosok Heidegger menjadi salah satu filsafat yang fenomenal yaitu bahwa ia mengemukakan tentang konsep suasana hati (mood). Seperti yang kita ketahui bahwa dengan suasana hatilah kita diatur oleh dunia kita, bukan dalam pendirian pengetahuan observasional yang berjarak. Biasanya, dengan posisi kita yang sedang bersahabat dengan suasana hati, maka kita akan bisa mengenali diri kita yang sesungguhnya. Karena suasana hati bisa menjadi tolak ukur untuk mengetahui hakikat diri dengan banyaknya pertanyaan yang muncul seperti pencarian jati diri siapa kita sesungguhnya, apa kemampuan kita, dan apa kekurangan atau kelebihan yang kita miliki, bagaimanakah kehidupan kita yang selanjutnya dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Konsep inilah yang menguatkan pendapat banyak orang mengenai sesosok orang yang mampu melihat noumena dan phenoumena.[13]
Pendekatan fenomenologi berakar pada filosofi dan psikologi, dan berfokus pada pengalaman hidup manusia (sosiologi). Pendekatan fenomenologi hampir serupa dengan pendekatan hermeneutics yang menggunakan pengalaman hidup sebagai alat untuk memahami secara lebih baik tentang sosial budaya, politik atau konteks sejarah dimana pengalaman itu terjadi.
2. Pandangan Edmund Husserl
Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung manusia yang meliputi; religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Perhatian filsafat, menurutnya, hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.[14]
Berikut adalah komponen konseptual dalam fenomenologi transendental Husserl:[15]

a.       Kesengajaan (Intentionality)
Kesengajaan (intentionality) adalah orientasi pikiran terhadap suatu objek (sesuatu) yang menurut Husserl, objek atau sesuatu tersebut bisa nyata atau tidak nyata.Objek nyata seperti sebongkah batu yang dibentuk dengan tujuan tertentu maka jadilah batu permata. Objek yang tidak nyata misalnya konsep tentang tanggung jawab, kesabaran, dan konsep lain yang abstrak atau tidak real. Husserl menyatakan bahwa kesengajaan sangat terkait dengan kesadaran atau pengalaman seseorang dimana kesengajaan atau pengalaman tersebut dipengaruhi oleh faktor kesenangan (minat), penilaian awal, dan harapan terhadap objek. Misalnya minat terhadap dunia pendidikan akan menentukan kesengajaan kuliah di bidang pendidikan.
b.      Noema dan Noesis
Noema atau noesis merupakan turunan dari kesengajaan atau intentionalityatau  maksud memahami sesuatu, dimana setiap pengalaman individu memiliki sisi obyektif dan subyektif. Noema adalah sisi obyektif dari fenomena, artinya sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dirasakan, dipikirkan, atau sekalipun sesuatu yang masih akan dipikirkan (ide). Sedangkan sisi subyektif noesis adalah tindakan yang dimaksud (intended act) seperti merasa, mendengar, memikirkan, dan menilai ide.


c.       Intuisi
Intuisi yakni kemampuan membedakan “yang murni” dan yang diperhatikan dari the light of reason alone (semata-mata alasannya).Intuisi lah yang membimbing manusia mendapatkan pengetahuan. Bagi Husserl, intuisi yang menghubungkan noema dan noesis. Inilah sebabnya fenomenologi Husserl dinamakan fenomenologi transendental, karena terjadi dalam diri individu secara mental (transenden).
d.      Intersubjektivitas
Bahwa makna intersubjektif ini berawal dari konsep ‘sosial’ dan konsep ‘tindakan’.Konsep sosial didefinisikan sebagai hubungan antara dua atau lebih orang dan konsep tindakan didefinisikan sebagai perilaku yang membentuk makna subjektif. Akan tetapi, makna subjektif tersebut bukan berada di dunia privat individu melainkan dimaknai secara sama dan bersama dengan individu lain. Oleh karenanya, sebuah makna subjektif dikatakan intersubjektif karena memiliki aspek kesamaan dan kebersamaan (common and shared).
D. ANALISA
Asumsi dasar dari fenomenologi adalah bahwa manusia dalam berilmu pengetahuan tidak lepas dari pandangan moralnya, baik pada taraf mengamati, menghimpun data, menganalisis, ataupun dalam membuat kesimpulan. Fenomenolgi yang selalu bersandar kepada kesadaran manusia, jika dilihat lebih jauh dalam kehidupan sehari-hari atau ditipifikasikan, maka bahasa menjadi medium sentral untuk tranformasi tipifikatif, oleh karena ada makna yang dapat ditemukan dalam tipifikasi (pergaulan sehar-hari).[16] Keadaan ini memberikan orientasi metodologi bagi fenomenologi tentang kehidupan sosial dengan memberikan perhatian lebih kepada relasi antara bahasa yang digunakan dengan obyek pengalaman. Dengan demikian maka fenomenologi sosial dilandaskan atas ajaran bahwa interaksi sosial adalah rancang bangun sepanjang di dalamnya memuat makna yang dapat diungkap. 
E. KESIMPULAN
Pada dasarnya fenomenologi adalah suatu tradisi pengkajian yang digunakan untuk mengeksplorasi pengalaman manusia.Seperti yang dikemukakan oleh Littlejohn bahwa fenomenologi adalah suatu tradisi untuk mengeksplorasi pengalaman manusia.Dalam konteks ini ada asumsi bahwa manusia aktif memahami dunia disekelilingnya sebagai sebuah pengalaman hidupnya dan aktif menginterpretasikan pengalaman tersebut. Asumsi pokok fenomenologi adalah manusia secara aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan memberikan makna atas sesuatu yang dialaminya. Oleh karena itu interpretasi merupakan proses aktif untuk memberikan makna atas sesuatu yang dialami manusia. Dengan kata lain pemahaman adalah suatu tindakan kreatif, yakni tindakan menuju pemaknaan.
Manusia memiliki paradigma tersendiri dalam memaknai sebuah realitas. Pengertian paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya.Paradigma menunjukkan sesuatu yang penting, absah, dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan kepada praktisinya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epistimologis yang panjang.



[1] Harold Titus, dkk, Living Issues in Philosophy (Persoalan-Persoalan Filsafat), alih bahasa Prof. Dr. H.M. Rasjidi, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1984), hlm. 400
[2]  Save M. Dagun, Filsafat Eksistensialisme, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), Cet. 1, hlm. 37
[3]  Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 122
[4]  K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jerman, (Jakarta: PT. Gramedia, 1981), hlm. 98.
[5] M. A. W. Brouwer, Alam Manusia dalam Fenomenologi, (Jakarta: Kanisius, 1995), hlm. 6
[6]  Dikutip pada laman http://yoyoksiemo.blogspot.com pada tanggal 05 Mei 2016
[7] Saidul Amin, Filsafat Barat Abad 21,( Pekanbaru: Pusaka Riau, 2012), hlm. 69
[8]  Dikutip pada laman http://yoyoksiemo.blogspot.com pada tanggal 05 Mei 2016
[9]  Dikutip pada laman http://id.wikipedia.org pada tanggal 05 Mei 2016
[10]  K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jerman......................................., hlm. 99 – 100
[11]  Ibid, h. 101
[12]  Syamsul Arifin, Fenomenologi Agama, ( Pasuruan: PT.Garoeda Buana Indah, 1996 ), hlm. 8 didownload pada laman https://ebooks-online.com pada tanggal 07 Mei 2016
[13]  Ibid
[14] Zainal Abidin, Filsafat Manusia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), h. 149
[15] Ibid.,h. 147
[16] Dikutip pada laman http://mudjiarahardjo.com pada tanggal  07 Mei 2016

Islam, Soekarno dan Komunis



“ ISLAM, SOEKARNO DAN KOMUNIS”

Debri Koeswoyo
Jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
E-mail:debrikoeswoyo46@gmail.com

Abstrak
                Proses dinamika politik dan nuansa pencarian jati diri bangsa saat bendera kemerdekaan berkibar, Indonesia memiliki potensi yang melahirkan konflik, baik konflik karena SARA, kepentingan dan bahkan ideologi. Proses pembentukan dan mempertahankan kedaulatan negara baru, seperti Indonesia, telah menimbulkan pertarungan kepentingan dari berbagai kelompok yang saling bersaing memperebutkan kekuasaan dan pengaruh. Persaingan ini pada gilirannya melibatkan pertarungan kelompok ideologi utama yang tumbuh sejak zaman pergerakan pra-kemerdekaan, yaitu kelompok Islam, Nasionalisme Sekuler dan Komunisme. Perkembangan selanjutnya, pemimpin pertama negeri ini Soekarno banyak dipengaruhi ideologi-ideologi marxisme yang anti imperialisme dan barat khususnya ideologi komunisme (PKI).  Nasionalisme, Agama dan Komunis menjadi sebuah ideologi politik yang dipakai oleh Soekarno sebagai instrumen penggerak massa dan menumbuhkan rasa nasionalisme.
           
Kata Kunci: Islam, Soekarno, Nasakom
Abstrack
The process of political dynamics and nuances of national identity search time independence flags fluttering, Indonesia has the potential result in conflict, whether the conflict because of SARA, and even ideological interests. The process of formation and defend the sovereignty of the new state, such as Indonesia, have raised conflict of interests of various groups competing for power and influence. This competition in turn involves major ideological battle group that grew since the days of the pre-independence movement, namely the Islamists, secular nationalism and Communism. Subsequent developments, the country's first leader Sukarno much influenced Marxist ideologies that anti-imperialism and west, especially the ideology of communism (PKI). Nationalism, Religion and the Communists into a political ideology that is used by Sukarno as an instrument of mass mover and foster a sense of nationalism.

Keywords: Islam, Soekarno, Nasakom







PENDAHULUAN
            Terbentuknya Demokrasi Terpimpin di Indonesia diawali pada tahun 1959 oleh Presiden Soekarno sebagai pemegang kekuasaan penuh pemerintahan karena pada masa Demokrasi parlemen perpolitikan dalam negeri mengalami krisis politik dan kekacauan di berbagai bidang. Awal demokrasi Terpimpin dimulai dengan adanya surat mandat Dekrit Presiden Juli 1959 akibat belum tersusunnya Undang-Undang Dasar Negara dan banyaknya kepentingan-kepentingan politik antar partai. Terjadinya sejumlah pemberontakan di dalam negeri yang semakin menambah kekacauan bahkan menjurus menuju gerakan Separatisme yang memperparah keadaan politik pada masa parlement. Banyaknya partai dalam parlemen yang saling berbeda pendapat, dan keadaan semakin sulit untuk menemukan solusi mempersatukan perbedaan antar partai. Masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menggunakan segala cara agar tujuan partainya tercapai. Konflik antar partai politik inilah yang mengganggu stabilitas nasional sehingga menyebabkan keterpurukan politik dalam negeri pada masa Demokrasi parlemen.
           
Soekarno sebagai presiden Indonesia yang pertama pada masa Demokrasi Terpimpin berusaha untuk memperbaiki keadaan dan perpolitikan secara nasional melalui Dekrit Presiden . Setiap pidato Soekarno mampu membakar semangat perjuangan kepada rakyat untuk selalu bersatu membangun bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju. Langkah Berikutnya yang dilakukan oleh presiden Soekarno untuk membangun Indonesia pada tahun 1960-an adalah menggunakan konsep “revolusi belum selesai”. Konsep tersebut merupakan konsep yang digunakan Soekarno untuk menolak ideologi barat yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia setelah berdirinya suatu Negara (Indonesia).[1]

Pada masa Demokrasi Presidensial terdapat empat kekuatan partai yang mengisi parlemen yaitu NU, Masyumi,PNI dan PKI.[2] Namun pada kenyataannya Soekarno lebih memilih partai Komunis Indonesia (PKI) dikarenakan politik poros Soekarno yang lebih cenderung ke negara Sosialis hal tersebut dibuktikan dengan poros Jakarta-Peking, Jakarta-Hanoi. Hal tersebut melanggar Undang-Undang Dasar Indonesia yang berpolitik secara bebas aktif.[3]
Pada masa Demokrasi Terpimpin, presiden Soekarno telah memberikan tempat bagi PKI dalam sistem perpolitikan nasional karena menurut Soekarno, PKI telah terbukti mempunyai basis masa terbesar di Indonesia daripada partai-partai lain, atas posisi teresut Soekarno yang melaksanakan konsepsi NASAKOM (Nasional, Agama dan Komunis) sebagai landasan Demokrasi Terpimpin dan kolektivitas berbagai partai menjadi satu. Konsep revolusi yaitu revolusi nasional 17 Agustus 1945, revolusi sosial dan revolusi komunis menghasilkan jargon “Revolusi Belum Selesai” sangat relevan yang terus menguat, sehingga mempermudah Soekarno menjalankan sistem Demokrasi Terpimpin untuk meraih dominasi politik.[4] Dalam konteks Demokrasi Terpimpin hubungan Soekarno selaku Presiden menjadi dekat dengan PKI.
Di sisi lain, Partai Komunis Indonesia (PKI) memanfaatkan kedekatannya dengan Presiden Soekarno memberikan konsistensi dan dukungan sepenuhnya atas segala kebijakan yang dilakukan oleh Soekarno. Selanjutnya PKI mengindoktrinisasi pandangan idealis terhadap Soekarno untuk menggerakkan rakyat Indonesia melalui jargon yang disampaikan Soekarno.

PEMBAHASAN
Sejarah perjalanan kehidupan bernegara di Indonesia mencatat satu babak tentang perebutan memaknai Pancasila antar berbagai kelompok ideologi di Indonesia. Pergulatan pemikiran itu secara intensif pernah terjadi dalam Majlis Konstituante, dimana kekuatan Islam dan sekulerisme kembali terlibat dalam perdebatan tentang Dasar Negara Indonesia. Kekuatan komunis pernah menggunakan Pancasila untuk memuluskan penerapan ideologi komunisme di Indonesia.
Kalangan agamis meyakini bahwa agama (Islam) dan politik tidak dapat dipisahkan, seperti yang diungkapan dalam pidato Ki Bagoes Hadikoesoemo pada tanggal 31 Mei 1945, mengatakan:
“......Oleh karena itu tuan-tuan, saya sebagai seorang bangsa Indonesia tulen, bapak dan ibu saya bangsa Indonesia, nenek moyang saya pun bangsa Indonesia juga asli dan murni belum ada campurannya; dan sebagai seorang muslim yang mempunyai cita-cita Indonesia raya dan merdeka, maka supaya Indonesia merdeka itu dapat berdiri tegak dan teguh, kuat dan kokoh, saya mengharapkan akan berdirinya negara Indonesia ini berdasarkan agama Islam.......”.[5]
Sementara Soekarno dari kalangan nasionalis berpendapat, bahwa agama harus dipisahkan dari negara, karena untuk menjaga kemurnian, kesucian Islam dari tabiat manusia yang rusak budi pekertinya.[6] Natsir menolak pernyataan Soekarno, ia berkata; kemajuan adalah berhimpunanya kejayaan dunia dan kemenangan akhirat dan hidup duniawi dengan hidup rohani tidak bisa dipisahkan dari ideologi ajaran Islam,[7] walaupun demikian, Soekarno tetap teguh pada pendapatnya.
Bahwa munculnya semangat para tokoh Islam untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, dalam Majelis Konstituante, antara lain didorong oleh masuknya kekuatan komunis (melalui Partai Komunis Indonesia/PKI) ke dalam blok pendukung Pancasila. "Kalangan Islam langsung curiga. Muncul kekhawatiran Pancasila akan dipolitisasi oleh kelompok-kelompok komunis untuk selanjutnya diminimalisasi dimensi religiusitasnya. Kekhawatiran tersebut semakin mengkristal karena adanya peluang perubahan konstitusi sehubungan UUDS mengamanatkan perlunya dibentuk Majelis Konstituante yang bertugas merumuskan UUD yang definitif,"[8]
Tahun 1956 konstituante tidak berhasil merumuskan Undang-Undang Dasar baru. Keadaan itu semakin mengguncangkan situasi politik di Indonesia. Bahkan, masing-masing partai politik mementingkan kepentingan partai demi tujuan partainya tercapai. Oleh sebab itu, sejak tahun 1956 kondisi dan situasi politik negara Indonesia semakin buruk dan kacau.[9]

Keadaan yang semakin bertambah kacau itu sangat membahayakan dan mengancam keutuhan negara dan bangsa Indonesia karena selain Konstituante gagal menetapkan UUD yang baru juga timbulnya berbagai pemberontakan di Indonesia yaittu: DI/TI di Jawa Barat, Aceh dan Sulawesi Selatan, Permesta di Sulawesi Utara, PRRI di Sumatera dan RMS di Maluku. banyak Suasana semakin bertambah panas karena adanya ketegangan yang diikuti dengan sikap dari setiap partai politik yang berada di Konstituante.[10] Rakyat sudah tidak sabar lagi dan menginginkan agar pemerintah mengambil tindakan yang bijaksana untuk mengatasi kemacetan sidang Konstituante namun konstituante ternyata tidak dapat diharapkan lagi.[11]

Pada awal tahun 1960, dalam usaha untuk menggalang persatuan, Soekarno memperkenalkan pemikiran baru untuk melengkapi doktrin revolusinya. Doktrin itu terkenal dengan sebutan Nasakom. Nasakom merupakan lambang persatuan atas pencerminan golongan-golongan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Nasakom adalah jiwa dari kepribadian masyarakat yang berisi tiga kekuatan, yaitu golongan nasionalis, agama, dan komunis. Artinya ketiga golongan tersebut akan bersama-sama berperan dalam pemerintahan Soekarno sehingga menghasilkan suatu sistim yang didasarkan pada koalisi kekuatan-kekuatan politik yang ada. Pandangan Soekarno pada intinya adalah menghendaki keutuhan bangsa melalui persatuan aliran-aliran politik masyarakat Indonesia demi menggalang kekuatan revolusioner.[12]

Dengan adanya Demokrasi Terpimpin dan konsep persatuan Nasakom, PKI yang sebelumnya tidak dilibatkan dalam pemerintahan karena masih ditolak oleh banyak kalangan akibat pemberontakan di Madiun tahun 1948 walaupun dalam pemilu 1955 menempati posisi ke empat dalam peraihan suara, untuk pertama kalinya diterima dalam pemerintahan bahkan diikutsertakan dalam kabinet. Tokoh PKI Njoto diangkat sebagai Menteri Negara, Ketua PKI Dipa Nusantara Aidit diangkat sebagai Menteri/Wakil Ketua MPRS, dan Wakil Ketua PKI M. H. Lukman diangkat sebagai Menteri/Wakil Ketua DPRGR pada tahun 1962. dibawah pimpinan D. N. Aidit, PKI menguatkan posisinya dalam mencapai kekuasaan secara legal.[13]

Dibidang politik sendiri Islam dan Komunisme memiliki cara yang berbeda dalam menerapkan pandangan politiknya. Komunisme yang lebih cenderung pada sikap konfrotatif yang memandang kawan dan lawan, dalam artian pihak mana yang berseberangan dengan pandanganya dianggap sebagai lawan dan boleh diserang.[14] Islam sendiri lebih menekankan sikap maslahah ummah ( kebaikan rakyat) atau ishlahul ummah (kesejahteraan rakyat) secara menyeluruh. Sehingga sikap ini lebih cenderung kepada bentuk penguatan asaa kekeluargaan yang dibangun dengan prisip terciptanya kerharmonisan. Jauh sebelum Komunis yang mengadakan aksi makar di Madiun 1948 seorang ulama kharismatik Hadratus Syeikh K.H Hasyim Asy’ary mengingatkan akan bahayanya ajaran materialisme historis yang ateis bagi Indonesia dikarenakan penginkarannya terhadap agama dan akhirat.[15] Benturan-benturan ideologi dasar Islam dan Komunis yang terjadi di Indonesia inilah yang menujukan bahwa sejatinya kedua ideologi tersebut saling bertolakbelaka.
Tajamnya perbedaan antara Islam dan Komunisme, tidak menyurutkan usaha untuk menyatukan kekuatan agama dan komunisme. Tapi, sejarah kemudian mencatat, upaya penyatuan antara kelompok Nasionalis, Agama, dan Komunis, di bawah payung Pancasila mengalami kegagalan.
Golongan Islam melakukan perlawanan habis-habisan melawan komunisme. Dalam Muktamar Ulama se-Indonesia tanggal 8- 11 September 1957 di Palembang, para ulama memutuskan: (1) Ideologi/ajaran Komunisme adalah kufur hukumnya, dan haram bagi umat Islam menganutnya, (2)Bagi orang yang menganut ideologi/ajaran Komunisme dengan keyakinan dan kesadaran, maka kafirlah dia dan tiada sah menikah dan menikahkan orang Islam, tiada pusaka-mempusakai dan haram hukumnya jenazahnya diselenggarakan secara Islam, (3) Bagi orang yang memasuki organisasi/Partai yang berideologi komunisme (PKI, Sobsi, Pemuda Rakyat dll; tidak dengan keyakinan dan kesadaran, sesatlah dia dan wajib bagi umat Islam menyeru mereka meninggalkan organisasi dan partai tersebut, (4) Walaupun Republik Indonesia belum menjadi negara Islam, namun haram hukumnya bagi umat Islam mengangkat/ memilih kepala negara yang berideologi Komunisme, (5) Memperingatkan kepada pemerintah RI agar bersikap waspada terhadap gerakan aksi subversif asing yang membantu perjuangan kaum Komunis/ Atheis Indonesia, (6) Mendesak kepada Presiden RI untuk mengeluarkan dekrit menyatakan PKI dan mantel organisasinya sebagai partai terlarang di Indonesia.[16]
Dalam sambutannya untuk Muktamar tersebut, mantan wakil Presiden RI Mohammad Hatta mengingatkan kepada para ulama, bahwa perkembangan Komunisme di Indonesia, terutama dihasilkan melalui kerja keras mereka dan kondisi kemiskinan rakyat. "Kemajuan PKI tidak disebabkan oleh kegiatan orang-orang komunis mengembangkan ideologi yang belum di mengerti oleh rakyat, melainkan dengan kegiatannya bekerja dalam kalangan rakyat serta janji-janjinya akan membagikan tanah dan memperbaiki hidup rakyat yang miskin… Apabila kaum Ulama kita tidak menilai masalah kemasyarakatan ini dengan ukuran yang tepat, Muktamar tidak akan dapat menyusun rencana yang tepat terhadap gerakan Atheisme," kata Hatta dalam sambutannya. Hatta mengajak agar Ulama berusaha menegakkan keadilan Islam. Kata Hatta lagi, "Apabila berlaku keadilan Islam di Indonesia, maka dengan sendirinya Komunisme akan lenyap dari bumi Indonesia.[17]
Apabila berlaku keadilan Islam di bumi kita ini, tidak ada yang akan dituntut oleh Komunisme. Keadilan Islam adalah keadilan yang setinggi-tingginya, keadilan Ilahi. Keadilan Islam menumbuhkan rasa damai, rasa bahagia dan sejahtera."
Perjuangan melawan komunisme, dalam sejarah perjuangan umat Islam, bisa dikatakan sudah mendarah daging di berbagai penjuru dunia. Sebab, kekejaman komunisme di berbagai belahan dunia sudah terbukti. Di Indonesia, salah seorang sastrawan terkemuka yang aktif melawan komunisme, sejak zaman Orde Lama sampai zaman kini adalah Taufik Ismail. Berbagai buku yang menjelaskan bahaya dan kegagalan komunisme ditulis oleh Taufik Ismail, termasuk buku-buku saku yang disebarluaskan secara gratis kepada masyarakat luas.
Taufiq mengaku risau dengan generasi muda yang tidak lagi mengenal hakekat dan kekejaman kaum komunis. Komunisme adalah ideologi penindas dan penggali kuburan massal terbesar di dunia. Dalam mengeliminasi lawan politik, kaum komunis telah membantai 120 juta manusia, dari tahun 1917 sampai 1991. Itu sama dengan pembunuhan terhadap 187 nyawa per jam, atau satu nyawa setiap 20 detik. Itu dilakukan selama ¾ abad (sekitar 75 tahun) di 76 negara. Karl marx (1818-1883) pernah berkata: "Bila waktu kita tiba, kita tak akan menutup-nutupi terorisme kita."[18]
Vladimir Ilich Ullyanov Lenin (1870- 1924) juga menyatakan: "Saya suka mendengarkan musik yang merdu, tapi di tengah revolusi sekarang ini, yang perlu adalah membelah tengkorak, menjalankan keganasan dan berjalan dalam lautan darah." Satu lagi tulisannya: "Tidak jadi soal bila ¾ penduduk dunia habis, asal yang tinggal ¼ itu komunis. Untuk melaksanakan komunisme, kita tidak gentar berjalan di atas mayat 30 juta orang."[19]
Lenin bukan menggertak sambal. Semasa berkuasa (1917-1923) ia membantai setengah juta bangsanya sendiri. Dilanjut kan Joseph Stalin (1925-1953) yang menjagal 46 juta orang; ditiru Mao Tse Tung (RRC) 50 juta (1947-1976); Pol Pot (Kamboja) 2,5 juta jiwa (1975-1979) dan Najibullah (Afghanistan) 1,5 juta nyawa (1978-1987).[20]
ANALISA DAN KESIMPULAN
Tujuan politik dalam Islam sama sekali tidak memberi ruang bagi pragmatisme pribadi dan kelompok. Politik digunakan bukan untuk menumpuk keuntungan pribadi; juga bukan untuk menegakkan kepentingan kelompok (‘ashabiyyah). Hanya dua yang boleh mendapatkan manfaat dari kegiatan politik, yaitu “agama” dan “rakyat”.
Dari sini dapat kita simpulkan secara sederhana bahwa Islam tidak menempatkan politik sebagai sesuatu yang tidak perlu didekatkan dengan agama. Justru dalam pandangan Islam, politik harus didasarkan pada agama.Agama harus menjadi landasan pertama dan utama dalam politik. Sekali politik dijauhkan dari agama, maka pada saat itulah politik akan menjadi lading perebutan kekuasaan yang sangat barbarian. Satu sama lain akan saling membunuh untuk mendapatkan kekuasaan. Seandainya pun ada mekanisme-mekanisme lahiriah seperti yang diciptakan dalam demokrasi modern, tanpa landasan agama mekanisme-mekanisme apapun tetap akan dikapitalisasi untuk kepentingan-kepentingan pribadi dan tetap akan menjadi lahan untuk saling menghancurkan satu sama lain, bukan untuk menegakkan niat dan cita-cita politik sesungguhnya.

Politik yang bertauhid juga sudah pasti tidak akan bersetuju dengan sekularisme dalam berpolitik. Sekularisme menghendaki politik steril sama sekali dari intervensi agama. Politik harus murni sebagai hasil negosiasi antar-manusia dan menghasilkan kebijakan-kebijakan politik yang disepakati para pendukungnya. Kalaupun agama menjadi bagian dari urusan manusia, maka “agama”-lah yang diurus oleh politik dan bukan sebaliknya.Agama yang dimaksud bukan agama sebagai ajaran, melainkan agama sebagai kepentingan manusia sehingga harus diatur oleh politik. Dalam hal ini agama menjadi objek, bukan subjek dalam politik. Sekularisme dalam politik adalah bentuk lain dari syirik modern yang dipraktikkan dalam berpolitik. Politik Islam pasti akan menghindari sejauh-jauhnya perilaku semacam ini.

Sepatutnya, bangsa Indonesia mau belajar dari sejarah. Ketika agama dibuang; Tuhan disingkirkan, jadilah manusia laksana binatang. Anehnya, kini ada yang mulai berkampanye tentang perlunya "kebebasan beragama" harus mencakup juga "kebebasan untuk tidak beragama". Dalam kondisi seperti ini, Islam dan kekuatan anti-komunisme lainnya, diharapkan memainkan perannya yang signifikan. Jangan sampai elite-elite muslim lupa diri; sibuk memikirkan kepentingan diri dan kelompoknya; sibuk saling caci; tanpa sadar komunisme dalam kemasan baru semakin mendapat simpati masyarakat.



[1] Aminuddin, Kasdi, Kau Merah Menjarah (Aksi sepihak PKI/BTI di Jawa Timur 1960-1965, (Surabaya :YKCB-CICS, 2009).
[2] Rosihan Anwar, Sukarno-Tentara-PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik 1961-1965, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007, hlm. xi
[3] Hidayat Mukmin, TNI dalam Politik Luar Negeri Studi Kasus Penyelesaian Konfrontasi Indonesia Malaysia, Jakarta: Pustaka Harapan, 1991, hlm.102-103
[4] Rex, Mortimer, Indonesian Communism Under Soekarno (Idiologi dan Politik 1959-1965), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm.59

[5] Imam Totok Rahardjo dan Herdianto, Bung Karno Wacana Konstitusi dan Demokras: Kemenangan 100 tahun Bung Karno, (Jakarta: PT. Grasindo, 2001), h. 15
[6] Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, (Jakarta: Gunung Agung, 1965), h. 405 Dikutip pada skripsi Ajat Sudrajat pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[7] Badri Yatim, Soekarno, Islamisme dan Nasionalisme, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 154
[9] Eka Darmaputra, Pancasila Identitas dan Modernitas: Tinjuan Etis dan Budaya, (Jakarta: Gunung Mulia, Cet. IV 1997), hlm. 112
[10] Audrey Kahim, Dari Pemberontakan ke Integrasi Sumatera Barat dan Politik Indonesia 1926-1998, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm.328
[11] Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 95
[12] Nurani Soyomukti, Soekarno & Nasakom, (Yokyakarta: Garasi, 2008), hlm 166.
[13] Departemen Penerangan RI, Gelora Konfrontasi Mengganjang Malaysia, Jakarta: Departemen Penerangan RI, 1964, hlm. 73-77. Dikutip pada laman https://www.eranasakom.com pada tanggal 04 Mei 2016
[14] Muhammad Hatta, Bung Hatta Menjawab, (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung, 2002), cet. Ke-2, hlm. 32
[15]  Abdul Mun’im , Benturan NU PKI 1948-1965, (Depok:Langgar Swadaya,2013), hlm.29.
[16] Muktamar Ulama se-Indonesia di Palembang tanggal 8-11 September 1957, yang disusun oleh H. Husin Abdul Mu'in, (Palembang: Panitia Kongres Alim Ulama Seluruh Indonesia, 1957  Dikutip pada laman https://www.mui.com pada tanggal 03 Mei 2016
[17] Ibid
[18] Taufiq Ismail, Tiga Dusta Raksasa Palu Arit Indonesia: Jejak Sebuah Ideologi Bangkrut di Pentas Jagad Raya, (Jakarta: Titik Infinitum, 2007)
[19]  Peter Edman, Komunisme Ala Aidit; Kisah Partai Komunis Indonesia di Bawah Kepemimpinan DN.Aidit 1950-1965, ( Jakarta: Center of Information Analysis, Cet. I 2005), hlm. 14. Dikutip pada skripsi Achmad Komaruddin pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[20] Taufik Ismail dalam artikel  Kebiadaban Komunisme pada tanggal 29 September 2015dikutip pada laman https://www.republika.co.id  dan dalam journal Forum, no.7, tahun IX, 21 Mei 2000

Diabolisme Salman Rushdie dan Ahok

ANTARA SALMAN RUSHDIE DAN AHOK Oleh: Dr. Adian Husaini Tahun 1988, dunia Islam digegerkan oleh seorang bernama Salman Rushdie. Kisahnya ...