PEMBAHARUAN PEMIKIRAN ALI ABD AL-RAZIQ DI MESIR DAN DUNIA
ISLAM
Debri Koeswoyo
Jurusan
Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin
Universitas
Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
E-mail:debrikoeswoyo46@gmail.com
A.
Pendahuluan
Islam dan politik, demikian dua kata
ini tidak habis-habisnya menjadi perbincangan (discourse) dalam khasanah
intelektual muslim sebagai idea Islam. Dan kenyataan sepanjang sejarah. Banyak
dari para pemikir Islam klasik (islamisist konvensional), modern dan neo
modern, yang mencoba memberikan sebuah penjelasan hubungan antara Islam dan
politik, dengan beragam cara pendekatan dan metode yang berbeda-beda.
Hubungan antara Islam dan politik merupakan objek sebuah
perdebatan luas zaman kita, baik dalam negara-negara Islam maupun di Barat. Dengan melihatnya dari dekat,
kita mendapatkan kesan bahwa perdebatan ini terjadi dalam dua ruang yang tak
terkait satu sama lain, bahkan tidak saling kenal: yang satu adalah
negara-negara “utara”, sementara yang lain adalah negara-negara yang
terpengaruh Islam. Dalam kedua lingkungan ini, proses pemikiran
berlangsung atas dasar konsep-konsep yang berbeda dan merujuk pada data yang
berbeda pula. Akibatnya, sering muncul elaborasi dan pengambilan sikap yang
secara mendasar bersimpangan, atau bahkan kesimpulan-kesimpulan yang
bertentangan secara diametral.
Pemisahan agama dan negara, menurut
Swidler misalnya hanya representasi dari pemikiran Kristen. Sementara dalam
Islam berlaku penyatuan agama dan negara. Adapun di kalangan Yahudi lebih cenderung
ambigu, meskipun pandangan Swidler ini dapat diperdebatkan, sebab seperti
dikatakan Davis, Yahudi lebih menerapkan panyatuan agama dan negara atau
politik, sebagaimana mereka menggunakan agama untuk menjustifikasi klaim atas
tanah Tepi Barat jalur Gaza sebagai hadiah Tuhan. “ hak (atas tanah) ini
diberikan kepada kami oleh Tuhan, ayah Abraham, Isaac dan Jacob”, kata
Mencachem Begin.
Di negara-negara Islam, misalnya, publikasi karya Ali Abd
al-Raziq pada tahun 1925
merupakan peristiwa besar. Sejak saat itu, guncangan terhadap karya itu tidak
dapat lagi diabaikan, dan persoalannya tidak dapat ditangani sebagaimana
sebelumnya. Pendekatan yang diambil Ali Abd al-Raziq ini sebenarnya telah
merombak asumsi dasar perdebatan. Pendekatan itu merupakan sebuah momen
menentukan yang telah amat memengaruhi perkembangan-perkembangan historis dan
analisis-analisis teoritis sepanjang beberapa dasawarsa setelah itu.
Akan tetapi, di Barat perdebatan terjadi seolah-olah ali Abd al-Raziq berikut
evolusi yang dipicu bukunya, yakni seolah-olah keseluruhan pemikiran Arab
kontemporer, tidak eksis.
Bagaimana menjelaskan dapat terjadinya pemilahan ini,
menyangkut tema yang sedemikian krusial bagi masyarakat kontemporer? Bagaimana
menjelaskan bahwa di Barat, mengenai masalah yang sedemikian penting bagi umat
Islam, sedangkan pemberitaan gencar di dalam media dan perhatian besar yang
ditimbulkan oleh tema hubungan antara Islam dan kekuasaan bukanlah hal yang
baru. Tidak berkaitan dengan peristiwa-peristiwa mutakhir, tetapi sebaliknya
asal-usulnya harus dicari sejauh tahun 1920-an. Seolah-olah sejak waktu itu
telah terjadi sebuah “kekacauan besar” (fitnah kubra) baru yang
menyangkut intelektual umat, politisi, dan rakyat bersama-sama dalam
permasalahan yang besar.
Hubungan antara Islam dan kekuasaan, sepanjang abad
ke-20, telah menjadi salah satu persoalan terbesar dalam pemikiran politik,
menjadi salah satu ilustrasi yang sangat dramatik dari persoalan umum dari hubungan antara agama dan politik.
Dimana-mana, kesan yang dominan adalah kesan adanya sebuah kemacetan. Kalangan
intelektual merasa berurusan dengan sebuah pertanyaan yang masih menggantung,
yang masih belum dipecahkan, yang tidak pernah ditangani dengan ketajaman nalar
dan kejelasan yang seperlunya.
Jika hubungan antara agama dan negara baik dalam Islam
maupun lainnya, merupakan salah satu problem yang paling kompleks yang dihadapi
pemikiran modern, maka yang merupakan resistensi Islam terhadap solusi-solusi
yang didasarkan atas koeksistensi dengan rezim-rezim modern bukan hanya
merupakan problema bagi umat Islam, melainkan juga bagi orang non-muslim,
karena kita masih dicirikan dengan globalisasi, yakni saling silang masuk
antara masyarakat, komunitas dan budaya yang berbeda.
Karya Ali Abd al-Raziq tidak diragukan lagi merupakan
keterpurukan dalam cara mengatasi persoalan. Dengan demikian, muncul pertanyaan
mendasar mengenai apa, dalam karya ini, yang telah memengaruhi perdebatan
hingga memperbaharui keseluruhan asumsi pemikirannya.
B.
Riwayat Hidup Ali Abd al-Raziq
1.
Biografi
Ali Abd al-Raziq lahir pada tahun 1888 M di wilayah
Al-Mania, Mesir. Ali Abd al-Raziq wafat pada tahun 1966 M. Ayahnya adalah
seorang pembesar (gubernur) yang terpandang dan aktivis politik terkenal. Ayahnya
juga merupakan tuan tanah di Desa Abû Jirj, Provinsi Al- Minyâ. Hasan
Abdurraziq, nama lengkap ayahnya, adalah seorang sahabat Muhammad Abduh. Ia
pernah menjadi wakil ketua Partai Rakyat (Hizb al-Ummah), tahun 1907. Saudara-saudara
Ali Abdurraziq adalah aktivis politik yang andal. Salah seorang saudaranya,
Hasan Abdurraziq Jr., mendirikan partai bernama hizb al-Ahrâr al-Dustûriyah
yang mempunyai hubungan dengan Inggris.
2.
Pendidikan
Ali Abd al-Raziq menempuh pendidikan formalnya di
Al-Azhar sejak masih berusia 10 tahun bersama kakaknya Musthafa Abdurraziq. Ia
belajar ilmu hukum kepada Syekh Abu Khatwah, yang merupakan sahabat Muhammad
Abduh dan Murid Al-Afghani. Dia juga pernah mengikuti perkuliahan di al-Jâmi’ah
al-Mishriyah dan belajar sejarah peradaban Arab pada Prof. Santillana. Seperti
saudaranya, ia juga murid Syekh Muhammad Abduh.
Setelah tamat dari Al-Azhar, ia bersama kakaknya
melanjutkan studi di Eropa. Musthafa belajar di Paris, sedangkan dia sendiri
belajar di Oxford University di Inggris. Di sana ia menekuni ilmu politik dan
ekonomi serta hukum. Namun belum sempat menamatkan pendidikannya, ia pulang ke
Mesir, karena perang dunia I meletus pada tahun 1914.
Berbeda dengan
saudaranya, Musthafa Abdurraziq, yang menjabat rektor Al-Azhar dari tahun 1945
sampai dengan 1947,
Ali Abd al-Raziq menjabat sebagai hakim
di pengadilan Syariat Al-Mansûra yang juga terletak di Al-Azhar. Dilihat dari
riwayat pendidikannya ini, dapat kita pahami bahwa Ali abd al-Raziq adalah
seorang ahli agama dan ahli politik.
3.
Latar belakang bidang sosial ekonomi
Pada bulan Maret 1924, Kemal Attaturk kepala negara Turki
mengumumkan dihapuskannya Khilafah Islamiyah dari negaranya. Gema dari
kebijakan tersebut berkumandang ke seluruh penjuru dunia Islam. Pada waktu itu
sebagian besar umat Islam dan ulama menganggap dan menyatakan Khilafah
Islamiyah wajib hukumnya dan masalah tersebut sudah final serta sudah mengakar
di kalangan umat Islam pada umumnya dan dunia Arab khususnya. Tetapi
sebaliknya, Ali Adb al-Raziq melihat realita sejarah Islam tidaklah memberikan
keharusan bentuk organisasi politiknya bernama khilafah dan pemimpinnya disebut
sebagai khalifah. Hal ini dapat dilihat dengan hilangnya peran kedaulatan
rakyat dalam proses politik dan terbentuknya sistem khilafah yang berdasarkan
keturunan sebagai refleksi hilangnya esensi ajaran Islam dari amaliah di bidang
politik.
Gagasan politik al-Raziq yang
demikian itu terlahir sebagai akibat bergolaknya revolusi politik yang telah
memisahkan kekuasaan politik keagamaan yang begitu mendominasi di dunia Islam,
terutama yang terdekat dengan lingkar kehidupannya seperti revolusi Oktober 1917,
revolusi Marxis-Leninisme, dan revolusi Turki 1925 dengan bentuk
sekularismenya, serta timbulnya nasionalisme Arab yang telah melahirkan
kerajaan. Dengan teorinya ini, ia ingin menemukan konsep politik yang Islami,
namun dibahasakan dengan perlunya pemisahan antara agama dan politik yang
keduanya tidak mungkin dapat disatukan. Menurutnya agama bersifat sakral,
sedangkan politik bersifat lebih duniawi.
4.
Karya-karya Ali Abd Al-Raziq
Karya-karya Ali Abd al-Raziq banyak
menimbulkan kontroversi bahkan menyebabkan dia dipecat dari jabatannya.
Diantara karya-karyanya tersebut adalah sebagai berikut.
a.
Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm: Ba’ts fî Al-Khilâfah wa Al-Hukûmah fî Al-Islâm (Islam dan Prinsip-prinsip Pemerintahan).
Buku ini diterbitkan di Kairo pada tahun1925.
Buku ini merupakan hasil penelitiannya tentang lembaga khalifah, yang dibukukan
pada saat ia masih menjabat sebagai hakim di Mahkamah Syariah Al-Azhar.
Buku ini berisi teori politik Islam tentang khilafah dan negara. Ali Abdul raziq
berpendapat bahwa agama Islam harus terbebas dari khilafah yang dikenal kaum
Muslim selama ini, dan juga terbebas dari apa yang mereka bangun dalam bentuk
kejayaan dan kekuatan. Khilafah bukanlah bagian dari rencana atau takdir agama
tentang urusan kenegaraan. Tapi ia semata-mata hanyalah rancangan politik murni
yang tak ada urusannya dengan agama. Agama tidak pernah mengenalnya,
menolaknya, memerintahkannya, atau pun melarangnya. Tapi ia adalah sesuatu yang
ditinggalkan kepada kita agar kita menentukannya berdasarkan kaedah rasional,
pengalaman, dan aturan-aturan politik. Begitu juga pendirian lembaga militer,
pembangunan kota, dan pengaturan administrasi negara, tak ada kaitannya dengan
agama. Semua itu diserahkan kepada akal sehat dan pengalaman manusia, untuk memutuskan
mana yang terbaik.
Keyakinan Ali
Abd al-Raziq yang tak mempercayai pendirian
negara Islam adalah, Muhammad diutus kepada bangsa Arab semata untuk
memperbaiki moralitas mereka. Tugas utama Nabi adalah menyampaikan sebuah
risalah kenabian yang mengandung pesan moral. Nah, saat Nabi membangun sebuah
komunitas Madinah, ia tak pernah menyatakan satu bentuk pemerintahan yang harus
diterapkan, bahkan ia pun tak meminta penerusnya, para khalifah, untuk membuat
satu sistem politik tertentu.
Karena itu Ali yakin, impian sebagian umat Islam untuk
membentuk dan mendirikan negara Islam adalah sesuatu yang tidak ditarik dari
sejarah Nabi. Ali juga mencatat, jika pun ada warna negara "Islami"
tak lebih hanyalah sebuah ijtihad politik para sahabat sepeninggal Nabi.
Ali melakukan studi dan meyakini
hal itu, terlebih setelah dia melihat perbedaan anutan sistem pemilihan
khalifah di antara para sahabat. "Bukankah sistem pemerintahan yang
dijalankan Abu Bakar berbeda dengan Umar, yang juga berbeda dari Utsman dan
Ali? Dan bukankah sistem khilafah model Umayyah dan Abbasiyyah tak lebih dari
ijtihad politik sebagian orang-orang dari klan itu? Khilafah, yang oleh
sebagian orang dianggap sebagai satu keharusan mutlak, ternyata merupakan
bentukan sejarah yang dimulai masa Abu Bakar dan dimatangkan oleh Bani Umayyah
dan Abbasiyyah," tulisnya.
Karyanya ini pula yang membuat dia dipecat
dari jabatannya sebagai hakim, disebabkan atas desakan para ulama Al-Azhar
karena didalam buku tersebut Ali Abd al-Raziq menentang pandangan bahwa Islam
sudah menetapkan bentuk otoritas politik khusus, atau bahwa Islam sudah
mengesahkan bentuk pemerintahan tertentu.
Bahkan dalam sidang ulama besar Al-Azhar ia
tidak lagi diakui sebagai ulama dan namanya dihapus dari daftar ulama Al-Azhar.
Berdasarkan keputusan sidang yang dihadiri oleh para anggotanya diputuskan
bahwa buku itu mengandung pendapat yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Pendapat yang tertuang dalam bukunya itu tidak mungkin keluar dari seorang
Islam, apalagi seorang ulama.
Buku yang mengandung reaksi keras ini secara
garis besarnya berisi tentang penolakan terhadap sistem khilafah.
Sedang masalah khilafah pada saat itu menjadi agenda yang akan dibahas dan
dihidupkan oleh Rasyid Ridha dan kawan-kawannya yang bersemangat mempersiapkan
muktamar akbar Islam di Kairo. Karena momennya kurang tepat, reaksi negatif
atas buku ini pun gencar dilakukan ulama. Oleh karena itu, menurut Munawir
Sjadzali, saham Rasyid Ridha cukup besar dalam kampanye yang berakhir dengan
pengutukan dan pengucilan Ali Abd al-Raziq oleh ulama Al-Azhar.
b.
Min Atsâr Musthâfâ ‘Abd Al-Râziq dan Al-Ijmâ’ fî Al-yarîah Al-Islâmiyah.
Buku ini (Min Atsâr Musthâfâ ‘Abd Al-Râziq) merupakan
hasil studi Ali Abd al-Raziq tentang kehidupan dan karya saudaranya Musthafa
Abdurraziq. Min Atsâr Musthâfâ ‘Abd Al-Râziq diterbitkan pada tahun 1957
di Kairo dan buku Al-Ijmâ’ fî
Al-yarîah Al-Islâmiyah
diterbitkan pada tahun 1947 di Kairo.
Bersama
karya Thâhâ Husain, Fî Al-Syi’r Al-Jâhilî, yang terbit pada tahun 1926,
karya Ali Abd al-Raziq (Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm) dianggap oleh ulama
dan kalangan Muslim melontarkan tantangan serius terhadap keabsahan Islam
sebagai sebuah agama. Peristiwa khusus yang mendorong studi Ali Abd ar-Raziq
ini adalah penghapusan sistem khalifah oleh pemerintah Turki yaitu Mustafa
Kemal Attaturk pada tahun 1924. .
Sebagian
ulama tradisional Mesir menyamakan al-Raziq dengan Mustafa Kemal Attaturk, bahkan menganggapnya lebih
buruk dan lebih berbahaya dari tokoh sekularisme Turki itu. Kedua tokoh ini
memang hidup sezaman dan memiliki ideologi politik
yang kurang lebih sama. Kedua tokoh Islam itu mendapat
hujatan luar biasa dari mayoritas kaum Muslim. Beruntunglah Ataturk, karena ia
seorang kepala negara, ia bisa leluasa menerapkan ideologinya di Turki.
Sementara al-Raziq mendapatkan kecaman dan hinaan dari rakyat Mesir.
Setelah perang dunia I, banyak orang Islam
merasa terancam oleh meningkatnya penetrasi kolonial Barat, seperti Inggris,
dan Perancis. Terutama setelah jatuhnya Kesultanan Utsmaniah. Dalam pandangan
kaum Muslim, keruntuhan itu menunjukkan dengan jelas betapa lemahnya politik
Islam.
C.
Pemikiran-pemikiran Ali Abd al-Raziq
Pemikiran Ali Abd
al-Raziq merupakan basis dari perubahan pergerakan pemikiran filsafat Islam yang
cenderung mengarah kepada arah pemikiran filsafat Islam yang cenderung bersifat
politik dan negara Islam. Perubahan dan pergeseran ini disebabkan beralihnya pola
pemikiran Islam dan pola kerja tokoh-tokoh filsafat Islam era-Modern sebagaimana
pemikiran tokoh-tokoh filsuf Muslim sebelumnya. Kebanyakan pola pikir sistem abad
modern ini sebenarnya dipengaruhi dan dirintis oleh para filsuf terdahulu.
1.
Pemikiran tentang Khilafah
Secara umum, karya tulis Ali Abdal-Raziq ini dibagi menjadi
dalam tiga bagian.
Dalam bagian pertama, diuraikan tentang definisi khilafah atau
lembaga khilafah beserta ciri-ciri khususnya. Kemudian dipertanyakan pula
tentang dasar anggapan mendirikan pemerintahan dengan pola khilafah itu
merupakan suatu keharusan agama. Akhirnya dikemukakan bahwa baik dari segi
agama maupun dari segi rasio, pola pemerintahan khilafah itu tidak perlu.
Menurut ali Abd al-Raziq, pengertian khilafah identik
dengan imamah, baik dari segi bahasa maupun dari segi terminologi fuqaha. Ia
berpendapat bahwa khilafah adalah suatu pola pemerintahan dimana kekuasaan
tertinggi dan mutlak pada seorang kepala negara atau pemerintahan dengan gelar khalifah,
pengganti Nabi Muhammad Saw, dengan kewenangan mengatur kehidupan dan urusan
umat-rakyat, baik keagamaan maupun keduniaan yang hukumnya wajib bagi umat
untuk patuh dan taat sepenuhnya.
Dari definisi khalifah diatas jelas bahwa Ali Abd
al-Raziq beranggapan bahwa tugas khalifah adalah melaksanakan hukum dan
peraturan syari’at. Persoalan yang timbul adalah bagaimana jika syari’at sudah
berjalan dengan baik dan keadilan merupakan kenyataan yang riil dikalangan umat
Islam?
Kebanyakan ulama menyatakan wajib (fard) mendirikan
khilafah atau lembaga khalifah bagi umat Islam, dan berdosa kalau tidak
dilaksanakan. Dalil wajibnya khilafah tersebut diambil dari ‘ijma’ sahabat dan ‘ijma
ummah. Menurut para ulama juga bahwa “ ‘ijma adalah salah satu sumber
syara’, di mana demikian wajibnya khilafah atau imamah adalah wajib syar’i ”. Terdapat
pengecualian, yaitu golongan Khawarij dan Mu’tazilah.
Mereka menyatakan bahwa tidak semestinya khilafah dilaksanakan jika syari’at
dan keadilan sudah berjalan dengan baik.
Seiring dengan pernyataan itu, Ali Abd al-Raziq juga mengatakan bahwa anggapan
mendirikan khilafah itu wajib adalah keliru, karena tidak memiliki dasar hukum
yang kuat. Bahkan hanya bersandar kepada ijma’ dan nalar analoginya. Menurut pengamatan Ali Abd al-Raziq, semua dalil yang menyatakan wajibnya mendirikan khilafah tidak
berdasarkan dalil al-Qur’an yang qath’i.
Sementara pemikir Islam, Rasyid Ridha,
mendasarkan keyakinan bahwa mendirikan khilafah itu merupakan keharusan agama,
atas Al-Qur’an Surat al-Nisaa ayat 59 dan 83:
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.”
Artinya: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita
tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amridi
antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri). Kalau
tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut
syaitan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).
Ayat-ayat ini memerintahkan umat beriman untuk mentaati Allah, mentaati
Rasul dan ulil amri diantara mereka. Sebenarnya ayat tersebut tidak ada
relevansinya dengan kewajiban mendirikan khilafah dalam Islam. Makna
hakiki ayat tersebut, menurut Ali Abd
al-Raziq adalah keharusan bagi kaum muslimin untuk memiliki sekelompok orang
yang dapat dijadikan rujukan bagi persoalan-persoalan yang mereka hadapi.
Makna inilah yang menurutnya lebih luas dan lebih umum yang dapat diperolah
dari ayat tersebut daripada memaknakan khilafah yang sama sekali tak ada
relevansinya. Oleh karena itu, ia menolak penafsiran yang dilakukan sebagian
ulama terhadap ayat tersebut diatas dengan penafsiran amir, khalifah, hakim,
panglima, dan ulama untuk kata ulil amri. Penafsiran seperti ini,
menurut Ali Abd al-Raziq, memberikan pemahaman untuk tidak keluar dari
pemahaman struktur politik masa lampau.
Demikian pula dengan hadist. Dalam hadist Nabi juga tidak terdapat ungkapan
yang mendukung mewajibkan pembentukan khilafah. Hadis-hadis Nabi yang dijadikan
rujukan oleh para ulama dalam teori imamah ini, ternyata hanya menyebut tentang
imamah, baiat, jamaah dan seterusnya. Semisal hadis-hadis yang berbunyi:
الأئمة من قري
من مات و ليس في عنقه بيعة فقد مات ميتة جاهيلية
من بايع امام فاعطاه
Hadis-hadis tersebut diatas, dalam pandangan
sebagian besar para ulama merupakan justifikasi terhadap wajibnya pembentukan
khilafah demi tegaknya syariat Islam dan keadilan yang merata di kalangan umat
Islam khususnya, dan umat manusia umumnya.
Ali Abd al-Raziq mengakui bahwa hadis-hadis
sebelumnya semuanya shahih. Ia juga mengakui bahwa istilah-istilah yang
terkandung dalam hadis-hadis sebelumnya seperti “imam”, “ulil amr” dan
sejenisnya apabila diberlakukan menurut term syara’, mempunyai arti
“para pemegang Khalifah”, dan seterusnya. Namun ternyata, katanya, tidak
ditemukan satu argumentasipun yang mendukung teori para ulama yang menyatakan
bahwa kekhilafahan itu merupakan akidah syari’ah dan salah satu dari hukum
agama.
Ali Abd
al-Raziq juga berpendapat bahwa dipakainya gelar khalifah pada Abu Bakar akan
memunculkan karisma, kekuatan dan pesona. Jadi, tidak heran jika Abu Bakar
memilih gelar itu untuk dirinya sendiri sebagai pemimpin baru, karena itu ia
harus memiliki kewibawaan dan kekuatan untuk mempertahankan kekuasaan dan
wilayahnya dari perpecahan dan pertentangan.
Dengan kekuatan dan kekuasaannya itu, Abu Bakar
memerangi orang-orang yang murtad dan enggan membayar zakat. Semua tindakannya
ini, menurut Ali, dianggap oleh sebagian umat Islam sebagai tindakan agama. Hal
ini berlaku pula bagi tiga khalifah penggantinya dan khalifah-khaliafah
sesudahnya, seperti khalifah Bani Umayyah dan Bani Abbas. Abu Ja’far al-Mansur
dari Bani Abbas, umpamanya, mengatasnamakan gerakannya untuk menjatuhkan
dinasti Bani Umayyah sebagai gerakan agama. Bahkan setelah menjadi penguasa
umat Islam, ia menyatakan dirinya sebagai “bayang-bayang Tuhan dan wakilnya di
muka bumi” (zillullah filal-ardh).
Ali Abd al-Raziq, menolak anggapan tersebut diatas.
Dalam perjalanan sejarah, ternyata sebagian besar penguasa Islam menggunakan
gelar khalifah hanya sebagai alat legitimasi untuk mempertahankan kekuasaannya.
Mereka berhasil menyebarkan konsep bahwa mematuhi khalifah berarti mematuhi
Allah dan melawan khalifah sama dengan melawan Allah. Kenyataan sejarah pulalah
yang menunjukkan bahwa banyak khalifah yang berlaku sewenang-wenang, kejam,
saling menumpahkan darah dan tidak islami. Bahkan, diantara mereka ada yang
tega membunuh saudaranya sendiri untuk menduduki jabatan “sakral” tersebut.
Untuk memperkuat argumennya terhadap penolakan
khilafah, ia mengemukakan sepenjang sejarah sistem khilafah merupakan sistem
paling buruk. Beberapa hal yang ia kemukakan untuk membuktikan keburukan
tersebut:
a.
Khalifah senantiasa menghadapi penentang-penentang (kaum separatis)
Menurut Raziq, para khalifah
sejak khalifah pertama sampai khalifah yang terakhir selalu menghadapi
penentangan-penentangan dari orang-orang yang tidak mengakuinya. Dalam sejarah
Islam yang menggunakan sistem khilafah, hampir tidak pernah sunyi dari kaum
separatis. Menurutnya, walaupun kondisi seperti itu sering terjadi pada kerajaan-kerajaan dalam setiap generasi
umat manusia, dalam kenyataannya umat Islam dengan sistem khalifah paling
banyak mengalaminya.
Kenyataan-kenyataan sejarah yang
tidak dapat diingkari kebenarannya, sejak zaman Khulafaur al-Rasyidin,
terutama masa daulat Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah, penguasa selalu
berhadapan dengan penentang-penentang dalam jumlah yang kecil dan besar, baik
yang bersuara secara terang-terangan maupun secara terselubung.
b.
Khilafah ditegakkan dengan tekanan dan paksaan
Menurut Raziq, kenyataan
menunjukkan bahwa kekhalifahan hanyalah ditegakkan atas tekanan dan paksaan.
Seorang khalifah tidak mungkin dapat menduduki jabatan ini kecuali melalui
ujung tombak, mata pedang, pasukan besar dan pengerahan kekuatan besar-besaran.Singgahsana
para khalifah dibangun atas tumpukan tengkorak manusia, dan dipertahankan
dengan menunggangi pundak mereka. Tidak ada satu kekuasaan pun yang tidak
diperoleh melalui cara ini, dan tidak ada kehormatan apapun yang bisa diperoleh
selain dengan cara mengorbankan rakyat.
c.
Para khalifah selalu berlaku sewenang-wenang
Menurut Raziq, kalau didunia ini
ada sesuatu yang demikian mendorong orang untuk berlaku sewenang-wenang, zalim
dan begitu mudah melakukan permusuhan, maka itu tidak lain adalah khalifah.
Dalam hal ini Raziq memberikan contoh:
1)
Yazid bin Muawiyah, yang menghalalkan tumpahnya darah Husain bin Fatimah
bin Rasulullah Saw, dan menyerbu kota Madinah serta memporak-perandakannya.
2)
Abdul Malik ibn Marwan yang menghancurkan Ka’bah.
3)
Abu al-Abbas Abdullah bin Muhammad bin Ali ibn Abdillah ibn al-Abbas
menjadi seorang yang haus darah.
4)
Dinasti Abasiyah yang saling membantai dan saling memberontak.
5)
Demikian pula Bani Sabaktakin.
6)
Salih Najmdin al-Ayyubi menyerbu saudaranya sendiri al-Adil Abu Bakr ibn
al-Kamil, memakzulkannya dan kemudian memenjarakan saudaranya itu.
7)
Daulat Mamalik yang tidak pernah sunyi dari suksesi dan bunuh-membunuh.
8)
Demikian pula yang terjadi pada daulat Bani Usman.
Kenyataan sejarah memang
membenarkan apa yang dikemukakan oleh Raziq. Penekanan dan pemaksaan senantiasa
melingkungi kekhalifahan, seperti khalifah-khalifah Bani Umayyah sering
mengadakan tekanan-tekanan terhadap pihak-pihak tertentu yang juga adalah kaum
muslimin. Demikian pula halnya khalifah –khalifah Abbasiyah yang berkuasa lebih
dari lima abad, sering menekan dan mengejar-ngejar keturunan Umayyah untuk
dimusnahkan dan menindas semua pihak yang dianggap membahayakan kekhalifahan.
Tekanan juga terjadi terhadap
pihak-pihak non muslimin, dalam bentuk penaklukan-penaklukan terhadap
wilayah-wilayah mereka. Tekanan-tekanan itu umumnya menggunakan kekuatan
senjata, yang pada akhirnya membawa korban yang tak terhitung jumlahnya.
Karena fakta-fakta inilah mungkin
Abd Raziq mengatakan bahwa singgahsana para khalifah dibangun atas tumpukan
tengkorak manusia, dan dipertahankan dengan menunggangi pundak mereka.
Demikian kondisi yang melingkupi
kekhalifahan. Ini dijadikan kemudian oleh Abd Raziq sebagai argumentasi untuk
menjelekkan sistem tersebut. Tentu saja khalifah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali
yang diangkat melalui musyawarah dan pemilihan yang tidak dapat dimasukkan ke
dalam kelompok khalifah yang memperoleh kedudukannya melalui tajamnya mata
pedang dan ujung tombak.
Diantara khalifah memang ada yang
berlaku sewenang-wenang dan zalim. Yazid ibn Mu’awiyah, misalnya, dikenal
sebagai orang yang zalim, tidak mengenal keadilan, sombong, boros, dan suka
minum minuman keras. Demikian pula beberapa orang khalifah lainnya, yang dalam
sejarah kekhalifahan ditandai dengan banyaknya pemberontakan-pemberontakan yang
terjadi. Semua itu, memang kebenaran sejarah, terutama pada masa
khalifah-khalifah Umayyah dan Abbasiyah.
Memang apa yang dikemukakan Raziq adalah fakta yang
tidak dapat dibantah. Tetapi Raziq lupa menjelaskan adanya khalifah yang adil,
yang memimpin dengan baik, sesuai tuntunan Al-qur’an dan Sunnah Nabi Saw.
Khalifah Abu Bakar membawa masyarakatnya ke dalam suasana yang damai dan berkeadilan. Di sisi lain,
tidak semua khalifah Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah yang jelek seperti yang
digambarkan Raziq. Walid ibn Abd. Al-Malik (Khalifah Bani Umayyah yangkelima),
memerintah tahun 86-96 H (705-715 M), termasyhur sebagai kahlifah yang pengasih
dan penyayang, yang senantiasa memerhatikan hal masyarakat, terutama rakyat
yang melarat dan terlantar. Demikian pula Umar ibn. Abd. Aziz (khalifah Umayyah
yang ketujuh), memerintah tahun 99-101 H (717-719 M), terkanal sebagai ahli
agama yang saleh, zuhud, wara’, dan adil. Ia memperbaiki hubungan antara
keluarga Umayyah dan turunan lainnya, serta berlaku toleren terhadap
pemberontaksebagaimana dilakukan
pendahulu-pendahulunya. Pada umumnya, perhatian sebesar-besarnya tertuju kepada
penyebaran agama kepada raja-raja Hindu
dan Cina ke dalam Islam.
Al-Mahdi (khalifah Abasiyah yang ketiga),
memerintah tahun 158-169 H (775-785 M), juga terkenal sebagai orang yang lemah
lembut, pemurah, dermawan serta memberikan belanja tetap bagi orang-orang yang
tidak kuat berusaha. Demikian pula Harun al-Rasyid (khalifah kelima),
memerintah tahun 173-193 H (789-809 M), adalah khalifah yang istananya dipenuhi
olah para ulama, hakim, pujangga, dan pengarang. Ia dikenal sebagai orang yang
mulia, budiman, disegani, dihormati dan dicintai serta ditaati oleh rakyat,
dari yang tinggi sampai yang rendah. Ia juga merapatkan keluarga Abasiyah
dengan keluarga Alawiyin.
Mereka-meraka inilah yang mungkin diantara para
khalifah yang kurang mendapat perhatian Raziq dalam kajiannya. Sehingga ia
menarik kesimpulan tentang kesewenang-wenangan para khalifah secara
keseluruhan. Dari kenyataan-kenyatan ini, mungkinkah mereka dikelompokkan dalam
golongan khalifah yang berlaku sewenang-wenang.
Karena itu, pendapat Raziq mendapat tantangan dari berbagai kalangan umat Islam baik
pribadi maupun lembaga. Termasuklah diantaranya Rasyid Ridha. Ia mengatakan
bahwa pendapat ini sangat berbahaya dan dapat melemahkan umat Islam. Pendapat
ini erat hubungnnya dengan kolonialisme. Serbuan politik ilmiah terhadap Islam,
menurut Ridha, jauh lebih berbahaya dan lebih keji daripada Perang Salib yang
mengatasnamakan agama.
Kritikan lain datang dari Dhiyauddin al-Rais. Ia
menulis buku sanggahannya yang berjudul Al-Islam
wa al-Khilafah fi al-‘ashr al-Hadits (Islam dan khilafah pada Masa Modern.
Ia memandang bahwa pendapat Raziq ini tidak terlepas dari latar belakang
keluarganya yang pro-Inggris. Ada kesamaan antara Raziq dan tujuan politik
Inggris yang hendak menghancurkan persatuan dan kesatuan umat Islam.
2.
Risalah Bukan Pemerintahan, Agama Bukan Negara
Dalam bagian kedua buku Ali Abd al-Raziq,
diuraikan tentang pemerintahan, dan akhirnya kesimpulan bahwa risalah kenabian
itu bukan pemerintahan dan bahwa agama itu bukan negara. Dan dalam bagian ketiga
dan terakhir diuraikan tentang khilafah atau lembaga khilafah dan pemerintahan
dalam sejarah. Dalam hal ini, Ali Abd al-Raziq berusaha membedakan
antara mana yang negara Arab dan mana yang agama serta yang mana yang politik.
Dalam rangka mencari jawaban tentang ada atau tidaknya penetapan tentang sistem
pemerintahan dalam Islam inilah, Ali Abd al-Raziq menulis buku ini (Al-Islâm
wa Ushûl al-Hukm).
Ali Abd Al-Raziq menyuguhkan perdebatan yang cukup sengit
dalam bukunya yang tipis tersebut. Sebagai seorang hakim syari’ah (Hukum Islam)
dan seorang dosen di Universitas Al-Azhar Kairo, Ali Abd al-Raziq berpendapat
bahwa Islam tidak mengkhususkan bentuk pemerintahan tertentu, karenanya Islam
membolehkan kaum Muslim untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis. Alur
pikir ini dipakai untuk mengkritisi klaim kekhalifahan Raja Mesir terhadap
akibat hancurnya kekhalifahan Utsmani tahun1924.
Namun argumen tersebut tersusun dalam term-term umum,
dengan demikian menentang pandangan holistik tentang Islam terdiri dari baik
spiritualis maupun politik. Ali Abd al-Raziq dipecat sebagai hakim dan dosen,
bahkan dikritik kaum modernis Islam, seperti Rasyid Ridha.
Diluar wilayah Mesir, bukunya telah menimbulkan perdebatan yang keras di
seluruh dunia Islam dan memunculkan perdebatan sampai kini. Bagian-bagian lain
dari buku Ali Abd al-Raziq telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dari
bahasa Perancis pada tahun 1982.
a.
Keunggulan Risalah
Ternyata risalah Nabi dikhususkan dalam
berbagai hal, yang tidak pernah dialami oleh Nabi-nabi sebelumnya karena dia
diutus dengan misi dakwah. Tuhan memilihnya untuk menyatukan umat manusia dan
tuhan menakdirkan bahwa dia mengantarkan keseluruhannya, dan dia yang
menyempurnakan dakwah agama agar kelemah lembutan ditegakkan dan menghindari
konflik dan agar semua agama dapat mencapai Tuhan. Risalah ini memberinya
pembawaan kesempurnaan yang ekstrem yang seharusnya diupayakan manusia untuk
mencapainya. Bentuk kekuasaan sosiologis yang merupakan batas akhir dari apa
yang ditakdirkan bagi Rasul-rasul terpilih dan cukuplah dukungan Tuhan yang akan
sesuai dengan dakwah agung dan umum ini.
Dan disebutkan didalam hadis: “Demi Allah.
Allah tidak akan pernah menghalang-halangimu”.
“Karena—tanpa bersikap arogan—sebagai anak cucu Adam, saya agungkan Tuhan saya”
Bagi Ali Abd al-Raziq, wahyu yang disampaikan
kepada Nabi adalah sebuah kekuasaan yang lebih besar dan lebih penting daripada
kekuasaan pemimpin duniawi, tetapi kekuasaan ini mempunyai watak yang sama
sekali berbeda. Menurut teori ini, berhadapan dengan rezim yang dikenal,
misalnya monarki, terdapat sebuah kekuasaan yang mempunyai kekuasaan yang
mempunyai sifat istimewa, yakni kekuasaan para Nabi yang tidak dapat
dibandingkan dengan rezim kemanusiaan apapun.
Untuk tujuan ini, otoritas Nabi Saw adalah
karena adanya Risalah, suatu otoritas umum; perintah-perintahnya kepada umat
Islam dipatuhi; dan pemerintahannya bersifat menyeluruh. Tidak ada orang yang
memegang pemerintahan dapat mencapai bahkan melampaui otoritas Nabi Saw., dan
memiliki bentuk kepemimpinan atau otoritas yang imaginer dibandingkan
Rasulullah Saw. Bahkan pemerintahan umat Islam setelahnya.
Jika demikian alasannya, hal itu memungkinkan
bagi otoritas seorang Rasul melampaui umatnya untuk memiliki
tingkatan-tingkatan, bahwa Nabi Muhammad juga seharusnya memiliki hak untuk
menguji otoritas tertinggi dari semua utusan-utusan Allah, memerintahkan kepatuhan
yang tertinggi, kemudian memiliki kekuatan nubuwwah dan otoritas
Risalah, serta kejujuran yang telah ditakdirkan Allah untuk ditegakkan dalam
dakwah terhadap perbuatan yang salah dan menjauhinya. Otoritas tersebut berasal
dari surga, dari Allah, yang wahyu-wahyu-Nya disampaikan oleh para malaikat.
Kekuatan suci ini dikhususkan bagi orang-orang yang beriman yang ditetapkan
Rasul-Nya, tidak berpegang dalam makna kerajaan ataupun menyerupai kekuatan
para raja, dan (otoritas) para sultan. Inilah panggilan kepemimpinan yang benar
disisi Allah dan penyampaian risalahnya bukan kepemimpinan yang bersifat
kerajaan. Ini merupakan sebuah risalah dan agama, dan merupakan pemerintahan
kenabian, bukan kesultanan.
Dengan demikian kita telah menyaksikan adanya
kesultanan-kesultanan yang agak luar biasa yang dihadapkan kepada mereka yang
hendak mengenyampingkan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, pemegang
kekuasaan politik (political sovereign) dan sekaligus pemerintahan
politik (political goverment).
Tinggal satu pendapat lagi yang harus dinilai
oleh kita. Pendapat ini mengatakan bahwa Muhammad hanyalah seorang utusan
Allah. Beliau mengabdikan dirinya semata-mata untuk menyiarkan agama dari arti
murni tanpa adanya kecenderungan apapun yang menjurus pada kekuasaan yang
bersifat sementara (temporal). Sebab beliau tidak pernah mengemukakan pendapat
atas himbauan atau perintah dengan mengatasnamakan suatu pemerintahan tertentu.
Pada dasarnya tugas kenabian (risalah)
itu sendiri menuntut Nabi untuk mendapatkan kelebihan dikalangan bangsanya.
Suatu bentuk kekuasaan terhadap rakyatnya dalam artian bukannya raja atau
mendirikan kerajaan.
Karena Nabi ini bertugas menyampaikan risalah
agama, agar orang mau mengikutinya, dia harus memiliki kesempurnaan fisik
sampai batas tertentu dan tidak boleh memiliki cacat fisik dan benar-benar
sehat. Jika tidak dia akan dijauhi orang. Nabi juga harus memiliki wibawa agar
mudah bergaul dan melakukan interaksi, maka dia harus memiliki kesempurnaan
spiritual.
b.
Reaksi dari Ulama
Ulama mulai menyadari bahwa persoalan ini
sangat mengganjal karena sudah menkjadi kotroversi politik, dan mereka tidak
dapat mendiamkan begitu saja. Namun berkat apa yang dikatakan Ali Abd al-Raziq
didalam bukunya, sebagian ulama juga mulai menyadari bahaya dibalik kepatuhan
membabi buta kepada kehendak sang raja. Oleh karena itu, kalangan yang
berkepedulian tinggi menempuh cara yang relatif hati-hati dalam mengkritisi
buku itu. Hal ini mereka maksudkan untuk menghindari munculnya reaksi yang
emosional yang dapat memperkeruh isu doktrinal itu. Penilaian dari Majelis
Ulama menitik-beratkan pada tujuh persoalan doktrinal khusus, dan mereka
menghindari kritikan yang sifatnya umum yang bisa dianggap sebagai bernuansa
politis atau filosofis.
Menurut Majelis Ulama, tujuh butir kesalahan
yang dibuat oleh Ali Abd al-Raziq adalah sebagai berikut:
a.
Menjadikan Syariat Islam hanya sebagai hukum agama yang tidak ada kaitannya
dengan pengaturan atau penatalaksanaan urusan duniawi.
b.
Berpendapat bahwa jihad Rasulullah ditujukan untuk meraih kekuasaan
setingkat raja dan bukan untuk menyiarkan agama ke seluruh dunia.
c.
Menyatakan bahwa lembaga pemerintahan dimasa Rasulullah tidak jelas, rancu,
kacau, tidak komplit, dan membingungkan (bagi mereka yang mencoba memahaminya).
d.
Berpendapat bahwa tanggungjawab (Muhammad) Rasulullah hanya menyebarluaskan
syariat tanpa menjadi penguasa atau pemerintah.
e.
Menganggap sepi Ijma’ (kesepakatan) para Sahabat Rasul yang menetapkan
bahwa umat musti menunjuk seseorang
untuk mengelola urusan keagamaan dan keduniaan, dan mengakui adanya kewajiban
untuk mengangkat seorang imam.
f.
Mengingkari bahwa quda (kehakiman) merupakan fungsi syariah.
g.
Berpendapat bahwa pemerintahan Abu Bakar dan Khulafa Rashidin merupakan
pemerintahan sekuler.
Karena butir-butir kesalahan ini, Raziq
terpaksa membela diri, dan dia berupaya meminimalisir kesan menyesatkan yang
telah ia buat. Dia tidak dituduh secara langsung menolak bahw kaum muslimin
bukanlah komunitas politik, dan dalam tanggapannya dia hanya menyatakan
kemungkinan adanya jama’ah yang membentuk negara dan mengangkat khilafah
sebagai penguasanya. Dia mengatakan apa yang dituduhkan kepadanya bukanlah yang
sesungguhnya dia katakan, ataupun jika sudah pernah dia katakan, dia juga telah
menyertakan penjelasannya.
Raziq berupaya memperlihatkan sikap yang tidak
berat sebelah, baik terhadap pendapat peran politik Rasul maupun tentang peran religius khulafa
al-Rasyidin. Namun tanggapan yang diaperoleh tidak dapat meredakan tuduhan negatif
kepada dirinya. Dia mengangkat pandangan umum
yang antara dirinya dan para ulama sama-sama sepakat, karena itu ia
kembali megatakan: “kami tidak meragukan bahwa Islam merupakan kesatuan religi;
bahwa kaum muslimin merupakan jamak tunggal, bahwa Rasulullah menyerukan
persatuan yang berhasil mewujudkan sebelum wafat dan pembawa beliau adalah
pemimpin dari kesatuan religi ini, pemimpin tunggal yang merangkap sebagai mudabbir
(administrator) dan yang ucapannya selalu dijunjung tinggi.
3.
Nabi dan Raja
Ali Abd al-Raziq melihat adanya tantangan yang sulit
dihadapi orang-orang yang sekaligus merupakan seorang Raja dan pendiri Negara
yang politis. Setelah melakukan penelitian lantas orang berkesimpulan bahwa
Nabi sekaligus Raja dan Rasul atau hanya Rasul saja, hal itu hampir tidak dapat
dicap sebagai bertentangan dengan melihat pendapat-pendapat yang berkembang
dikalangan Kaum Muslimin. Hal itu lebih banyak berkaitan dengan penelitian
ilmiah daripada dengan penelitian agama.
Sudah jelas bahwa kerasulan merupakan sesuatu yang
berbeda dengan kebesaran (royalty); sebab di dalammya tidak ada kaitan
instrinsik antara dua gagasan. Kerasulan adalah sejenis martabat, sedangkan
kebesaran adalah martabat lain lagi. Betapa banyaknya raja di dunia ini yang
bukan Nabi-nabi ataupun Rasul-rasul. Betapa banyaknya pula Nabi-nabi yang
diangkat oleh Tuhan tanpa menyandang kedudukan sebagai Raja. Kenyataannya,
banyak diantara Nabi yang dikenal adalah semata-mata Nabi.
Kedudukan sebagai Nabi menuntut untuk dimilikinya
kedudukan sosial yang jelas terhormat dikalangan bangsanya. Sebagaimana didalam
Hadist: “ Allah tidak pernah
mengangkat seorang Nabi (dikalangan mereka) yang tidak dihormati oleh rakyatnya
dan yang tidak berwibawa dikalangan keluarganya.”.
Lebih dari itu kedudukan sebagai Nabi juga menuntut untuk
dimiliki kekuasaan yang memungkinkan melihat bahwa perintah-perintahnya
dilaksanakan dan ajaran-ajarannya diikuti, sebab Allah tidak menghendaki tugas
kenabian itu mengalami kegagalan. Dia tidak mengangkat seorang Nabi sebagai
pembawa kebenaran tanpa terlebih dahulu menetapkan bahwa ajaran-ajarannya akan
berhasil, kekal dan terpadu dalam kenyataan hidup dan kehidupannya.
Sebagaimana di dalam Surat al- Nisa ayat 64 yang berbunyi:
وَرُسُلٗا قَدۡ قَصَصۡنَٰهُمۡ عَلَيۡكَ مِن قَبۡلُ
وَرُسُلٗا لَّمۡ نَقۡصُصۡهُمۡ عَلَيۡكَۚ وَكَلَّمَ ٱللَّهُ مُوسَىٰ تَكۡلِيمٗا ١٦٤
Artinya: “Dan
Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin
Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika Menganiaya dirinyadatang
kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk
mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang.”
Menurut Ali Abd al-Raziq, Nabi Muhammad Saw adalah
seorang Rasul Tuhan yang hanya membawa misi risalah saja.
Nabi Saw tidak pernah memerintah dengan mengatasnamakan suatu pemerintahan
tertentu. Nabi hanya menyampaikan dakwah agama tanpa ada kecenderungan untuk
membentuk kekuasaan politik atau pemerintahan tertentu. Risalah bukanlah
kerajaan; keduanya adalah dua hal yang berbeda dan masing-masing mempunyai
kedudukan sendiri. Ia mencontohkan Nabi Isa as., yang mengajarkan kepada
umatnya “Berikan hak Kaisar pada Kaisar dan hak Tuhan pada Tuhan.”
Nabi Muhammad memang mempuyai hukûmah, tetapi ia
bukanlah seorang mâlik (raja). Menurutnya, malik yang berkuasa pada
waktu itu umumnya kejam dan zalim terhadap rakyat. Oleh karena itu, Nabi tidak
dapat disamakan dengan penguasa politik apapun. Mengatakan Nabi sebagai malik
berarti merendahkan dan merusak citra beliau. Dengan demikian, Ali Abd al-Raziq
berkesimpulan bahwa sistem pemerintahan tidak terdapat dalam Islam. Jadi, Islam
tidak menentukan tentang pembentukan negara dan tidak menetapkan suatu corak
atau model khusus dari suatu pemerintahan. Nabi hanya bertugas sebagai pembawa
risalah, dan tugas kerasulannya ini tidak tercakup di dalam tugas pembentukan
negara.
Ali Abd a-Raziq juga menyandarkan pendapatnya pada
ayat-ayat Al-Qur’an. Ada 11 ayat Al-Qur’an yang dikutip Raziq untuk mendukung
pandangannya.
Menurutnya, ayat-ayat Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa Nabi Saw tidak
mempunyai kekuasaan politik. Firman-firman Allah tersebut saling menopang
antara satu dengan lainnya dan menyatakan bahwa tugas risalah yang dibawa Nabi
Saw tidak mencakup pendirian kekuasaan yang bersifat duniawi. Diantara ayat-ayat
yang dikutipnya adalah sebagai berikut.
مَّن يُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدۡ أَطَاعَ ٱللَّهَۖ وَمَن
تَوَلَّىٰ فَمَآ أَرۡسَلۡنَٰكَ عَلَيۡهِمۡ حَفِيظٗا ٨٠
Artinya: “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah
mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami
tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”.(QS.
an-Nisaa, 4:80)
وَلَوۡ شَآءَ رَبُّكَ لَأٓمَنَ مَن فِي ٱلۡأَرۡضِ
كُلُّهُمۡ جَمِيعًاۚ أَفَأَنتَ تُكۡرِهُ ٱلنَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُواْ مُؤۡمِنِينَ
٩٩
Artinya: “
Dan
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi
seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang
yang beriman semuanya ?”.(QS. Yunus, 10: 99)
قُلۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ قَدۡ جَآءَكُمُ ٱلۡحَقُّ
مِن رَّبِّكُمۡۖ فَمَنِ ٱهۡتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهۡتَدِي لِنَفۡسِهِۦۖ وَمَن ضَلَّ
فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيۡهَاۖ وَمَآ أَنَا۠ عَلَيۡكُم بِوَكِيلٖ ١٠٨
Artinya: “Katakanlah: "Hai manusia, Sesungguhnya teIah datang kepadamu
kebenaran (Al Quran) dari Tuhanmu, sebab itu Barangsiapa yang mendapat petunjuk
Maka Sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. dan
Barangsiapa yang sesat, Maka Sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya
sendiri. dan aku bukanlah seorang penjaga terhadap dirimu".(QS. Yunus, 10: 108)
Artinya:
“Kewajiban
Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan, dan Allah mengetahui apa yang kamu
lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan”.(QS.
al-Maidah, 5: 99)
Dari sederatan ayat-ayat yang dikemukakan diatas, Ali Abd
al-Raziq menyatakan bahwa Al-Qur’an dengan tegas menolak tugas Nabi Saw sebagai
pemelihara, pelindung, penjaga, pemaksa, dan pengatur, karena tugas-tugas
tersebut di atas adalah dan kekuasaan raja. Beliau tidak memiliki hak untuk
memaksa orang beriman. Dengan demikian, Nabi tidak mempunyai kedudukan sebagai
raja (penguasa). Merekalah yang memiliki kekuasaan tidak terbatas untuk memaksa
dan mengatur masyarakat.
Adalah suatu kenyataan sejarah, ketika Nabi berada di
Madinah, telah terbentuk suatu masyarakat Islam.
Orang-orang arab yang sebelumnya tercerai berai dan bermusuhan menjadi bersaudara
dan bersatu dalam satu kekuatan yang diikat oleh kesamaan keyakinan akidah dan
agama. Mereka menjadi bangsa yang kuat dibawah satu pimpinan yaitu Nabi Saw
sendiri. Sampai di sini, logika Ali Abd al-Raziq masih sejalan dengan pendapat umat
Islam pada umumnya. Namun kemudian Ali menyatakan bahwa kepemimpinan Nabi
terhadap bangsa Arab bukan dalam satu ikatan politik. Menurutnya, Nabi tidak
pernah ikut campur dalam persoalan politik bangsa Arab. Nabi tidak pernah
merombak sistem pemerintahan, sistem administrasi, maupun sistem peradilan yang
ada. Semua diserahkan Nabi pada masyarakatnya. Untuk menguatkan argumennya Ali
mengutip hadis, “ Antum a’lamu bi umûri dunyâakum”.
Sebagai kelanjutan dari penolakannya terhadap tugas Nabi
sebagai pemimpin politik, ia menolak lembaga khilafah. Oleh karena itu, semasa
hidupnya ia tidak mempunyai kekuasaan politik dan tidak mendirikan negara
“Islam”, maka Nabi pun tidak menunjuk siapa yang akan menggantikan kedudukannya
setelah wafat. Adalah suatu hal yang mustahil menurut Ali, jika Nabi selaku
pemerintahan Islam tidak menunjuk orang yang akan menggantikan beliau sebagia
khalifah. Tak mungkin beliau melupakan hal yang penting ini.
Dari sini
pernyataan kemudian mengarahkan secara khusus kepada masalah kekhalifahan
bukanlah Rezim Agama, bahwa lembaga ini tidak disyaratkan dalam Islam, dan
bahwa terlepas dari niat para khilafah tidaklah mungkin ada pengganti, atau
khilafah yang menggantikan kedudukan Rasulullah, karena Rasul tidak pernah
menjadi Raja dan tidak pernah berusaha mendirikan sebuah negara atau
pemerintahan, dia adalah pembawa pesan yang diutus Allah, dan dia juga bukan
pemimpin politik.
Dengan bersikukuh bahwa
Rasulullah bukanlah pemimpin politik, dan bahwa khalifah bukanlah penerus
Rasulullah, Ali Abd al-Raziq mengingkari adanya peralihan legitimas politik
dari Rasulullah kepada Khilafah. Tampaknya dia berkeyakinan bahwa komunitas
beragama yang memiliki dimensi politik. Kegigihannya dalam mempertahankan
pandapat bahwa Muhammad bukanlah pemimpin politik tentunya nyaris tidak bisa
diterima, baik dari sudut pandang histori maupun tradisional.
Yang terpenting untuk kita ketahui adalah apakah
keistimewaan Muhammad di kalangan bangsanya sebelum menjadi Nabi adalah juga
keistimewaan seorang Nabi ataukah keistimewaan seorang raja, atau dengan
perkataan lain apakah pelaksanaan dari kekuasaan suatu pemerintahan politik
ataukah pelaksanaan dari keistimewaan keagamaan, dan apakah ikatan yang
dipimpin Nabi itu merupakan suatu ikatan pemerintahan dan suatu negara, ataukah
suatu kesatuan keagamaan yang tidak bersifat politik.
Dengan jelas Al-Qur’an mengakui pendapat yang menyatakan
bahwa Nabi Muhammad tidak ada sangkut pautnya dengan kekuatan politik.
Ayat-ayat Al-Qur’an satu sama lain kuat menguatkan dalam pernyataannya itu
bahwa tugas Nabi Muhammad dari Ilahi tidak melampaui batas-batas risalah
(kerasulan) yang sama sekali tidak dikenal dalam gagasan kekuaasaan sementara
itu. Firman Allah dalam surat al-An’am ayat 66-67 yang berbunyi:
Artinya: (66)dan
kaummu mendustakannya (azab) Padahal azab itu benar adanya.
Katakanlah: "Aku ini bukanlah orang yang diserahi mengurus urusanmu". (67) untuk Setiap berita (yang dibawa
oleh rasul-rasul) ada (waktu) terjadinya dan kelak kamu akan mengetahui.”
Dengan demikian jelaslah bahwa bukan hanya Al-Qur’an yang
melarang kita untuk mempercayai bahwa Nabi Muhammad di samping mengajarkan
agama juga terlibat dalam tugas mempropagandakan pendapat untuk membentuk suatu
pemerintahan politik. Sunnah juga melarang adanya kepercayaan serupa. Itulah
alasan dan kepentingan serta hakikat dari risalah Nabi yang sejalan dengan
Al-Qur’an dan sunnah yang menentang pendapat ini.
Hampir
pada akhir bagian kedua buku Raziq, dia menyimpulkan uraiannya:
Nabi Muhammad Saw adalah semata-mata seorang
utusan Allahuntuk mendakwahkan agama murni tanpa maksud untuk mendirikan
negara. Nabi tidak mempunyai kekuasaan duniawi, negara ataupun pemerintahan.
Nabi tidak mendirikan kerajaan dalam arti politik atau sesuatu yang mirip dengan
kerajaan. Dia adalah Nabi semata seperti halnya para Nabi sebelumnya, dia bukan
raja, bukan pendiri negara dan tidak pula mengajak umat untuk mendirikan
kerajaan duniawi.
Kesimpulan diatas merupakan inti paham politik
Abd Raziq.
D.
KOMENTAR DAN PENILAIAN TERHADAP KARYA ABD RAZIQ
Munawir Sjadzali mencatat beberapa kelemahan
argumentasi Raziq:
Pertama, ia mengakui bahwa Nabi Saw melakukan berbagai tugas sebagaimana layaknya
seorang kepala negara, namun ia tidak mengakui hal ini sebagai pemerintahan,
betapapun sederhananya. Pada bagian lain ia mengatakan bahwa negara yang
dipimpin Abu Bakar Ash-Shiddiq merupakan negara baru, padahal cara pengelolaan
negara baru itu tidak banyak berbeda dengan pemerintahan Nabi Saw sebelumnya.
Di sini ada ketidak konsistenan dalam pendapat Raziq.
Kedua, Raziq menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah Nabi semata, sama halnya
dengan nabi-nabi sebelumnya. Sementara pada bagian lain ia menyatakan bahwa ada
juga nabi yang berkedudukan sebagai penguasa atau raja sekaligus. Ini juga
logika yang tidak konsisten dengan pendapat Raziq.
Ketiga, Raziq mengutip ayat-ayat Al-Qur’an untuk menyatakan bahwa Nabi tidak
berhak untuk memaksakan ajarannya. Namun menurut Islam, sekali orang yang
dengan kebebasannya sendiri telah menerima Islam secara sukarela, maka
berlakulah atasnya syariat Islam yang sebagian pelaksanaannya memerlukan power
penguasa agar berjalan efektif. Sejarah juga memperlihatkan bahwa Nabi Saw
sendiri memimpin perang untuk mempertahankan Islam dari serangan musuh.
Keempat, ia juga mengajukan dalil ucapan Nabi Isa as. Kepada umatnya. Ini tidak
dapat dijadikan alasan, karena ucapan tersebut ditujukan kepada umat Nabi Isa,
bukan umat Nabi Muhammad.
Kelima, Raziq mengemukakan hadis Antum a’lamu bi umûr dunyâkum untuk
menunjukkan keterisahan antara agama dan negara. Padahal hadis tersebut
berkenaan dengan Nasihat Nabi Saw tentang teknik pembudidayaan kurma, tetapi
ternyata pohon tersebut tidak berbuah.
Jadi hadis ini tidak relevan untuk dijadikan pendapatnya.
E.
Kesimpulan
Terlepas dari kelemahan-kelemahan argumentasi Raziq,
gagasan yang dikembangkannya tentang khilafah merupakan kajian yang sangat
menarik dan menantang. Studi historis yang dilakukannya untuk menolak lembaga
khilafah merupakan ajakan kepada umat Islam agar tidak terlalu mengistimewakan
pandangan dan pendapat masa lalu, apalagi menjadikan sebagai bagian dari ajaran
agama. Umat Islam harus bersikap terbuka dan realistis menghadapi kenyataan
yang terjadi di dunia Islam dan mencari terobosan baru yang lebih dapat
diterima untuk konteks kekinian.
Terlepas pula dari pandangan para pengkritiknya, secara substansial ada beberapa
aspek dari pemikiran Raziq yang perlu mendapat tempat untuk dielaborasi dan
direkonstruksi untuk kepentingan studi politik Islam kontemporer. Sekularisasi
memang berbahaya bagi eksistensi sebuah agama, terlebih Islam. Tetapi, sisi
sekularisasi yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa sekularisasi menjamin
sebuah kekuasaan yang tegak di atas kepentingan agama apapun, dan pada titik
inilah pemikiran Raziq menemukan relevansinya dalam konteks kehidupan politik
yang pluralistik.
Ali
Abd al-Raziq bukan tidak memiliki perasaan persatuan dan bukan seperti yang
dituduhkan sebagian orang bahwa ia ingin menerapkan gagasan sekularisme Barat
terhadap Islam. Sebagai seorang ‘alim al-Azhar yang luas pengetahuan agamanya
dan sebagai seorang intelektual yang pernah mengecap pendidikan Barat serta
berpengalaman melihat negara-negara lain selain Mesir, al-Raziq tentunya
memiliki wawasan dan pertimbangan yang matang hingga ia mengeluarkan ijtihad
kontroversial itu.
Pengetahuan
sejarahnya yang mendalam membuatnya merasa sangat yakin bahwa sistem politik
yang berlaku sepanjang sejarah Islam bukan cuma satu. Ia sangat bergantung dan
dipengaruhi oleh penguasa yang memegang pemerintahan. Apa yang disebut khilafah
oleh setiap penguasa memiliki makna dan implikasi politisnya masing-masing yang
berbeda antara satu khalifah dengan lainnya.
Perbedaan
ini hanya bisa dipahami bahwa penerapan sistem pemerintahan yang disebut
khilafah itu berasal dari ijtihad dan pendapat yang terbaik dari para pemegang
kekuasaan dalam sistem tersebut. Karenanya, sistem itu tidak bisa disebut
sebagai sistem “islami” dengan pengertian bahwa model politik dan segala
implikasinya yang diterapkan dalam kelembagaan khilafah berasal dari Islam. Bahkan
pernyataan seperti ini, menurut Abd al-Al-Raziq, bisa sangat berbahaya.
Khususnya jika sebuah khilafah berjalan tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar
Islam, seperti despotisme dan kesewenang-wenangan yang terjadi pada sebagian
pemerintahan dinasti Umayyah, Abbasiyyah, dan Utsmaniyyah.
Karenanya, pernyataan bahwa Islam tidak memiliki sistem
politik tertentu bagi kaum Muslim, dalam pandangan al-Raziq, menjadi positif,
karena hal itu berarti menyelamatkan Islam dari pengalaman-pengalaman politik
negatif yang terjadi sepanjang sejarah Islam. Pendapat itu sekaligus
menempatkan Islam sebagai agama agung yang memberikan ruang bagi manusia untuk
berkreasi bagi urusan dunia mereka. al-Raziq mengkritik sebagian ulama yang
mengagung-agungkan khalifah sebagai penguasa tunggal yang memiliki kekuasaan
mutlak, suci, dan dianggap sebagai wakil Tuhan, dan karenanya, menolak khalifah
berarti menolak kesucian dan perintah Tuhan. Padahal, perintah Islam
sesungguhnya, pemimpin haruslah dipilih dari rakyat (ummah), dibai’at oleh
rakyat dan diturunkan oleh rakyat. Tak ada seorang pun yang mengatakan bahwa pemimpin ditunjuk oleh
ayat atau hadits Nabi. Jadi, pemberian kepercayaan dan pengagung-agungan secara
berlebihan kepada khalifah seperti yang dilakukan oleh kaum Muslim masa silam
sama sekali bukanlah sikap yang berasal dari ajaran murni Islam. Tapi berasal
dari tradisi Romawi, Persia, atau dinasti-dinasti besar sebelum Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Donohue, John J. dan John L. Esposito. 1995. Islam dan Pembaharuan. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada.
Filal,i ansary. 2009. Abdou “Ali ‘Abd Al-Raziq: Kaum Muslim dan
Penafsiran-penafsiran Modern”, dalam Pembaharuan Islam: Dari Mana dan Hendak ke
Mana?. Bandung: Mizan.
Gibb, H.A.R. 1996. Aliran-Aliran Moderen dalam Islam. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Hourani, Albert. 2004. Pemikiran Liberal Dunia Arab. Bandung:
Mizan.
Iqbal, Muhammad dan Amin Husein Nasution. 2010. Pemikiran Politik Islam
dari Masa Klasik hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Kencana.
Jameelah, Maryam. 1982. Islam dan Modernisme (terj. A. Jauri dan
Syafiq A. Mughni). Surabaya: Usaha Nasional.
Kurzman, Charles (ed.). 2011.Wacana Islam Liberal. Jakarta: Paramadina.
M, Afrizal. 2014. Filsafat Islam di
Mesir Kontemporer. Jakarta: RajaGrafindo Persada
M, Afrizal. 2014. Perkembangan Filsafat
Islam di Mesir, Jurnal Miqot Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Vol. 39
No. 4
Nasution, Harun. 1975. Pembaharuan
dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Sjadzali Munawir. 1993. Islam dan Pembaharuan. Jakarta: UI-Press.
______________. 1993. Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI-Press.
Syalabi, Ahmad. 1992. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2. Jakarta:
Pustaka al-Husna.
http://lelakiberuntung.blogspot .com