TOKOH DAN AJARAN TASAWUF ABAD I- II HJIRIAH
A.
Biografi dan Ajaran Tasawuf Hasan Al-Basri
Hassan al-Basri dilahirkan di
Madinah pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin al-Khattab pada tahun 21
Hijrah (642 Masihi). Pernah menyusu pada Ummu Salmah, isteri Rasulullah S.A.W.,
ketika ibunya keluar melaksanakan suruhan beliau. al-Hassan al-Basri pernah
berguru kepada beberapa orang sahabat Rasul SAW sehingga beliau muncul sebagai
ulama terkemuka dalam peradapan Islam. al-Hassan al-Basri meninggal di Basrah
Iraq pada 110 Hijrah (728 Masihi). Beliau pernah hidup pada zaman pemerintahan
Khalifah Abdul Malik bin Marwan.
1.
Zuhud: Penyucian Jiwa
Lahirnya gerakan asketisme (zuhud) sebagai
bentuk awal dari sufisme dalam Islam. Gerakan ini mulai muncul secara mencolok,
terutama pada zaman dinasti Ummayah di kala pemerintahan Islam mengambil bentuk
kerajaan. Penindasan politik para penguasa pada waktu itu dirasakan oleh
masyarakat terlalu oversif sehingga melahirkan bermacam aksi dan protes sosial,
politik. Salah satu reaksi terhadap ketidakadilan sosial dan degenerasi moral
pada waktu itu adalah gerakan sufi yang mencoba menangkap kedalaman dan
spiritual Islam. Bukan Islam yang sudah dikebiri menjadi sejumlah aturan hukum
dan doktrin teologi yang kering, dan juga bukan Islam yang telah berubah
menjadi sistem politik yang memberikan justifikasi bagi elitisme, nepotisme,
dan eksploitasi. Menurut Nicholas, asketisme (zuhud) merupakan bentuk tasawuf
yang paling dini. Ia member atribut pada para asketis dengan gelar "para
sufi angkatan pertama" (abad-abad pertama dan kedua Hijriah). Selanjutnya,
(sampai abad ketiga) mulai tampak perbedaan jelas antara asketisme.
Jadi, sebelum lahirnya tasawuf sebagai
disiplin ilmu, zuhud merupakan permulaan tasawuf. Setelah itu, zuhud merupakan
salah satu maqamat dari tasawuf. Kalau pada mulanya pengertian zuhud itu hanya
hidup sederhana, kemudian bergeser dan berkembang ke arah yang lebih keras dan
ekstrem. Pengertian yang ekstrem tentang zuhud datang pertama kali dari Hasan
Al-Bashri yang mengatakan, "perlakukanlah dunia ini sebagai jembatan
sekadar untuk dilalui dan sama sekali tidak membangun apa-apa di atasnya.
Menurut A.J. Arberry, Hasan Al-Bashri
mengatakan, "Beware of this world with all wariness, for it is like to
snake, smooth to the touch, but is venom is deadly. Beware of this world for
its hopes are lies, its, expectation false.
Bahkan, menurut Al-Junaid, zuhud adalah tidak
mempunyai apa-apa dan tidak memiliki siapa saja. Konsep dasar pendirian tasawuf
Hasan Al-Bashri adalah zuhud terhadap dunia, menolak kemegahannya, semata menuju kepadaAllah,
tawakal, khauf, dan raja' , semuanya tidaklah terpisah. Jangan hanya takut
kepada Allah, tetapi ikutilah ketakutan itu dengan pengharapan. Takut akan
murka-Nya, tetapi mengharap karunia-Nya.
Jadi, Hasan Al-Bashri senantiasa bersedih
hati, senantiasa takut, apabila ia tidak melaksanakan perintah Allah sepenuhnya
dan tidak menjauhi larangan sepenuhnya pula. Sedemikian takutnya, sehingga
seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu dijadikan untuk dia. Abdul Al-Hakim
Hasan meriwayatkan bahwa Hasan Al-Bashri pernah mengatakan, “Aku pernah
menjumpai suatu kaum yang lebih zuhud terhadap barang yang halal daripada yang
haram. "
Dari apa yang disampaikan, secara otomatis, ia
membagi zuhud pada dua tingkatan, yaitu zuhud terhadap barang yang haram, ini
adalah tingkatan zuhud yang elementer, sedangkan yang lebih tinggi adalah zuhud
terhadap barang-barang yang halal, suatu tingkatan zuhud yang lebih tinggi dari
zuhud sebelumnya. Hasan Al-Bashri telah mencapai tingkatan kedua, sebagaimana
diekspresikan dalam bentuk sedikit makan, tidak terikat oleh makanan dan
minuman, bahkan ia pernah mengatakan, “seandainya menemukan alat yang dapat
dipergunakan mencegah makan pasti akan dilakukan- Ia berkata, "aku Senang
makan sekali dapat kenyang selamanya, sebagaimana semen yang tahan dalam air
selama-lamanya.
Hasan Al-Basliri terkenal berpengetahuan
mendalam, terkenal pula ke zuhudan (keasketisan) dan kerendahan hatinya.
At-Tausi dalam kitabnva AI-Uma', meriwayatkan, suatu ketika dikatakan pada
Hasan Al-Bashri, "Engliau adalah orang, yang paling memahami etika. Hal
apakah yang paling bermanfaat, baik untuk masa singkat atau lama"
Jawabannya, mendalami agama. Sebab, itu arah kalbu orang-orang yang menurut ilmu, sikap asketis dalam hal
duniawi, memperdekat pada Tuhan semata, dan mengerti apa yang dianugerahkan
Allah kepadamu. Di dalamnya terkandung kesempurnaan iman."
Dari pemaparan di atas, jelaslah Hasan
Al-Bashri, berupaya untuk selalu meninggalkan dan memalingkan diri dari hal-hal
yang menghalangi untuk mengabdi kepada Tuhannya. Zuhud terhadap dunia dan
mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini sesuai dengan pemaknaan zuhud, yaitu ragaba
‘an syai’in ‘wa tarakahu artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan
meninggalkannya.
2.
Khauf: Akhlaq Sufi
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa
khauf menurut Hasan Al-Bashri adalah suatu sikap mental merasa takut kepada
Allah karena kurang sempurna pengabdiannya. Takut dan khawatir kalau-kalau
Allah tidak senang padanya. Karena adanya perasaan seperti itu beliau selalu
berusaha agar sikap dan perbuatannya tidak menyimpang dari yang dikehendaki
Allah. Khauf merupakan aspek yang tidak terpisah dari zuhud. Karena khauf
tersebut merupakan tipe kezuhudan Hasan Al-Bashri. Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya. Khauf senantiasa meliputi perasaan Hasan Al-Bashri. Apabila duduk,
ia seperti tawanan perang yang menjalani sanksi dipukul pundaknya, dan jika
disebutkan kepadanya tentang neraka, ia merasa bahwa sepertinya neraka itu
diciptakan untuknya. Perasaan al-Khauf (takut) baginya merupakan sebuah hal
(kondisi) dari beberapa ilmu. Perasaan khauf ini menjadi salah satu maqam
(tingkatan) pemberian Allah bagi seorang yang 'arif billah.
Allah SWT berfirman:
وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ
Artinya : Dan bagi orang yang takut akan saat
menghadap Tuhannya ada dua syurga ( Q.S. Ar-Rahman: 46)
Dalam hal ini, Hasan Al-Bashri mengaitkan
khauf sebagai hal-hal dalam salah satu maqam untuk mencapai
"keyakinan" (aI-Yaqin).
Allah SWT. Berfirman:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِين
Artinya:"Dan sembahlah Tuhanmu
sampai yakin (ajal) datang kepadanmu.
(Q.S. Al-hijr: 99)
Keyakinan ini harus ditempuh melalui perasaan
takut kepadaAllah SWT., yaitu dengan mengembangkan sikap mental yang dapat
merangsang seseorang melakukan hal-hal lang baik dan mendorongnya untuk
menjauhi perbuatan maksiat. Perasaan khauf timbul karena pengenalan dan
kecintaan kepada Allah sudah mendalam sehingga merasa khawatir apabila
melupakannya atau takut kepada siksa Allah.
3.
Raja' dan Optimisme
Raja' berarti suatu sikap mental optimisme
dalam memperoleh karunia dan nikmat Ilahi yang disediakan bagi hamba-hambanya
yang saleh. Setelah tertanam dalam hati, perasaan khauf harus dibarengi dengan
pengharapan (raja'). KarenaAllah Maha Pengampun, Pengasih, dan Penyayang,
seorang hamba yang taat merasa optimis akan memperoleh limpahan karunia Ilahi.
Jiwanya penuh pengharapan akan mendapat ampunan, merasa lapang dada, penuh
gairah menanti rahmat dan kasih sayang Allah, karena merasa hal itu akan
terjadi. Perasaan optimis akan memberi semangat dan gairah melakukan mujahadah
demi terwujudnya apa yang diidam-idamkan itu karena Allah adalah Yang Maha
Pengasih lagi maha Penyayang.
Hasan Al-Bashri semula aktif memberikan fatwa
dan dialog dengan penguasa (pada masa Umar bin Abdul Aziz) tentang
kebijaksanaan pemerintahan dan ikut serta mencerdaskan kehidupan umat dengan
mengajarkan hukum syariat, mengajak serta mengikuti perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya. Sasaran dakwah Hasan Al-Bashri menjangkau lapisan atas dan bawah,
kiprahnya beliau memberikan nuansa tersendiri. Pada masa Umar bin Abdul Aziz
berkuasa, ketika nilai-nilai spiritual dan moralitas sangat dijunjung tinggi,
namun setelah habis masa pemerintahan umar bin Abdul Aziz, ia acuh terhadap
penguasa, tidak mendekat pada penguasa yang zalim.
A. Biografi
dan Ajaran Tasawuf Rabiatul Al-Adawiyah.
Rabi’ah
al-Adawiyah bernama lengkap Rabi’ah bin Ismail Al- Adwiyah Al-Bashriyah Al-
Qaisiyah. Ia diperkirakan lahir pada tahun 95H/ 713 M atau 99 H/ 717 M disuatu perkampungan
dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat dikota bashrah pada tahun 185H/800M. Ia
dilahirkan sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat miskin. Bahkan
ketika Rabi’ah dilahirkan, rumah tangga orang tuanya sedang mengalami krisis
ekonomi hingga minyak untuk membeli lampu penerangan guna membantu kelahirannya
pun tidak dimiliki. Kemiskinan yang berkepanjangan itu membuat Rabi’ah akhirnya
menjadi hamba sahaya. Kehidupan hamba sahaya penuh dengan penderitaan yang
selalu datang silir berganti, kemampuan Rabi’ah untuk mengunakan alat musik dan
menyanyi dimanfaatkan oleh majiannya
Mahabbah
Rabiatul Adawiyah
Kata
mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah
berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam. Dalam mu’jam al-falsafi, jamil shabila mengatakan
Mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci. Al-Mahabbah
dapat pula berarti al-wudud, yakni yang sangat kecil atau penyayang. Selain itu
al-mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang
berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material
maupun spiritual, seperti cinta seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang
dicintanya, orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa
terhadap tanah airnya, atau seorang pekerjaan kepada pekerjaannya.mahabbah pada
tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sunguh-sunguh dari seseorang
untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang
Mutlak, yaitu cinta kepada Allah.
Kata
Mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukan pada suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Dalam
hubungan ini mahabbah objeknya lebih ditujukan pada Tuhan. Selanjutnya Harun
Nasution mengatakan bahwa mahabbah cinta dan yang dimaksud ialah cinta kepada
Allah. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan, pengertian yang diberikan kepada
mahabbah antara lain:
1. Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan
membenci sikap melawan kepada-Nya.
2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang
dikasihi.
3. Mengosongkan hati dari
segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu Tuhan.
Al-sarraj
(w.377 H) membagi mahabbah kepada tiga tingkatan yaitu:
1. Cinta biasa, yaitu selalu mengigat
Tuhan dengan zikir, senantiasa menyebut nama-nama Allah dan memperoleh
kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan.
2. Cinta orang siddiq, yaitu orang yang
kenal kepada tuhan, pada kebesara-Nya tabir yang memisahkan diri seseorang dari
Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia pada Tuhan.
3. Cinta orang ‘Arif, yaitu mengetahui
betul Tuhan, yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang
dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam ciri yang
mencintai.
Rabi’ah
al- Adawiyah dalam perkembangan mistisisme dalam islam tercacat sebagai peletak
dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Hal ini karena generasi
sebelumnya merintis aliran asketisme dalam islam berdasarkan rasa takut dan
pengharapan kepada Allah. Rabiah pula yang pertama-tama mengajukan pengertikan
rasa tulu ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah.
Sikap dan pandangan Rabi’ah Al-Adawiyah tentang cinta dapat dipahami dari
kata-katanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Al-Qusyairi
meriwayatkan bahwa ketika bermunajat, Ra bi’ah menyatakan doanya. “Tuhanku,
akankah Kau bakar kalbu yang mencintai-Mu oleh api neraka?” Tiba-tiba terdengar
suara, “Kami tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada
Kami”. Rabi’ah Al Adawiyah juga tergolong dalam kelompok sufi periode awal. Ia
memperkaya literatur Islam dengan kisah-kisah pengalaman mistiknya dalam
sajak-sajak berkualitas tinggi. Rabi’ah dipandang sebagai pelopor tasawuf
mahabbah, yaitu penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah) dan ia pun
dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of The Grand Master). Hakikat
tasawufnya adalah habbul-ilāh (mencintai Allah SWT). Ibadah yang ia lakukan
bukan terdorong oleh rasa takut akan siksa neraka atau rasa penuh harap akan
pahala atau surga, melainkan semata-mata terdorong oleh rasa rindu pada Tuhan
untuk menyelami keindahan–Nya yang azali.
Rabi’ah
adalah seorang zahidah sejati. Memeluk erat kemiskinan demi cintanya pada
Allah. Lebih memilih hidup dalam kesederhanaan. Definisi cinta menurut Rabi’ah
adalah cinta seorang hamba kepada Allah Tuhannya. Ia mengajarakan bahwa yang
pertama, cinta itu harus menutup yang lain, selain Sang Kekasih atau Yang
Dicinta, yaitu bahwa seorang sufi harus memalingkan punggungnya dari masalah
dunia serta segala daya tariknya. Sedangkan yang kedua, ia mengajarkan bahwa
cinta tersebut yang langsung ditujukan kepada Allah dimana mengesampingkan yang
lainnya, harus tidak ada pamrih sama sekali. Ia harus tidak mengharapkan
balasan apa-apa. Dengan Cinta yang demikian itu, setelah melewati tahap-tahap
sebelumnya, seorang sufi mampu meraih ma’rifat sufistik dari “hati yang telah
dipenuhi oleh rahmat-Nya”. Pengetahuan itu datang langsung sebagai pemberian
dari Allah dan dari ma’rifat inilah akan mendahului perenungan terhadap Esensi
Allah tanpa hijab. Rabi’ah merupakan orang pertama yang membawa ajaran cinta
sebagai sumber keberagamaan dalam sejarah tradisi sufi Islam. Cinta Rabi’ah
merupakan cinta yang tidak mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh adalah
perjalan mencapai ketulusan. Sesuatu yang diangap sebagai ladang subur bagi
pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendali tersebut.
Cinta
Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi.
Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam
ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama
lain tidak bisa dipisahkan. Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta
para sufi dan ma’rifat itu timbul dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang
cinta abadi dan tanpa pamrih kepada Allah. Cinta itu timbul tanpa ada maksud
dan tujuan apa pun. Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya
tak berbeda jauh dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf (takut)
dan raja’ (harapan). Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri mengabdi kepada Allah
didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan untuk masuk surga, maka
mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdi kepada Allah bukan lantaran
takut neraka maupun mengharapkan balasan surga, namun ia mencinta Allah lebih
karena Allah semata.
Cinta
Rabi’ah kepada Allah sebegitu kuat membelenggu hatinya, sehingga hatinya pun
tak mampu untuk berpaling kepada selain Allah. Pernah suatu ketika Rabi’ah
ditanya, “Apakah Rabi’ah tidak mencintai Rasul?” Ia menjawab, “Ya, aku sangat
mencintainya, tetapi cintaku kepada Pencipta membuat aku berpaling dari
mencintai makhluknya.” Rabi’ah juga ditanya tentang eksistensi syetan dan
apakah ia membencinya? Ia menjawab, “Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak
meninggalkan ruang kosong sedikit pun dalam diriku untuk rasa membenci syetan”.
Allah adalah teman sekaligus Kekasih dirinya, sehingga ke mana saja Rabi’ah
pergi, hanya Allah saja yang ada dalam hatinya. Ia mencintai Allah dengan
sesungguh hati dan keimanan. Karena itu, ia sering jadikan Kekasihnya itu
sebagai teman bercakap dalam hidup. Dalam salah satu sya’ir berikut jelas
tergambar bagaimana Cinta Rabi’ah kepada Teman dan Kekasihnya itu: “ Kujadikan
Engkau teman bercakap dalam hatiku, Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang
duduk. Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku, Isi hatiku hanya tetap Engkau
sendiri”.
Cinta
bagi Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia telah melupakan segalanya
selain Allah. Tapi bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja bukan tujuan, tetapi lebih
dari itu Cinta adalah jalan keabadian untuk menuju Tuhan sehingga Dia ridla
kepada hamba yang mencintai-Nya. Dan dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah
berupaya agar Tuhan ridla kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang
lebih jauh dari Cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan
dirinya, dan kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan-Nya di dunia dan
juga di akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan jalan Cinta itu dirinya berharap
Tuhan memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya. Dalam sya’irnya Rabi’ah
mengatakan :
Aku
mencintai-Mu dengan dua macam Cinta,
Cinta
rindu dan Cinta karena Engkau layak dicinta,
Dengan
Cinta rindu,
kusibukan
diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu,
Dan
bukan selain-Mu.
Sedangkan
Cinta karena Engkau layak dicinta,
di
sanalah Kau menyingkap hijab-Mu,
agar
aku dapat memandangmu.
Namun,
tak ada pujian dalam ini atau itu,
segala
pujian hanya untuk-Mu dalam ini atau itu.
B.
Biografi dan Ajaran Tasawuf Ibnu al- Mubarrak (118–181 H)
Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Al-Mubarak bin
Wadhih, Abu Abdurrahman Al-Handzali. Namun, beliau lebih dikenal dengan namanya
“Ibnul Mubarak”. Ayahnya berasal dari Turki dan ibunya dari Khawarizmi. Beliau
dilahirkan pada tahun 118 H. Gelar beliau sangat banyak, di antaranya: Al-Hafizh,
Syekh Al-Islam, Fakhr Al-Mujahidin, pemimpin para ahli zuhud, dan
masih banyak gelar lainnya. Beliau habiskan usianya untuk melakukan safar dalam
rangka berhaji, berjihad, dan berdagang. Karena itu, beliau dikenal dengan “As-Saffar”
(orang yang rajin melakukan perjalanan).
Beliau sering melakukan perjalanan dan petualangan dalam
mencari hadis, sehingga beliau memiliki guru yang sangat banyak. Di antara guru
beliau adalah Sulaiman At-Taimi, `Ashim Al-Ahwal, Humaid Ath-Thawil, Rabi` bin
Anas, Hisyam bin `Urwah, Al-Jariri, Ismail bin Abi Khalid, Khalid Al-Hadza`,
Barid bin Abdillah, dan masih banyak deretan ulama lainnya. Bahkan, beliau juga
menulis hadis dari orang yang lebih muda atau lebih rendah tingkatan ilmunya dibanding
beliau.
Murid
beliau juga sangat banyak; tersebar di berbagai negeri yang tak terhitung
jumlah mereka, karena dalam setiap Ibnul Mubarak bersafar, banyak orang yang
menimba ilmu dari beliau. Di antara murid senior beliau adalah Abdurrahman bin
Mahdi, Yahya bin Ma`in, Hibban bin Musa, Abu Bakr bin Abi Syaibah, Utsman bin
Abi Syaibah, Ahmad bin Mani`, Ahmad bin Jamil, Al-Husain Al-Maruzi, Hasan bin
`Arafah, dan masih banyak ulama besar lainnya.
Ajaran
Tasawufnya yaitu :
Banyak
ulama menyebut Ibnu Mubarak sebagai imamnya ahli zuhud. Gelar itu memang sangat
layak, ia bukan saja mengetahui hakikat zuhud, akan tetapi menerapkannya dalam
segenap jiwa dan raganya. Terkadang orang salah memahami makna zuhud, bahwa
zuhud adalah meninggalkan dunia, hidup dalam kemiskinan, mengasingkan diri dari
kehidupan sosial, lalu menggantungkan hidupnya pada belas-kasih para dermawan.
Inilah zuhud yang salah.
Ibnu Mubarak adalah seorang
zahid yang hartawan. Kecerdasannya dalam berbisnis berasal dari ayahnya dan
gurunya Imam Abu Hanifah, yang juga seorang pebisnis sukses. Ibnu Mubarak
memiliki harta yang banyak dan bisnis yang beragam. Ibnu Katsir dalam al
Bidayah wa an Nihayah, menyebutkan bahwa Ibnu Mubarak memiliki modal sekitar
400 ribu Dinar. Jumlah yang sangat banyak pada waktu itu. Modal itu ia
kembangkan untuk berbisnis di beberapa negeri yang ia kunjungi. Dari keuntungan
bisnisnya yang berkisar sekitar 100 ribu Dinar itu ia infaq-kan semuanya di
jalan Allah.
C.
Biografi dan Ajaran Tasawuf Ibrahim bin Adham
Nama lengkapnya Ibrahim Adham Bin Mansur bin Yazid
Al-Balakhi, biasa di panggil Abu Ishak dilahirkan dikota Balakh. Bapaknya
keturunan raja Khurasan dan berasal dari keluarga kaya, namun dia kesampingkan
harta dan bergelut mencari ilmu. Pergi ke Baghdad, Irak, Syam dan Hijaz untuk
menimba ilmu dari para ulama, dan setiap kali berguru kepada Sufyan Tsauri dia
meminta ijazah agar tidak lupa. Pencriannya di topang dari hasil buruan dan
memelihara kebun. Kemudian terpanggil untuk jihad berperang melawan penjajah
romawi. Kata-katanya: “Zuhud yang wajib adalah dari perkara haram dan subhat,
sedangkan zuhud yang utama adalah dari perkara yang halal”.
Ibrahim bin Adham adalah Raja Balkh dan memiliki daerah
kekuasaannya yang sangat luas. Kemanapun ia pergi, empat puluh buah pedang emas
dan empat puluh buat tongkat kebesaran emas diusing didepan dan dibelakangnya.
Gerakan
danAjaran-ajaranya
Ibrahim bin adham beriman setelah mendengar bisikan Tuhan
ketika sedang berburu di hutan. Semenjak itu, ia hidup dalam kemiskinan dan
aksetisme (zuhud) hidup dari hasil kedua tangannya. Dia adalah seorang guru
sufi yang ajarnnya terutama berkisar tentang asketisme, mistisisme, dan dia
lebih menyuntukan diri terutama dengan kontrol diri (muraqabah) dan gnosis
(ma’rifat). Ajaran Ibrahim bin Adham dapat dilihat dari ujaran-ujarannya.
TOKOH
TASAWUF ABAD III-IV HIJRIAH
1. Ma’ruf al-Karkhi
Namanya adalah Abu Mahfuz Ma’ruf bin
Firuz al-Karkhi. Ia berasal dari Persia, namun hidupnya lebih lama di Bagdad,
yaitu pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid. Ia meninggal di kota ini juga
pada tahun 200H/815M.
Ma’ruf dikenal sebagai sufi yang
selalu diliputi rasa rindu kepada Allah sehinnga ia digolongkan kedalam
kelompok auliya’. Dia dipandang sangat berjasa dalam meletakkan
dasar-dasar tasawuf. Dan dia adalah orang pertama yang mengembangkan tasawufnya
dari paham cinta yang dibawa oleh Rabi’ah al-Adawiyah.
Diantara ajaran tasawufnya,
al-Karkhi pernah berkata :”Seseorang sufi adalah tamu Tuhan di dunia ini, dan
oleh karena itu ia berhak mendapat sesuatu yang diberikan kepada tamu, ia
berhak dilayani sebagai tamu, tetapi tidak sekali-kali berhak mengemukakan
kehendak keinginannya.
2.Syaqiq
Al Balkhi
Namanya Abu Ali Syaqiq bin Ibrahim
Al-balkhi, wafat pada tahun 149 H / 810 msehi dan termasuk guru besar sufi
khurasan. Beliau adalah guru Hatim Al-Asham. Abu Ali Syaqiq bin Ibrahim al
Azdi dari Balkh, adalah seorang ilmuwan yang memulai karirnya sebagai
seorang saudagar tetapi di kemudian hari memilih jalan kesufian. Pada tahun 194 H / 810 M, ia
menunaikan Haji ke Makkah dan mati syahid di dalam perang suci.
Kehidupan Syaqiq al Balkh
Syaqiq al Balkh adalah seorang ahli
dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan dan banyak buku yang telah ditulisnya.
Ketika ia belajar jalan kesufian dari Ibrahim bin Adham, dalam waktu
bersamaan ia juga mengajar Hatim si orang tuli. Syaqiq mengakui bahwa ia
telah belajar dari 1.700 orang guru dan memiliki buku sebanyak beberapa
pemikulan unta.
3. Abu Sulaiman al-Darani
Nama lengkapnya ialah Abu Sulaiman
Abdurrahman bin Uthbah al-Darani. Dia lahir di Daran, sebuah kampong di kawasan
Damaskus, dan meninggal pada tahun 215H/830H. Dia adalah murid Ma’ruf dan
merupakan tokoh sufi terkemuka.
Dalam sejarah, al-Darami dikenal sebagai
salah seorang sufi yang banyak membahas tentang ma’rifah dan hakikah.
Hakikah menurut Abu Sulaiman al-Darani, berkaitan erat dengan syariah.
Hal ini ditegaskan dalam upayanya :”Selama beberapa waktu aku tertimpa
persoalan ini (para sufi), sementara aku tidak bias menerimanya (menerima
dengan yakin), kecuali disertai dua saksi yang adil:al-Qur’an dan al-Sunnah.