Senin, 23 November 2015

Tokoh Tasawuf Abad I- IV HIJRIAH



TOKOH DAN AJARAN TASAWUF ABAD I- II HJIRIAH
A.     Biografi dan Ajaran Tasawuf Hasan Al-Basri
Hassan al-Basri dilahirkan di Madinah pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin al-Khattab pada tahun 21 Hijrah (642 Masihi). Pernah menyusu pada Ummu Salmah, isteri Rasulullah S.A.W., ketika ibunya keluar melaksanakan suruhan beliau. al-Hassan al-Basri pernah berguru kepada beberapa orang sahabat Rasul SAW sehingga beliau muncul sebagai ulama terkemuka dalam peradapan Islam. al-Hassan al-Basri meninggal di Basrah Iraq pada 110 Hijrah (728 Masihi). Beliau pernah hidup pada zaman pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan.

1.       Zuhud: Penyucian Jiwa
Lahirnya gerakan asketisme (zuhud) sebagai bentuk awal dari sufisme dalam Islam. Gerakan ini mulai muncul secara mencolok, terutama pada zaman dinasti Ummayah di kala pemerintahan Islam mengambil bentuk kerajaan. Penindasan politik para penguasa pada waktu itu dirasakan oleh masyarakat terlalu oversif sehingga melahirkan bermacam aksi dan protes sosial, politik. Salah satu reaksi terhadap ketidakadilan sosial dan degenerasi moral pada waktu itu adalah gerakan sufi yang mencoba menangkap kedalaman dan spiritual Islam. Bukan Islam yang sudah dikebiri menjadi sejumlah aturan hukum dan doktrin teologi yang kering, dan juga bukan Islam yang telah berubah menjadi sistem politik yang memberikan justifikasi bagi elitisme, nepotisme, dan eksploitasi. Menurut Nicholas, asketisme (zuhud) merupakan bentuk tasawuf yang paling dini. Ia member atribut pada para asketis dengan gelar "para sufi angkatan pertama" (abad-abad pertama dan kedua Hijriah). Selanjutnya, (sampai abad ketiga) mulai tampak perbedaan jelas antara asketisme.
Jadi, sebelum lahirnya tasawuf sebagai disiplin ilmu, zuhud merupakan permulaan tasawuf. Setelah itu, zuhud merupakan salah satu maqamat dari tasawuf. Kalau pada mulanya pengertian zuhud itu hanya hidup sederhana, kemudian bergeser dan berkembang ke arah yang lebih keras dan ekstrem. Pengertian yang ekstrem tentang zuhud datang pertama kali dari Hasan Al-Bashri yang mengatakan, "perlakukanlah dunia ini sebagai jembatan sekadar untuk dilalui dan sama sekali tidak membangun apa-apa di atasnya.
Menurut A.J. Arberry, Hasan Al-Bashri mengatakan, "Beware of this world with all wariness, for it is like to snake, smooth to the touch, but is venom is deadly. Beware of this world for its hopes are lies, its, expectation false.
Bahkan, menurut Al-Junaid, zuhud adalah tidak mempunyai apa-apa dan tidak memiliki siapa saja. Konsep dasar pendirian tasawuf Hasan Al-Bashri adalah zuhud terhadap dunia, menolak  kemegahannya, semata menuju kepadaAllah, tawakal, khauf, dan raja' , semuanya tidaklah terpisah. Jangan hanya takut kepada Allah, tetapi ikutilah ketakutan itu dengan pengharapan. Takut akan murka-Nya, tetapi mengharap karunia-Nya.
Jadi, Hasan Al-Bashri senantiasa bersedih hati, senantiasa takut, apabila ia tidak melaksanakan perintah Allah sepenuhnya dan tidak menjauhi larangan sepenuhnya pula. Sedemikian takutnya, sehingga seakan-akan ia merasa bahwa neraka itu dijadikan untuk dia. Abdul Al-Hakim Hasan meriwayatkan bahwa Hasan Al-Bashri pernah mengatakan, “Aku pernah menjumpai suatu kaum yang lebih zuhud terhadap barang yang halal daripada yang haram. "
Dari apa yang disampaikan, secara otomatis, ia membagi zuhud pada dua tingkatan, yaitu zuhud terhadap barang yang haram, ini adalah tingkatan zuhud yang elementer, sedangkan yang lebih tinggi adalah zuhud terhadap barang-barang yang halal, suatu tingkatan zuhud yang lebih tinggi dari zuhud sebelumnya. Hasan Al-Bashri telah mencapai tingkatan kedua, sebagaimana diekspresikan dalam bentuk sedikit makan, tidak terikat oleh makanan dan minuman, bahkan ia pernah mengatakan, “seandainya menemukan alat yang dapat dipergunakan mencegah makan pasti akan dilakukan- Ia berkata, "aku Senang makan sekali dapat kenyang selamanya, sebagaimana semen yang tahan dalam air selama-lamanya.
Hasan Al-Basliri terkenal berpengetahuan mendalam, terkenal pula ke zuhudan (keasketisan) dan kerendahan hatinya. At-Tausi dalam kitabnva AI-Uma', meriwayatkan, suatu ketika dikatakan pada Hasan Al-Bashri, "Engliau adalah orang, yang paling memahami etika. Hal apakah yang paling bermanfaat, baik untuk masa singkat atau lama" Jawabannya, mendalami agama. Sebab, itu arah kalbu orang-orang yang  menurut ilmu, sikap asketis dalam hal duniawi, memperdekat pada Tuhan semata, dan mengerti apa yang dianugerahkan Allah kepadamu. Di dalamnya terkandung kesempurnaan iman."
Dari pemaparan di atas, jelaslah Hasan Al-Bashri, berupaya untuk selalu meninggalkan dan memalingkan diri dari hal-hal yang menghalangi untuk mengabdi kepada Tuhannya. Zuhud terhadap dunia dan mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini sesuai dengan pemaknaan zuhud, yaitu ragaba ‘an syai’in ‘wa tarakahu artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya.
2.       Khauf: Akhlaq Sufi
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa khauf menurut Hasan Al-Bashri adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya. Takut dan khawatir kalau-kalau Allah tidak senang padanya. Karena adanya perasaan seperti itu beliau selalu berusaha agar sikap dan perbuatannya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah. Khauf merupakan aspek yang tidak terpisah dari zuhud. Karena khauf tersebut merupakan tipe kezuhudan Hasan Al-Bashri. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Khauf senantiasa meliputi perasaan Hasan Al-Bashri. Apabila duduk, ia seperti tawanan perang yang menjalani sanksi dipukul pundaknya, dan jika disebutkan kepadanya tentang neraka, ia merasa bahwa sepertinya neraka itu diciptakan untuknya. Perasaan al-Khauf (takut) baginya merupakan sebuah hal (kondisi) dari beberapa ilmu. Perasaan khauf ini menjadi salah satu maqam (tingkatan) pemberian Allah bagi seorang yang 'arif billah.

Allah SWT berfirman:
وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ
Artinya : Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua syurga ( Q.S. Ar-Rahman: 46)

Dalam hal ini, Hasan Al-Bashri mengaitkan khauf sebagai hal-hal dalam salah satu maqam untuk mencapai "keyakinan" (aI-Yaqin).

Allah SWT. Berfirman:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِين
Artinya:"Dan sembahlah Tuhanmu sampai yakin (ajal) datang kepadanmu.
(Q.S. Al-hijr: 99)

Keyakinan ini harus ditempuh melalui perasaan takut kepadaAllah SWT., yaitu dengan mengembangkan sikap mental yang dapat merangsang seseorang melakukan hal-hal lang baik dan mendorongnya untuk menjauhi perbuatan maksiat. Perasaan khauf timbul karena pengenalan dan kecintaan kepada Allah sudah mendalam sehingga merasa khawatir apabila melupakannya atau takut kepada siksa Allah.
3.       Raja' dan Optimisme
Raja' berarti suatu sikap mental optimisme dalam memperoleh karunia dan nikmat Ilahi yang disediakan bagi hamba-hambanya yang saleh. Setelah tertanam dalam hati, perasaan khauf harus dibarengi dengan pengharapan (raja'). KarenaAllah Maha Pengampun, Pengasih, dan Penyayang, seorang hamba yang taat merasa optimis akan memperoleh limpahan karunia Ilahi. Jiwanya penuh pengharapan akan mendapat ampunan, merasa lapang dada, penuh gairah menanti rahmat dan kasih sayang Allah, karena merasa hal itu akan terjadi. Perasaan optimis akan memberi semangat dan gairah melakukan mujahadah demi terwujudnya apa yang diidam-idamkan itu karena Allah adalah Yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang.
Hasan Al-Bashri semula aktif memberikan fatwa dan dialog dengan penguasa (pada masa Umar bin Abdul Aziz) tentang kebijaksanaan pemerintahan dan ikut serta mencerdaskan kehidupan umat dengan mengajarkan hukum syariat, mengajak serta mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Sasaran dakwah Hasan Al-Bashri menjangkau lapisan atas dan bawah, kiprahnya beliau memberikan nuansa tersendiri. Pada masa Umar bin Abdul Aziz berkuasa, ketika nilai-nilai spiritual dan moralitas sangat dijunjung tinggi, namun setelah habis masa pemerintahan umar bin Abdul Aziz, ia acuh terhadap penguasa, tidak mendekat pada penguasa yang zalim.
A.     Biografi dan Ajaran Tasawuf Rabiatul Al-Adawiyah.

Rabi’ah al-Adawiyah bernama lengkap Rabi’ah bin Ismail Al- Adwiyah Al-Bashriyah Al- Qaisiyah. Ia diperkirakan lahir pada tahun 95H/ 713 M atau 99 H/ 717 M disuatu perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat dikota bashrah pada tahun 185H/800M. Ia dilahirkan sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat miskin. Bahkan ketika Rabi’ah dilahirkan, rumah tangga orang tuanya sedang mengalami krisis ekonomi hingga minyak untuk membeli lampu penerangan guna membantu kelahirannya pun tidak dimiliki. Kemiskinan yang berkepanjangan itu membuat Rabi’ah akhirnya menjadi hamba sahaya. Kehidupan hamba sahaya penuh dengan penderitaan yang selalu datang silir berganti, kemampuan Rabi’ah untuk mengunakan alat musik dan menyanyi dimanfaatkan oleh majiannya

Mahabbah Rabiatul Adawiyah
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan  atau cinta yang mendalam. Dalam  mu’jam al-falsafi, jamil shabila mengatakan Mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci. Al-Mahabbah dapat pula berarti al-wudud, yakni yang sangat kecil atau penyayang. Selain itu al-mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cinta seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintanya, orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang pekerjaan kepada pekerjaannya.mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sunguh-sunguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang Mutlak, yaitu cinta kepada Allah.
Kata Mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukan pada  suatu paham atau aliran dalam tasawuf. Dalam hubungan ini mahabbah objeknya lebih ditujukan pada Tuhan. Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa mahabbah cinta dan yang dimaksud ialah cinta kepada Allah. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan, pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain:
1.          Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
2.          Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3.          Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu Tuhan.

Al-sarraj (w.377 H) membagi mahabbah kepada tiga tingkatan yaitu:
1.         Cinta biasa, yaitu selalu mengigat Tuhan dengan zikir, senantiasa menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan.
2.         Cinta orang siddiq, yaitu orang yang kenal kepada tuhan, pada kebesara-Nya tabir yang memisahkan diri seseorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia pada Tuhan.
3.         Cinta orang ‘Arif, yaitu mengetahui betul Tuhan, yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam ciri yang mencintai.

Rabi’ah al- Adawiyah dalam perkembangan mistisisme dalam islam tercacat sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Hal ini karena generasi sebelumnya merintis aliran asketisme dalam islam berdasarkan rasa takut dan pengharapan kepada Allah. Rabiah pula yang pertama-tama mengajukan pengertikan rasa tulu ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah. Sikap dan pandangan Rabi’ah Al-Adawiyah tentang cinta dapat dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Al-Qusyairi meriwayatkan bahwa ketika bermunajat, Ra bi’ah menyatakan doanya. “Tuhanku, akankah Kau bakar kalbu yang mencintai-Mu oleh api neraka?” Tiba-tiba terdengar suara, “Kami tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada Kami”. Rabi’ah Al Adawiyah juga tergolong dalam kelompok sufi periode awal. Ia memperkaya literatur Islam dengan kisah-kisah pengalaman mistiknya dalam sajak-sajak berkualitas tinggi. Rabi’ah dipandang sebagai pelopor tasawuf mahabbah, yaitu penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah) dan ia pun dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of The Grand Master). Hakikat tasawufnya adalah habbul-ilāh (mencintai Allah SWT). Ibadah yang ia lakukan bukan terdorong oleh rasa takut akan siksa neraka atau rasa penuh harap akan pahala atau surga, melainkan semata-mata terdorong oleh rasa rindu pada Tuhan untuk menyelami keindahan–Nya yang azali.
Rabi’ah adalah seorang zahidah sejati. Memeluk erat kemiskinan demi cintanya pada Allah. Lebih memilih hidup dalam kesederhanaan. Definisi cinta menurut Rabi’ah adalah cinta seorang hamba kepada Allah Tuhannya. Ia mengajarakan bahwa yang pertama, cinta itu harus menutup yang lain, selain Sang Kekasih atau Yang Dicinta, yaitu bahwa seorang sufi harus memalingkan punggungnya dari masalah dunia serta segala daya tariknya. Sedangkan yang kedua, ia mengajarkan bahwa cinta tersebut yang langsung ditujukan kepada Allah dimana mengesampingkan yang lainnya, harus tidak ada pamrih sama sekali. Ia harus tidak mengharapkan balasan apa-apa. Dengan Cinta yang demikian itu, setelah melewati tahap-tahap sebelumnya, seorang sufi mampu meraih ma’rifat sufistik dari “hati yang telah dipenuhi oleh rahmat-Nya”. Pengetahuan itu datang langsung sebagai pemberian dari Allah dan dari ma’rifat inilah akan mendahului perenungan terhadap Esensi Allah tanpa hijab. Rabi’ah merupakan orang pertama yang membawa ajaran cinta sebagai sumber keberagamaan dalam sejarah tradisi sufi Islam. Cinta Rabi’ah merupakan cinta yang tidak mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh adalah perjalan mencapai ketulusan. Sesuatu yang diangap sebagai ladang subur bagi pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendali tersebut.
Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi. Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itu timbul dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan tanpa pamrih kepada Allah. Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan apa pun. Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya tak berbeda jauh dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf (takut) dan raja’ (harapan). Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri mengabdi kepada Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan untuk masuk surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdi kepada Allah bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan surga, namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata.
Cinta Rabi’ah kepada Allah sebegitu kuat membelenggu hatinya, sehingga hatinya pun tak mampu untuk berpaling kepada selain Allah. Pernah suatu ketika Rabi’ah ditanya, “Apakah Rabi’ah tidak mencintai Rasul?” Ia menjawab, “Ya, aku sangat mencintainya, tetapi cintaku kepada Pencipta membuat aku berpaling dari mencintai makhluknya.” Rabi’ah juga ditanya tentang eksistensi syetan dan apakah ia membencinya? Ia menjawab, “Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong sedikit pun dalam diriku untuk rasa membenci syetan”. Allah adalah teman sekaligus Kekasih dirinya, sehingga ke mana saja Rabi’ah pergi, hanya Allah saja yang ada dalam hatinya. Ia mencintai Allah dengan sesungguh hati dan keimanan. Karena itu, ia sering jadikan Kekasihnya itu sebagai teman bercakap dalam hidup. Dalam salah satu sya’ir berikut jelas tergambar bagaimana Cinta Rabi’ah kepada Teman dan Kekasihnya itu: “ Kujadikan Engkau teman bercakap dalam hatiku, Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk. Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku, Isi hatiku hanya tetap Engkau sendiri”.
Cinta bagi Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia telah melupakan segalanya selain Allah. Tapi bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja bukan tujuan, tetapi lebih dari itu Cinta adalah jalan keabadian untuk menuju Tuhan sehingga Dia ridla kepada hamba yang mencintai-Nya. Dan dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridla kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh dari Cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan-Nya di dunia dan juga di akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan jalan Cinta itu dirinya berharap Tuhan memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya. Dalam sya’irnya Rabi’ah mengatakan :
Aku mencintai-Mu dengan dua macam Cinta,
Cinta rindu dan Cinta karena Engkau layak dicinta,
Dengan Cinta rindu,
kusibukan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu,
Dan bukan selain-Mu.
Sedangkan Cinta karena Engkau layak dicinta,
di sanalah Kau menyingkap hijab-Mu,
agar aku dapat memandangmu.
Namun, tak ada pujian dalam ini atau itu,
segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini atau itu.

B.     Biografi dan Ajaran Tasawuf Ibnu al- Mubarrak (118–181 H)
Nama lengkap beliau adalah Abdullah bin Al-Mubarak bin Wadhih, Abu Abdurrahman Al-Handzali. Namun, beliau lebih dikenal dengan namanya “Ibnul Mubarak”. Ayahnya berasal dari Turki dan ibunya dari Khawarizmi. Beliau dilahirkan pada tahun 118 H. Gelar beliau sangat banyak, di antaranya: Al-Hafizh, Syekh Al-Islam, Fakhr Al-Mujahidin, pemimpin para ahli zuhud, dan masih banyak gelar lainnya. Beliau habiskan usianya untuk melakukan safar dalam rangka berhaji, berjihad, dan berdagang. Karena itu, beliau dikenal dengan “As-Saffar” (orang yang rajin melakukan perjalanan).
Beliau sering melakukan perjalanan dan petualangan dalam mencari hadis, sehingga beliau memiliki guru yang sangat banyak. Di antara guru beliau adalah Sulaiman At-Taimi, `Ashim Al-Ahwal, Humaid Ath-Thawil, Rabi` bin Anas, Hisyam bin `Urwah, Al-Jariri, Ismail bin Abi Khalid, Khalid Al-Hadza`, Barid bin Abdillah, dan masih banyak deretan ulama lainnya. Bahkan, beliau juga menulis hadis dari orang yang lebih muda atau lebih rendah tingkatan ilmunya dibanding beliau.
Murid beliau juga sangat banyak; tersebar di berbagai negeri yang tak terhitung jumlah mereka, karena dalam setiap Ibnul Mubarak bersafar, banyak orang yang menimba ilmu dari beliau. Di antara murid senior beliau adalah Abdurrahman bin Mahdi, Yahya bin Ma`in, Hibban bin Musa, Abu Bakr bin Abi Syaibah, Utsman bin Abi Syaibah, Ahmad bin Mani`, Ahmad bin Jamil, Al-Husain Al-Maruzi, Hasan bin `Arafah, dan masih banyak ulama besar lainnya.
Ajaran Tasawufnya yaitu :
            Banyak ulama menyebut Ibnu Mubarak sebagai imamnya ahli zuhud. Gelar itu memang sangat layak, ia bukan saja mengetahui hakikat zuhud, akan tetapi menerapkannya dalam segenap jiwa dan raganya. Terkadang orang salah memahami makna zuhud, bahwa zuhud adalah meninggalkan dunia, hidup dalam kemiskinan, mengasingkan diri dari kehidupan sosial, lalu menggantungkan hidupnya pada belas-kasih para dermawan. Inilah zuhud yang salah.
Ibnu Mubarak adalah seorang zahid yang hartawan. Kecerdasannya dalam berbisnis berasal dari ayahnya dan gurunya Imam Abu Hanifah, yang juga seorang pebisnis sukses. Ibnu Mubarak memiliki harta yang banyak dan bisnis yang beragam. Ibnu Katsir dalam al Bidayah wa an Nihayah, menyebutkan bahwa Ibnu Mubarak memiliki modal sekitar 400 ribu Dinar. Jumlah yang sangat banyak pada waktu itu. Modal itu ia kembangkan untuk berbisnis di beberapa negeri yang ia kunjungi. Dari keuntungan bisnisnya yang berkisar sekitar 100 ribu Dinar itu ia infaq-kan semuanya di jalan Allah.
C.     Biografi dan Ajaran Tasawuf Ibrahim bin Adham
Nama lengkapnya Ibrahim Adham Bin Mansur bin Yazid Al-Balakhi, biasa di panggil Abu Ishak dilahirkan dikota Balakh. Bapaknya keturunan raja Khurasan dan berasal dari keluarga kaya, namun dia kesampingkan harta dan bergelut mencari ilmu. Pergi ke Baghdad, Irak, Syam dan Hijaz untuk menimba ilmu dari para ulama, dan setiap kali berguru kepada Sufyan Tsauri dia meminta ijazah agar tidak lupa. Pencriannya di topang dari hasil buruan dan memelihara kebun. Kemudian terpanggil untuk jihad berperang melawan penjajah romawi. Kata-katanya: “Zuhud yang wajib adalah dari perkara haram dan subhat, sedangkan zuhud yang utama adalah dari perkara yang halal”.
Ibrahim bin Adham adalah Raja Balkh dan memiliki daerah kekuasaannya yang sangat luas. Kemanapun ia pergi, empat puluh buah pedang emas dan empat puluh buat tongkat kebesaran emas diusing didepan dan dibelakangnya.

      Gerakan danAjaran-ajaranya

Ibrahim bin adham beriman setelah mendengar bisikan Tuhan ketika sedang berburu di hutan. Semenjak itu, ia hidup dalam kemiskinan dan aksetisme (zuhud) hidup dari hasil kedua tangannya. Dia adalah seorang guru sufi yang ajarnnya terutama berkisar tentang asketisme, mistisisme, dan dia lebih menyuntukan diri terutama dengan kontrol diri (muraqabah) dan gnosis (ma’rifat). Ajaran Ibrahim bin Adham dapat dilihat dari ujaran-ujarannya.



TOKOH TASAWUF ABAD III-IV HIJRIAH
1. Ma’ruf al-Karkhi
Namanya adalah Abu Mahfuz Ma’ruf bin Firuz al-Karkhi. Ia berasal dari Persia, namun hidupnya lebih lama di Bagdad, yaitu pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid. Ia meninggal di kota ini juga pada tahun 200H/815M.
Ma’ruf dikenal sebagai sufi yang selalu diliputi rasa rindu kepada Allah sehinnga ia digolongkan kedalam kelompok auliya’. Dia dipandang sangat berjasa dalam meletakkan dasar-dasar tasawuf. Dan dia adalah orang pertama yang mengembangkan tasawufnya dari paham cinta yang dibawa oleh Rabi’ah al-Adawiyah.
Diantara ajaran tasawufnya, al-Karkhi pernah berkata :”Seseorang sufi adalah tamu Tuhan di dunia ini, dan oleh karena itu ia berhak mendapat sesuatu yang diberikan kepada tamu, ia berhak dilayani sebagai tamu, tetapi tidak sekali-kali berhak mengemukakan kehendak keinginannya.
2.Syaqiq Al Balkhi
Namanya Abu Ali Syaqiq bin Ibrahim Al-balkhi, wafat pada tahun 149 H / 810 msehi dan termasuk guru besar sufi khurasan. Beliau adalah guru Hatim Al-Asham. Abu Ali Syaqiq bin Ibrahim al Azdi dari Balkh, adalah seorang ilmuwan yang memulai karirnya sebagai seorang saudagar tetapi di kemudian hari memilih jalan kesufian. Pada tahun 194 H / 810 M, ia menunaikan Haji ke Makkah dan mati syahid di dalam perang suci.

Kehidupan Syaqiq al Balkh

Syaqiq al Balkh adalah seorang ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan dan banyak buku yang telah ditulisnya. Ketika ia belajar jalan kesufian dari Ibrahim bin Adham, dalam waktu bersamaan ia juga mengajar Hatim si orang tuli. Syaqiq mengakui bahwa ia telah belajar dari 1.700 orang guru dan memiliki buku sebanyak beberapa pemikulan unta.




3. Abu Sulaiman al-Darani
Nama lengkapnya ialah Abu Sulaiman Abdurrahman bin Uthbah al-Darani. Dia lahir di Daran, sebuah kampong di kawasan Damaskus, dan meninggal pada tahun 215H/830H. Dia adalah murid Ma’ruf dan merupakan tokoh sufi terkemuka.
Dalam sejarah, al-Darami dikenal sebagai salah seorang sufi yang banyak membahas tentang ma’rifah dan hakikah. Hakikah menurut Abu Sulaiman al-Darani, berkaitan erat dengan syariah. Hal ini ditegaskan dalam upayanya :”Selama beberapa waktu aku tertimpa persoalan ini (para sufi), sementara aku tidak bias menerimanya (menerima dengan yakin), kecuali disertai dua saksi yang adil:al-Qur’an dan al-Sunnah.

Kritik Bryan S. Turner Terhadap Sintesa Max Weber Feodalisme Pemimpin Muslim



KRITIK BRYAN S. TURNER TERHADAP MAX WEBER DALAM PANDANGAN FEODALISME ISLAM

Di Ajukan Sebagai Salah Satu Tugas Mata Kuliah Sosiologi Agama
Oleh Dr. Husni Thamrin.M.Si

uin.jpeg

DEBRI KOESWOYO
11431101321

FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2015
KATA PENGANTAR
            Alhamdullilah,segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya kepada saya dalam menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada baginda alam kita Muhammad SAW. Yang telah mengajak manusia kejalan yang benar ,sehingga terwujudnya agama yang benar. Makalah yang berjudul Kritik Bryan S. Turner Terhadap Max Weber dalam Pandangan Feodalisme disusun guna mengetahui bagaimana pandangan kedua tokoh tersebut dalam melihat Islam.
Saya menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Disini kami sebagai penyusun juga menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dan membimbing kami dalam penyusunan makalah ini.
            Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

                                                                                                 Pekanbaru. November 2015



                                                                                                             Penyusun









DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………………..          i
Daftar Isi ………………………………………………………………………….         ii
BAB I Pendahuluan
A.    Latar Belakang ……………………………………………………………         1    
B.     Rumusan Masalah ……………………………………………………….          1    
C.     Tujuan Penulisan …………………………………………………………          1    
BAB II Pembahasan
A.    Pandangan Max Weber Tentang Islam ………………………………….          2
B.     Pengertian Feodalisme, Sultanist, dan Patrimonial ……………………….         3
C.     Max Weber dan Feodalisme Islam ………………………………………          4
D.    Relevansi Feodalisme di Era Kerajaan Islam di Indonesia ……………….         6
                                                                                                                            
BAB III Penutup
           Kesimpulan ……………………………………………………………….          8
Daftar Pustaka ……………………………………………………………………         9

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kajian Max Weber tentang Islam tidak pernah dilakukannya secara optimal. Bahkan uraian-uraiannya tentang Islam pun tampak hanya sebagai pelengkap terhadap kajian utamanya perihal “Protestan Ethic”. Mungkin, inilah yang kemudian mendorong Weber untuk meninggalkan kajian sosiologinya terhadap Islam jauh sebelum ia mampu menyentuh seluruh aspek-aspek keislaman.
Penelitian weber tertuju pada Islam hanya pada dua hal, yakni; etika Islam awal (abad ke-7) dan struktur birokrasi (patrimonialisme dalam latar feodalisme Islam). Salah satu pengkritik setianya ialah Bryan S. Turner, seorang Profesor Sosiologi di Universitas Flinders Australia Selatan, dengan gemilang ia menunjukkan keanehan-keanehan Weber dalam menerapkan metode sosiologinya. Menurutnya nama Weber yang sebesar itu dapat mudah terjebak dalam interaksionisme dan terlalu ringan tangan memasukkan penilaian yang subjektif. Makalah ini dibuat berdasarkan karya Bryan S. Turner yang diterjemahkan menjadi “Sosiologi Islam: Suatu Analisa atas Tesis Sosiologi Weber”. Dan khususnya membahas pandangan argument  Max Weber tentang feodalisme Islam. Suatu analisis yang berbeda dimana mendudukan konsep feodalisme tersendiri dan dibangun atas dasar terciptanya feodalisme itu.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Pandangan Max Weber Terhadap Islam ?
2.      Apa pengertian Feodalisme, Sultanist, dan Patrimonial ?
3.      Bagaimana Max Weber membangun argument tentang Feodalisme Islam ?
4.      Bagaimana relevansi pendapat Max Weber dalam Feodalisme Islam di Era Kontemporer saat ini ?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Menjelaskan dan memaparkan pandangan Max Weber terhadap Islam
2.      Menjelaskan pengertian Feodalisme, Sultanist, dan Patrimonial
3.      Menjelaskan dasar argument Max Weber tentang Feodalisme Islam
4.      Menjelaskan dan memaparkan relevansi pendapat Max Weber dalam Feodalisme Islam di Era Kontemporer


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pandangan Max Weber Tentang Islam
Islam dalam pandangan Weber adalah sebuah agama monoteistik. Monoteistik akhir dari tradisi Ibrahim (Abrahamic Religions) yang kemudian bergeser menjadi semacam agama yang yang menekankan ‘prestise sosial’. Berbeda dengan sekte Calvinis Puritan, Islam tidak memiliki afinitas teologis dengan pengembangan kapitalisme. Islam dianggap Weber sebagai agama ‘kelas prajurit’, mempunyai kecenderungan pada ‘kepentingan feodal’, berorientasi pada ‘prestise sosial’, bersifat ‘sultanistis’, dan bersifat ’patrimonial birokratis’, serta tidak mempunyai ‘prasyarat rohaniah bagi (pertumbuhan) kapitalisme’[1]. Weber percaya bahwa ajaran Islam mempunyai sikap anti akal dan sangat menentang pengetahuan, terutama pengetahuan teologis [2].
Perintah-perintah religius hukum suci tidak diarahkan pada tujuan konversial dalam konteks pertamanya. Tujuan utamanya adalah perang hingga para pengikut agama-agama kitab asing akan membayar upeti (jizyah), yaitu hingga Islam tumbuh dalam puncak skala sosial dunia dengan meminta upeti dari agama-agama lainnya. Sehingga Islam adalah agama para petualang yang diorientasikan kepada nilai-nilai penaklukkan dan perampasan yang bersifat duniawi.[3]
  Cara Weber dalam menafsirkan dan memperlakukan islam secara faktual sangatlah lemah, tidak seperti tesa khususnya Calvinisme, yang mula-mula dikembangkan Weber dalam karyanya The Protestant Ethic And The Spirit Of Capitalism[4]. Pada umumnya pembahasan Weber tentang islam yang menggunakan istilah-istilah dominasi patrimonial dan foedalisme sejalan dengan sosiologi marx, walaupun tidak dengan marxisme.[5] Menurut pandangan Weber tentang Islam, bahwa pada abad ketujuh merupakan suatu penentuan perkembangan motif-motif islam. Menurutnya islam sebelum berhijrah ke madinah merupakan ajaran monoteis murni yang mungkin akan mengakibatkan asketisme duniawi, tetapi islam dibelokan dari etika transformatif ini.[6] Dalam pandangan weber, bahwa kepercayaan yang ortodoks dan kepastian yang mendalam dari para umat islam tidak begitu penting dibandingkan dengan keanggotaan masyarakat.[7]
Kesetiaan pada bentuk lahiriah agama, upacara-upacara agama dan institusi-institusi masyarakat menjadi lebih penting ketimbang perubahan perorangan. Islam awal puas dengan pernyataan kesetiaan pada tuhan dan pada Nabi, bersama-sama dengan beberapa perintah utama yang praktis dan ritual, sebagai dasar keanggotaan.[8]

B.     Pengertian Feodalisme, Sultanist dan Patrimonial
Feodalisme merupakan system social ciri khas dari abad pertengahan dari system itu melahirkan masyarakat yang penuh dengan kekerasan, kebrutalan, dan kesewenang-wenangan oleh sang penguasa. Istilah feodalisme pertama kali dimunculkan di Perancis pada abad ke-16. Periode tersebut sebagai pembeda periode tersebut dari modernitas [9].  Feodalisme juga dapat diartikan sebagai sistem pemerintahan yang dipegang oleh seorang pemimpin dan mayoritas bangsawan, kekuasaan muthlak berada dibawah kuasa mereka dan  memiliki bawahan yang juga masih dari kalangan bangsawan juga tetapi lebih rendah dan biasa disebut vasal dan jumlah bawahan tersebut banyak. Para vasal ini wajib membayar upeti kepada tuan mereka. Sedangkan para vasal pada gilirannya ini juga mempunyai anak buah dan abdi-abdi mereka sendiri yang memberi mereka upeti [10].
Masyarakat feodal menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian, dari hal tersebut membuat para pemilik tanah sebagai pihak yang berkuasa dan menempati lapisan atas struktur masyarakat atas dukungan petani lapisan terbawah. Di lapisan tengah terdapat pegawai kaum feodal dan pedagang [11]. Karena itulah tanah menjadi faktor produksi utama dan dapat disimpulkan bahwa yang menjadi inti pembahasan dari feodalisme adalah Tanah menjadi sumber kekuasaan bagi para tuan feudal yang memegang peranan penting pada zamannya. Seseorang dikatakan memiliki kekuasaan bila orang tersebut memiliki modal utama berupa tanah yang kemudian berkembang menjadi wilayah [12]. Sejarah feodalisme adalah sejarah peradaban manusia itu sendiri, dimana manusia dari awalnya sudah haus akan kekuasaan dan kedudukan.
 Sultanist merupakan kepemimpinan suatu wilayah Islam yang dipimpin oleh seorang Sultan. Sultan (bahasa Arab: سلطان, sulthaanun, wanita: Sultanah) merupakan istilah dalam bahasa Arab yang berarti "raja", "penguasa", "keterangan" atau "dalil". Sultan kemudian dijadikan sebutan untuk seorang raja atau pemimpin Muslim, yang memiliki suatu wilayah kedaulatan penuh yang disebut Kesultanan (bahasa Arab: سلطنة, sulthanatun). Dalam bahasa Ibrani, shilton atau shaltan (bahasa Ibrani: שלטן) berarti "wilayah kekuasaan" atau "rezim" [13].
Ibnu Khaldun[14] menjelaskan Sultan berbeda dengan Khalifah yang dianggap sebagai pemimpin untuk keseluruhan umat Islam. Gelar Sultan biasanya dipakai sebagai pemimpin kaum Muslimin untuk bangsa atau daerah kekuasaan tertentu saja, atau sebagai raja bawahan atau gubernur bagi Khalifah atas suatu wilayah tertentu. Namun dalam sejarah Islam pernah terjadi dinasti Sultan Turki berhasil mengalahkan penguasa kekhalifahan Abassiyah, sehingga Kesultanan Turki Utsmaniyyah dianggap sebagai kekhalifahan terakhir Dunia Islam [15].
Patrimonial adalah konsep  antropologi yang secara nominatif berasal kata dari patir dan secara genetif berasal ari kata patris yang berarti bapak [16]. Konsep yang dikembangkan dari kata tersebut kemudian diterjemahkan secara lebih luas yakni menjadi warisan dari bapak atau nenek moyang [17]. Kata sifat dari konsep  tersebut adalah patrimonial yang berarti sistem pewarisan menurut garis bapak.
C.      Max Weber dan Feodalisme Islam
Dasar pendapat Max Weber menerangkan tentang feodalisme dalam Islam dibangun dengan mencari persamaan atau variable antara asketisme dengan semangat kapitalisme. Max Weber dengan jelas menyatakan bahwasannya asketisme menjadi bagian penting dari kapitalisme. Weber menemukan sebuah fakta bahwa di Cina, India, dan tanah Islam di Timur Tengah, bahwa prasyarat kapitalisme tersebut cenderung tidak ada. Weber menemukan bahwa masyarakat Islam cenderung hidup hedonis dan penuh kemewahan, terlebih ketika berurusan dengan wanita. Fenomena ini mengindikasikan sebuah konklusi yang tak dapat dihindari bahwa Islam kala itu dapat dikatakan sebagai institusi yang berdiri di seberang prinsip puritanisme [18].
Kemudian ketika Weber mulai menganalisa islam ia memusatkannya pada sifat-sifat politik, militer dan ekonomi masyarakat muslim sebagain suatu bentuk dominasi patrimonial. Ia memperlakukan peranan nilai-nilai sebagai nomor dua dan tergantung pada kondisi sosial islam. Sepanjang Weber benar-benar menganut posisi itu, maka analisanya tidak berbeda jauh dengan Marx dan Engels yang menyatakan, bahwa mode produksi asia, ciri khasnya india, cina dan turki telah melahirkan tatanan sosial yang tahan menderita, dan tidak laras dengan kapitalisme. Menurut weber mengenai islam, yang menjadi maslah pokok dalam perkembangan islam adalah dominasi kendali patrimonial[19]. Berabad-abad sebelum kehancuran sultan usmani pada periode modern, peradaban islam telah terpecah-pecah menjadi bagian-bagian kecil dan dikuasai oleh para tentara dinasti-dinasti patrimonial ( abasyiah, mamluk, usmaniyah ). Dengan adanya bentuk kekuasaan yang ini, masyarakat islam tidak dapat mengembangkan institusi-institusi yang ada di barat yang sangat berarti sekali bagi kebangkitan kapitalisme modern [20].
Menurut Turner, inti kajian sosiologi Islam Weber terfokus pada dikotomi antara “hukum rasional dan hukum irrasional”. Hukum rasional ialah hukum yang diambil dari sebuah buku suci dan bersifat tegas dan baku (normatif). Sementara hukum irrasional ialah hukum yang didasarkan atas pendapat seorang qadhi dan bersifat fleksibel. Biar bagaimanapun Weber yang seorang Jerman mengunggulkan bahwa hukum rasional atas hukum irrasional, sebagaimana yang berlaku di Eropa untuk melegitimasi tindakan kapitalisme.[21]
Weber bersikeras bahwa syari’at bukanlah sebuah dasar hukum namun tidak lebih dari sekedar penjelasan spekulatif para ahli fiqh yang dikenal sebagai ijtihad.gap di sana- sini, terjadi kesenjangan antara hukum ideal dan realitas sosial. Secara teori, syari’at bersifat kaku dan dingin namun dalam prakteknya labil dan tidak mantap. Kelemahan sistem tersebut, lanjut Weber, terjadi ketidakjelasan batas antara norma yang etis, agama dan hukum serta dibarengi dengan sistematisasi yang kacau. Sedang secara politik, para qadhi juga merupakan pejabat kerajaan sehinggga dicurigai bahwa dedikasi mereka dipersembahkan untuk raja, bukan untuk sebuah prinsip keadilan. Jika demikian maka keadilan seorang qadhi menjadi kebalikan dari stabilisasi pemerintah. Dengan demikian lebih tepat kalau syari’at dikatakan sebagai hukum para faqih, bukan hukum Islam. Dalam perjalanannya kemudian hukum pra faqih tersebut dianggap suci dan abadi sehingga terjadi stabilisasi hukum [22].
Dalam mengkritik Weber, Turner mengatakan bahwa biar bagaimanapun jabatan menjadi seorang qadhi bukan merupakan sesuatu yang patut dibanggakan. Pasalnya membiarkan diri menjadi seorang qadhi sama halnya dengan membiarkan diri menjadi pengganti Tuhan di muka bumi. Dan para qadhi yang mencoba melawan kehendak penguasa pasti akan menuai berbagai kesulitan bahkan terancam hidupnya.[23]
Inti kritik Turner terletak pada dua hal, pertama; Weber tidak menjelaskan apakah ia hendak menekankan isi hukum atau konteks politiknya, kedua; Weber tidak menjelaskan pula apakah hukum rasional merupakan prasyarat penting bagi kapitalisme ataukah hanya sebuah prasyarat biasa. Dan ternyata dalam kasus lain Weber pun mengakui bahwa tidak ada sistem hukum yang tidak mempunyai gap dan ternyata adanya hal tersebut tidak menghambat perkembangan kapitalisme rasional.
D.    Relevansi Feodalisme di Era Kerajaan Islam di Indonesia
Feodalisme kerajaan Indonesia yang paling berpengaruh pada politik, Feodalisme membentuk relasi atas-bawah yang dibangun dengan loyalitas. Feodalisme Jawa yang memiliki nilai kebudayaan yang direproduksi dan diwariskan secara turun temurun. Feodalisme Jawa dibangun atas kekuasaan penguasa didasarkan atas jumlah pengikut dan diikat oleh konsep bersatunya kawula dan gusti, atau bawahan dan atasan [24].
 Raja dianggap sebagai pusat dari segala kekuasaan dan alam semesta, serta pemilik jagad raya. Paham ini menempatkan raja sebagai pemilik tanah kerajaan dengan kekuasaan mutlak [25].. Terhadap kaum keluarga dan kerabat kerja serta para pegawai kerajaan diberlakukan sistem tanah pinjam untuk kaum keluarga dan kaum kerabat raja (Sentra dalem), dan lungguh atau bengkok untuk para pegawai kerajaan (Abdi Dalem) [26]. Disamping itu dalam hal-hal khusus, raja menghadiahi tanah kepada sekelompok warga masyarakat tertentu dengan tugas-tugas tertentu..
Kedudukan pemimpin dalam masyarakat Jawa identik dengan kaum priyayi dan Bangsawan dan sangat dipandang tinggi dan mulia [27]. Yang namanya trah bangsawan maupun priyayi memiliki citra khusus dan istimewa, selain ”berdarah biru” mereka dianggap mumpuni dan waskita dalam pergaulan masyarakat kebanyakan [28]. Dan ketika orang-orang  berkedudukan lebih rendah tidak berhak menilai norma moral orang – orang  yang berkedudukan lebih rendah tidak berhak menilai norma moral orang-orang yang berkedudukan tinggi, apalagi mengkritik atau meminta pertanggung jawaban mereka, maka atasan dengan sendirinya dianggap benar, tidak pernah salah dan dengan demikian menjadi standar moral  yang akan ditiru oleh bawahannya [29].
Struktur feodalisme dalam pandangan masa kini bisa di katakan tidak ada ketidakadilan dan memang itulah yang ada dalam sistem feodalisme. Yang paling berkuasalah yang mengatur segalanya dari segi politik, dia yang mempunyai lahan yang luas dan mempunyai harta kekayaan dialah yang berkuasa(bangsawan), tetapi ada juga yang secara turun – temurun berkuasa karena atas dasar  banyak pengikutnya dan dipercaya oleh para  pengikutnya (Raja). Sedangkan para abdi dalem itu hanya orang-orang yang setia pada raja atas dasar loyalitas dan sudah melayani dan berbakti pada raja dengan jangka watu yang tidak lama, serta para keluarga raja.
Dan para petani dan wong cilik hanya sebagai bagian dari stratifikasi sosial yang sebenarnya sangat berperan penting dalam struktur feodal, seperti rakyat. Dalam era yang sekarang pun unsur rakyat sangat penting dalam sebuah negara tanpa adanya rakyat maka tidak bisa disebut negara, begitu pula dengan struktur feodalisme semakin sedikit rakyat maka kerajaannya pun semakin lemah. Karena pada masa feodalisme ini sektor pertanian sangatlah penting dan pertanian tidak akan berjalan tanpa adanya petani yang banyak pula mengingat semakin besar hasil produksinya maka kerajaan itu akan semakin maju.













BAB III
KESIMPULAN
Pandangan Max Weber terhadap Islam khususnya masalah Feodalisme sangatlah menuai berbagai macam kritik baik dari kalangan Muslim maupun para peneliti sosiologi agama. Feodalisme para pemimpin Islam dilihat Weber berjalan sangat rapi, dimana kepentingan pribadi para penguasa Islam ditutupi dengan nilai-nilai hukum ajaran Islam. Hal ini menjadi sebuah kesubjektifan Max Weber dalam menilai Islam itu sendiri. Feodalisme sebenarnya tidak pantas ditujukan kepada Islam. Weber sendiri tidak menyangkal bahwasannya ajaran Islam tidak pernah mengajarkan hal itu. Namun, suatu hal yang dapat diambil dari kritik Max Weber ialah bahwasannya feodalisme itu sendiri memang nyata ada dihadapan kita, khususnya para pemimpin Muslim yang enggan akan kesederhanaan, kediktatoran, dan tentunya tidak siap untuk turun dari jabatannya.
















DAFTAR PUSTAKA
Adityawan , Arief S., 2008.  Propaganda Pemimpin Politik Indonesia . Jakarta: LP3ES
Khaldun, Ibnu. 1998. Muqaddimah Ibn Khaldun, terjemah: Ahmadie Thoha Jakarta: Pustaka Firdaus
Kuntowijoyo. 2004. Raja, Priyayi Dan Kawula. Jogyakarta: Penerbit Ombak.

 Lucas, Henry S. 1993. Sejarah Peradaban Barat Abad Pertengahan . Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogyakarta

Suseno, Frans Magnis. 1996. Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Syamsuddin , Abdullah. 1997. Agama dan Masyarakat: Pendekatan Sosiologi Agama. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Turner , Bryan S., 1984. Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis atas Tesa Sosiologi Weber terj. G. A. Ticoalu. Jakarta:  Rajawali
Weber, Max. 2000.  Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Terj. Yusuf Priyasudiardja. Surabaya: Pustaka Promethea.

Nabiel Fuad al-Musawa, Islam dan Parental dalam http://www.kotasantri.com, diakses tanggal 02 November 2015



[1] Selengkapnya baca pengantar yang ditulis Taufik Abdullah, dalam Bryan S. Turner, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis Atas Tesa Sosiologi Weber “Terj”G.A. Ticoulu ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1984), hlm ix-xv
[2] Ibid hlm 87
[3] Max Weber. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Terj. Yusuf Priyasudiardja.(  Surabaya: Pustaka Promethea, 2000), hlm 165 Dikutip dalam https://PandanganSosiologisMaxWeber.blogspot.com tanggal 29 Oktober 2015
[4]Max Weber mengawali buku The Protestan Ethic and The Spirit of  Capitalism dengan mengemukakan suatu fakta statistik untuk penjelasan: yaitu fakta bahwa didalam Eropa modern pemimpin-pemimpin niaga dan para pemilik modal, maupun mereka yang tergolong sebagai karyawan kelas atas, terlebih karyawan perusahaan modren, kebanyakan adalah pemeluk agama Protestan. Ia menjelaskan bahwa hal tersebut bukanlah fakta palsu melainkan fakta sejarah. Dengan menelusuri kaitannya, bisa diperlihatkan bahwasannya pusat awal kapitalisme dipermulaan awal abad ke-16 merupakan pusat yang sangat kuat dengan unsur Protestan.
[5]Bryan S. Tur Bryan S. Turner, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis atas Tesa Sosiologi Weber terj. G. A. Ticoalu (Jakarta: Rajawali, 1984), hlm 264
[6] Ibid  Bryan S. Turner hlm. 263.
[7] Abdullah, Syamsuddin. Agama dan Masyarakat: Pendekatan Sosiologi Agama. ( Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997 ), hlm 86
[8] Nabiel Fuad al-Musawa, Islam dan Parental dalam http://www.kotasantri.com, diakses tanggal 02 November 2015
[9]  Henry S. Lucas, Sejarah Peradaban Barat Abad Pertengahan (Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogyakarta, 1993), hlm. 141.
[10] Ibid Henry S. Lucas hlm. 142
[11] http://www.hendria.com/2010/06/feodalisme.html diakses pada tanggal 03 November 2015
[13] https://id.wikipedia.org diakses pada tanggal 03 November 2015
[14] Nama lengkapnya adalah Abd al-Rahman bin Muhammad bin Muhammad bin Hasan bin Jabir bin Muhammad bin Ibrahim bin Abd al-Rahman bin Khaldun. Dilahirkan di Tunisia, Afrika Utara pada tahun 732 H., atau 1332 M. Karya tulisnya yag terkenal adalah al-Muqaddimah yang dianggap sebagai bibit dari kelahiran Ilmu Sosiologi. Penelitiannya tentang sejarah dengan menggunakan metode yang berbeda dari penelitian Ilmuwan pada saat itu juga disebut sebagai bibit dari kemunculan Filsafat Sejarah seperti yang ada sekarang.Kehidupannya yang malang melintang di Tunisia (Afrika) dan Andalusia, serta hidup dalam dunia politik tak ayal mendukung pemikirannya tentang Politik serta Sosiologi tajam dan mampu memberikan sumbangsih yang besar pada Ilmu Pengetahuan.
[15] Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, terjemah: Ahmadie Thoha (Jakarta: Pustaka Firdaus), hlm 345.
[16] Arief Adityawan S., Propaganda Pemimpin Politik Indonesia (Jakarta: LP3ES, 2008), hlm 74
[17] Ibid Arief Adityawan hlm 75
[18] Bryan S. Turner, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis atas Tesa Sosiologi Weber terj. G. A. Ticoalu (Jakarta: Rajawali, 1984), hlm 13
[19] Ibid Bryan S. Turner hlm 147
[20] Ibid Bryan S. Turner hlm 261
[21] Ibid Bryan S. Turner hlm208
[22] Ibid Bryan S. Turner hlm 211
[23] Ibid Bryan S. Turner hlm. 220
[24] Suseno, Frans Magnis. Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa .          ( Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,1996), hlm 23
[25] https://www.SejarahHukumAgrariaKerajaan.com  diakses pada tanggal 03 November 2015
[26] Ibid
[27] Kuntowijoyo. Raja, Priyayi Dan Kawula. ( Jogyakarta: Penerbit Ombak, 2004 ), hlm 5
[28] Ibid Kuntowijoyo hlm 5
[29] Ibid Kuntowijoyo hlm 6
 


Diabolisme Salman Rushdie dan Ahok

ANTARA SALMAN RUSHDIE DAN AHOK Oleh: Dr. Adian Husaini Tahun 1988, dunia Islam digegerkan oleh seorang bernama Salman Rushdie. Kisahnya ...