Senin, 04 Desember 2017

Diabolisme Salman Rushdie dan Ahok

ANTARA SALMAN RUSHDIE DAN AHOK
Oleh: Dr. Adian Husaini
Tahun 1988, dunia Islam digegerkan oleh seorang bernama Salman Rushdie. Kisahnya berawal ketika pada 26 November 1988, Viking Penguin menerbitkan novel Salman Rushdie berjudul The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan). Novel ini segera memicu kemarahan umat Islam yang luar biasa di seluruh dunia. Memang, isi Novel ini amat sangat biadab. Rushdie menulis tentang Nabi Muhammad saw, Nabi Ibrahim, istri-istri Nabi (ummatul mukminin) dan juga para sahabat Nabi dengan menggunakan kata-kata kotor yang sangat menjijikkan.
Dalam novel setebal 547 halaman ini, Nabi Muhammad saw, misalnya, ditulis oleh Rushdie sebagai ”Mahound, most pragmatic of Prophets.” Digambarkan sebuah lokasi pelacuran bernama The Curtain, Hijab, yang dihuni pelacur-pelacur yang tidak lain adalah istri-istri Nabi Muhammad saw. Istri Nabi yang mulia, Aisyah r.a., misalnya, ditulis oleh Rushdie sebagai ”pelacur berusia 15 tahun.” (The fifteen-year-old whore ’Ayesha’ was the most popular with the paying public, just as her namesake was with Mahound). (hal. 381).
Banyak penulis Muslim menyatakan, tidak sanggup mengutip kata-kata kotor dan biadab yang digunakan Rushdie dalam melecehkan dan menghina Nabi Muhammad saw dan istri-istri beliau yang tidak lain adalah ummahatul mukminin. Maka, reaksi pun tidak terhindarkan. Salman Rushdie dinilai melecehkan Islam, Nabi Muhammad dan al-Quran. Semua pihak yang terlibat dalam publikasinya yang sadar akan isi novel tersebut, harus dihukum mati. Pada 26 Februari 1989, Rabithah Alam Islami dalam sidangnya di Mekkah, yang dipimpin oleh ulama terkemuka Arab Saudi, Abd Aziz bin Baz, mengeluarkan pernyataan, bahwa Rushdie adalah orang murtad dan harus diadili secara in absentia di satu negara Islam dengan hukum Islam.
Pertemuan Menlu Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 13-16 Maret 1989 di Riyadh juga menyebut novel Rushdie sebagai bentuk penyimpangan terhadap Kebebasan Berekspresi. Prof. Alaeddin Kharufa, pakar syariah dari Muhammad Ibn Saud University, menulis sebuah buku khusus berjudul Hukm Islam fi Jaraim Salman Rushdie. Ia mengupas panjang lebar pandangan berbagai mazhab terhadap pelaku tindak pelecehan terhadap Nabi Muhammad saw. Menurut Prof. Kharufa, jika Rushdie menolak bertobat, maka setiap Muslim wajib menangkapnya selama dia masih hidup.
Prof. Mohammad Hashim Kamali, dalam bukunya Freedom of Expression in Islam, (Selangor: Ilmiah Publishers, 1998), menggambarkan cara Rushdie menggambarkan istri-istri Rasulullah saw sebagai “simply too outrageous and far below the standards of civilised discourse.” (Cara penggambaran Rushdie tentang istri-istri Nabi sangat memalukan dan jauh di bawah standar nilai-nilai yang beradab). Penghinaan Rushdie terhadap Allah dan al-Quran, tulis Hashim Kamali, “are not only blasphemous but also flippant.” (Tindakan Salman Rushdie itu bukan hanya penghinaan, tetapi juga kurang ajar).
Setelah protes merebak di berbagai belahan dunia, Salman Rushdie akhirnya meminta maaf kepada umat Islam. Katanya, “ As author of ‘The Satanic Verses,’ I recognize that Muslims in many parts of the world are genuinely distressed by the publication of my novel… I profoundly regret the distress that publication has occasioned to sincere followers of Islam.” (http://www.nytimes.com/…/99/04/18/speci…/rushdie-regret.html).
Dalam ajaran Islam, pelecehan terhadap Nabi Muhammad saw termasuk kategori perbuatan kriminal kelas berat. Syaikhul Islam Ibn Taymiyah menulis kitab khusus berjudul “as-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul” (Pedang yang Terhunus untuk Penghujat Rasulullah saw). Tahun 2012, sebuah lembaga menawarkan hadiah Rp 31,4 milyar, untuk siapa saja yang bisa membunuh Salman Rushdie. (https://www.merdeka.com/…/harga-kepala-salman-rushdie-naik-…).
Salman Rushdie akhirnya menunai badai, karena mempermainkan ayat-ayat Allah dan melecehkan kehormatan Nabi Muhammad saw. Bagaimana dengan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok)?
*****
Pada 18 November 2014, Forum Ulama Muda Jakarta (FUMJ) yang dipimpin KH Fahmi Salim MA, mengeluarkan taushiyah (nasehat) kepada kaum muslim Jakarta. Isinya, mengungkap fakta tentang buruknya pemikiran dan perilaku Ahok. Karena itu, Ahok dinilai FUMJ tidak memenuhi syarat sebagai Gubernur Jakarta, yaitu harus “bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa”.
Sesuai dengan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Provinsi DKI Jakarta, Nomor: 07/Kpts/KPU-Prov-010/2011, bahwa bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DKI Jakarta memiliki syarat-syarat antara lain: (1) Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (2) Setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah; (3) Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari Tim Pemeriksa Kesehatan; (4) Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya.
Penjelasan FUMJ tentang Ahok dua tahun lalu itu perlu kita renungkan, karena disampaikan dengan bijak dan penuh hikmah. Jika direnungkan, kasus Ahok dalam soal penyebutan “QS al-Maidah 51”, tak lepas dari sikap mempermainkan ayat-ayat Allah. Tindakan Ahok itu telah menyulut aksi demo jutaan umat Islam di seluruh penjuru Indonesia. Jika ditelaah, kesembronoan Ahok dalam kasus “al-Maidah 51” itu sepertinya tak lepas dari pemikiran dan sikap-sikap Ahok sebelumnya dalam soal keagamaan.
Berikut ini fakta dan penjelasan FUMJ tentang buruknya gagasan dan perilaku Ahok tentang masalah keagamaan selama ini:
Ahok mengajukan gagasan perlunya lokalisasi pelacuran. (http://megapolitan.kompas.com/…/Ahok.Saya.Setuju.Legalisasi…). Gagasan Ahok itu menunjukkan ia tidak memahami masalah dengan baik, dan tidak mengkajinya dengan mendalam, dari aspek keagamaan, sosial, budaya, dan kesehatan. Sementara selama ini sudah terbukti dampak buruk lokalisasi pelacuran terhadap masyarakat, sehingga Gubernur DKI Sutiyoso menutup lokalisasi pelacuran Kramat Tunggak dan Walikota Surabaya Ibu Risma menutup lokalisasi Dolly. Sikap dan perilaku Ahok yang ceroboh dalam masalah yang sangat mendasar seperti ini sangat berbahaya jika dia memimpin DKI Jakarta. Itu menunjukkan, Ahok tidak memenuhi syarat beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena mendukung lokalisasi pelacuran hanya dilihat dari kacamata ekonomi yang dibungkus seolah untuk mengontrol penyebaran virus HIV. Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan ajaran agama Islam yang dianut mayoritas warga DKI.
Dalam menyampaikan gagasannya, Ahok juga menggunakan kata-kata yang tidak santun, menuduh orang lain munafik dan sebagainya. (lihat http://www.merdeka.com/…/merasa-disebut-munafik-aktivis-muh….). Sikap dan perilaku yang kasar, terkesan angkuh, sombong dan menimbulkan kontroversi. Hal ini jika dibiarkan akan mengganggu ketentraman masyarakat beragama, khususnya umat Islam. Pada akhirnya akan berimbas mengganggu ketahanan nasional karena DKI Jakarta adalah barometer nasional Indonesia. Ucapan dan perilaku Ahok tersebut juga menunjukkan bahwa dia tidak memahami kondisi sosial dan budaya masyarakat DKI Jakarta yang religius dan memiliki sensitivitas terhadap hal-hal keagamaan semacam ini.
Ahok juga telah menjadikan agama sebagai bahan olok-olok. Itu disampaikan Ahok saat memberikan sambutan dalam Pembukaan Rakerda I MUI DKI Jakarta 2014, di Balai Agung, Balai Kota, Jakarta Pusat, Rabu (12/11/2014): “Bapak Ibu jangan merasa saya musuh Islam. Dari kecil saya sejak lahir, 93% di sekeliling saya ada adalah muslim. Keluarga saya banyak yang muslim. Kalau persoalan saya enggak dapat hidayah, ya tanya sama Allah.”(http://news.detik.com/…/silaturahmi-dengan-mui-ahok-ada-yan…) Kata-kata Ahok itu jelas-jelas telah menjadikan agama sebagai permainan, sebab ia melecehkan arti hidayah dengan berbangga diri dalam keadaan tidak mendapatkan hidayah, lalu meminta orang lain menanyakan hal itu kepada Tuhan. Seakan-akan Allah telah salah karena tidak memberi petunjuk kepadanya. Ini tidak etis disampaikan oleh orang yang mengaku beragama dan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.
Mengusahakan penghapusan kolom agama di KTP. Pernyataan Ahok tentang perlunya penghapusan kolom agama di KTP juga dinyatakan dengan sangat tegas dan kasar, bahkan cenderung melecehkan agama, khususnya agama Islam. Berita di Situs Kristen (http://reformata.com/…/77…/ahok-tak-perlu-kolom-agama-di-ktp), 20 Juni 2014, yang berjudul, “Ahok: Tak Perlu Kolom Agama Di KTP”, ia mengatakan: “Kenapa mesti ada kolom agama di KTP? Untuk apa? Apa gunanya saya tahu agama kamu? tanya Ahok.” Selanjutnya, ditulis:
“Indonesia mencantumkan kolom agama di KTP, kata dia, hanya karena pengaruh budaya Timur Tengah, yang penuh dengan sejarah penaklukan agama, sehingga menyebabkan memunculkan agama mayoritas dan minoritas. Dalam konteks seperti ini identifikasi agama diperlukan. Sama sekali berbeda dengan kondisi beragama di Indonesia. Menurut Ahok, Indonesia adalah negara berasas Pancasila dan UUD 1945. Agama mayoritas, Islam pun masuk ke Indonesia bukan melalui penaklukan agama. Sehingga identifikasi agama, tidak dibutuhkan di sini. Karena itu, kata dia, pelaksanaan ritual beragama di Indonesia seharusnya tergantung kepada individu masing-masing dan tidak dipengaruhi oleh pihak lain, apalagi negara. Karena itu dia sangat mendukung calon presiden yang ingin menghapus kolom agama di KTP.”
Pernyataan Ahok tentang penghapusan kolom agama di KTP ini bukan masalah sederhana dan hanya dilemparkan dalam pernyataan yang tanpa pertimbangan yang matang. Padahal bagi umat Islam, identitas keagamaan di KTP sangat diperlukan dalam pernikahan, pengobatan, dalam pengurusan jenazah, dalam sumpah jabatan, masalah warisan dan masih banyak lagi. Ahok nampaknya tidak memahami agama mayoritas warganya yaitu Islam yang selalu melekatkan identitas agamanya, di mana saja dan untuk kepentingan apa saja. Sebab Islam bukan hanya agama privat saja, tetapi juga agama publik. Sesuai dengan pasal 29 UUD 1945, umat Islam berhak menjalankan ibadah baik secara privat maupun secara publik. Jika Ahok memaksa orang Islam agar beragama secara privat, maka dia sudah tidak toleran dengan penganut agama selain agamanya.
Untuk memperkuat pendapatnya, Ahok pun tak segan-segan melakukan kebohongan publik, dengan menyatakan, bahwa di Malaysia, kolom agama juga tidak disebutkan dalam KTP Malaysia. Padahal, pernyataan Ahok itu terbukti salah. Lihat http://dunia.news.viva.co.id/…/466596-ahok-salah–ktp-malays…, juga http://www.bersamadakwah.com/…/pembohongan-publik-ahok-sebu…
Masalah keagamaan ini sudah diatur dalam UUD 1945 dan UU No 1/PNPS/1965, sehingga sebagai pemimpin wilayah, harusnya Ahok memahami hal itu, dan tidak memunculkan kontroversi yang sangat menyakitkan bagi umat Islam. Apalagi, selama ini, secara umum, masyarakat Indonesia dan umat Islam juga tidak mengalami masalah dalam soal pencantuman kolom agama di KTP.

Melarang pemotongan hewan qurban di sekolah dan melakukan kebohongan publik. Kasus pelarangan pemotongan hewan kurban di sekolah oleh Ahok jelas tertuang dalam Instruksi Gubernur DKI Jakarta nomor 67 Tahun 2014 pada point 4.a.1: “melarang kegiatan pemotongan hewan kurban dilokasi pendidikan dasar”. Tetapi, Ahok membantah dan bahkan berbohong dengan mengatakan, yang menandatangani instruksi itu adalah Jokowi bukan dirinya. Padahal, di situs resmi Pemprov DKI Jakarta, Insgub itu jelas ditandatangai oleh Ahok selaku Plt Gubernur DKI Jakarta pada 17 Juli 2014. Lihat http://beritapopuler.com/ahok-dan-kebohongan-berlapis-soal…/
Menelaah berbagai pemikiran, ucapan, dan perilaku Ahok tersebut, FUMJ kemudian menyimpulkan: “Pikiran-pikiran Ahok yang mengecilkan masalah agama dalam kehidupan, menunjukkan bahwa dia tidak memahami kondisi sosial-budaya masyarakat DKI Jakarta. Pemimpin seperti ini sangat berpotensi untuk menanamkan benih-benih perpecahan dan permusuhan di tengah masyarakat. Ini berarti Ahok tidak mengenal masyarakat yang dipimpinnya dan dapat dikatakan bahwa dia tidak memenuhi syarat menjadi gubernur sesuai dengan keputusan KPU Nomor: 07/Kpts/KPU-Prov-010/2011, yaitu mengenal masyarakatnya,” tulis FUMJ dalam Taushiyahnya.
Salah satu kewajiban ulama adalah memberikan taushiyah kepada masyarakat. Para ulama muda di Jakarta di bawah kepemimpinan KH Fahmi Salim MA, jauh-jauh hari telah mengingatkan masyarakat muslim Jakarta tentang pemikiran dan sikap Ahok. Setelah melaksanakan tugasnya, ulama berserah diri kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran dari kasus Salman Rushdie, Ahok, dan sebagainya. Jangan sekali-kali mempermainkan ayat-ayat Allah! Apalagi, sampai memanipulasi makna ayat-ayat Allah untuk mendukung kekufuran dan kemusyrikan, demi sejumput kekuasaan yang menggiurkan.*/Depok, 7 November 2016

Minggu, 03 Desember 2017

Filsafat Islam: Pemikir Muslim dan Orientalis

Filsafat Islam
Antara Ilmuwan Muslim dan Orentalis
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Jika di abad 9-13 M orang menyebut kata falsafah, maka asosiasinya pasti tertuju pada al-Masysya’un atau Muslim paripatetik. Sebab para mutakallimun dan fuqaha tahu kata falsafah (filsafat) merupakan Arabisasi dari kata philosophia. Selain itu para ulama seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dsb., jelas telah berinteraksi dan menimba ilmu dari khazanah filsafat Yunani dengan tujuan untuk memformulasikan filsafat Islam. Namun, para orientalis menyimpulkan bahwa dalam Islam tidak ada filsafat. Jadi bagaimanakah asal usul dan hakekat filsafat Islam itu?
Terdapat tiga pandangan berbeda terdahap filsafat Islam. Pertama, mereka yang yakin bahwa tidak ada filsafat Islam, yang ada hanyalah filsafat Yunani yang nama dan substansinya telah di Arabkan. Kedua, mereka menolak sama sekali adanya filsafat dalam Islam, karena berfilsafat itu haram hukumnya. Ketiga, mereka yang berpegang bahwa filsafat Islam itu berasal dari al-Qur’an dan diperkaya oleh filsafat Yunani. Yang pertama diwakili oleh orientalis, yang kedua oleh para fuqaha dan muhaddithin dan ketiga adalah ilmuwan Muslim masa kini. Disini hanya akan dibahas pandangan pertama dan ketiga.
Alasan menafikan adanya filsafat Islam dari orientalis bersumber dari arti dan sejarah filsafat Islam. Peter FE misalnya, melihat sumber filsafat Islam hanya dari Yunani. Kajiannya menyimpulakan bahwa “dalam Islam tidak ada filsafat”, bahkan Ilmu Kalam sekalipun ia anggap sebagai “saudara tiri” filsafat yang juga berasal sumber yang sama yaitu Yunani (the stepsisters borne by the same mother). Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Professor Ueberweg dalam bukunya History of Philosophy vol. i, (hal. 405), bahwa seluruh filsafat Arab hanyalah Aristotelianisme yang dikembangkan kurang lebih dengan konsep-konsep Neo-Platonik. Jadi filsafat Islam berasal dari Yunani, baik nama maupun isinya.
De Boer juga melihat dari sisi sejarah. Katanya “Islam datang ke dunia ini tanpa filsafat”, sebab, katanya, pada abad pertama masyarakat Islam tidak mempunyai kesadaran akan metode atau sistim. Jadi filsafat Islam hanyalah hasil asimilasi dan bukan asli dari Islam. Tidak aneh jika bukunya The History of Philosophy in Islam membahas secara berlebihan Sains Yunani dan Wisdom dari Timur, sekedar untuk menunjukkan ketidak-aslian filsafat Islam. Sama dengan De Boer, Gustave E von Grunebaum berasumsi bahwa dalam Islam tidak ada pemikiran rasional, konsep-konsep dan prinsip klassifikasi, oleh karena itu semua itu pasti diambil dari Yunani. Pandangan ekstrim ini tentu berdasarkan pengetahuan yang parsial tentang Islam.
Asumsi bahwa dalam Islam tidak ada sesuatu yang rasional juga datang dari M.W.Watt, Joseph van Ess dan Michael Cook. Mereka bahkan menuduh ilmu Kalam yang menggunakan argumentasi rasional itu, memperkenalkan dan mendiskusikan konsep-konsep non-Qur’ani, yang kebanyakan diambil dari filsafat dan sains Yunani atau dari teks Syriac. Tapi, para orientalis itu hanya berasumsi dan mengakui bahwa itu semua masih harus dibuktikan. Padahal ilmu sanad dan klassifikasi hadith, misalnya, tidak pernah terbukti berasal dari Yunani.
Dalam buku A History of Philosophical System, Edward J. Jurji menulis artikel berjudul Arabic and Islamic Philosophy. Dalam artikel itu ia mengakui adanya sumbangan peradaban Arab-Islam kepada peradaban Barat Baru (New West). Meskipun demikian ia dengan tegas menyatakan bahwa itu semua tidak berasal dari jazirah Arab, tapi dari Yunani. Sebab sebelum orang-orang Arab itu berhubungan dengan bangsa Syria, Yahudi dan Iran, mereka berwawasan sempit (narrow horizon). Orang Muslim, pada abad ke 7 M, katanya, mustahil bisa faham arti logika dan filsafat Yunani. Kemampuan mereka dalam disiplin filsafat baru muncul setelah orang-orang Kristen dan Yahudi mengungguli mereka.
Pernyataan Edward sebenarnya bertentangan dengan temuan Peter yang menemukan fakta bahwa orang Kristen tidak bisa menyelesaikan terjemahan Organon karya Aristotle karena khawatir akan membahayakan keimanan mereka. Bagi Muslim ini tidak masalah. Ini berarti mereka tidak mampu menyerap logika Yunani yang canggih (baca sophisticated) karena miskinnya mekanisme untuk menghasilkan kerangka konsep keilmuan (scientific conceptual scheme) dalam pandangan hidup mereka. Jadi kalau fakta yang dikemukakan Peter ini dipahami dalam perspektif pandangan hidup (worldview) Islam, asumsi Edward tidak bisa dipertahankan lagi. Malah asumsi itu bisa menjadi terbalik yaitu bahwa kerangka konsep keilmuan Barat itu muncul hanya setelah mereka bersentuhan dengan peradaban Muslim yang berdasarkan pada pandangan hidup yang canggih.
Akibat dari cara pandang ini nampak dalam framework kajian mereka. Sudah dapat dipastikan bahwa hampir seluruh buku sejarah filsafat Islam, atau artikel tentang filsafat Islam dimulai dari tokoh yang bernama al-Kindi. Sebab al-Kindi dianggap cendekiawan Muslim yang pertama kali bersentuhan dengan filsafat Yunani. Logikanya, sebelum al-Kindi tidak ada filsafat Islam. Dan orang-orang yang menyerang filsafat Yunani seperti al-Ghazzali, Fakhr al-Din al-Razi dan lain-lain tidak disebut filosof.
Mungkin agak sedikit obyektif, dan bisa mewakili pandangan ketiga adalah Michael Marmura (dalam Encyclopedia of Religion) dan Oliver Leaman. Menurut Marmura para filosof Muslim itu tidak hanya menerima ide-ide Yunani yang mereka terjemahkan, mereka menyeleksi, mengolah dan merubah konsep-konsepnya untuk membentuk filsafat mereka sendiri. Pengakuan Marmura sangat tepat, sebab tidak semua konsep Yunani diterima oleh Muslim. Ada proses seleksi, pemurnian, modifikasi dan reformulasi konsep. Faktanya memang penterjemah dari kalangan Kristen seperti Hunayn Ibn Ishaq (m.873), Thabit in Qurra (m.901), Yahya ibn Adi (m.974) dsb. adalah penerjemah bayaran. Sesudah proses penterjemahan, tidak lagi punya peran apa-apa. Para cendekiawan dan filosof Muslim lah yang kemudian mengolahnya dalam bentuk komentar, penjelasan, adapsi dan tentu Islamisasi konsep-konsep pentingnya. Pendapat Marmura ini dikuatkan oleh Sabra, yaitu bahwa istilah Yunani “philosophia” yang di Arabkan menjadi falsafah justru menunjukkan tanda keberhasilan naturalisasi filsafat Yunani kedalam millieu Islam.
Bahkan menurut C.A.Qadir, penulis buku Philosophy and Science in The Islamic World, sumber aspirasi asli dan riel para pemikir Muslim adalah al-Qur’an dan Hadith. Pemikiran Yunani hanyalah pembuka jalan. Muslim berhutang pada Yunani dan pada saat yang sama menyimpang dari Yunani. Dalam masalah Tuhan, manusia dan alam semesta para pemikir Muslim memiliki konsep mereka sendiri yang justru tidak terdapat dalam pemikiran Yunani.
Oleh sebab itu MM Sharif dalam A History of Muslim Philosophy mengibaratkan pemikiran Islam dan Muslim sebagai kain sedangkan pemikiran Yunani sebagai sulaman, “meskipun sulaman itu dari emas, kita hendaknya jangan menganggap sulaman itu sebagai kain”. Bagi Iqbal semangat Islam adalah anti-klasik, maksudnya adalah anti-Yunani. Seyyed Hossein Nasr secara metaforis menyatakan bahwa Aristotle telah dikirim kembali ketempat asalnya di Barat, bersamaan dengan Averroes, murid terbesarnya. Meskipun begitu Nasr menyadari bahwa dalam filsafat terdapat unsur-unsur Yunani. Hanya saja ketika unsur-unsurnya yang sesuai dengan semangat Islam itu diintegrasikan kedalam peradaban Islam, ia menjadi Islami.
Jika para orientalis diatas begitu ekstrim mengklaim filsafat Islam sepenuhnya berasal dari Yunani. Oliver Leaman dalam bukunya An Introduction to Medieval Islamic Philosophy mengakui bahwa Usul Fiqih memiliki peran penting dalam melahirkan filsafat dalam Islam. Ini nampaknya dikaitkan dengan tradisi qiyas dalam fiqih yang sangat rasional dan hampir mirip dengan syllogisme Aristotle. Bukan hanya itu kenyataannya dalam al-Qur’an memang telah terdapat elemen metafisika, seperti konsep Tuhan, alam ghaib, hari akhir, prinsip akhlaq, ilmu, iman dsb. Dari elemen ini saja sudah dapat disimpulkan bahwa filsafat telah ada sebelum bersentuhan dengan Yunani. Realitas ini digambarkan oleh Oliver Leaman dengan cerdas sekali bahwa filsafat Islam muncul dalam teologi Islam dan tanpa kaitan langsung dengan filsafat Yunani (philosophy arose in Islamic theology and was without any direct contact with Greek philosophy).
Lebih dari itu, dalam Islam sendiri terdapat istilah hikmah. Hikmah sepadan dengan kata sophy atau sophia. Dikalangan masyarakat Muslim tradisional filsafat masih dipahami sebagai Íikmah yang berkaitan dengan para Nabi dan para wali. Bahkan, menurut SH.Nasr, banyak orang yang tidak sadar bahwa wujud filsafat dalam Islam bisa ditemukan dalam ilmu-ilmu Islam seperti Tafsir, Hadith, KalÉm, UsËl al-Fiqh, Tasawwuf dan sudah tentu ilmu-ilmu alam dan mathematika, yang memiliki akar secara mendasar dalam al-Qur’an, sumber hikmah itu sendiri. Qadir dengan ringan menyatakan bahwa yang sebenarnya terjadi adalah bahwa Íikmah dalam Islam telah menemukan sparing-partner-nya untuk berkembang.

Jadi, jika Muslim masih memahami arti filsafat Islam sebagai pengetahuan asing dan haram, maka ia tidak dapat menciptakan disiplin ilmu baru dalam Islam. Dan jika Muslim masih menganggap filsafat Islam adalah murni berasal dari Yunani maka berfikirnya set back ke abad ke 10. Padahal pada abad ke 13 saja istilah “falsafah” sudah dapat diterima jika unsur-unsurnya yang bertentangan dengan Islam dihilangkan. Ibn Taymiyyah, (MinhÉj al-Sunnah, I. ed.Rasyad Salim, hal 261) juga tidak keberatan dengan istilah falsafah ini, asal ditambah dengan predikat al-sahihah, yaitu pengetahuan tentang Wujud.

Jumat, 01 Desember 2017

Menyelami Kembali Pemahaman Pluralisme

Toleransi Tanpa Pluralisme
Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi
Jika sekarang ini ada kepala negara Islam mengirim surat meminta Tony Blair agar masuk Islam tentu dianggap pelecehan dan intoleransi. Bukan hanya karena mustahil Blair sudi, tapi doktrin postmodern dan teologi global “mengharamkan” hal tersebut. Doktrin pluralisme agama melarang menganggap agama orang lain salah, dan agama sendiri paling benar, karena itu dianggap benih terorisme dan fundamentalisme.
Pluralitas agama, kultur dan budaya adalah sunnatullah, tapi pluralisme adalah doktrin peradaban Barat postmodern yang mencoba membangun persamaan dari perbedaan dan bahkan cenderung menghilangkannya. Sumber utamanya adalah filsafat relativisme Nietzche, tokoh filosof Barat postmo.  Filsafat kemudian menjalar ke tengah-tengah diskursus teologi Kristen. Ketika doktrin extra ecclesiam nulla salus (diluar gereja tidak ada keselamatan) tidak dapat dipertahankan lagi, maka para teolog Kristen membuat kreasi teologis yang disebut teologi inklusif. Artinya semua agama selamat dalam pelukan Kristen.
Namun gereja masih dianggap belum “maju” jika belum sesuai dengan doktrin relativisme Nietzche. Orang-orang seperti Wilfred Cantwell Smith, John Hicklah dan para pemikir Kristen pakar teori Comparative Religion kemudian meneruskannya menjadi upaya peleburan perbedaan yang disebut doktrin inklusifisme. (Agama) yang satu – dalam konteks pluralisme agama – mengakui (kebenaran agama) yang lain.
Ide inilah yang kemudian berubah menjadi pluralisme. Truth claim (mengklaim kebenaran agamanya sendiri) diharamkan. Pokoknya semua harus mengakui (kebenaran) semua. Tidak ada agama yang lebih benar dari agama lain. Sebab kebenaran itu adalah relatif, yang absolut hanya Tuhan. Disini hak asasi untuk beragama dan berkeyakinan seakan-akan dibela dan dijunjung tinggi. Sikap-sikap seperti itu disebut sikap pluralis. Tapi benarkah Islam sejalan dengan doktrin pluralisme seperti itu?
Jika cara berpikir seperti itu diterapkan kedalam sejarah pemikiran dan peradaban Islam, tentu Islam bertentangan dengan makna pluralisme seperti itu. Surat-surat Nabi mengajak raja Romawi, Persia, Ethiopia dan lain-lain untuk masuk Islam bertentangan dengan doktrin pluralisme.
Jika doktrin pluralisme agama harus mengakui kebenaran agama lain, Islam hanya mengakui Islam yang paling benar disisi Allah (Sesungguhnya al-Din (yang diterima) disisi Allah adalah Islam). Jadi Islam adalah agama yang eksklusif dan tidak pluralis.
Biasanya cendekiawan Muslim pembela doktrin pluralisme agama menggunakan al-Ma'idah: 69 dan al-Baqarah: 62 untuk menjustifikasi doktrin tersebut. Dalam al-Ma'idah: 69 berbunyi “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja yang [diantara mereka] yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih”. (Bandingkan dengan al-Baqarah: 62).
Ayat di atas dipahami sebagai membenarkan agama-agama Yahudi, Kristen dan Sabiin. Bahkan mereka memasukkan agama-agama lain yang serupa dengan Sabiin, seperti Hindu, Budha, Konghucu dan sebagainya dalam kategori ini. Alasannya karena Sabiin adalah agama penyembah bintang-bintang alias agama musyrik.
Jika dilihat dari sibaq dan siyaq ayat tersebut maka penafsiran itu menjadi tidak tepat. Sebelumnya (pada al-Ma’idah: 65) disebutkan bahwa “Jika orang-orang ahlul kitab beriman dan bertaqwa (kepada Allah) akan Kami hapuskan dosa mereka dan akan Kami masukkan surga”.
Kata “jika” (law anna) adalah pra-kondisi yang berarti bahwa ahlul kitab itu tidak beriman kepada Allah SWT. Selanjutnya (pada ayat 67) disebutkan bahwa ahlul kitab itu tidak berarti apa-apa jika tidak menjalankan apa yang ada dalam Kitab Taurat dan Injil.
Sudah tentu ini bukan Taurat dan Injil (Bible) yang ada sekarang. Sebab kitab-kitab itu dalam pandangan Islam tidak asli lagi. Jika yang dimaksud adalah Bible maka implikasinya bahwa Trinitas dalam Bible itu diterima al-Qur’an. Padahal pada ayat ke 71 dan 73 disebutkan bahwa ahlul kitab yang percaya Trinitas adalah kafir. Apa yang dimaksud ayat itu adalah ajaran-ajaran Taurat dan Injil yang membawa konsep tauhid.
Oleh sebab itu, kajian al-Baydhawi menunjukkan bahwa ayat itu merujuk kepada ahlul kitab sebelum datangnya Islam. Dan karena kedatangan Islam, agama-agama itu dibatalkan (mansukh). Ini berarti agama Kristen, Yahudi, Sabiin dan sebagainya itu kini telah mansukh.
Ini diperkuat oleh al-Thabari bahwa surat al-Baqarah: 62 dan Ali Imran: 69 itu telah di mansukh oleh surah Ali Imran ayat 75: "Barangsiapa memeluk agama selain Islam ….". Pendapat ini merujuk kepada Ibn Abbas dan diperkuat oleh al-Qasimi, Wahbah Zuhayli dan mufassir-mufassir lainnya. (Lihat Hikmat Ibn Bashir ibn Yasin, al-Tafsir al-Sahih, mausu'ah al-Sahih al-al-Masbur min al-Tafsir bi al-Ma'thur, 2 jld, jld 1, Dar al-Ma'athir, Madinah, 1999, 169).
Selanjutnya, mengenai pemahaman bahwa orang-orang Sabiin penyembah bintang-bintang, alias musyrik yang disebut bersamaan dengan Yahudi dan Nasrani juga diakui kebenarannya oleh al-Qur’an asal percaya pada Tuhan dan hari akhir serta berbuat baik.
Pendapat ini memiliki kelemahan premisnya. Ternyata menurut al-Thabari tidak begitu. Penganut Sabiin adalah orang yang percaya pada Yahudi dan Nasrani shalat lima waktu dan menghadap kiblat. Jadi bukan musyrik. (Lihat Hikmat Ibn Bashir, al-Tafsir al-Sahih, hal. 169).
Maka dari itu menurut Ibn Taimiyyah beriman kepada Allah dan hari akhir itu termasuk konsekuensi-konsekuensi lainnya yang berarti masuk Islam. Kecuali mereka yang hidup sebelum datangnya Islam.
Lalu mengapa dalam ayat itu disebut “Sesungguhnya orang-orang beriman” yang kemudian diikuti “Yang beriman kepada Allah”? Apakah ini merujuk kepada orang yang percaya kepada agama apa saja atau orang Islam saja? Yang dimaksud “Orang-orang beriman” dalam ayat itu menurut ibn Qutaybah adalah orang-orang yang mengaku beriman tapi sebenarnya tidak alias munafiq. (Ibn Qutaybah, Ta'wil Mushkilat al-Qur'an, ed. Sayyid Ahmad Safar, Kairo: Maktabah Dar al-Turath, 1973, 482).
Jadi, jika pluralisme diartikan sebagai pengakuan kebenaran agama lain, Islam jelas menolak pluralisme. Logikanya, jika Islam mengakui kebenaran agama lain, mengapa Islam mengajak agama lain masuk Islam. (al-Nahl: 126). Mengapa pula Nabi sendiri mengirim surat meminta Raja Romawi Heraclitus, Raja Persia Ebrewez, Raja Ethiopia masuk Islam.
Jika pluralisme melarang adanya klaim kebenaran atau menganggap agamanya paling benar sendiri. Tentu Islam tidak masuk kategori agama yang pluralistis. Apa yang dibawa Islam adalah melengkapi kitab-kitab yang datang sebelumnya. Bahkan lebih dari itu Islam juga menyalahkan penyelewengan yang dilakukan pengikut kitab-kitab (ahlul kitab).
Meskipun Islam tidak mengandung ajaran yang pluralistis, namun Islam adalah agama yang memiliki toleransi tinggi. Ayat-ayat Ali Imran: 20, al-Kafirun: 2-6, menunjukkan bahwa Islam adalah eksklusif tapi tidak memaksa manusia untuk mengikutinya. Al-Nahl: 126 juga menunjukkan cara-cara yang beradab dalam berdakwah, tidak ada paksaan dan kekerasan ataupun tipu daya. Masih banyak lagi ayat-ayat toleransi dalam al-Qur’an.
Ajaran toleransi ini bukan hanya terdapat dalam teks, tapi juga diterapkan dalam kehidupan dakwah umat Islam. Pada awal Islam, suku-suku di jazirah Arab masuk Islam secara sukarela, karena argumentasi, karena kagum pada pribadi Nabi, karena konsep Tauhid dalam Islam dan lain sebagainya.
Pada periode Umar bin Khattab, umat Islam menguasai Yerussalem tanpa peperangan. Umat Islam datang dan menguasai tapi tidak menghancurkan. Islam malah menjadi penengah pertikaian antara sekte-sekte Kristen yang sering terjadi di dalam Kanisah al-Qiyamah.
Dalam sejarahnya, Yerussalem mengalami kehidupan keagamaan yang paling damai ketika dibawah kekuasaan Islam. Islam, Kristen dan Yahudi hidup berdampingan secara damai.
Di Cordoba umat Islam juga hidup damai dengan orang-orang Kristen dan Yahudi. Tapi sesudah kerajaan Bani Umayyah jatuh, orang-orang Kristen Barat mengusir umat Islam secara biadab. Mereka tidak mempunyai ajaran toleransi. Bahkan orang-orang Kristen yang dekat dengan orang-orang Islam dirazia oleh tim inquisisi Kristen.
Demikian pula ketika Islam masuk ke Persia kekaisaran disana sangat lemah dan tercabik-cabik, sehingga kedatangan Islam memberikan solusi bagi persoalan politik disana. Pada tahun 700an ketika Qutaibah bin Muslim menjabat Gubernur Khurasan, ia dengan damai meluaskan kawasan Muslim ke Bukhara, Samarqand, dan ke Timur hingga mencapai perbatasan Cina.
Dalam catatan sejarah Cina periode dinasti Tang (713-742), misalnya tertulis begini: “Mereka (orang-orang Islam) datang ke pusat Kerajaan laksana banjir, dan membawa hadiah kitab suci yang disimpan di ruangan tersendiri di dalam istana. Kitab itu dipandang sebagai standar dan sumber hukum yang dipandang suci. Sejak masa ini, ajaran-ajaran agama dari negeri asing ini menjadi bercampur dengan ajara-ajaran agama pribumi dan dipraktekkan dalam kehidupan rakyat secara terbuka diseluruh wilayah Imperium Tang”.
Orientalis pakar sejarah asal Perancis, Du Halde, mencatat bahwa orang Islam menetap di Cina selama lebih 6 abad tidak ada kegiatan dakwah yang mencolok, kecuali hubungan perkawinan. Mereka adalah saudagar kaya yang menyantuni anak kaum penyembah api yang miskin.
Ketika terjadi kelaparan di Chantong mereka menyantuni lebih dari 10.000 anak miskin, sehingga ketika anak-anak itu dewasa mereka menjadi Muslim. Semua itu berjalan tanpa paksaan dan masyarakat tidak merasa keberatan. Pada tahun 1323-1328, anak Timur Khan cucu Kubilay Khan, bernama Ananda, menggantikan ayahnya dan masuk Islam. Ia lalu membangun 4 masjid di Peking.
Begitulah, meskipun Islam adalah agama misi, tapi ia tetap berpegang pada prinsip la ikraha fi al-din (Tidak ada paksaan dalam memeluk agama). Peperangan memang terjadi antara bala tentara Islam dan daerah yang dimasuki mereka. Namun Islam tidak memerangi penganut agama lain agar mereka masuk Islam.
Islam adalah agama yang memberi rahmat bagi penduduk alam semesta. Ini tidak berarti bahwa Islam mengakui kebenaran agama apapun di seluruh dunia. Rahmat Islam terdapat pada ajaran-ajarannya yang universal, yang sesuai dengan fitrah manusia.
Menurut Ibn Taimiyyah Allah menurunkan fitrah pada alam dan pada manusia, dan melengkapi kedua fitrah itu dengan fitrah yang diturunkan (fitrah munazzalah) yakni al-Qur’an. Dan pada ketiga fitrah itu Allah meletakkan ayat-ayat, yaitu ayat kauniyyah, ayat qauliyyah dan ayat nafsiyyah.
Rahmat Islam adalah kekayaan konsep-konsepnya yang mencerminkan sebuah pandangan hidup. Didalamnya terdapat ruang-ruang bagi ilmu pengetahuan, etika, estetika, logika, metafisika, sains, teknologi, teologi dan sebagainya.
Karena itulah maka konsep-konsep asing dapat terakomodasikan dalam peradaban Islam, sehingga bangsa selain Islam dapat dengan mudah memanfaatkan konsep-konsep Islam bagi kepentingan kebudayaan mereka.
Pandangan hidup Islam telah membuka wawasan dan prinsip-prinsip baru bagi kehidupan bangsa Eropa. Kemampuan umat Islam menerjemahkan filsafat dan sains Yunani membawa rahmat bagi kebangkitan Barat. Proses dari Yunani ke Arab kemudian ke Latin merupakan fakta sejarah bahwa peranan Islam bagi bangunnya peradaban Barat tidak dapat diragukan lagi.
Demikian pula Islam masuk ke Spanyol, Persia, India dan Mesir membawa cara pandang terhadap dunia yang khas. Islam tidak datang ke suatu Negara untuk menjajah dan menguras kekayaan alam Negara itu, seperti yang dilakukan bangsa Barat ke negara-negara Islam.
Islam memakmurkan Negara yang telah dikuasainya dan tidak membawanya pulang ke Arab misalnya. Oleh sebab itu, istilah yang tepat untuk serangan Islam adalah al-fath, pembukaan dan bukan penjajahan.
Kedatangan pandangan hidup Islam ke dunia Melayu (Asia Tenggara) telah membawa perubahan konsep waktu, konsep ada, konsep hidup dan sebagainya. kepada masyarakat yang animistis dan dinamistis waktu itu.

Dan yang pasti Islam masuk ke dunia Melayu tanpa peperangan. Peperangan yang ada hanyalah peperangan konsep, konsep teologi agama-agama Hindu, animisme dan dinamisme dengan mudah dikalahkan oleh konsep universal Islam. Jadi, Islam bertentangan dengan prinsip pluralisme agama, tapi memiliki rasa toleransi yang tiada bandingannya.

Pemimpin Non-Muslim: Antara Agama dan Politik

Non-Muslim di Pentas Politik

Syamsuddin Arif
(Direktur Eksekutif INSISTS Jakarta)

Akhir-akhir ini sering muncul pertanyaan di masyarakat mengenai boleh tidaknya umat Islam mendukung calon bupati, walikota, atau gubernur non-Muslim.Silang pendapat antara kelompok yang berbeda kepentingan pun terjadi. Yang melarang berpegang pada ayat al-Qur’an surat al-Māʾidah ayat 51 (“Janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali-wali-mu”) dan surat an-Nisāʾ ayat 144 (“Janganlah kalian menjadikan orang-orang kafir sebagai wali-wali, seraya meninggalkan orang-orang beriman”). Sementara yang membolehkan tak mau kalah. Tafsir aṭ-Ṭabarī dan Ibn Katsīr dirujuk lantas menyimpulkan kata “awliyāʾ” dalam ayat di atas artinya bukan pemimpin, tetapi sekutu atau aliansi, sehingga yang dilarang itu bersekutu dan beraliansi dengan orang kafir, bukan mengangkat mereka sebagai pemimpin. Namun, benarkah begitu?

Tiga Persoalan

Dalam tradisi intelektual Islam, ada tiga persoalan yang selalu dibicarakan terkait kepemimpinan politik dalam negara.Pertama, soal pemimpin yang kurang layak (imāmatul mafḍūl).Kedua, soal pemimpin yang suka maksiat (imāmatul fāsiq).Dan ketiga, soal pemimpin non-Muslim (imāmatul kāfir).Kecuali yang disebut terakhir, persoalan-persoalan kepemimpinan politik ini timbul karena banyak kasus yang menjadi khalifah, wazir, sultan, atau amir sepanjang sejarah Islam itu umumnya ‘kurang layak’ (mafḍūl) daripada yang benar-benar layak (fāḍil).Lebih banyak yang ‘kurang taat’ (fāsiq) daripada yang sholeh.Tentu saja dengan pengecualian para Khulafā’ Rāsyidūn (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali –riḍwānullāhi ʿalayhim) dan beberapa orang yang mengikuti teladan mereka semisal ʿUmar bin ʿAbdil ʿAzīz.

Jadi memang secara historis acapkali terjadi kesenjangan antara ‘apa yang semestinya’ (das Sollen) dan ‘apa nyatanya’ (das Sein).Idealnya, seorang pemimpin itu bertaqwa, berilmu, pemberani, dan seterusnya.Namun realitasnya yang dilantik menjadi khalifah, sultan, wazir atau amir –terutama pada zaman Bani Umayyah, Bani ‘Abbasiyyah dan sesudahnya– itu seringkali memiliki kekurangan, kelemahan dan kesalahan.Maka sebagian teolog membolehkan orang yang kurang kompeten menjadi pemimpin meskipun ada orang yang lebih kompeten dan lebih pantas daripadanya.Inilah yang disebut imāmatu’l -mafḍūl. (Lihat: Imam Abū ’l-Ḥasan al-Asyʿarī, Maqālāt al-Islāmiyyīn, ed. H. Ritter, cet. Devlet Istanbul, 1929-33, hlm. 461, dan Ibn Ḥazm, al-Faṣl fī ’l-milal wa ’l-ahwā’ wa ’n-niḥal, ed. M.I. Naṣr dan ʿA.ʿUmayrah, Dār al-Jīl Beirut, 1416/1996, juz 5, hlm. 5-9).

Sama halnya dengan imāmatu’l-fāsiq.Yakni kasus dimana seseorang yang masih suka melanggar hukum agama –entah berkat keturunan ataupun dengan kudeta militer– naik menjadi penguasa (khalifah, sultan, amir). Sebagian ulama mengakui legitimasinya dan menganjurkan umat Islam tunduk padanya selagi sang penguasa itu masih memeluk Islam, masih melaksanakan tugas-tugasnya, dan tidak menyuruh rakyat melawan perintah Allah dan sunnah Rasul-Nya. Sikap positif ini demi menghindari bencana yang lebih besar (berdasarkan kaidah akhaffu ḍararayni) yaitu timbulnya konflik horizontal dan pertumpahan darah. Pertimbangan menarik diberikan oleh Imam Aḥmad ketika ditanya mengenai dua calon pemimpin Muslim yang satu hebat tetapi masih suka maksiat dan yang satu baik tetapi lemah: “Pendosa yang memiliki kapabilitas memimpin itu kapabilitasnya berguna bagi umat Islam dan perbuatan dosanya merugikan dirinya sendiri (fa-quwwatuhu li’l-muslimīn wa fujūruhu ʿalā nafsihi), sedangkan orang baik yang tidak punya kapabilitas memimpin maka kebaikannya untuk dirinya dan kelemahannya akan merugikan umat Islam.” (Lihat kitab Ibn Taymiyyah, as-Siyāsah as-Syarʿiyyah fī iṣlāhi r-rāʿī wa r-raʿiyyah (cet. Dār al-Jīl Beirut 1413/1993, hlm. 27).

Normatif dan Historis

Soal pemimpin non-Muslim jarang sekali dibicarakan karena memang secara normatif maupun historis hal itu tidak boleh dan tidak pernah terjadi.Secara normatif, larangan memilih orang kafir sebagai pemimpin sesungguhnya telah ditegaskan oleh para ulama. Imam an-Nawawī yang merupakan ‘pentolan’ mazhab Syāfiʿī dan diakui otoritasnya sebagai ahli fiqih dan ahli hadis sekaligus, misalnya, sangat eksplisit menyatakan bahwa syarat-syarat menjadi pemimpin (syurūṭ al-imāmah) itu mesti akil baligh (kawnuhu mukallafan), orang Islam (musliman –bukan kafir!), adil, merdeka (bukan budak), laki-laki, berilmu (ʿāliman), berijtihad (mujtahidan), pemberani, mempunyai visi dan kompetensi (dzā raʾyin wa kafāʾah), dan sehat pendengaran maupun penglihatan (Lihat: Rawḍat aṭ-Ṭālibīn, ed. Syeikh ʿĀdil ʿAbdul Mawjūd dan ʿAlī M. Muʿawwaḍ, cet. Dār ʿĀlam al-Kutub, Riyadh 1423/2003, jilid 7, hlm. 262). Pernyataan senada akan kita temukan dalam literatur fiqih rujukan di kalangan Nahdlatul Ulama seperti kitab al-Iqnāʿ fī ḥalli alfāẓ Abī Syujāʿ karya al-Khaṭīb as-Syarbīnī (cet. Muṣṭafā al-Bāb al-Ḥalabī Kairo, 1359/1940, juz 2, hlm. 246).

Pun secara historis, Rasūlullāh saw tidak pernah menunjuk orang kafir (walaupun mereka itu warganegara Madinah) sebagai gubernur (dulu istilahnya ʿāmil dan wālī) ataupun panglima (amīr). Demikian juga para khulafāʾ sesudahnya dari Sayyidina Abu Bakar hingga zaman Ottoman (Usmaniyyah) tidak pernah seorang pun mengangkat orang kafir sebagai gubernur atau panglima militer –sama halnya penguasa Singapura tidak membenarkan orang Melayu warganegara itu memegang tampuk kekuasaan apalagi dalam ketentaraan. Sepanjang sejarah Islam, orang-orang non-Muslim memang dijamin keselamatannya dan dilindungi hak-haknya sebagai warganegara karena mereka itu ahlu dzimmah, kecuali jika mereka berkhianat atau melanggar perjanjian.

Relasi Non-Muslim

Apa maksud kalimat “jangan kalian jadikan orang-orang kafir itu awliyāʾ (teman, kawan, rekan, sekutu)?” Menurut Fakhruddīn ar-Rāzī dalam tafsirnya, menjalin aliansi dengan non-Muslim (muwālāt al-kāfir) mengandung tiga pengertian.Pertama, meridhoi kekufuran mereka, dan ini jelas dilarang, karena merestui kekufuran itu kufur (ar-riḍā bil kufri kufrun).Kedua, bergaul dengan mereka secara baik (al-muʿāsyarah al-jamīlah) di dunia sesuai kenyataan, dan ini tidak dilarang. Ketiga, berpihak atau condong kepada mereka (ar-rukūn ilayhim), mengulurkan bantuan (al-maʿūnah), mendukung mereka (al-muẓāharah), dan membela kepentingan mereka (an-nuṣrah), dan ini tindakan pun dilarang (manhiyyun ʿanhu), kendati tidak membuat pelakunya kafir (Lihat: at-Tafsīr al-Kabīr, juz 7, jilid 3, cet. Dār al-Fikr Beirut 1425/2005, hlm.1603-1604).

Memang secara linguistik, menjadikan mereka sebagai awliyāʾ atau wali-wali itu berarti dua hal: yaitu, memberikan dukungan dan pembelaan –jika lafaznya dibaca walāyah (dengan fathah), dan menyerahkan mandat atau memberi kekuasaan –jika lafaznya dibaca wilāyah (dengan kasrah). Demikian menurut ar-Rāghib al-Iṣfahāni dalam kitab Mufradāt Alfāẓ al-Qurʾān (ed. Ṣafwān ʿAdnān Dāwūdī, cet. Dār al-Qalam Damaskus, 1412/1992, hlm. 885).Maka secara politis dan geografis, muwālatul kuffār tidak hanya berarti menjalin kerjasama atau beraliansi, tetapi juga menyerahkan “wilayah” umat Islam kepada non-Muslim.

Non-Muslim yang Adil?

Ada orang menukil sebuah “riwayat” (yang bukan Qur’an dan bukan pula hadis) dari kitab Ibnu Taymiyyah bahwa “Allah akan menolong negara yang adil meski ia kafir dan tidak akan menolong negara yang zalim, meski ia mukmin”. Memang benar, adalah ketentuan Allah (sunnatullāh) yang berlaku universal –kapanpun dan dimanapun– bahwa pemerintah yang adil akan langgeng dan pemerintah yang zalim akan jatuh, meskipun kita semua tahu bahwa kekuasaan itu milik Allah semata, yang bisa diberikan kepada siapapun dan dicabut dari siapapun. Allah berikan kekuasaan kepada Firʿaun yang angkuh, kejam, dan kufur, dan Allah jualah yang mencabutnya tanpa ampun. Juga benar bahwa suatu negeri sekali-kali tidak akan dibinasakan oleh Allah secara zalim, selagi penduduknya masih melakukan perbaikan (QS Hūd 117).

Perlu diketahui bahwa syarat keislaman mendahului syarat keadilan, sebagaimana syarat keimanan mendahului syarat kecantikan (dalam soal pernikahan, contohnya, dimana Allah berfirman: “Sesungguhnya seorang budak wanita yang beriman itu lebih baik [untuk dinikahi] daripada wanita musyrik [yang cantik] betapa pun kalian mengaguminya ” QS al-Baqarah 221).

Syarat keadilan bagi seorang pemimpin negeri Muslim yang dimaksud adalah mampu menahan diri tidak melakukan dosa-dosa besar maupun tindakan-tindakan biasa yang bisa menjatuhkan reputasinya (Lihat: ad-Damyāṭī, Iʿānatu ’ṭ-Ṭālibīn ʿalā Fatḥi ’l-Muʿīn, cet. al-Maʿārif Bandung, t.t., hlm.211-212). Sementara menurut al-Baghdādi, dalam konteks politik kenegaraan, syarat ‘adil’ untuk menjadi pemimpin itu artinya yang bersangkutan terpercaya, dapat diterima kesaksiannya baik sebagai penerima maupun penyampai laporan (mimman yajūzu qabūlu syahādatihi taḥammulan wa adā’an). Lihat kitabnya, Uṣūluddīn, cet. Devlet Matbaasi Istanbul 1928, hlm. 277.

Kesimpulan

Bagi umat Islam, baik ‘pilkada’ maupun ‘pilkara’ (pemilihan kepala negara) bukan semata-mata urusan politik, akan tetapi urusan agama. Itulah sebabnya masalah kepemimpinan politik dibahas dalam kitab-kitab ʿaqāʾid dan ilmu uṣūluddīn.Sebutlah misalnya kitab ʿaqā’id an-Nasafī yang telah disalin dan diterjemahkan di kerajaan Aceh pada akhir abad ke-16 (sekitar tahun 1590 Masehi). Dinyatakan pada paragraf sebelum akhir bahwa umat Islam wajib mempunyai pemimpin yang tugasnya menegakkan Syariʿat, membangun banteng pertahanan, menyiapkan tentara, mengumpulkan zakat, menjaga keamanan dan ketertiban dengan memberantas para penjahat, pencuri dan perampok, menyelenggarakan ibadah jumʿat, merayakan hari-hari besar Islam, menyelesaikan sengketa di masyarakat, mengurus sistem peradilan dan sebagainya. Dan tujuan ‘pilkada’ maupun ‘pilkara’ bagi umat Islam adalah agar si pemimpin menjalankan misi profetik yaitu memelihara agama dan mengatur urusan-urusan dunia (al-imāmah mawḍūʿah li-khilāfati’n-nubuwwah fī ḥirāsati’d-dīn wa siyāsasti’d-dunyā). Inilah prinsipnya sebagaimana dinyatakan oleh al-Māwardī dalam al-Aḥkām as-Sulṭāniyyah, ed. Khālid al-ʿAlīmī (cet. Dār al-Kitāb al-ʿArabī Beirut 1415/1994, hlm. 29). Wallāhu aʿlam.[]


Melihat Kembali Realitas Misi Paus Fransiskus Xaverius

MISI PAUS FRANSISKUS
OLEH: DR. ADIAN HUSAINI
Joseph F. OCallaghan, dalam bukunya, A History of Medieval Spain, (London: Cornell University Press, 1975), menulis, bahwa setelah kejatuhan Granada, 30 Maret 1492, kaum Muslim Spanyol dibaptis secara paksa. Cisneros, seorang Uskup di Granada, pada 1499 memerintahkan pembakaran al-Quran dan memaksa sekitar 50.000 Muslim untuk masuk Kristen. Pada 11 Februari 1502, Raja Ferdinan dan Ratu Isabella mengeluarkan sebuah keputusan (edict) yang menginstruksikan seluruh Muslim untuk masuk Kristen atau meninggalkan Spanyol. Sebagian besar Muslim terpaksa menjadi Kristen (moriscos). Puncak pengusiran Muslim terjadi pada abad ke-17.
Kejatuhan Granada menjadi titik balik perburuan Muslim di berbagai bagian dunia. Mereka disebut “Moors dan dianggap sebagai penghalang bagi misi Kristen. Alfonso DAlbuquerque menaklukkan Malaka tahun 1511 dengan semboyan ‘Military Crusading Order of Christ . (IJ Maureen K.C. Chew, dalam buku The Journey of the Catholic Church in Malaysia (1511-1996), (Kuala Lumpur: Catholic Research Center, 2000). Sesaat setelah mendarat di Ambon, Maluku, 1546, St. Francis Xavier (Fransiskus Xaverius) menulis surat kepada seorang temannya di Goa, menggambarkan kondisi Muslim di sana.
Menurut Fransiskus Xaverius, kaum Muslim tidak tahu tentang agama mereka. Ia menyebut ‘Islam’ sebagai sekte jahat Muhammad. Fransiskus optimis, jika dikirimkan misi ke Maluku, maka kaum Muslim akan bisa dihancurkan dalam waktu singkat. (The best thing about these Moors is that they know nothing about their erroneous sect. For want of one to preach the truth to them, these Moors have not become Christians If a dozen of them came each year, this evil sect of Mohammed would be destroyed in a short time. All would become Christians, and God our Lord would thus not be so much offended as he is now, since there is no one to reproach them from their vices and sins of infidelity. (Adolf Heuken SJ, Be my Witness to the Ends of the Earth!: The Catholic Church in Indonesia before the 19th Century, (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 2002).
Stephen Neill, dalam bukunya A History of Christian Missions, (New York: Penguin Books, 1964), menyebutkan, bahwa Fransiskus Xaverius adalah pengikut pertama Ignatius Loyola, pendiri Serikat Jesuit. Ia dipandang sebagai misionaris Katolik paling terkenal dan terbesar dalam sejarah. Ia pergi ke India tahun 1542, bukan sebagai misionaris biasa tetapi sebagai perwakilan Raja Portugal yang dipersenjatai secukupnya. Pada saat yang sama, sebagai sebagai utusan resmi Gereja (Apostolic Nuncio), ia mendapat otoritas yang sangat besar dari Paus.

*****
Apakah semangat Fransiskus Xaverius ini yang mengilhami pemilihan nama Paus Fransiskus oleh Kardinal Bergoglio? Usai terpilih sebagai Paus baru, 14 Maret 2013, Jorge Mario Bergoglio mengakui, pemilihan nama Fransiskus adalah sebagai penghargaan terhadap dua orang kudus Katolik, yaitu Santo Fransiskus dari Asisi serta Santo Fransiskus Xaverius.
Banyak media mengaitkan pemilihan nama itu terkait dengan kesederhanaan gaya hidup Paus Fransiskus dan kedekatannya dengan kaum miskin. Santo Fransiskus dari Asisi (lahir 5 Juli 1182) dikenal dengan sikap hidup kepapaan mirip pertapa dan juga keberaniannya dalam menjalankan misi terhadap kaum Muslim. Bagi kaum Katolik, sosok Santo Fransiskus dari Asisi ini memang legendaris. Di Indonesia ada sebuah seminari bernama Seminari Santo Fransiskus berlokasi di Sibiru-biru no. 01, Delitua Kab. Deli Serdang, Sumatera Utara. Pada 25 Januari lalu, blog seminari ini menyiarkan sebuah artikel bertajuk Misi ke Tengah Kaum Muslimin Menurut St. Fransiskus Asissi. (http://seminarisantofraniskus.blogspot.com/…/misi-ke-tengah…).

Menurut artikel ini, Fransiskus Asisi adalah orang pertama yang meletakkan dasar hidup religius dalam hubungannya dengan misi ke tengah kaum muslimin. Pandangannya tertuang dalam Anggaran Dasar Tanpa Bula pasal 16, yang diberi judul Mereka yang Pergi ke Tengah Kaum Muslimin dan Orang tak Beriman. Pasal ini menyatakan: “Tuhan berfirman: Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala. Sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan bersahaja seperti merpati. supaya orang percaya akan Allah yang mahakuasa, Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, pencipta segala sesuatu, dan akan Putera, penebus dan penyelamat, dan supaya dibaptis dan menjadi kristen; sebab siapa yang tidak dilahirkan kembali dari air dan Roh Kudus, tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah.”
Diserukan juga kepada kaum Katolik: “Di mana pun semua saudara berada, hendaklah ingat bahwa mereka telah menyerahkan diri dan memasrahkan tubuhnya kepada Tuhan Yesus Kristus. Maka Demi cinta kasih kepada-Nya mereka harus siap menyerahkan diri kepada musuh, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan; sebab Tuhan berfirman: Siapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya untuk hidup yang kekal.
Para saudara yang diutus, entah ke mana pun itu, harus menyadari bahwa mereka menyerahkan diri dan memasrahkan hidup kepada Yesus Kristus. Dan karena kasih kepada Kristus itu, mereka harus siap menyerahkan diri kepada musuh baik yang kelihatan maupun yang tak kelihatanBermisi berarti menghadapi bahaya, berani mati, mengalami penderitaan seperti Yesus.
Demikian pedoman misi untuk kaum Muslim dari Santo Fransiskus Asisi yang mungkin sangat menginspirasi Paus Fransiskus. Sebuah situs (http://indonesia.ucanews.com/2013/03/18), menyebutkan, bahwa Paus Fransiskus akan memfokuskan perhatian pada Gereja di daerah-daerah misi, ketimbang di Eropa dan Barat yang jumlah anggota Gereja terus menyusut. Fernando Kardinal Filoni, Prefek Kongregasi Evangelisasi, mengatakan dalam pertemuan staf bahwa Paus Fransiskus telah menentukan visinya bagi Gereja di daerah-daerah misi, demikian sebuah laporan oleh kantor berita Vatikan Fides. Menurut Kardinal Filoni, pesan pertama Paus itu adalah pergi keluar merangkul mereka yang membutuhkan, dan mewartakan Injil.
****
Gereja Katolik telah belajar dari sejarah. Dalam Konsili Vatikan II (1962-1965), Gereja mengubah cara pandang terhadap Muslim dan pemeluk agama lain. Dalam dokumen Konsili II, Nostra Atetate, disebutkan: Dengan penghargaan, Gereja memandang juga kepada umat Islam, yang menyembah Allah yang Mahaesa, Yang hidup dan ada, Yang Mahapengasih dan Mahakuasa, Pencipta langit dan bumi Mengingat bahwa dalam peredaran jaman, telah timbul pertikaian dan permusuhan yang tidak sedikit antara orang Kristen dan Islam, maka Konsili Suci mengajak semua pihak untuk melupakan yang sudah-sudah, dan mengusahakan dengan jujur saling pengertian dan melindungi lagi memajukan bersama-sama keadilan sosial, nilai-nilai moral serta perdamaian dan kebebasan untuk semua orang. (Lihat, Tonggak Sejarah Pedoman Arah: Dokumen Konsili Vatikan II (Oleh Dr. J. Riberu), Jakarta, Dokpen MAWI, 1983).
Pada pekan kedua, Maret 2000, Paus Yohannes Paulus II secara terbuka menyatakan permintaan maaf kepada pemeluk berbagai agama atas kesalahan yang pernah dilakukan kaum Katolik di masa lalu. We ask pardon, kata Paus, for the division among Christians; for the violence which some of them used in the service of the truth; and for attitudes of diffidence and hostility adopted towards followers of other religions. (John Cornwell, The Pope in Winter: The Dark Face of John Paul IIs Papacy, (London: Penguin Books Ltd., 2005).
Meskipun sudah menyatakan permintaan maaf dan menghormati kaum Muslim, tetapi itu tidak berarti misi untuk membaptis kaum Muslim dihentikan. Sejarah misi kepada kaum Muslim dipelopori oleh tokoh-tokoh misionaris seperti Peter the Venerable (1094-1156M), Raymond Lull (c.1233-1315), Fransiskus Asisi, Henry Martin, Samuel Zwemmer, Paus Gregorius XV, Paus Urbanus VIII (1623-1644), Thomas the Jesus (Thomas a Jesu), dan seterusnya.
Dalam dokumen The Decree on the Missionary Activity of the Church (ad gentes), Konsili Vatikan II (1962-1965) disebutkan: “Landasan karya misioner ini diambil dari kehendak Allah, Yang menginginkan bahwa semua manusia diselamatkan dan mengakui kebenaran. Karena Allah itu esa dan esa pula Perantara antara Allah dengan menusia yaitu Manusia Kristus Yesus, Yang menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua orang (1 Tim 2:4-6), dan tidak ada keselamatan selain Dia (Kisah 4:12). Maka haruslah semua orang berbalik kepada Dia, Yang dikenal lewat pewartaan Injil, lalu menjadi anggota Dia dan Anggota Gereja, yang adalah Tubuhnya, melalui pemandian Oleh sebab itu, karya misioner dewasa ini seperti juga selalu, tetap mempunyai keampuhannya dan tetap diperlukan seutuhnya). (Tonggak Sejarah Pedoman Arah: Dokumen Konsili Vatikan II).
Tentang Islam, Paus Yohannes Paulus II dengan tegas menyatakan: Islam is not a religion of redemption. Islam bukan agama penyelamatan, kata Paus. Sebab, menurutnya, dalam Islam, tidak ada ruang untuk salib dan kebangkitan (there is no room for the Cross and the Resurrection). Tentang konsep Tuhan dalam Islam, Paus menyatakan: a God outside of the world, a God who is only Majesty, never Emmanuel (God-with-us). (The Pope in Winter: The Dark Face of John Paul IIs Papacy, 195-198).
Dalam pidatonya pada 7 Desember 1990, yang bertajuk Redemptoris Missio (Tugas Perutusan Sang Penebus), yang diterbitan KWI tahun 2003, Paus Yohanes Paulus II mengatakan: Kegiatan misioner yang secara khusus ditujukan kepada para bangsa (ad gentes) tampak sedang menyurut, dan kecenderungan ini tentu saja tidak sejalan dengan petunjuk-petunjuk Konsili dan dengan pernyataan-pernyataan Magisterium sesudahnya. Kesulitan-kesulitan baik yang datang dari dalam maupun yang datang dari luar, telah memperlemah daya dorong karya misioner Gereja kepada orang-orang non-Kristen, suatu kenyataan yang mestinya membangkitkan kepedulian di antara semua orang yang percaya kepada Kristus. Sebab dalam sejarah Gereja, gerakan misioner selalu sudah merupakan tanda kehidupan, persis sebagaimana juga kemerosotannya merupakan tanda krisis iman.
Kini, kaum Muslim menunggu, bagaimana cara Paus Fransiskus akan menjalankan misi Gereja kepada kaum Muslim? (***)


Menjawab Persoalan: Realitas antara al-Ghazali dan Perang Salib

AL-GHAZALI, PERANG SALIB,
DAN KEBANGKITAN ISLAM
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Peneliti INSISTS)
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Al-Ghazali (450/1058-505/1111) – dalam sejarah Islam dikenal sebagai seorang pemikir besar, teolog terkemuka, filosof, faqih, sufi, dan sebagainya. Ia menulis begitu banyak buku yang mencakup berbagai bidang seperti aqidah, fiqih, ushul fiqih, filsafat, kalam, dan sufisme. Satu hal yang menarik, dalam hidupnya, al-Ghazali sempat mengalami satu peristiwa besar dalam sejarah umat Islam, yaitu Perang Salib (Crusade). Namun, di dalam karya besarnya, Ihya‘ Ulumiddin, ia justru tidak menulis satu bab tentang jihad. Malah, dalam kitab yang ditulis sekitar masa Perang Salib itu, al-Ghazali menekankan pentingnya apa yang disebut jihad al-nafs (jihad melawan hawa nafsu).
Perang Salib dimulai pada 1095.Pada 50 tahun pertama, Pasukan Salib berhasil mendominasi peperangan.Kekuatan kaum Muslim porak-poranda.Sebagian jantung negeri Islam, seperti Syria dan Palestina ditaklukkan.Ratusan ribu kaum Muslim dibantai.Pasukan Salib yang memasuki Jerusalem (1099) kemudian melakukan pembantaian besar-besaran terhadap penduduk Kota Suci itu.Di Masjid al-Aqsha terdapat genangan darah setinggi mata kaki, karena banyaknya kaum Muslimin yang dibantai. Fulcher of Chartress menyatakan, bahwa darah begitu banyak tertumpah, sehingga membanjir setinggi mata kaki: “If you had been there your feet would have been stained to the ankles in the blood of the slain.”
Seorang tentara Salib menulis dalam Gesta Francorum, bagaimana perlakuan tentara Salib terhadap kaum Muslim dan penduduk Jerusalem lainnya, dengan menyatakan, bahwa belum pernah seorang menyaksikan atau mendengar pembantaian terhadap ‘kaum pagan’ yang dibakar dalam tumpukan manusia seperti piramid dan hanya Tuhan yang tahu berapa jumlah mereka yang dibantai: “No one has ever seen or heard of such a slaughter of pagans, for they were burned on pyres like pyramid, and no one save God alone knows how many there were.” (David R. Blanks and Michael Frassetto (ed), Western Views of Islam in Medieval and Early Modern Europe, (New York, St. Martin’s Press, 1999)).
Begitu dahsyatnya pembantaian terhadap kaum Muslim ketika itu.Karena itulah, banyak yang kemudian mempertanyakan sikap dan posisi al-Ghazali dalam Perang Salib dan juga konsepsinya tentang jihad, dalam makna qital (perang) melawan musuh yang jelas-jelas sudah menduduki negeri Muslim. Sebagai contoh, Robert Irwin, dalam artikelnya berjudul “Muslim responses to the Crusades” (1997), menyebutkan, bahwa meskipun al-Ghazali sempat berkunjung ke berbagai tempat suci Islam, termasuk Masjid al-Aqsha pada tahun 1096, tetapi ia tidak pernah menyebut tentang masalah pasukan Salib dalam berbagai tulisannya.
Tidak diragukan lagi, sebagai seorang tokoh dalam mazhab Syafii, al-Ghazali memahami kewajiban jihad melawan kaum penjajah.Dalam pandangan ulama mazhab Syafi’i, jihad adalah fardhu kifayah, dengan perkecualian jika penjajah sudah memasuki wilayah kaum Muslim, maka status jihad menjadi fard al- ‘ain. Pakar Fiqih Islam, WahbaÍ al-Zuhayliy mencatat: “Jihad adalah fardu kifayah. Maknanya, jihad diwajibkan kepada semua orang yang mampu dalam jihad. Tetapi, jika sebagian sudah menjalankannya, maka kewajiban itu gugur buat yang lain. Tetapi, jika musuh sudah memasuki negeri Muslim, maka jihad menjadi fardu ain, kewajiban untuk setiap individu Muslim.” (Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, (Damascus: Dar al-Fikr, 1997).
Memang, beberapa cendekiawan ada yang kemudian mengkritik keras sikap al-Ghazali dalam soal Crusade.Dalam disertasi doktornya, Dr. Zaki Mubarak menyalahkan kecenderungan al-Ghazali terhadap sufisme sebagai sebab utama mengapa al-Ghazali tidak memainkan peran dalam jihad melawan pasukan Salib.Ia menulis: “Al-Ghazali telah tenggelam dalam khalwatnya, dan didominasi oleh wirid-wiridnya. Ia tidak memahami kewajibannya untuk menyerukan jihad.” Dalam bukunya, Abu Hamid al-Ghazali wa al-Tashawuf, ‘Abd al-Rahman Dimashqiyyah juga menyalahkan sufisme al-Ghazali. Dr. Yusuf al-Qaradhawi menyebut bahwa posisi al-Ghazali dalam Perang Salib masih dipertanyakan (puzzling).Tentang posisi al-Ghazali, Qaradhawi menulis, bahwa “hanya Allah yang tahu fakta dan alasan Imam al-Ghazali.” (Yusuf al-Qaradhawi, Al-Imam al-Ghazali Bayn Madihihi wa Naqidihi (Al-Mansurah: Dar al-Wafa’, 1988).
Posisi al-Ghazali
Adalah menarik, bahwa dalam karya terbesarnya, IÍya’ ‘Ulum al-Din, al-Ghazali justru menekankan pentingnya jihad al-nafs. Walaupun tidak menempatkan satu bab khusus tentang jihad dalam Ihya’, al-Ghazali menekankan pentingnya jihad bagi kaum Muslim. Ia mengutip sejumlah ayat al-Quran yang menyebu tentang kewajiban jihad bagi kaum Muslim, seperti firman Allah SWT: “Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk.” (QS al-Nisa:95).
Dalam bab al-Amr bi al-Ma‘ruf wa an-nahyu ‘an al-Munkar al-Ghazali menyebutkan sejumlah hadits atau atsar (perkataan sahabat Nabi) tentang jihad. Dalam bab ini, al-Ghazali juga menekankan, bahwa aktivitas amar ma’ruf dan nahi munkar, adalah yang menentukan hidup-matinya umat Islam. Dalam karya-karyanya yang lain, al-Ghazali telah banyak menjelaskan makna jihad dalam arti perang, seperti dalam al-Wajiz fi Fiqh Madzhab al-Imam as-Shafi‘iy.
Ini dapat disimpulkan bahwa sebagai pakar fiqh, al-Ghazali sangat memahami kewajiban jihad, dan ia telah banyak menulis tentang hal ini. Wahbah az-Zuhayliy menyebutkan, menurut ulama ash-Shafi‘iyyah, jihad adalah perang melawan kaum kafir untuk menolong Islam. (huwa qital al-kuffar li nushrah al-Islam. Mengutip hadith Rasulullah saw, “Jahid al-mushrikina bi amwalikum wa anfusikum wa alsinatikum”, al-Zuhayliy menyebutkan definisi jihad: “Jihad adalah mengerahkan segenap kemampuan untuk memerangi kaum kafir dan berjuang melawan mereka dengan jiwa, harta, dan lisan mereka.
Posisi al-Ghazali dalam soal jihad melawan pasukan Salib menjadi jelas jika menelaah Kitab al-Jihad yang ditulis oleh Syekh Ali b. Thahir al-Sulami an-Nahwi (1039-1106), seorang imam bermazhab Shafi‘i dari Damaskus. Ia adalah seorang yang aktif menggalang jihad melawan pasukan Salib melalui pertemuan-pertemuan umum pada 1105 (498 H), enam tahun setelah penaklukan Jerusalem oleh pasukan Salib. Adalah sangat mungkin al-Sulami berguru kepada al-Ghazali di Masjid Ummayad, sebab Ali al-Sulami adalah imam di Masjid tersebut dan al-Ghazali juga sempat tinggal di tempat yang sama pada awal-awal periode Perang Salib.
Dalam Kitabnya itu, Ali al-Sulami mencatat, bahwa satu-satunya solusi yang dapat menyelamatkan wilayah-wilayah Muslim, adalah menyeru kaum Muslim kepada jihad.Ada dua kondisi yang harus disiapkan sebelumnya.Pertama, “reformasi moral” untuk mengakhiri “degradasi spiritual” kaum Muslim ketika itu.Invasi pasukan Salib harus dilihat sebagai hukuman Allah, sebagai peringatan agar kaum Muslim bersatu. Kekalahan Muslim, menurut al-Sulami, adalah sebagai hukuman Allah atas kealpaan menjalankan kewajiban agama, dan di atas semua itu, adalah kealpaan menjalankan jihad. Tahap kedua, penggalangan kekuatan Islam untuk mengakhiri kelemahan kaum Muslim yang telah memungkinkan pasukan Salib menguasai negeri-negeri Islam.Dalam kitabnya, al-Sulami menyebutkan dengan jelas tentang situasi saat itu dan stretagi untuk mengalahkan pasukan Salib.
Konsep al-Sulami dalam melawan pasukan Salib berupa “reformasi moral” dari al-Ghazali’s memainkan peran penting. Sebab, menurut al-Sulami, melakukan jihad melawan pasukan Salib akan hampa jika tidak didahului dengan jihad melawan hawa nafsu. Ia juga mengimbau agar pemimpin-pemimpin Muslim memimpin jalan ini. Dengan demikian, perjuangan melawan hawa nafsu, adalah prasyarat mutlak sebelum melakukan perang melawan pasukan Salib.
Dalam naskah Kitab al-Jihad yang diringkas oleh Niall Christie, al-Sulami mengutip ucapan Imam al-Syafii dan al-Ghazali tentang jihad.Diantaranya, al-Ghazali menyatakan, bahwa jihad adalah fardu kifayah.Jika satu kelompok yang berjuang melawan musuh sudah mencukupi, maka mereka dapat berjuang keras melawan musuh.Tetapi, jika kelompok itu lemah dan tidak memadai untuk menghadapi musuh dan menghapuskan kejahatannya, maka kewajiban jihad itu dibebankan kepada negeri terdekat, seperti Syria, misalnya. Jika musuh menyerang salah satu kota di Syria, dan penduduk di kota itu tidak mencukupi untuk menghadapinya, maka adalah kewajiban bagi seluruh kota di Syria untuk mengirimkan penduduknya untuk berperang melawan penjajah sampai jumlahnya memadai. (Dikutip dari “A Translation of Extracts from the Kitab al-Jihad of 'Ali ibn Tahir Al-Sulami (d. 1106)” oleh Niall Christie. http://www.arts.cornell.edu/prh3/447/texts/Sulami.html.).

Jihad bil-ilmi

Jadi, al-Ghazali bukan tidak peduli dengan Perang Salib.Tetapi, kondisi moral dan keilmuan umat Islam yang sangat parah menyebabkan, seruan jihad tidak banyak mendapatkan sambutan.Karena itulah, para ulama seperti al-Ghazali berusaha menyembuhkan penyakit umat secara mendasar.Caranya, dengan mengajarkan keilmuan yang benar. Ilmu yang benar akan mengantarkan pemiliknya kepada keyakinan, kecintaan pada ibadah, zuhud, dan jihad. Ilmu yang rusak akan menghasilkan ilmuwan dan manusia yang rusak, yang cinta dunia dan pasti enggan berjihad di jalan Allah. Itulah mengapa Kitab Ihya’ Ulumiddin diawali pembahasannya dengan bab tentang ilmu (Kitabul Ilmi).
Langkah al-Ghazali ini perlu direnungkan dengan serius.Ketika umat Islam mengalami krisis dalam berbagai bidang kehidupan, al-Ghazali melakukan upaya penyembuhan secara mendasar.Sebab, sumber dari segala sumber kebaikan dan kerusakan adalah “hati/aqal”. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat mudghah. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Dan jika dia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya.Itulah al-qalb.” (HR Muslim).
Memperbaiki hati manusia haruslah dengan ilmu dan pendidikan yang benar.Karena itu, menyebarnya paham-paham yang merusak iman harus dihadapi dengan serius. Abu Harits al-Hasbi al-Atsari dalam kata pengantarnya untuk buku Ibnul Qayyim al-Jauziyah yang berjudul Al-Ilmu menjelaskan, bahwa Allah telah menurunkan “Kitab” dan “Besi” sebagai sarana untuk tegaknya agama Allah. “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (Keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka mempergukan besi) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya.Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa.” (QS al-Hadid: 25).

Di masa hidupnya, al-Ghazali telah melakukan berbagai usaha yang sungguh-sungguh untuk mengajarkan ilmu yang benar.Lebih dari itu, al-Ghazali juga memberikan keteladanan hidup. Meskipun ia berilmu tinggi dan mendapatkan peluang besar untuk hidup mewah dengan ilmunya, tetapi ia justru memilih tinggal di kampungnya, di Thus. Di sanalah al-Ghazali mendirikan satu pesantren, membina para santrinya dengan ilmu dan keteladanan hidup yang tinggi.Dari upaya para ulama seperti al-Ghazali inilah kemudian lahir satu generasi yang hebat, yaitu generasi Shalahuddin al-Ayyubi. Bukan hanya seorang Shalahuddin, tetapi satu generasi Shalahuddin, yang pada 1187 berhasil memimpin pembebasan Kota Suci Jerusalem dari cengekaraman Pasukan Salib. (***).

Pandangan Filosofi atas Pemberian Nama Tuhan

Refleksi Nama Tuhan Di Banyuwangi
TUHAN : Kata - Konsep - Realitas
A.M.Safwan (Madrasah Muthahhari- JAKFI)
KATA: Tuhan
KONSEP: Kata/teks Tuhan mengacu pada perbedaan
berbagai konsep antara lain:
1. Menurut teks agama dan kepercayaan
2. Menurut pandangan filsafat Yunani, Barat dan Islam
3. Menurut kajian Descartes berbeda konstruksinya dengan Kant, berbeda pula konsep Tuhan dalam kajian Marx, Nietzsche
4. Menurut tafsiran ahli kalam, filsafat dan tasawuf/irfan
5. Menurut Mu'tazilah, Asy'ariyah dan syi'ah
6. Menurut Khawarij, ISIS, Amerika, dan Israel
7. Menurut Ibn Sina, Ibn'Arabi, dan Mulla Shadra
8. Menurut Syekh Siti Jenar, Al Hallaj
9. Pandangan Ilmiah: Partikel Tuhan, God Spot
10. Pedagang assesoris bertuliskan nama-nama Tuhan dan Politisi penjual ayat’ Tuhan
11. Tuhan dalam Puisi Putu Wijaya, puisi Rendra dan Novel Ateis Achdiat K.
12. Tuhan dalam buku Izinkan Aku jadi Pelacur (Muhiddin) dan Sejarah Tuhan Karen Amstrong
13. Tuhan dalam Kosmologi The Tao Sachiko Murata dan Kosmologi William Chittick, Imam Ali dalam Nahjul Balaghah
14. Tuhan dalam diriNya sendiri
          Semua di atas adalah hal yang wajar, sebuah dinamika dan dialektika yang perlu terus ditumbuhkan dalam tradisi intelektual. Jadi kalau ada yang menggunakan nama/kata TUHAN perlu dirujuk KONSEPnya mengacu ke konsep yang mana?
termasuk ke pemilik nama TUHAN yang di Banyuwangi.
            Bisa jadi pemilik nama Tuhan yang di Banyuwangi mengacu pada salah satu KONSEP di atas atau konsep lain. Yang jelas tentu ada alasan mengapa beliau yang di Banyuwangi diberi nama Tuhan. Bisa jadi saking cintanya kedua orang tuanya kepada Tuhan karena bersyukur mendapatkan anak sebagai anugerah dari Tuhan jadi biar senantiasa ingat nikmat Tuhan tsb maka kedua orang tuanya memberi nama anaknya dengan Nama Tuhan (Bi Ism Allah)
Jadi mungkin konsep dari nama Tuhan di Banyuwangi adalah Tuhan dengan pengertian AsmaNya (Dengan Nama Tuhan)
          jadi, sudah benar konsepnya tetapi mungkin persoalan KATA yang mewakili KONSEP itu.
Sebagaimana banyak juga KATA Tuhan di masyarakat kita justeru adalah KONSEP yang menjadi HANTU yang menakutkan.
bagi sebagian orang.
Jadi, REALITAS TUHAN yang sebenarnya itu bagaimana?
Things it self, das ding an sich, ashalah al wujud
Menurut saya di sinilah mungkin persoalan mendasarnya bukan sekedar KATA bukan sekedar KONSEP tetapi juga sejauh mana KATA itu dapat dipertanggungjawabkan dengan mengacu pada KONSEP tertentu yang diyakininya dapat diBUKTIkan.
Ada Konsep tentang Bukti, dan ini biasa saja (KONSEP)
tetapi yang ini yang mendasar menurut saya adalah
BUKTI dari KONSEP (REALITAS)
Jadi Wahai Tuhan perlihatkan DIRIMU sebagaimana seharusnya diriMu hadir pada diri Kami dan Alam. Bahwa RealitasMu bukan batas KATA, realitasMu bukan batas KONSEP.
Engkaulah yang DZAHIR sekaligus Bathin
DiriMU yang Paling BATIN adalah DZAHIR
REALITASMU adalah perjumpaan dengan teleologi Persepsi
KEMATIAN---
Inna lillaahi wa inna ilaihi rajiun adalah jalan Indah berjumpa
denganMu

Wallahu'alam bi al - shawab
Jumat berkah
salam atas Rasul Al Mustafa Muhammad Saw.

Nusantara dan Tokoh Pemersatu

SIAPA MENYATUKAN NUSANTARA?
Oleh: Dr. Adian Husaini
Sejumlah pemikir dan tokoh di Indonesia pernah mengungkap teori “lapis-budaya”. Bahwa, kata mereka, Pancasila sebenarnya digali dari bumi Indonesia asli. Bahkan, seorang tokoh ternama, mengaku, ia menggali Pancasila dari bumi Indonesia yang paling dalam, yakni zaman pra-Hindu.
Teori “lapis budaya”, misalnya, pernah diungkap oleh Pendeta Dr. Eka Darmaputera, dalam disertasi doktornya yang berjudul Pancasila and the Search for Identity and Modernity, di Ph.D. Joint Graduate Program Boston and Andover Newton Theological School, tahun 1982. Eka menyebutkan adanya tiga lapisan budaya di Indonesia, yaitu Indonesia asli, India, dan Islam. Tentang lapisan asli Indoenesia, Eka menyimpulkan:
“Lapisan asli Indonesia merupakan sesuatu yang amat sulit, bila tidak dapat dikatakan mustahil, untuk dijabarkan dengan lengkap dan pasti. Kesepakatan yang ada ialah, bahwa sebelum datangnya peradaban India ke Indonesia, ia telah mencapai tingkat kebudayaan yang relatif tinggi dan berakar cukup dalam. Secara umum, lapisan ini dapat digambarkan sebagai berikut: dasar peradabannya adalah pertanian (sawah dan ladang); struktur sosialnya adalah desa; kepercayaan agamaniahnya adalah animisme; …” (Eka Darmaputera, Pancasila: Identitas dan Modernitas (Jakarta: Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia, 1997).
Upaya untuk mengaitkan Indonesia dengan budaya asli pernah ditentang keras oleh Prof. Sutan Takdir Alisyahbana. Tapi, tokoh Pujangga Baru ini justru mengajak bangsa Indonesia untuk menengok ke Barat: “Dan sekarang ini tiba waktunya kita mengarahkan mata kita ke Barat.” Namun, Takdir menepis tuduhan bahwa ia mengarahkan Indonesia agar membebek pada Barat. Katanya: “Saya tidak pernah berkata, bahwa generasi baru tidak usah tahu kebudayaan lama. Saya hanya berkata, bahwa generasi baru harus bebas, jangan terikat kepada kebudayaan lama.” (Lihat, buku Polemik Kebudayaan (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977, cet.ke-3).
Upaya untuk membangun citra bahwa Indonesia mengalami zaman kejayaan saat berada di zaman pra-Islam, secara sistematis dikembangkan oleh para orientalis. T. Ceyler Young, seorang orientalis membuat pengakuan: “Di setiap negara yang kami masuki, kami gali tanahnya untuk membongkar peradaban-peradaban sebelum Islam. Tujuan kami bukanlah untuk mengembalikan umat Islam kepada akidah-akidah sebelum Islam tapi cukuplah bagi kami membuat mereka terombang-ambing antara memilih Islam atau peradaban-peradaban lama tersebut”. (Muhammad Quthb, Perlukah Menulis Ulang Sejarah Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995).
Mohammad Natsir, seorang pahlawan nasional, menyebut upaya mengecilkan peran Islam dalam sejarah Indonesia sebagai sebuah bentuk ”nativisasi”. Sejak usia dini, anak-anak Muslim Indonesia sudah dicekoki dengan ajaran sejarah, bahwa Indonesia pernah jaya di bawah Kerajaan Majapahit. Lalu, datanglah kerajaan Islam, bernama Kerajaan Demak, menghancurkan kejayaan Hindu tersebut. Jadi, seolah-olah hendak ditanamkan pada para siswa, bahwa kedatangan Islam tidak membangun kejayaan Indonesia, tetapi justru menghancurkan kejayaannya. Islam tidak pernah menjadi pemersatu bangsa. Majapahitlah yang menyatukan Indonesia. Padahal, tidak ada bukti sejarah yang kuat, Majapahit pernah menyatukan seluruh wilayah Nusantara.
Prof. Dr. C.C. Berg melalui tulisan-tulisannya telah mengungkapkan, bahwa wilayah Majapahit hanya meliputi wilayah Jawa Timur, Bali, dan Madura. Masuknya wilayah-wilayah lain di Nusantara, hanya merupakan cita-cita, dan tidak pernah masuk ke dalam wilayah Majapahit. (Lihat, Hasan Djafar, Masa Akhir Majapahit (Depok: Komunitas Bambu, 2009).
Ada juga cerita yang memposisikan Majapahit sebagai “penjajah”, sehingga muncul perlawanan dari wilayah yang ditaklukkan. Babad Soengenep, misalnya, menceritakan bagaimana proses penaklukan Majapahit atas Soengenep yang berdarah-darah dan bangkitnya pahlawan setempat yang bernama Jaran Panole dalam melawan agresi militer Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada. Juga cerita yang mendasari Perang Bubat yang merupakan kesalahan besar dalam diplomasi Majapahit. Dimana terjadi kesepakatan antara Maharaja Pajajaran untuk menikahkan putrinya dengan sang Prabu Hayamwuruk. Sang Maharaja Pajajaran kemudian mengantarkan putrinya hingga ke sebuah gelanggang yang bernama Bubat. Sesuai kebiasaan kuno, raja Sunda tersebut hendak menantikan kedatangan sang menantu untuk menjemput mempelainya.
Padahal, sejarah membuktikan, para ulama dan pendakwah Islam-lah yang menyatukan wilayah Nusantara dalam satu agama, satu bahasa, dan satu pandangan alam (worldview). Bahkan, penyatuan itu sampai meliputi wilayah Thailan Selatan, Filipina Selatan, dan Malaka. Bahasa Melayu yang telah di-Islamkan menjadi alat pemersatu bangsa yang efektif.
Keberadaan dan penyebaran bahasa Melayu pernah dianggap sebagai ancaman bagi misi Kristen oleh tokoh Jesuit, Frans van Lith (m. 1926). Dalam bukunya, Orang-Orang Katolik di Indonesia, Karel A. Steenbrink, mengutip ucapan van Lith: “Melayu tidak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara.”
Kiprah Pater van Lith dalam gerakan misi di Jawa digambarkan oleh Fl. Hasto Rosariyanto, SJ dalam bukunya, Van Lith, Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Sejarah 150 th Serikat Jesus di Indonesia (2009). Dalam buku ini diceritakan, bahwa dalam suatu Kongres bahasa Jawa, secara provokatif van Lith memperingatkan orang-orang Jawa untuk berbangga akan budaya mereka dan karena itu mereka harus menghapus bahasa Melayu dari sekolah. Van Lith lebih suka mempromosikan bahasa Belanda, karena dianggapnya sebagai bahasa kemajuan.

Misi ini kemudian gagal. Pada 28 Oktober 1928, para pemuda Indonesia mengikrarkan sumpah: Berbahasa satu, bahasa Indonesia. (***)

Senin, 27 November 2017

PEMBAHARUAN PEMIKIRAN ALI ABD AL-RAZIQ DI MESIR DAN DUNIA ISLAM



PEMBAHARUAN PEMIKIRAN ALI ABD AL-RAZIQ DI MESIR DAN DUNIA ISLAM[1]

Debri Koeswoyo
Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
E-mail:debrikoeswoyo46@gmail.com

A.  Pendahuluan
Islam dan politik, demikian dua kata ini tidak habis-habisnya menjadi perbincangan (discourse) dalam khasanah intelektual muslim sebagai idea Islam. Dan kenyataan sepanjang sejarah. Banyak dari para pemikir Islam klasik (islamisist konvensional), modern dan neo modern, yang mencoba memberikan sebuah penjelasan hubungan antara Islam dan politik, dengan beragam cara pendekatan dan metode yang berbeda-beda.[2]
Hubungan antara Islam dan politik merupakan objek sebuah perdebatan luas zaman kita, baik dalam negara-negara Islam  maupun di Barat. Dengan melihatnya dari dekat, kita mendapatkan kesan bahwa perdebatan ini terjadi dalam dua ruang yang tak terkait satu sama lain, bahkan tidak saling kenal: yang satu adalah negara-negara “utara”, sementara yang lain adalah negara-negara yang terpengaruh Islam. Dalam kedua lingkungan ini, proses pemikiran berlangsung atas dasar konsep-konsep yang berbeda dan merujuk pada data yang berbeda pula. Akibatnya, sering muncul elaborasi dan pengambilan sikap yang secara mendasar bersimpangan, atau bahkan kesimpulan-kesimpulan yang bertentangan secara diametral.[3]
Pemisahan agama dan negara, menurut Swidler misalnya hanya representasi dari pemikiran Kristen. Sementara dalam Islam berlaku penyatuan agama dan negara. Adapun di kalangan Yahudi lebih cenderung ambigu, meskipun pandangan Swidler ini dapat diperdebatkan, sebab seperti dikatakan Davis, Yahudi lebih menerapkan panyatuan agama dan negara atau politik, sebagaimana mereka menggunakan agama untuk menjustifikasi klaim atas tanah Tepi Barat jalur Gaza sebagai hadiah Tuhan. “ hak (atas tanah) ini diberikan kepada kami oleh Tuhan, ayah Abraham, Isaac dan Jacob”, kata Mencachem Begin.[4]
Di negara-negara Islam, misalnya, publikasi karya Ali Abd al-Raziq pada tahun 1925[5] merupakan peristiwa besar. Sejak saat itu, guncangan terhadap karya itu tidak dapat lagi diabaikan, dan persoalannya tidak dapat ditangani sebagaimana sebelumnya. Pendekatan yang diambil Ali Abd al-Raziq ini sebenarnya telah merombak asumsi dasar perdebatan. Pendekatan itu merupakan sebuah momen menentukan yang telah amat memengaruhi perkembangan-perkembangan historis dan analisis-analisis teoritis sepanjang beberapa dasawarsa setelah itu.[6] Akan tetapi, di Barat perdebatan terjadi seolah-olah ali Abd al-Raziq berikut evolusi yang dipicu bukunya, yakni seolah-olah keseluruhan pemikiran Arab kontemporer, tidak eksis.
Bagaimana menjelaskan dapat terjadinya pemilahan ini, menyangkut tema yang sedemikian krusial bagi masyarakat kontemporer? Bagaimana menjelaskan bahwa di Barat, mengenai masalah yang sedemikian penting bagi umat Islam, sedangkan pemberitaan gencar di dalam media dan perhatian besar yang ditimbulkan oleh tema hubungan antara Islam dan kekuasaan bukanlah hal yang baru. Tidak berkaitan dengan peristiwa-peristiwa mutakhir, tetapi sebaliknya asal-usulnya harus dicari sejauh tahun 1920-an. Seolah-olah sejak waktu itu telah terjadi sebuah “kekacauan besar” (fitnah kubra) baru yang menyangkut intelektual umat, politisi, dan rakyat bersama-sama dalam permasalahan yang besar.[7]
Hubungan antara Islam dan kekuasaan, sepanjang abad ke-20, telah menjadi salah satu persoalan terbesar dalam pemikiran politik, menjadi salah satu ilustrasi yang sangat dramatik dari persoalan umum  dari hubungan antara agama dan politik. Dimana-mana, kesan yang dominan adalah kesan adanya sebuah kemacetan. Kalangan intelektual merasa berurusan dengan sebuah pertanyaan yang masih menggantung, yang masih belum dipecahkan, yang tidak pernah ditangani dengan ketajaman nalar dan kejelasan yang seperlunya. [8]
Jika hubungan antara agama dan negara baik dalam Islam maupun lainnya, merupakan salah satu problem yang paling kompleks yang dihadapi pemikiran modern, maka yang merupakan resistensi Islam terhadap solusi-solusi yang didasarkan atas koeksistensi dengan rezim-rezim modern bukan hanya merupakan problema bagi umat Islam, melainkan juga bagi orang non-muslim, karena kita masih dicirikan dengan globalisasi, yakni saling silang masuk antara masyarakat, komunitas dan budaya yang berbeda.
Karya Ali Abd al-Raziq tidak diragukan lagi merupakan keterpurukan dalam cara mengatasi persoalan. Dengan demikian, muncul pertanyaan mendasar mengenai apa, dalam karya ini, yang telah memengaruhi perdebatan hingga memperbaharui keseluruhan asumsi pemikirannya.

B.  Riwayat Hidup Ali Abd al-Raziq
1.   Biografi
Ali Abd al-Raziq lahir pada tahun 1888 M di wilayah Al-Mania, Mesir. Ali Abd al-Raziq wafat pada tahun 1966 M. Ayahnya adalah seorang pembesar (gubernur) yang terpandang dan aktivis politik terkenal. Ayahnya juga merupakan tuan tanah di Desa Abû Jirj, Provinsi Al- Minyâ.[9] Hasan Abdurraziq, nama lengkap ayahnya, adalah seorang sahabat Muhammad Abduh. Ia pernah menjadi wakil ketua Partai Rakyat (Hizb al-Ummah), tahun 1907.[10] Saudara-saudara Ali Abdurraziq adalah aktivis politik yang andal. Salah seorang saudaranya, Hasan Abdurraziq Jr., mendirikan partai bernama hizb al-Ahrâr al-Dustûriyah yang mempunyai hubungan dengan Inggris.[11]



2.   Pendidikan
Ali Abd al-Raziq menempuh pendidikan formalnya di Al-Azhar sejak masih berusia 10 tahun bersama kakaknya Musthafa Abdurraziq. Ia belajar ilmu hukum kepada Syekh Abu Khatwah, yang merupakan sahabat Muhammad Abduh dan Murid Al-Afghani. Dia juga pernah mengikuti perkuliahan di al-Jâmi’ah al-Mishriyah dan belajar sejarah peradaban Arab pada Prof. Santillana.[12] Seperti saudaranya, ia juga murid Syekh Muhammad Abduh.
Setelah tamat dari Al-Azhar, ia bersama kakaknya melanjutkan studi di Eropa. Musthafa belajar di Paris, sedangkan dia sendiri belajar di Oxford University di Inggris. Di sana ia menekuni ilmu politik dan ekonomi serta hukum. Namun belum sempat menamatkan pendidikannya, ia pulang ke Mesir, karena perang dunia I meletus pada tahun 1914. [13]
 Berbeda dengan saudaranya, Musthafa Abdurraziq, yang menjabat rektor Al-Azhar dari tahun 1945 sampai dengan 1947,[14] Ali Abd al-Raziq menjabat sebagai hakim[15] di pengadilan Syariat Al-Mansûra yang juga terletak di Al-Azhar. Dilihat dari riwayat pendidikannya ini, dapat kita pahami bahwa Ali abd al-Raziq adalah seorang ahli agama dan ahli politik.

3.    Latar belakang bidang sosial ekonomi
Pada bulan Maret 1924, Kemal Attaturk kepala negara Turki mengumumkan dihapuskannya Khilafah Islamiyah dari negaranya. Gema dari kebijakan tersebut berkumandang ke seluruh penjuru dunia Islam. Pada waktu itu sebagian besar umat Islam dan ulama menganggap dan menyatakan Khilafah Islamiyah wajib hukumnya dan masalah tersebut sudah final serta sudah mengakar di kalangan umat Islam pada umumnya dan dunia Arab khususnya. Tetapi sebaliknya, Ali Adb al-Raziq melihat realita sejarah Islam tidaklah memberikan keharusan bentuk organisasi politiknya bernama khilafah dan pemimpinnya disebut sebagai khalifah. Hal ini dapat dilihat dengan hilangnya peran kedaulatan rakyat dalam proses politik dan terbentuknya sistem khilafah yang berdasarkan keturunan sebagai refleksi hilangnya esensi ajaran Islam dari amaliah di bidang politik.
Gagasan politik al-Raziq yang demikian itu terlahir sebagai akibat bergolaknya revolusi politik yang telah memisahkan kekuasaan politik keagamaan yang begitu mendominasi di dunia Islam, terutama yang terdekat dengan lingkar kehidupannya seperti revolusi Oktober 1917, revolusi Marxis-Leninisme, dan revolusi Turki 1925 dengan bentuk sekularismenya, serta timbulnya nasionalisme Arab yang telah melahirkan kerajaan. Dengan teorinya ini, ia ingin menemukan konsep politik yang Islami, namun dibahasakan dengan perlunya pemisahan antara agama dan politik yang keduanya tidak mungkin dapat disatukan. Menurutnya agama bersifat sakral, sedangkan politik bersifat lebih duniawi.[16]

4.   Karya-karya Ali Abd Al-Raziq
Karya-karya Ali Abd al-Raziq banyak menimbulkan kontroversi bahkan menyebabkan dia dipecat dari jabatannya. Diantara karya-karyanya tersebut adalah sebagai berikut.
a.    Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm: Ba’ts fî Al-Khilâfah wa Al-Hukûmah fî Al-Islâm (Islam dan Prinsip-prinsip Pemerintahan).
Buku ini diterbitkan di Kairo pada tahun1925. Buku ini merupakan hasil penelitiannya tentang lembaga khalifah, yang dibukukan pada saat ia masih menjabat sebagai hakim di Mahkamah Syariah Al-Azhar.[17]
Buku ini berisi teori politik Islam tentang khilafah dan negara. Ali Abdul raziq berpendapat bahwa agama Islam harus terbebas dari khilafah yang dikenal kaum Muslim selama ini, dan juga terbebas dari apa yang mereka bangun dalam bentuk kejayaan dan kekuatan. Khilafah bukanlah bagian dari rencana atau takdir agama tentang urusan kenegaraan. Tapi ia semata-mata hanyalah rancangan politik murni yang tak ada urusannya dengan agama. Agama tidak pernah mengenalnya, menolaknya, memerintahkannya, atau pun melarangnya. Tapi ia adalah sesuatu yang ditinggalkan kepada kita agar kita menentukannya berdasarkan kaedah rasional, pengalaman, dan aturan-aturan politik. Begitu juga pendirian lembaga militer, pembangunan kota, dan pengaturan administrasi negara, tak ada kaitannya dengan agama. Semua itu diserahkan kepada akal sehat dan pengalaman manusia, untuk memutuskan mana yang terbaik.[18]
Keyakinan Ali Abd al-Raziq yang tak mempercayai pendirian negara Islam adalah, Muhammad diutus kepada bangsa Arab semata untuk memperbaiki moralitas mereka. Tugas utama Nabi adalah menyampaikan sebuah risalah kenabian yang mengandung pesan moral. Nah, saat Nabi membangun sebuah komunitas Madinah, ia tak pernah menyatakan satu bentuk pemerintahan yang harus diterapkan, bahkan ia pun tak meminta penerusnya, para khalifah, untuk membuat satu sistem politik tertentu.
Karena itu Ali yakin, impian sebagian umat Islam untuk membentuk dan mendirikan negara Islam adalah sesuatu yang tidak ditarik dari sejarah Nabi. Ali juga mencatat, jika pun ada warna negara "Islami" tak lebih hanyalah sebuah ijtihad politik para sahabat sepeninggal Nab
i. [19]
Ali melakukan studi dan meyakini hal itu, terlebih setelah dia melihat perbedaan anutan sistem pemilihan khalifah di antara para sahabat. "Bukankah sistem pemerintahan yang dijalankan Abu Bakar berbeda dengan Umar, yang juga berbeda dari Utsman dan Ali? Dan bukankah sistem khilafah model Umayyah dan Abbasiyyah tak lebih dari ijtihad politik sebagian orang-orang dari klan itu? Khilafah, yang oleh sebagian orang dianggap sebagai satu keharusan mutlak, ternyata merupakan bentukan sejarah yang dimulai masa Abu Bakar dan dimatangkan oleh Bani Umayyah dan Abbasiyyah," tulisnya.[20]
Karyanya ini pula yang membuat dia dipecat dari jabatannya sebagai hakim, disebabkan atas desakan para ulama Al-Azhar karena didalam buku tersebut Ali Abd al-Raziq menentang pandangan bahwa Islam sudah menetapkan bentuk otoritas politik khusus, atau bahwa Islam sudah mengesahkan bentuk pemerintahan tertentu.[21]
Bahkan dalam sidang ulama besar Al-Azhar ia tidak lagi diakui sebagai ulama dan namanya dihapus dari daftar ulama Al-Azhar. Berdasarkan keputusan sidang yang dihadiri oleh para anggotanya diputuskan bahwa buku itu mengandung pendapat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pendapat yang tertuang dalam bukunya itu tidak mungkin keluar dari seorang Islam, apalagi seorang ulama.[22]
Buku yang mengandung reaksi keras ini secara garis besarnya berisi tentang penolakan terhadap sistem khilafah.[23] Sedang masalah khilafah pada saat itu menjadi agenda yang akan dibahas dan dihidupkan oleh Rasyid Ridha dan kawan-kawannya yang bersemangat mempersiapkan muktamar akbar Islam di Kairo. Karena momennya kurang tepat, reaksi negatif atas buku ini pun gencar dilakukan ulama. Oleh karena itu, menurut Munawir Sjadzali, saham Rasyid Ridha cukup besar dalam kampanye yang berakhir dengan pengutukan dan pengucilan Ali Abd al-Raziq oleh ulama Al-Azhar.[24]
b.    Min Atsâr Musthâfâ ‘Abd Al-Râziq dan Al-Ijmâ’ fî Al-yarîah Al-Islâmiyah.
Buku ini (Min Atsâr Musthâfâ ‘Abd Al-Râziq) merupakan hasil studi Ali Abd al-Raziq tentang kehidupan dan karya saudaranya Musthafa Abdurraziq. Min Atsâr Musthâfâ ‘Abd Al-Râziq diterbitkan pada tahun 1957 di Kairo dan buku  Al-Ijmâ’ fî Al-yarîah Al-Islâmiyah[25] diterbitkan pada tahun 1947 di Kairo.[26]
            Bersama karya Thâhâ Husain, Fî Al-Syi’r Al-Jâhilî, yang terbit pada tahun 1926, karya Ali Abd al-Raziq (Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm) dianggap oleh ulama dan kalangan Muslim melontarkan tantangan serius terhadap keabsahan Islam sebagai sebuah agama. Peristiwa khusus yang mendorong studi Ali Abd ar-Raziq ini adalah penghapusan sistem khalifah oleh pemerintah Turki yaitu Mustafa Kemal Attaturk pada tahun 1924. [27].
Sebagian ulama tradisional Mesir menyamakan al-Raziq dengan Mustafa Kemal Attaturk, bahkan menganggapnya lebih buruk dan lebih berbahaya dari tokoh sekularisme Turki itu. Kedua tokoh ini memang hidup sezaman dan memiliki ideologi politik yang kurang lebih sama. Kedua tokoh Islam itu mendapat hujatan luar biasa dari mayoritas kaum Muslim. Beruntunglah Ataturk, karena ia seorang kepala negara, ia bisa leluasa menerapkan ideologinya di Turki. Sementara al-Raziq mendapatkan kecaman dan hinaan dari rakyat Mesir.
Setelah perang dunia I, banyak orang Islam merasa terancam oleh meningkatnya penetrasi kolonial Barat, seperti Inggris, dan Perancis. Terutama setelah jatuhnya Kesultanan Utsmaniah. Dalam pandangan kaum Muslim, keruntuhan itu menunjukkan dengan jelas betapa lemahnya politik Islam.[28]

C.  Pemikiran-pemikiran Ali Abd al-Raziq
Pemikiran Ali Abd al-Raziq merupakan basis dari perubahan pergerakan pemikiran filsafat Islam yang cenderung mengarah kepada arah pemikiran filsafat Islam yang cenderung bersifat politik dan negara Islam. Perubahan dan pergeseran ini disebabkan beralihnya pola pemikiran Islam dan pola kerja tokoh-tokoh filsafat Islam era-Modern sebagaimana pemikiran tokoh-tokoh filsuf Muslim sebelumnya. Kebanyakan pola pikir sistem abad modern ini sebenarnya dipengaruhi dan dirintis oleh para filsuf terdahulu.[29]
1.   Pemikiran tentang Khilafah
Secara umum, karya tulis Ali Abdal-Raziq ini dibagi menjadi dalam tiga bagian[30]. Dalam bagian pertama, diuraikan tentang definisi khilafah atau lembaga khilafah beserta ciri-ciri khususnya. Kemudian dipertanyakan pula tentang dasar anggapan mendirikan pemerintahan dengan pola khilafah itu merupakan suatu keharusan agama. Akhirnya dikemukakan bahwa baik dari segi agama maupun dari segi rasio, pola pemerintahan khilafah itu tidak perlu.
Menurut ali Abd al-Raziq, pengertian khilafah identik dengan imamah, baik dari segi bahasa maupun dari segi terminologi fuqaha. Ia berpendapat bahwa khilafah adalah suatu pola pemerintahan dimana kekuasaan tertinggi dan mutlak pada seorang kepala negara atau pemerintahan dengan gelar khalifah, pengganti Nabi Muhammad Saw, dengan kewenangan mengatur kehidupan dan urusan umat-rakyat, baik keagamaan maupun keduniaan yang hukumnya wajib bagi umat untuk patuh dan taat sepenuhnya.[31]
Dari definisi khalifah diatas jelas bahwa Ali Abd al-Raziq beranggapan bahwa tugas khalifah adalah melaksanakan hukum dan peraturan syari’at. Persoalan yang timbul adalah bagaimana jika syari’at sudah berjalan dengan baik dan keadilan merupakan kenyataan yang riil dikalangan umat Islam?
Kebanyakan ulama menyatakan wajib (fard)[32] mendirikan khilafah atau lembaga khalifah bagi umat Islam, dan berdosa kalau tidak dilaksanakan. Dalil wajibnya khilafah tersebut diambil dari ‘ijma’ sahabat dan ‘ijma ummah. Menurut para ulama juga bahwa “ ‘ijma adalah salah satu sumber syara’, di mana demikian wajibnya khilafah atau imamah adalah wajib syar’i ”. Terdapat pengecualian, yaitu golongan Khawarij dan Mu’tazilah.[33] Mereka menyatakan bahwa tidak semestinya khilafah dilaksanakan jika syari’at dan keadilan sudah berjalan dengan baik.[34] Seiring dengan pernyataan itu, Ali Abd al-Raziq juga mengatakan bahwa anggapan mendirikan khilafah itu wajib adalah keliru, karena tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Bahkan hanya bersandar kepada ijma’ dan nalar analoginya. Menurut pengamatan Ali Abd al-Raziq, semua dalil yang menyatakan  wajibnya mendirikan khilafah tidak berdasarkan dalil al-Qur’an yang qath’i.[35]
Sementara pemikir Islam, Rasyid Ridha[36], mendasarkan keyakinan bahwa mendirikan khilafah itu merupakan keharusan agama, atas Al-Qur’an Surat al-Nisaa ayat 59 dan 83:
Artinya:  “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Artinya: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri[37]di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri)[38]. Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).
Ayat-ayat ini memerintahkan umat beriman untuk mentaati Allah, mentaati Rasul dan ulil amri diantara mereka. Sebenarnya ayat tersebut tidak ada relevansinya dengan kewajiban mendirikan khilafah dalam Islam. Makna hakiki  ayat tersebut, menurut Ali Abd al-Raziq adalah keharusan bagi kaum muslimin untuk memiliki sekelompok orang yang dapat dijadikan rujukan bagi persoalan-persoalan yang mereka hadapi. [39]
Makna inilah yang menurutnya lebih luas dan lebih umum yang dapat diperolah dari ayat tersebut daripada memaknakan khilafah yang sama sekali tak ada relevansinya. Oleh karena itu, ia menolak penafsiran yang dilakukan sebagian ulama terhadap ayat tersebut diatas dengan penafsiran amir, khalifah, hakim, panglima, dan ulama untuk kata ulil amri. Penafsiran seperti ini, menurut Ali Abd al-Raziq, memberikan pemahaman untuk tidak keluar dari pemahaman struktur politik masa lampau.[40]
Demikian pula dengan hadist. Dalam hadist Nabi juga tidak terdapat ungkapan yang mendukung mewajibkan pembentukan khilafah. Hadis-hadis Nabi yang dijadikan rujukan oleh para ulama dalam teori imamah ini, ternyata hanya menyebut tentang imamah, baiat, jamaah dan seterusnya. Semisal hadis-hadis yang berbunyi:
الأئمة من قري
 من مات و ليس في عنقه بيعة فقد مات ميتة جاهيلية
 من بايع امام فاعطاه
Hadis-hadis tersebut diatas, dalam pandangan sebagian besar para ulama merupakan justifikasi terhadap wajibnya pembentukan khilafah demi tegaknya syariat Islam dan keadilan yang merata di kalangan umat Islam khususnya, dan umat manusia umumnya.
Ali Abd al-Raziq mengakui bahwa hadis-hadis sebelumnya semuanya shahih. Ia juga mengakui bahwa istilah-istilah yang terkandung dalam hadis-hadis sebelumnya seperti “imam”, “ulil amr” dan sejenisnya apabila diberlakukan menurut term syara’, mempunyai arti “para pemegang Khalifah”, dan seterusnya. Namun ternyata, katanya, tidak ditemukan satu argumentasipun yang mendukung teori para ulama yang menyatakan bahwa kekhilafahan itu merupakan akidah syari’ah dan salah satu dari hukum agama.[41]
Ali  Abd al-Raziq juga berpendapat bahwa dipakainya gelar khalifah pada Abu Bakar akan memunculkan karisma, kekuatan dan pesona. Jadi, tidak heran jika Abu Bakar memilih gelar itu untuk dirinya sendiri sebagai pemimpin baru, karena itu ia harus memiliki kewibawaan dan kekuatan untuk mempertahankan kekuasaan dan wilayahnya dari perpecahan dan pertentangan.[42]
Dengan kekuatan dan kekuasaannya itu, Abu Bakar memerangi orang-orang yang murtad dan enggan membayar zakat. Semua tindakannya ini, menurut Ali, dianggap oleh sebagian umat Islam sebagai tindakan agama. Hal ini berlaku pula bagi tiga khalifah penggantinya dan khalifah-khaliafah sesudahnya, seperti khalifah Bani Umayyah dan Bani Abbas. Abu Ja’far al-Mansur dari Bani Abbas, umpamanya, mengatasnamakan gerakannya untuk menjatuhkan dinasti Bani Umayyah sebagai gerakan agama. Bahkan setelah menjadi penguasa umat Islam, ia menyatakan dirinya sebagai “bayang-bayang Tuhan dan wakilnya di muka bumi” (zillullah filal-ardh).[43]
Ali Abd al-Raziq, menolak anggapan tersebut diatas. Dalam perjalanan sejarah, ternyata sebagian besar penguasa Islam menggunakan gelar khalifah hanya sebagai alat legitimasi untuk mempertahankan kekuasaannya. Mereka berhasil menyebarkan konsep bahwa mematuhi khalifah berarti mematuhi Allah dan melawan khalifah sama dengan melawan Allah. Kenyataan sejarah pulalah yang menunjukkan bahwa banyak khalifah yang berlaku sewenang-wenang, kejam, saling menumpahkan darah dan tidak islami. Bahkan, diantara mereka ada yang tega membunuh saudaranya sendiri untuk menduduki jabatan “sakral” tersebut.
Untuk memperkuat argumennya terhadap penolakan khilafah, ia mengemukakan sepenjang sejarah sistem khilafah merupakan sistem paling buruk. Beberapa hal yang ia kemukakan untuk membuktikan keburukan tersebut:
a.    Khalifah senantiasa menghadapi penentang-penentang (kaum separatis)
Menurut Raziq, para khalifah sejak khalifah pertama sampai khalifah yang terakhir selalu menghadapi penentangan-penentangan dari orang-orang yang tidak mengakuinya. Dalam sejarah Islam yang menggunakan sistem khilafah, hampir tidak pernah sunyi dari kaum separatis. Menurutnya, walaupun kondisi seperti itu sering terjadi  pada kerajaan-kerajaan dalam setiap generasi umat manusia, dalam kenyataannya umat Islam dengan sistem khalifah paling banyak mengalaminya.[44]
Kenyataan-kenyataan sejarah yang tidak dapat diingkari kebenarannya, sejak zaman Khulafaur al-Rasyidin, terutama masa daulat Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah, penguasa selalu berhadapan dengan penentang-penentang dalam jumlah yang kecil dan besar, baik yang bersuara secara terang-terangan maupun secara terselubung.[45]



b.    Khilafah ditegakkan dengan tekanan dan paksaan
Menurut Raziq, kenyataan menunjukkan bahwa kekhalifahan hanyalah ditegakkan atas tekanan dan paksaan. Seorang khalifah tidak mungkin dapat menduduki jabatan ini kecuali melalui ujung tombak, mata pedang, pasukan besar dan pengerahan kekuatan besar-besaran.[46]Singgahsana para khalifah dibangun atas tumpukan tengkorak manusia, dan dipertahankan dengan menunggangi pundak mereka. Tidak ada satu kekuasaan pun yang tidak diperoleh melalui cara ini, dan tidak ada kehormatan apapun yang bisa diperoleh selain dengan cara mengorbankan rakyat.

c.    Para khalifah selalu berlaku sewenang-wenang
Menurut Raziq, kalau didunia ini ada sesuatu yang demikian mendorong orang untuk berlaku sewenang-wenang, zalim dan begitu mudah melakukan permusuhan, maka itu tidak lain adalah khalifah.[47] Dalam hal ini Raziq memberikan contoh:
1)   Yazid bin Muawiyah, yang menghalalkan tumpahnya darah Husain bin Fatimah bin Rasulullah Saw, dan menyerbu kota Madinah serta memporak-perandakannya.
2)   Abdul Malik ibn Marwan yang menghancurkan Ka’bah.
3)   Abu al-Abbas Abdullah bin Muhammad bin Ali ibn Abdillah ibn al-Abbas menjadi seorang yang haus darah.
4)   Dinasti Abasiyah yang saling membantai dan saling memberontak.
5)   Demikian pula Bani Sabaktakin.
6)   Salih Najmdin al-Ayyubi menyerbu saudaranya sendiri al-Adil Abu Bakr ibn al-Kamil, memakzulkannya dan kemudian memenjarakan saudaranya itu.
7)   Daulat Mamalik yang tidak pernah sunyi dari suksesi dan bunuh-membunuh.
8)   Demikian pula yang terjadi pada daulat Bani Usman.[48]
Kenyataan sejarah memang membenarkan apa yang dikemukakan oleh Raziq. Penekanan dan pemaksaan senantiasa melingkungi kekhalifahan, seperti khalifah-khalifah Bani Umayyah sering mengadakan tekanan-tekanan terhadap pihak-pihak tertentu yang juga adalah kaum muslimin. Demikian pula halnya khalifah –khalifah Abbasiyah yang berkuasa lebih dari lima abad, sering menekan dan mengejar-ngejar keturunan Umayyah untuk dimusnahkan dan menindas semua pihak yang dianggap membahayakan kekhalifahan.[49]
Tekanan juga terjadi terhadap pihak-pihak non muslimin, dalam bentuk penaklukan-penaklukan terhadap wilayah-wilayah mereka. Tekanan-tekanan itu umumnya menggunakan kekuatan senjata, yang pada akhirnya membawa korban yang tak terhitung jumlahnya.
Karena fakta-fakta inilah mungkin Abd Raziq mengatakan bahwa singgahsana para khalifah dibangun atas tumpukan tengkorak manusia, dan dipertahankan dengan menunggangi pundak mereka.
Demikian kondisi yang melingkupi kekhalifahan. Ini dijadikan kemudian oleh Abd Raziq sebagai argumentasi untuk menjelekkan sistem tersebut. Tentu saja khalifah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali yang diangkat melalui musyawarah dan pemilihan yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kelompok khalifah yang memperoleh kedudukannya melalui tajamnya mata pedang dan ujung tombak.
Diantara khalifah memang ada yang berlaku sewenang-wenang dan zalim. Yazid ibn Mu’awiyah, misalnya, dikenal sebagai orang yang zalim, tidak mengenal keadilan, sombong, boros, dan suka minum minuman keras. Demikian pula beberapa orang khalifah lainnya, yang dalam sejarah kekhalifahan ditandai dengan banyaknya pemberontakan-pemberontakan yang terjadi. Semua itu, memang kebenaran sejarah, terutama pada masa khalifah-khalifah Umayyah dan Abbasiyah.[50]
Memang apa yang dikemukakan Raziq adalah fakta yang tidak dapat dibantah. Tetapi Raziq lupa menjelaskan adanya khalifah yang adil, yang memimpin dengan baik, sesuai tuntunan Al-qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Khalifah Abu Bakar membawa masyarakatnya ke dalam suasana  yang damai dan berkeadilan. Di sisi lain, tidak semua khalifah Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah yang jelek seperti yang digambarkan Raziq. Walid ibn Abd. Al-Malik (Khalifah Bani Umayyah yangkelima), memerintah tahun 86-96 H (705-715 M), termasyhur sebagai kahlifah yang pengasih dan penyayang, yang senantiasa memerhatikan hal masyarakat, terutama rakyat yang melarat dan terlantar. Demikian pula Umar ibn. Abd. Aziz (khalifah Umayyah yang ketujuh), memerintah tahun 99-101 H (717-719 M), terkanal sebagai ahli agama yang saleh, zuhud, wara’, dan adil. Ia memperbaiki hubungan antara keluarga Umayyah dan turunan lainnya, serta berlaku toleren terhadap pemberontak[51]sebagaimana dilakukan pendahulu-pendahulunya. Pada umumnya, perhatian sebesar-besarnya tertuju kepada penyebaran agama  kepada raja-raja Hindu dan Cina ke dalam Islam.
Al-Mahdi (khalifah Abasiyah yang ketiga), memerintah tahun 158-169 H (775-785 M), juga terkenal sebagai orang yang lemah lembut, pemurah, dermawan serta memberikan belanja tetap bagi orang-orang yang tidak kuat berusaha. Demikian pula Harun al-Rasyid (khalifah kelima), memerintah tahun 173-193 H (789-809 M), adalah khalifah yang istananya dipenuhi olah para ulama, hakim, pujangga, dan pengarang. Ia dikenal sebagai orang yang mulia, budiman, disegani, dihormati dan dicintai serta ditaati oleh rakyat, dari yang tinggi sampai yang rendah. Ia juga merapatkan keluarga Abasiyah dengan keluarga Alawiyin.
Mereka-meraka inilah yang mungkin diantara para khalifah yang kurang mendapat perhatian Raziq dalam kajiannya. Sehingga ia menarik kesimpulan tentang kesewenang-wenangan para khalifah secara keseluruhan. Dari kenyataan-kenyatan ini, mungkinkah mereka dikelompokkan dalam golongan khalifah yang berlaku sewenang-wenang.[52]
Karena itu, pendapat Raziq mendapat tantangan  dari berbagai kalangan umat Islam baik pribadi maupun lembaga. Termasuklah diantaranya Rasyid Ridha. Ia mengatakan bahwa pendapat ini sangat berbahaya dan dapat melemahkan umat Islam. Pendapat ini erat hubungnnya dengan kolonialisme. Serbuan politik ilmiah terhadap Islam, menurut Ridha, jauh lebih berbahaya dan lebih keji daripada Perang Salib yang mengatasnamakan agama.[53]
Kritikan lain datang dari Dhiyauddin al-Rais. Ia menulis buku sanggahannya yang berjudul  Al-Islam wa al-Khilafah fi al-‘ashr al-Hadits (Islam dan khilafah pada Masa Modern. Ia memandang bahwa pendapat Raziq ini tidak terlepas dari latar belakang keluarganya yang pro-Inggris. Ada kesamaan antara Raziq dan tujuan politik Inggris yang hendak menghancurkan persatuan dan kesatuan umat Islam.

2.   Risalah Bukan Pemerintahan, Agama Bukan Negara[54]
Dalam bagian kedua buku Ali Abd al-Raziq, diuraikan tentang pemerintahan, dan akhirnya kesimpulan bahwa risalah kenabian itu bukan pemerintahan dan bahwa agama itu bukan negara. Dan dalam bagian ketiga dan terakhir diuraikan tentang khilafah atau lembaga khilafah dan pemerintahan dalam sejarah. Dalam hal ini, Ali Abd al-Raziq berusaha membedakan[55] antara mana yang negara Arab dan mana yang agama serta yang mana yang politik. Dalam rangka mencari jawaban tentang ada atau tidaknya penetapan tentang sistem pemerintahan dalam Islam inilah, Ali Abd al-Raziq menulis buku ini (Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm).[56]
Ali Abd Al-Raziq menyuguhkan perdebatan yang cukup sengit dalam bukunya yang tipis tersebut. Sebagai seorang hakim syari’ah (Hukum Islam) dan seorang dosen di Universitas Al-Azhar Kairo, Ali Abd al-Raziq berpendapat bahwa Islam tidak mengkhususkan bentuk pemerintahan tertentu, karenanya Islam membolehkan kaum Muslim untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis. Alur pikir ini dipakai untuk mengkritisi klaim kekhalifahan Raja Mesir terhadap akibat hancurnya kekhalifahan Utsmani tahun1924.[57]
Namun argumen tersebut tersusun dalam term-term umum, dengan demikian menentang pandangan holistik tentang Islam terdiri dari baik spiritualis maupun politik. Ali Abd al-Raziq dipecat sebagai hakim dan dosen, bahkan dikritik kaum modernis Islam, seperti Rasyid Ridha.[58] Diluar wilayah Mesir, bukunya telah menimbulkan perdebatan yang keras di seluruh dunia Islam dan memunculkan perdebatan sampai kini. Bagian-bagian lain dari buku Ali Abd al-Raziq telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dari bahasa Perancis pada tahun 1982.[59]
a.    Keunggulan Risalah
Ternyata risalah Nabi dikhususkan dalam berbagai hal, yang tidak pernah dialami oleh Nabi-nabi sebelumnya karena dia diutus dengan misi dakwah. Tuhan memilihnya untuk menyatukan umat manusia dan tuhan menakdirkan bahwa dia mengantarkan keseluruhannya, dan dia yang menyempurnakan dakwah agama agar kelemah lembutan ditegakkan dan menghindari konflik dan agar semua agama dapat mencapai Tuhan. Risalah ini memberinya pembawaan kesempurnaan yang ekstrem yang seharusnya diupayakan manusia untuk mencapainya. Bentuk kekuasaan sosiologis yang merupakan batas akhir dari apa yang ditakdirkan bagi Rasul-rasul terpilih dan cukuplah dukungan Tuhan yang akan sesuai dengan dakwah agung dan umum ini.[60]
Dan disebutkan didalam hadis: “Demi Allah. Allah tidak akan pernah menghalang-halangimu[61]”. “Karena—tanpa bersikap arogan—sebagai anak cucu Adam, saya agungkan Tuhan saya”[62]
Bagi Ali Abd al-Raziq, wahyu yang disampaikan kepada Nabi adalah sebuah kekuasaan yang lebih besar dan lebih penting daripada kekuasaan pemimpin duniawi, tetapi kekuasaan ini mempunyai watak yang sama sekali berbeda. Menurut teori ini, berhadapan dengan rezim yang dikenal, misalnya monarki, terdapat sebuah kekuasaan yang mempunyai kekuasaan yang mempunyai sifat istimewa, yakni kekuasaan para Nabi yang tidak dapat dibandingkan dengan rezim kemanusiaan apapun.
Untuk tujuan ini, otoritas Nabi Saw adalah karena adanya Risalah, suatu otoritas umum; perintah-perintahnya kepada umat Islam dipatuhi; dan pemerintahannya bersifat menyeluruh. Tidak ada orang yang memegang pemerintahan dapat mencapai bahkan melampaui otoritas Nabi Saw., dan memiliki bentuk kepemimpinan atau otoritas yang imaginer dibandingkan Rasulullah Saw. Bahkan pemerintahan umat Islam setelahnya.[63]
Jika demikian alasannya, hal itu memungkinkan bagi otoritas seorang Rasul melampaui umatnya untuk memiliki tingkatan-tingkatan, bahwa Nabi Muhammad juga seharusnya memiliki hak untuk menguji otoritas tertinggi dari semua utusan-utusan Allah, memerintahkan kepatuhan yang tertinggi, kemudian memiliki kekuatan nubuwwah dan otoritas Risalah, serta kejujuran yang telah ditakdirkan Allah untuk ditegakkan dalam dakwah terhadap perbuatan yang salah dan menjauhinya. Otoritas tersebut berasal dari surga, dari Allah, yang wahyu-wahyu-Nya disampaikan oleh para malaikat. Kekuatan suci ini dikhususkan bagi orang-orang yang beriman yang ditetapkan Rasul-Nya, tidak berpegang dalam makna kerajaan ataupun menyerupai kekuatan para raja, dan (otoritas) para sultan. Inilah panggilan kepemimpinan yang benar disisi Allah dan penyampaian risalahnya bukan kepemimpinan yang bersifat kerajaan. Ini merupakan sebuah risalah dan agama, dan merupakan pemerintahan kenabian, bukan kesultanan.[64]
Dengan demikian kita telah menyaksikan adanya kesultanan-kesultanan yang agak luar biasa yang dihadapkan kepada mereka yang hendak mengenyampingkan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, pemegang kekuasaan politik (political sovereign) dan sekaligus pemerintahan politik (political goverment).[65]
Tinggal satu pendapat lagi yang harus dinilai oleh kita. Pendapat ini mengatakan bahwa Muhammad hanyalah seorang utusan Allah. Beliau mengabdikan dirinya semata-mata untuk menyiarkan agama dari arti murni tanpa adanya kecenderungan apapun yang menjurus pada kekuasaan yang bersifat sementara (temporal). Sebab beliau tidak pernah mengemukakan pendapat atas himbauan atau perintah dengan mengatasnamakan suatu pemerintahan tertentu. [66] Pada dasarnya  tugas kenabian (risalah) itu sendiri menuntut Nabi untuk mendapatkan kelebihan dikalangan bangsanya. Suatu bentuk kekuasaan terhadap rakyatnya dalam artian bukannya raja atau mendirikan kerajaan.
Karena Nabi ini bertugas menyampaikan risalah agama, agar orang mau mengikutinya, dia harus memiliki kesempurnaan fisik sampai batas tertentu dan tidak boleh memiliki cacat fisik dan benar-benar sehat. Jika tidak dia akan dijauhi orang. Nabi juga harus memiliki wibawa agar mudah bergaul dan melakukan interaksi, maka dia harus memiliki kesempurnaan spiritual.[67]
b.    Reaksi dari Ulama
Ulama mulai menyadari bahwa persoalan ini sangat mengganjal karena sudah menkjadi kotroversi politik, dan mereka tidak dapat mendiamkan begitu saja. Namun berkat apa yang dikatakan Ali Abd al-Raziq didalam bukunya, sebagian ulama juga mulai menyadari bahaya dibalik kepatuhan membabi buta kepada kehendak sang raja. Oleh karena itu, kalangan yang berkepedulian tinggi menempuh cara yang relatif hati-hati dalam mengkritisi buku itu. Hal ini mereka maksudkan untuk menghindari munculnya reaksi yang emosional yang dapat memperkeruh isu doktrinal itu. Penilaian dari Majelis Ulama menitik-beratkan pada tujuh persoalan doktrinal khusus, dan mereka menghindari kritikan yang sifatnya umum yang bisa dianggap sebagai bernuansa politis atau filosofis.
Menurut Majelis Ulama, tujuh butir kesalahan yang dibuat oleh Ali Abd al-Raziq adalah sebagai berikut[68]:
a.    Menjadikan Syariat Islam hanya sebagai hukum agama yang tidak ada kaitannya dengan pengaturan atau penatalaksanaan urusan duniawi.
b.    Berpendapat bahwa jihad Rasulullah ditujukan untuk meraih kekuasaan setingkat raja dan bukan untuk menyiarkan agama ke seluruh dunia.
c.    Menyatakan bahwa lembaga pemerintahan dimasa Rasulullah tidak jelas, rancu, kacau, tidak komplit, dan membingungkan (bagi mereka yang mencoba memahaminya).
d.   Berpendapat bahwa tanggungjawab (Muhammad) Rasulullah hanya menyebarluaskan syariat tanpa menjadi penguasa atau pemerintah.
e.    Menganggap sepi Ijma’ (kesepakatan) para Sahabat Rasul yang menetapkan bahwa umat musti menunjuk  seseorang untuk mengelola urusan keagamaan dan keduniaan, dan mengakui adanya kewajiban untuk mengangkat seorang imam.[69]
f.     Mengingkari bahwa quda (kehakiman) merupakan fungsi syariah.
g.    Berpendapat bahwa pemerintahan Abu Bakar dan Khulafa Rashidin merupakan pemerintahan sekuler.
Karena butir-butir kesalahan ini, Raziq terpaksa membela diri, dan dia berupaya meminimalisir kesan menyesatkan yang telah ia buat. Dia tidak dituduh secara langsung menolak bahw kaum muslimin bukanlah komunitas politik, dan dalam tanggapannya dia hanya menyatakan kemungkinan adanya jama’ah yang membentuk negara dan mengangkat khilafah sebagai penguasanya. Dia mengatakan apa yang dituduhkan kepadanya bukanlah yang sesungguhnya dia katakan, ataupun jika sudah pernah dia katakan, dia juga telah menyertakan penjelasannya.[70]
Raziq berupaya memperlihatkan sikap yang tidak berat sebelah, baik terhadap pendapat peran politik Rasul  maupun tentang peran religius khulafa al-Rasyidin. Namun tanggapan yang diaperoleh tidak dapat meredakan tuduhan negatif kepada dirinya. Dia mengangkat pandangan umum  yang antara dirinya dan para ulama sama-sama sepakat, karena itu ia kembali megatakan: “kami tidak meragukan bahwa Islam merupakan kesatuan religi; bahwa kaum muslimin merupakan jamak tunggal, bahwa Rasulullah menyerukan persatuan yang berhasil mewujudkan sebelum wafat dan pembawa beliau adalah pemimpin dari kesatuan religi ini, pemimpin tunggal yang merangkap sebagai mudabbir (administrator) dan yang ucapannya selalu dijunjung tinggi.[71]

3.   Nabi dan Raja
Ali Abd al-Raziq melihat adanya tantangan yang sulit dihadapi orang-orang yang sekaligus merupakan seorang Raja dan pendiri Negara yang politis. Setelah melakukan penelitian lantas orang berkesimpulan bahwa Nabi sekaligus Raja dan Rasul atau hanya Rasul saja, hal itu hampir tidak dapat dicap sebagai bertentangan dengan melihat pendapat-pendapat yang berkembang dikalangan Kaum Muslimin. Hal itu lebih banyak berkaitan dengan penelitian ilmiah daripada dengan penelitian agama. [72]
Sudah jelas bahwa kerasulan merupakan sesuatu yang berbeda dengan kebesaran (royalty); sebab di dalammya tidak ada kaitan instrinsik antara dua gagasan. Kerasulan adalah sejenis martabat, sedangkan kebesaran adalah martabat lain lagi. Betapa banyaknya raja di dunia ini yang bukan Nabi-nabi ataupun Rasul-rasul. Betapa banyaknya pula Nabi-nabi yang diangkat oleh Tuhan tanpa menyandang kedudukan sebagai Raja. Kenyataannya, banyak diantara Nabi yang dikenal adalah semata-mata Nabi.[73]
Kedudukan sebagai Nabi menuntut untuk dimilikinya kedudukan sosial yang jelas terhormat dikalangan bangsanya. Sebagaimana didalam Hadist: “  Allah tidak pernah mengangkat seorang Nabi (dikalangan mereka) yang tidak dihormati oleh rakyatnya dan yang tidak berwibawa dikalangan keluarganya.”.
Lebih dari itu kedudukan sebagai Nabi juga menuntut untuk dimiliki kekuasaan yang memungkinkan melihat bahwa perintah-perintahnya dilaksanakan dan ajaran-ajarannya diikuti, sebab Allah tidak menghendaki tugas kenabian itu mengalami kegagalan. Dia tidak mengangkat seorang Nabi sebagai pembawa kebenaran tanpa terlebih dahulu menetapkan bahwa ajaran-ajarannya akan berhasil, kekal dan terpadu dalam kenyataan hidup dan kehidupannya.[74] Sebagaimana di dalam Surat al- Nisa ayat 64 yang berbunyi:
وَرُسُلٗا قَدۡ قَصَصۡنَٰهُمۡ عَلَيۡكَ مِن قَبۡلُ وَرُسُلٗا لَّمۡ نَقۡصُصۡهُمۡ عَلَيۡكَۚ وَكَلَّمَ ٱللَّهُ مُوسَىٰ تَكۡلِيمٗا ١٦٤

Artinya: “Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinya[75]datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Menurut Ali Abd al-Raziq, Nabi Muhammad Saw adalah seorang Rasul Tuhan yang hanya membawa misi risalah saja[76]. Nabi Saw tidak pernah memerintah dengan mengatasnamakan suatu pemerintahan tertentu. Nabi hanya menyampaikan dakwah agama tanpa ada kecenderungan untuk membentuk kekuasaan politik atau pemerintahan tertentu. Risalah bukanlah kerajaan; keduanya adalah dua hal yang berbeda dan masing-masing mempunyai kedudukan sendiri. Ia mencontohkan Nabi Isa as., yang mengajarkan kepada umatnya “Berikan hak Kaisar pada Kaisar dan hak Tuhan pada Tuhan.”[77]

Nabi Muhammad memang mempuyai hukûmah, tetapi ia bukanlah seorang mâlik (raja). Menurutnya, malik yang berkuasa pada waktu itu umumnya kejam dan zalim terhadap rakyat. Oleh karena itu, Nabi tidak dapat disamakan dengan penguasa politik apapun. Mengatakan Nabi sebagai malik berarti merendahkan dan merusak citra beliau. Dengan demikian, Ali Abd al-Raziq berkesimpulan bahwa sistem pemerintahan tidak terdapat dalam Islam. Jadi, Islam tidak menentukan tentang pembentukan negara dan tidak menetapkan suatu corak atau model khusus dari suatu pemerintahan. Nabi hanya bertugas sebagai pembawa risalah, dan tugas kerasulannya ini tidak tercakup di dalam tugas pembentukan negara.[78]
Ali Abd a-Raziq juga menyandarkan pendapatnya pada ayat-ayat Al-Qur’an. Ada 11 ayat Al-Qur’an yang dikutip Raziq untuk mendukung pandangannya.[79] Menurutnya, ayat-ayat Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa Nabi Saw tidak mempunyai kekuasaan politik. Firman-firman Allah tersebut saling menopang antara satu dengan lainnya dan menyatakan bahwa tugas risalah yang dibawa Nabi Saw tidak mencakup pendirian kekuasaan yang bersifat duniawi. Diantara ayat-ayat yang dikutipnya adalah sebagai berikut.
مَّن يُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَۖ وَمَن تَوَلَّىٰ فَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ عَلَيۡهِمۡ حَفِيظٗا ٨٠
Artinya: “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”.[80](QS. an-Nisaa, 4:80)

وَلَوۡ شَآءَ رَبُّكَ لَأٓمَنَ مَن فِي ٱلۡأَرۡضِ كُلُّهُمۡ جَمِيعًاۚ أَفَأَنتَ تُكۡرِهُ ٱلنَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُواْ مُؤۡمِنِينَ ٩٩
  

Artinya: “ Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?”.(QS. Yunus, 10: 99)

قُلۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدۡ جَآءَكُمُ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكُمۡۖ فَمَنِ ٱهۡتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهۡتَدِي لِنَفۡسِهِۦۖ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيۡهَاۖ وَمَآ أَنَا۠ عَلَيۡكُم بِوَكِيلٖ ١٠٨

Artinya: Katakanlah: "Hai manusia, Sesungguhnya teIah datang kepadamu kebenaran (Al Quran) dari Tuhanmu, sebab itu Barangsiapa yang mendapat petunjuk Maka Sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. dan Barangsiapa yang sesat, Maka Sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. dan aku bukanlah seorang penjaga terhadap dirimu".(QS. Yunus, 10: 108)

Artinya: “Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan, dan Allah mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan.(QS. al-Maidah, 5: 99)

Dari sederatan ayat-ayat yang dikemukakan diatas, Ali Abd al-Raziq menyatakan bahwa Al-Qur’an dengan tegas menolak tugas Nabi Saw sebagai pemelihara, pelindung, penjaga, pemaksa, dan pengatur, karena tugas-tugas tersebut di atas adalah dan kekuasaan raja. Beliau tidak memiliki hak untuk memaksa orang beriman. Dengan demikian, Nabi tidak mempunyai kedudukan sebagai raja (penguasa). Merekalah yang memiliki kekuasaan tidak terbatas untuk memaksa dan mengatur masyarakat.[81]

Adalah suatu kenyataan sejarah, ketika Nabi berada di Madinah, telah terbentuk suatu masyarakat Islam.[82] Orang-orang arab yang sebelumnya tercerai berai dan bermusuhan menjadi bersaudara dan bersatu dalam satu kekuatan yang diikat oleh kesamaan keyakinan akidah dan agama. Mereka menjadi bangsa yang kuat dibawah satu pimpinan yaitu Nabi Saw sendiri. Sampai di sini, logika Ali Abd al-Raziq masih sejalan dengan pendapat umat Islam pada umumnya. Namun kemudian Ali menyatakan bahwa kepemimpinan Nabi terhadap bangsa Arab bukan dalam satu ikatan politik. Menurutnya, Nabi tidak pernah ikut campur dalam persoalan politik bangsa Arab. Nabi tidak pernah merombak sistem pemerintahan, sistem administrasi, maupun sistem peradilan yang ada. Semua diserahkan Nabi pada masyarakatnya. Untuk menguatkan argumennya Ali mengutip hadis, “ Antum a’lamu bi umûri dunyâakum”.[83]
Sebagai kelanjutan dari penolakannya terhadap tugas Nabi sebagai pemimpin politik, ia menolak lembaga khilafah. Oleh karena itu, semasa hidupnya ia tidak mempunyai kekuasaan politik dan tidak mendirikan negara “Islam”, maka Nabi pun tidak menunjuk siapa yang akan menggantikan kedudukannya setelah wafat. Adalah suatu hal yang mustahil menurut Ali, jika Nabi selaku pemerintahan Islam tidak menunjuk orang yang akan menggantikan beliau sebagia khalifah. Tak mungkin beliau melupakan hal yang penting ini.[84]
                Dari sini pernyataan kemudian mengarahkan secara khusus kepada masalah kekhalifahan bukanlah Rezim Agama, bahwa lembaga ini tidak disyaratkan dalam Islam, dan bahwa terlepas dari niat para khilafah tidaklah mungkin ada pengganti, atau khilafah yang menggantikan kedudukan Rasulullah, karena Rasul tidak pernah menjadi Raja dan tidak pernah berusaha mendirikan sebuah negara atau pemerintahan, dia adalah pembawa pesan yang diutus Allah, dan dia juga bukan pemimpin politik.[85]
            Dengan bersikukuh bahwa Rasulullah bukanlah pemimpin politik, dan bahwa khalifah bukanlah penerus Rasulullah, Ali Abd al-Raziq mengingkari adanya peralihan legitimas politik dari Rasulullah kepada Khilafah. Tampaknya dia berkeyakinan bahwa komunitas beragama yang memiliki dimensi politik. Kegigihannya dalam mempertahankan pandapat bahwa Muhammad bukanlah pemimpin politik tentunya nyaris tidak bisa diterima, baik dari sudut pandang histori maupun tradisional.[86]
Yang terpenting untuk kita ketahui adalah apakah keistimewaan Muhammad di kalangan bangsanya sebelum menjadi Nabi adalah juga keistimewaan seorang Nabi ataukah keistimewaan seorang raja, atau dengan perkataan lain apakah pelaksanaan dari kekuasaan suatu pemerintahan politik ataukah pelaksanaan dari keistimewaan keagamaan, dan apakah ikatan yang dipimpin Nabi itu merupakan suatu ikatan pemerintahan dan suatu negara, ataukah suatu kesatuan keagamaan yang tidak bersifat politik.[87]
Dengan jelas Al-Qur’an mengakui pendapat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad tidak ada sangkut pautnya dengan kekuatan politik. Ayat-ayat Al-Qur’an satu sama lain kuat menguatkan dalam pernyataannya itu bahwa tugas Nabi Muhammad dari Ilahi tidak melampaui batas-batas risalah (kerasulan) yang sama sekali tidak dikenal dalam gagasan kekuaasaan sementara itu. Firman Allah dalam surat al-An’am ayat 66-67 yang berbunyi:

Artinya: (66)dan kaummu mendustakannya (azab)[88] Padahal azab itu benar adanya. Katakanlah: "Aku ini bukanlah orang yang diserahi mengurus urusanmu". (67) untuk Setiap berita (yang dibawa oleh rasul-rasul) ada (waktu) terjadinya dan kelak kamu akan mengetahui.
Dengan demikian jelaslah bahwa bukan hanya Al-Qur’an yang melarang kita untuk mempercayai bahwa Nabi Muhammad di samping mengajarkan agama juga terlibat dalam tugas mempropagandakan pendapat untuk membentuk suatu pemerintahan politik. Sunnah juga melarang adanya kepercayaan serupa. Itulah alasan dan kepentingan serta hakikat dari risalah Nabi yang sejalan dengan Al-Qur’an dan sunnah yang menentang pendapat ini.[89]
            Hampir pada akhir bagian kedua buku Raziq, dia menyimpulkan uraiannya[90]:
Nabi Muhammad Saw adalah semata-mata seorang utusan Allahuntuk mendakwahkan agama murni tanpa maksud untuk mendirikan negara. Nabi tidak mempunyai kekuasaan duniawi, negara ataupun pemerintahan. Nabi tidak mendirikan kerajaan dalam arti politik atau sesuatu yang mirip dengan kerajaan. Dia adalah Nabi semata seperti halnya para Nabi sebelumnya, dia bukan raja, bukan pendiri negara dan tidak pula mengajak umat untuk mendirikan kerajaan duniawi.

Kesimpulan diatas merupakan inti paham politik Abd Raziq.

D.  KOMENTAR DAN PENILAIAN TERHADAP KARYA ABD RAZIQ
Munawir Sjadzali mencatat beberapa kelemahan argumentasi Raziq[91]:
Pertama, ia mengakui bahwa Nabi Saw melakukan berbagai tugas sebagaimana layaknya seorang kepala negara, namun ia tidak mengakui hal ini sebagai pemerintahan, betapapun sederhananya. Pada bagian lain ia mengatakan bahwa negara yang dipimpin Abu Bakar Ash-Shiddiq merupakan negara baru, padahal cara pengelolaan negara baru itu tidak banyak berbeda dengan pemerintahan Nabi Saw sebelumnya. Di sini ada ketidak konsistenan dalam pendapat Raziq.
Kedua, Raziq menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah Nabi semata, sama halnya dengan nabi-nabi sebelumnya. Sementara pada bagian lain ia menyatakan bahwa ada juga nabi yang berkedudukan sebagai penguasa atau raja sekaligus. Ini juga logika yang tidak konsisten dengan pendapat Raziq.
Ketiga, Raziq mengutip ayat-ayat Al-Qur’an untuk menyatakan bahwa Nabi tidak berhak untuk memaksakan ajarannya. Namun menurut Islam, sekali orang yang dengan kebebasannya sendiri telah menerima Islam secara sukarela, maka berlakulah atasnya syariat Islam yang sebagian pelaksanaannya memerlukan power penguasa agar berjalan efektif. Sejarah juga memperlihatkan bahwa Nabi Saw sendiri memimpin perang untuk mempertahankan Islam dari serangan musuh.
Keempat, ia juga mengajukan dalil ucapan Nabi Isa as. Kepada umatnya. Ini tidak dapat dijadikan alasan, karena ucapan tersebut ditujukan kepada umat Nabi Isa, bukan umat Nabi Muhammad.[92]
Kelima, Raziq mengemukakan hadis Antum a’lamu bi umûr  dunyâkum[93] untuk menunjukkan keterisahan antara agama dan negara. Padahal hadis tersebut berkenaan dengan Nasihat Nabi Saw tentang teknik pembudidayaan kurma, tetapi ternyata pohon tersebut tidak berbuah.[94] Jadi hadis ini tidak relevan untuk dijadikan pendapatnya.

E.     Kesimpulan
Terlepas dari kelemahan-kelemahan argumentasi Raziq, gagasan yang dikembangkannya tentang khilafah merupakan kajian yang sangat menarik dan menantang. Studi historis yang dilakukannya untuk menolak lembaga khilafah merupakan ajakan kepada umat Islam agar tidak terlalu mengistimewakan pandangan dan pendapat masa lalu, apalagi menjadikan sebagai bagian dari ajaran agama. Umat Islam harus bersikap terbuka dan realistis menghadapi kenyataan yang terjadi di dunia Islam dan mencari terobosan baru yang lebih dapat diterima untuk konteks kekinian.
Terlepas pula dari pandangan para pengkritiknya, secara substansial ada beberapa aspek dari pemikiran Raziq yang perlu mendapat tempat untuk dielaborasi dan direkonstruksi untuk kepentingan studi politik Islam kontemporer. Sekularisasi memang berbahaya bagi eksistensi sebuah agama, terlebih Islam. Tetapi, sisi sekularisasi yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa sekularisasi menjamin sebuah kekuasaan yang tegak di atas kepentingan agama apapun, dan pada titik inilah pemikiran Raziq menemukan relevansinya dalam konteks kehidupan politik yang pluralistik.
Ali Abd al-Raziq bukan tidak memiliki perasaan persatuan dan bukan seperti yang dituduhkan sebagian orang bahwa ia ingin menerapkan gagasan sekularisme Barat terhadap Islam. Sebagai seorang ‘alim al-Azhar yang luas pengetahuan agamanya dan sebagai seorang intelektual yang pernah mengecap pendidikan Barat serta berpengalaman melihat negara-negara lain selain Mesir, al-Raziq tentunya memiliki wawasan dan pertimbangan yang matang hingga ia mengeluarkan ijtihad kontroversial itu.
Pengetahuan sejarahnya yang mendalam membuatnya merasa sangat yakin bahwa sistem politik yang berlaku sepanjang sejarah Islam bukan cuma satu. Ia sangat bergantung dan dipengaruhi oleh penguasa yang memegang pemerintahan. Apa yang disebut khilafah oleh setiap penguasa memiliki makna dan implikasi politisnya masing-masing yang berbeda antara satu khalifah dengan lainnya.
Perbedaan ini hanya bisa dipahami bahwa penerapan sistem pemerintahan yang disebut khilafah itu berasal dari ijtihad dan pendapat yang terbaik dari para pemegang kekuasaan dalam sistem tersebut. Karenanya, sistem itu tidak bisa disebut sebagai sistem “islami” dengan pengertian bahwa model politik dan segala implikasinya yang diterapkan dalam kelembagaan khilafah berasal dari Islam. Bahkan pernyataan seperti ini, menurut Abd al-Al-Raziq, bisa sangat berbahaya. Khususnya jika sebuah khilafah berjalan tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar Islam, seperti despotisme dan kesewenang-wenangan yang terjadi pada sebagian pemerintahan dinasti Umayyah, Abbasiyyah, dan Utsmaniyyah. [95]
Karenanya, pernyataan bahwa Islam tidak memiliki sistem politik tertentu bagi kaum Muslim, dalam pandangan al-Raziq, menjadi positif, karena hal itu berarti menyelamatkan Islam dari pengalaman-pengalaman politik negatif yang terjadi sepanjang sejarah Islam. Pendapat itu sekaligus menempatkan Islam sebagai agama agung yang memberikan ruang bagi manusia untuk berkreasi bagi urusan dunia mereka. al-Raziq mengkritik sebagian ulama yang mengagung-agungkan khalifah sebagai penguasa tunggal yang memiliki kekuasaan mutlak, suci, dan dianggap sebagai wakil Tuhan, dan karenanya, menolak khalifah berarti menolak kesucian dan perintah Tuhan. Padahal, perintah Islam sesungguhnya, pemimpin haruslah dipilih dari rakyat (ummah), dibai’at oleh rakyat dan diturunkan oleh rakyat. Tak ada seorang pun yang mengatakan bahwa pemimpin ditunjuk oleh ayat atau hadits Nabi. Jadi, pemberian kepercayaan dan pengagung-agungan secara berlebihan kepada khalifah seperti yang dilakukan oleh kaum Muslim masa silam sama sekali bukanlah sikap yang berasal dari ajaran murni Islam. Tapi berasal dari tradisi Romawi, Persia, atau dinasti-dinasti besar sebelum Islam.

DAFTAR PUSTAKA
Binder, Leonard. 2001. Islam Liberal Kritik Terhadap Ideologi-Ideologi Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Cooper, John dkk,. 2000. Pemikiran Islam dari Sayyid Ahmad Khan hingga Nasr Hamid Abu Zayd. Jakarta: Erlangga.
Davis, Eric “Abd al-Raziq,’Ali” dalam John Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World (New York: Oxford University Press, 1995), Volume 1,
Donohue, John J. dan John L. Esposito. 1995. Islam dan Pembaharuan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Esposito, John L., (ed). 2002. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. Bandung: Mizan.
Filal,i ansary. 2009. Abdou “Ali ‘Abd Al-Raziq: Kaum Muslim dan Penafsiran-penafsiran Modern”, dalam Pembaharuan Islam: Dari Mana dan Hendak ke Mana?. Bandung: Mizan.
Gibb, H.A.R. 1996. Aliran-Aliran Moderen dalam Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Hourani, Albert. 2004. Pemikiran Liberal Dunia Arab. Bandung: Mizan.
Iqbal, Muhammad dan Amin Husein Nasution. 2010. Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Kencana.
Jameelah, Maryam. 1982. Islam dan Modernisme (terj. A. Jauri dan Syafiq A. Mughni). Surabaya: Usaha Nasional.
Kurzman, Charles (ed.). 2011.Wacana Islam Liberal. Jakarta: Paramadina.
M, Afrizal. 2014. Filsafat Islam di Mesir Kontemporer. Jakarta: RajaGrafindo Persada
M, Afrizal. 2014. Perkembangan Filsafat Islam di Mesir, Jurnal Miqot Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Vol. 39 No. 4
Nasution,  Harun. 1975. Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Sjadzali Munawir. 1993. Islam dan Pembaharuan. Jakarta: UI-Press.
______________. 1993. Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI-Press.
Syalabi, Ahmad. 1992. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2. Jakarta: Pustaka al-Husna.
http://lelakiberuntung.blogspot .com
http://blogspot.com/ilc (islamic law community) stain pekalongan ’06: ali abd roziq.


[1] Disampaikan dalam presentasi perkulihaan mata kuliah Filsafat Islam V pada tanggal 28 November 2017, dengan dosen pengampuh mata kuliah Prof. Dr. H. Affrizal M, MA.
[2] http://lelakiberuntung.blogspot .com
[3] Abdou Filali ansary, “Ali ‘Abd Al-Raziq: Kaum Muslim dan Penafsiran-penafsiran Modern”, dalam Pembaharuan Islam: Dari Mana dan Hendak ke Mana? (Bandung: Mizan, 2009), hlm. 112.
[4] http://blogspot.com/ilc (islamic law community) stain pekalongan ’06: ali abd roziq.
[5] Abdou Filali ansary, “Ali ‘Abd Al-Raziq: Kaum Muslim dan Penafsiran-penafsiran Modern”, dalam Pembaharuan Islam: Dari Mana dan Hendak ke Mana?,...hlm. 112.
[6] Afrizal M, Filsafat Islam di Mesir Kontemporer, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), hlm. 43
[7] Abdou Filali ansary, “Ali ‘Abd Al-Raziq: Kaum Muslim dan Penafsiran-penafsiran Modern”, dalam Pembaharuan Islam: Dari Mana dan Hendak ke Mana?,...hlm. 112-113.

[8]Ibid,...hlm. 113.
[9] John L. Esposito, (ed), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 6.
[10] Partai ini mempunyai hubungan initim dengan penjajah Inggris dan dibentuk sebagai tandingan hizb –al-wathani (partai kebangsaan).
[11] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 114
[12]Ibid,...hlm. 114.
[13] Ia mengajar di Al-Azhar pada tahun 1912 dalam mata kuliah retorika. Baru pada pertengahan 1912 ia berangkat ke Inggris.
[14] Maryam  Jameelah,  Islam dan Modernisme (terj. A. Jauri dan Syafiq A. Mughni), (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hlm. 202.
[15]  Di saat dia bertugas sebagai hakim, ia juga giat mengadakan penelitian. Penelitian yang digelutinya ketika itu adalah masalah khilafah. Buah dari penelitiannya itu dituangkannya menjadi sebuah buku yang berjudul al-islam wa ushul al-hukm.  Disamping itu, dia juga mengajar mata kuliah sejarah Islam dan sastra arab.
[17] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer,... hlm. 115.
[18] Yaitu penelitiannya tentang khilafah ketika dia menjadi hakim syari’ah di al-Azhar.
[21] John L. Esposito, (ed), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern,... hlm. 6.
[22] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975. hlm. 85.
[23] H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Moderen dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 91.
[24] Munawir Sjadzali, Islam dan Pembaharuan, (Jakarta: UI-Press, 1993), hlm. 85.
[25] yaitu sebuah karya yang membahas kajian sejarah konsensus dalam hukum Islam.
[26] John L. Esposito, (ed), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern,... hlm. 6.
[27] Albert Hourani, Pemikiran Liberal Dunia Arab, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 295.
[28] Afrizal M, Perkembangan Filsafat Islam di Mesir, Jurnal Miqot Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Vol. 39 No. 4 (2014)
[29] Afrizal M, Filsafat Islam di Mesir Kontemporer, 2014), h. iv
[30] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI-Press, 1993), hlm. 139-140.
[31] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer,... hlm. 116.
[32] Fardu(wajib) terbagi dua; fardu ain yaitu apabila tidak dikerjakan berdosa, dan fardu kifayah yaitu apabila telah dikerjakan sebagian orang maka gugurlah kewajiban atas yang lainnya.
[33] Leonard Binder, Islam Liberal Kritik Terhadap Ideologi-Ideologi Pembangunan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 205.
[34] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer,... hlm. 115.
[35] Afrizal M, Filsafat Islam di Mesir Kontemporer, hlm. 6
[36] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara,... hlm. 141.
[37] Ialah: tokoh-tokoh sahabat dan Para cendekiawan di antara mereka.
[38] Menurut mufassirin yang lain Maksudnya Ialah: kalau suatu berita tentang keamanan dan ketakutan itu disampaikan kepada Rasul dan ulil Amri, tentulah Rasul dan ulil amri yang ahli dapat menetapkan kesimpulan (istimbat) dari berita itu.
[39] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer,... hlm. 117.
[40]Ibid,... hlm. 117.
[41]Ibid,... hlm. 118.
[42]Ibid,... hlm. 121.
[43]Ibid,... hlm. 121.
[44]Ibid,... hlm. 122. 
[45]Ibid,... hlm. 122. 
[46]Ibid,... hlm. 123. 
[47]Ibid,... hlm. 123. 
[48]Ibid,... hlm. 124.

[50]Ibid,... hlm. 125.
[51]Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992), hlm. 110.
[52] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer,... hlm. 126.
[53]Ibid,... hlm. 126.
[54] Charles Kurzman,(ed.), Wacana Islam Liberal, (Jakarta: Paramanina, 2011), hlm. 3
[55] John Cooper, dkk, Pemikiran Islam dari Sayyid Ahmad Khan hingga Nasr Hamid Abu Zayd, (Jakarta: Erlangga, 2000), hlm. 147.
[56] Albert Hourani, Pemikiran Liberal Dunia Arab,...  hlm. 297.
[57] Albert Hourani, Arabic Thought in The Liberal Age (London: Oxford University Press, 1962), hlm. 184-92.
[58] Charles Kurzman,(ed.), Wacana Islam Liberal, (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2001), hlm. 3.
[59] Eric Davis, “Abd al-Raziq,’Ali” dalam John Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World (New York: Oxford University Press, 1995), Volume 1, hlm. 5 dan 7.
[60] Charles Kurzman,(ed.), Wacana Islam Liberal),... hlm 6.
[61]  Diriwayatkan oleh Aisyah [istri Nabi Saw., kira-kira 614-678] pada permulaan datangnya wahyu. Riwayat Bukhari & Muslim.
[62] Diberitahukan Anas [Ibn Malik, seorang sahabat Nabi Saw, 710-796], diriwayatkan oleh [Abu Isa Muhammad] al-Tirmizi [pengumpul hadist, wafat 892].
[63] Charles Kurzman,(ed.), Wacana Islam Liberal),... hlm 4.
[64] Perwalian para Rasul terhadap umatnya merupakan perwalian spiritual yang berasal dari keimanan, dan kepatuhan hati yang disertai amal shaleh. Di sisi lain, perwalian dari penguasa merupakan perwalian yang bersifat material. Ia bergantung kepada tubuh-tubuh yang lemah sama sekali tidak berhubungan dengan hati. Sedangkan yang terdahulu merupakan perwalian yang tertuju menuju pada Allah, dan yang berikutnya untuk mengatur persoalan-persoalan kehidupan di muka bumi. Sementara yang pertama merupakan agama, dan yang kemudian adalah dunia. Yang pertama merupakan kepemimpinan religius, dan yang kedua merupakankepemimpinan politik—dan terdapat banyak perbedaan antara agama dan politik.
[65] Jhon J. Donohue dan Jhon L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 41.
[66] Ibid.,hlm. 41-43.
[67] Ibid .,hlm. 42-43.
[68] Leonard Binder, Islam Liberal Kritik Terhadap Ideologi-Ideologi Pembangunan,... hlm. 212-213.
[69] Abdul Raziq menanggapi bahwa tidaklah benar jika ia mengingkari ijma para Sahabat yang menetapkan perlunya seorang penguasa menangani urusan umat. Namun dia juga tidak membantah tuduhan bahwa dirinya menolak ijma yang menetapkan pengangkatan seorang imam. Dia kemudian mengutip pernyataannya sendiri: “Umat yang terorganisir—apa pun keyakinan, ras, warna kulit, dan bahasa mereka—perlu memiliki pemerintahan yang menangani kepentingan mereka...... Sesungguhnya yang demikian itulah yang dimaksudkan oleh Abu Bakar sewaktu dia mengatakan dalam khotbahnya, bahwa agama (din) membutuhkan seorang pemimpin”.
[70] Leonard Binder, Islam Liberal Kritik Terhadap Ideologi-Ideologi Pembangunan,...hlm. 214
[71]Ibid,...hlm. 214.
[72] Demikian pulalah keadaan bangsa arab pada saat Nabi wafat. Mereka membentuk ikatan umum diantaranya sesama pemeluk Islam, dengan beberapa pengecualian, diantara negara-negara yang sama sekali berbeda inilah kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi. Nabi berpulang ke rahmatullah tanpa menunjuk siapapun untuk menggantikannya dan juga tidak memberikan petunjuk siapa yang bisa menggantikannya. Lihat, Jhon J. Donohue dan Jhon L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, hlm. 49.
[73]Ibid,...hlm. 40.
[74]Ibid,...hlm. 43.
[75] Ialah: berhakim kepada selain Nabi Muhammad s.a.w.
[76] Albert Hourani, Pemikiran Liberal Dunia Arab, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 302.
[77] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer,... hlm. 118.
[78] Afrizal M, Filsafat Islam di Mesir Kontemporer, hlm. 6
[79] Ayat-ayat tersebut antara lain An-Nisaa ayat 80, Al-An’an ayat 67-67, Al-Mâ’idah ayat 59 dan Yunus ayat 99.
[80] Rasul tidak bertanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatan mereka dan tidak menjamin agar mereka tidak berbuat kesalahan.
[81] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer,... hlm. 120.
[82] Ketika Nabi hijrah kemadinah, kaum muhajirin dan anshor dipersaudarakan.
[83] Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer,... hlm. 120.
[84] Jhon J. Donohue dan Jhon L. Esposito, Islam dan Pembaharuan,...hlm. 50.
[85] Leonard Binder, Islam Liberal Kritik Terhadap Ideologi-Ideologi Pembangunan,... hlm. 210.
[86] Ibid ., 195-196.
[87]Ibid,...hlm. 45.
[88] Sebahagian mufassirin mengatakan bahwa yang didustakan itu ialah Al-Quran.
[89] John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan,... hlm. 45-46.
[90] Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara,... hlm. 143.
[91]Ibid,... hlm. 144-145.
[92] Dimana umat Nabi Isa beserta Nabi Isa berada dibawah pimpinan raja.
[93] Artinya: “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian”.
[94] Memang dalam bidang teknik, murni agama tidak hendak mencampuri. Tetapi kiranya Islam juga ikut mengatur kehidupan keduniaan antarsesama Muslim dan sesama makhluk dimana terdapat aspek moral dan etika.
[95]  http://lelakiberuntung.blogspot .com

Diabolisme Salman Rushdie dan Ahok

ANTARA SALMAN RUSHDIE DAN AHOK Oleh: Dr. Adian Husaini Tahun 1988, dunia Islam digegerkan oleh seorang bernama Salman Rushdie. Kisahnya ...