AL-GHAZALI, PERANG SALIB,
DAN KEBANGKITAN ISLAM
DAN KEBANGKITAN ISLAM
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Peneliti INSISTS)
(Peneliti INSISTS)
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad
al-Ghazali yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Al-Ghazali
(450/1058-505/1111) – dalam sejarah Islam dikenal sebagai seorang pemikir
besar, teolog terkemuka, filosof, faqih, sufi, dan sebagainya. Ia menulis
begitu banyak buku yang mencakup berbagai bidang seperti aqidah, fiqih, ushul
fiqih, filsafat, kalam, dan sufisme. Satu hal yang menarik, dalam hidupnya,
al-Ghazali sempat mengalami satu peristiwa besar dalam sejarah umat Islam,
yaitu Perang Salib (Crusade). Namun, di dalam karya besarnya, Ihya‘ Ulumiddin,
ia justru tidak menulis satu bab tentang jihad. Malah, dalam kitab yang ditulis
sekitar masa Perang Salib itu, al-Ghazali menekankan pentingnya apa yang
disebut jihad al-nafs (jihad melawan hawa nafsu).
Perang Salib dimulai pada 1095.Pada 50 tahun pertama, Pasukan
Salib berhasil mendominasi peperangan.Kekuatan kaum Muslim
porak-poranda.Sebagian jantung negeri Islam, seperti Syria dan Palestina
ditaklukkan.Ratusan ribu kaum Muslim dibantai.Pasukan Salib yang memasuki
Jerusalem (1099) kemudian melakukan pembantaian besar-besaran terhadap penduduk
Kota Suci itu.Di Masjid al-Aqsha terdapat genangan darah setinggi mata kaki,
karena banyaknya kaum Muslimin yang dibantai. Fulcher of Chartress menyatakan, bahwa
darah begitu banyak tertumpah, sehingga membanjir setinggi mata kaki: “If you
had been there your feet would have been stained to the ankles in the blood of
the slain.”
Seorang tentara Salib menulis dalam Gesta Francorum,
bagaimana perlakuan tentara Salib terhadap kaum Muslim dan penduduk Jerusalem
lainnya, dengan menyatakan, bahwa belum pernah seorang menyaksikan atau
mendengar pembantaian terhadap ‘kaum pagan’ yang dibakar dalam tumpukan manusia
seperti piramid dan hanya Tuhan yang tahu berapa jumlah mereka yang dibantai:
“No one has ever seen or heard of such a slaughter of pagans, for they were
burned on pyres like pyramid, and no one save God alone knows how many there
were.” (David R. Blanks and Michael Frassetto (ed), Western Views of Islam in Medieval
and Early Modern Europe, (New York, St. Martin’s Press, 1999)).
Begitu dahsyatnya pembantaian terhadap kaum Muslim ketika
itu.Karena itulah, banyak yang kemudian mempertanyakan sikap dan posisi
al-Ghazali dalam Perang Salib dan juga konsepsinya tentang jihad, dalam makna
qital (perang) melawan musuh yang jelas-jelas sudah menduduki negeri Muslim.
Sebagai contoh, Robert Irwin, dalam artikelnya berjudul “Muslim responses to
the Crusades” (1997), menyebutkan, bahwa meskipun al-Ghazali sempat berkunjung
ke berbagai tempat suci Islam, termasuk Masjid al-Aqsha pada tahun 1096, tetapi
ia tidak pernah menyebut tentang masalah pasukan Salib dalam berbagai
tulisannya.
Tidak diragukan lagi, sebagai seorang tokoh dalam mazhab
Syafii, al-Ghazali memahami kewajiban jihad melawan kaum penjajah.Dalam
pandangan ulama mazhab Syafi’i, jihad adalah fardhu kifayah, dengan
perkecualian jika penjajah sudah memasuki wilayah kaum Muslim, maka status
jihad menjadi fard al- ‘ain. Pakar Fiqih Islam, WahbaÍ al-Zuhayliy mencatat:
“Jihad adalah fardu kifayah. Maknanya, jihad diwajibkan kepada semua orang yang
mampu dalam jihad. Tetapi, jika sebagian sudah menjalankannya, maka kewajiban
itu gugur buat yang lain. Tetapi, jika musuh sudah memasuki negeri Muslim, maka
jihad menjadi fardu ain, kewajiban untuk setiap individu Muslim.” (Wahbah
al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, (Damascus: Dar al-Fikr, 1997).
Memang, beberapa cendekiawan ada yang kemudian mengkritik
keras sikap al-Ghazali dalam soal Crusade.Dalam disertasi doktornya, Dr. Zaki
Mubarak menyalahkan kecenderungan al-Ghazali terhadap sufisme sebagai sebab
utama mengapa al-Ghazali tidak memainkan peran dalam jihad melawan pasukan
Salib.Ia menulis: “Al-Ghazali telah tenggelam dalam khalwatnya, dan didominasi
oleh wirid-wiridnya. Ia tidak memahami kewajibannya untuk menyerukan jihad.”
Dalam bukunya, Abu Hamid al-Ghazali wa al-Tashawuf, ‘Abd al-Rahman Dimashqiyyah
juga menyalahkan sufisme al-Ghazali. Dr. Yusuf al-Qaradhawi menyebut bahwa
posisi al-Ghazali dalam Perang Salib masih dipertanyakan (puzzling).Tentang
posisi al-Ghazali, Qaradhawi menulis, bahwa “hanya Allah yang tahu fakta dan
alasan Imam al-Ghazali.” (Yusuf al-Qaradhawi, Al-Imam al-Ghazali Bayn Madihihi
wa Naqidihi (Al-Mansurah: Dar al-Wafa’, 1988).
Posisi al-Ghazali
Adalah menarik, bahwa dalam karya terbesarnya, IÍya’ ‘Ulum al-Din, al-Ghazali justru menekankan pentingnya jihad al-nafs. Walaupun tidak menempatkan satu bab khusus tentang jihad dalam Ihya’, al-Ghazali menekankan pentingnya jihad bagi kaum Muslim. Ia mengutip sejumlah ayat al-Quran yang menyebu tentang kewajiban jihad bagi kaum Muslim, seperti firman Allah SWT: “Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk.” (QS al-Nisa:95).
Adalah menarik, bahwa dalam karya terbesarnya, IÍya’ ‘Ulum al-Din, al-Ghazali justru menekankan pentingnya jihad al-nafs. Walaupun tidak menempatkan satu bab khusus tentang jihad dalam Ihya’, al-Ghazali menekankan pentingnya jihad bagi kaum Muslim. Ia mengutip sejumlah ayat al-Quran yang menyebu tentang kewajiban jihad bagi kaum Muslim, seperti firman Allah SWT: “Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk.” (QS al-Nisa:95).
Dalam bab al-Amr bi al-Ma‘ruf wa an-nahyu ‘an al-Munkar
al-Ghazali menyebutkan sejumlah hadits atau atsar (perkataan sahabat Nabi)
tentang jihad. Dalam bab ini, al-Ghazali juga menekankan, bahwa aktivitas amar
ma’ruf dan nahi munkar, adalah yang menentukan hidup-matinya umat Islam. Dalam
karya-karyanya yang lain, al-Ghazali telah banyak menjelaskan makna jihad dalam
arti perang, seperti dalam al-Wajiz fi Fiqh Madzhab al-Imam as-Shafi‘iy.
Ini dapat disimpulkan bahwa sebagai pakar fiqh, al-Ghazali
sangat memahami kewajiban jihad, dan ia telah banyak menulis tentang hal ini.
Wahbah az-Zuhayliy menyebutkan, menurut ulama ash-Shafi‘iyyah, jihad adalah
perang melawan kaum kafir untuk menolong Islam. (huwa qital al-kuffar li
nushrah al-Islam. Mengutip hadith Rasulullah saw, “Jahid al-mushrikina bi
amwalikum wa anfusikum wa alsinatikum”, al-Zuhayliy menyebutkan definisi jihad:
“Jihad adalah mengerahkan segenap kemampuan untuk memerangi kaum kafir dan
berjuang melawan mereka dengan jiwa, harta, dan lisan mereka.
Posisi al-Ghazali dalam soal jihad melawan pasukan Salib
menjadi jelas jika menelaah Kitab al-Jihad yang ditulis oleh Syekh Ali b.
Thahir al-Sulami an-Nahwi (1039-1106), seorang imam bermazhab Shafi‘i dari
Damaskus. Ia adalah seorang yang aktif menggalang jihad melawan pasukan Salib
melalui pertemuan-pertemuan umum pada 1105 (498 H), enam tahun setelah
penaklukan Jerusalem oleh pasukan Salib. Adalah sangat mungkin al-Sulami
berguru kepada al-Ghazali di Masjid Ummayad, sebab Ali al-Sulami adalah imam di
Masjid tersebut dan al-Ghazali juga sempat tinggal di tempat yang sama pada
awal-awal periode Perang Salib.
Dalam Kitabnya itu, Ali al-Sulami mencatat, bahwa
satu-satunya solusi yang dapat menyelamatkan wilayah-wilayah Muslim, adalah
menyeru kaum Muslim kepada jihad.Ada dua kondisi yang harus disiapkan
sebelumnya.Pertama, “reformasi moral” untuk mengakhiri “degradasi spiritual”
kaum Muslim ketika itu.Invasi pasukan Salib harus dilihat sebagai hukuman
Allah, sebagai peringatan agar kaum Muslim bersatu. Kekalahan Muslim, menurut
al-Sulami, adalah sebagai hukuman Allah atas kealpaan menjalankan kewajiban
agama, dan di atas semua itu, adalah kealpaan menjalankan jihad. Tahap kedua,
penggalangan kekuatan Islam untuk mengakhiri kelemahan kaum Muslim yang telah
memungkinkan pasukan Salib menguasai negeri-negeri Islam.Dalam kitabnya,
al-Sulami menyebutkan dengan jelas tentang situasi saat itu dan stretagi untuk
mengalahkan pasukan Salib.
Konsep al-Sulami dalam melawan pasukan Salib berupa
“reformasi moral” dari al-Ghazali’s memainkan peran penting. Sebab, menurut
al-Sulami, melakukan jihad melawan pasukan Salib akan hampa jika tidak
didahului dengan jihad melawan hawa nafsu. Ia juga mengimbau agar
pemimpin-pemimpin Muslim memimpin jalan ini. Dengan demikian, perjuangan
melawan hawa nafsu, adalah prasyarat mutlak sebelum melakukan perang melawan
pasukan Salib.
Dalam naskah Kitab al-Jihad yang diringkas oleh Niall
Christie, al-Sulami mengutip ucapan Imam al-Syafii dan al-Ghazali tentang
jihad.Diantaranya, al-Ghazali menyatakan, bahwa jihad adalah fardu kifayah.Jika
satu kelompok yang berjuang melawan musuh sudah mencukupi, maka mereka dapat
berjuang keras melawan musuh.Tetapi, jika kelompok itu lemah dan tidak memadai
untuk menghadapi musuh dan menghapuskan kejahatannya, maka kewajiban jihad itu
dibebankan kepada negeri terdekat, seperti Syria, misalnya. Jika musuh
menyerang salah satu kota di Syria, dan penduduk di kota itu tidak mencukupi
untuk menghadapinya, maka adalah kewajiban bagi seluruh kota di Syria untuk
mengirimkan penduduknya untuk berperang melawan penjajah sampai jumlahnya
memadai. (Dikutip dari “A Translation of Extracts from the Kitab al-Jihad of
'Ali ibn Tahir Al-Sulami (d. 1106)” oleh Niall Christie. http://www.arts.cornell.edu/prh3/447/texts/Sulami.html.).
Jihad bil-ilmi
Jadi, al-Ghazali bukan tidak peduli dengan Perang Salib.Tetapi, kondisi moral dan keilmuan umat Islam yang sangat parah menyebabkan, seruan jihad tidak banyak mendapatkan sambutan.Karena itulah, para ulama seperti al-Ghazali berusaha menyembuhkan penyakit umat secara mendasar.Caranya, dengan mengajarkan keilmuan yang benar. Ilmu yang benar akan mengantarkan pemiliknya kepada keyakinan, kecintaan pada ibadah, zuhud, dan jihad. Ilmu yang rusak akan menghasilkan ilmuwan dan manusia yang rusak, yang cinta dunia dan pasti enggan berjihad di jalan Allah. Itulah mengapa Kitab Ihya’ Ulumiddin diawali pembahasannya dengan bab tentang ilmu (Kitabul Ilmi).
Langkah al-Ghazali ini perlu direnungkan dengan serius.Ketika
umat Islam mengalami krisis dalam berbagai bidang kehidupan, al-Ghazali
melakukan upaya penyembuhan secara mendasar.Sebab, sumber dari segala sumber
kebaikan dan kerusakan adalah “hati/aqal”. Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat mudghah. Jika ia baik, maka baiklah
seluruh tubuhnya. Dan jika dia rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya.Itulah
al-qalb.” (HR Muslim).
Memperbaiki hati manusia haruslah dengan ilmu dan pendidikan
yang benar.Karena itu, menyebarnya paham-paham yang merusak iman harus dihadapi
dengan serius. Abu Harits al-Hasbi al-Atsari dalam kata pengantarnya untuk buku
Ibnul Qayyim al-Jauziyah yang berjudul Al-Ilmu menjelaskan, bahwa Allah telah
menurunkan “Kitab” dan “Besi” sebagai sarana untuk tegaknya agama Allah.
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti
yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca
(Keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.Dan Kami ciptakan besi
yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia
(supaya mereka mempergukan besi) dan supaya Allah mengetahui siapa yang
menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak
dilihatnya.Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa.” (QS al-Hadid: 25).
Di masa hidupnya, al-Ghazali telah melakukan berbagai usaha
yang sungguh-sungguh untuk mengajarkan ilmu yang benar.Lebih dari itu,
al-Ghazali juga memberikan keteladanan hidup. Meskipun ia berilmu tinggi dan
mendapatkan peluang besar untuk hidup mewah dengan ilmunya, tetapi ia justru
memilih tinggal di kampungnya, di Thus. Di sanalah al-Ghazali mendirikan satu
pesantren, membina para santrinya dengan ilmu dan keteladanan hidup yang
tinggi.Dari upaya para ulama seperti al-Ghazali inilah kemudian lahir satu
generasi yang hebat, yaitu generasi Shalahuddin al-Ayyubi. Bukan hanya seorang
Shalahuddin, tetapi satu generasi Shalahuddin, yang pada 1187 berhasil memimpin
pembebasan Kota Suci Jerusalem dari cengekaraman Pasukan Salib. (***).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar