REKONSILIASI PEMIKIRAN HASSAN HANAFI DAN MUHAMMAD ABID AL-JABIRI
Nama : Debri Koeswoyo Dosen : Drs. Saleh Nur, MA
NIM :
11431101321 MK : Oksidentalis
Jurusan/Sem : Akidah dan
Filsafat Islam/VI Date : 29 April 2017
Sejak lama, umat
Muslim dihadapkan dengan satu persoalan yang kontroversial dan senantiasa selalu
muncul keluar ranah permukaan pemikiran
modern yaitu, sejauh mana umat Islam dibolehkan mengikuti pemikiran yang berada
diluar kebudayaan dan ajaran Islam. Pemikiran yang dipersolakan tentunya bukan
persoalan yang sepele seperti boleh tidaknya seorang Muslim melakukan interaksi
dengan orang-orang yang tidak se-aqidah dengannya, melainkan persoalan pemikiran
yang melahirkan beranekaragam ideologi dan produk pemikiran yang sesungguhnya sarat
dengan kepentingan terselubung.
Dari kalangan
intelektual dan cendekiawan Muslim sendiri banyak yang memandang dan
mengeluarkan pendapatnya mengenai persoalan lawas ini. Sebagian ulama salaf
seperti Ibnu Taimiyyah melarang dan mengharamkan adanya pengkolaborasian
pemikiran Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits dengan pemikiran Barat
yang sekuler. Walaupun demikian, terlepas dari pendapat Ibnu Taimiyyah
tersebut, Hassan Hanafi dan al-Jabiri menjadi sosok Muslim abad 21 yang
pandangannya mengenai pemikiran Islam klasik dan pemikiran Barat modern menjelma
didalam tulisan-tulisan pemikiran filsafat
perenial saat ini. Tetapi, pemikiran keduanya bukan berarti kita pahami
sebagai pemikiran yang sejalan dan beriringan. Disatu sisi, Hassan Hanafi
menjadi inspirator didalam pergerakan melawan pemikiran Barat. Namun, disisi
yang lain gagasan-gagasannya hanya menjadi wacana yang utopia dan berbanding
terbalik dengan sikap dirinya sendiri. Gagasan rekonstruksi formasi nalar Arab
Abid al-Jabiri sendiri dipandang oleh pemikir Islam saat ini lebih teraplikasi
dibandingkan dengan pemikiran Hassan Hanafi.
Berkenaan dengan
tesis dan antitesis dari pemikiran kedua tokoh pemikir kontemporer Islam
tersebut, rekonsiliasi pemikiran keduanya tampak sangat diperlukan untuk
memulihkan dan mencari hubungan diantara kedua pemikiran tokoh tersebut.
Hasan Hanafi lahir pada tanggal 13
Februari 1935 di Kairo adalah sosok pembaharu dalam pemikiran Islam, pokok
pikiranya terletak pada bagaimana Islam dapat teraktualisasikan dalam konteks
dan kehidupan yang nyata terutama dapat mentranformasikan umat Islam dari
keterbelakangan kearah kemajuan.[1]
Gagasan awalnya ialah melakukan rekonstruksi teologi tradisional. Teologi
tradisional, kata Hanafi, lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman
sistem kepercayaan, yakni transendensi Tuhan, diserang oleh wakil-wakil dari
sekte-sekte dan budaya lama. Teologi itu dimaksudkan untuk mempertahankan
doktrin utama dan untuk memelihara kemurniannya.
Kita
lihat ketika ideologi mu’tazilah dijadikan mazhab negara oleh al-Makmun, semua
dimensi agama harus dilihat dri satu kacamata yaitu rasionalitas, ideologi lain
dilarang dijadikan acuan dalam berijitihad. Saat ini, ketika suatu mazhab lebih
dipahami dan lebih memasyarakat dibanding dengan mazhab lain, maka mazhab lain
itu akan terlihat lebih asing, aneh dilihat oleh masyarakat.
Hanafi
menegaskan bahwa rekonstruksi teologi tidak harus membawa implikasi hilangnya
tradisi-tradisi lama. Rekonstruksi teologi untuk mengkonfrontasikan
ancaman-ancaman baru yang datang ke dunia dengan menggunakan konsep yang
terpelihara murni dalam sejarah. Tradisi yang terpelihara itu menentukan lebih
banyak lagi pengaktifan untuk dituangkan dalam realitas duniawi yang sekarang.
Dialektika harus dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan, bukan hanya terdiri
atas konsep-konsep dan argumen-argumen antara individu-individu, melainkan
dialektika berbagai masyarakat dan bangsa di antara kepentingan-kepentingan yang
bertentangan.[2]
Pemerintah atau negara Islam dilihat Hanafi, memiliki pengaruh yang sangat erat
dalam memajukan umat Islam tersebut. Negara dapat menjadi mediator dan penegak
dari berbagai persoalan yang timbul. Tetapi, pemerintah juga cukup efektif
untuk semakin memperkeruh persatuan umat Islam.
Tidak
berbeda jauh dengan Hanafi, ia menawarkan adanya rekonstruksi terhadap
pemikiran tradisional Islam. Untuk
merekonstruksi pemikiran formasi nalar Arab tradisional tersebut, pemikiran
epistemologi yang ditawarkan al-Jabiri bayani, ‘irfani, dan burhani menjadi pemikiran moderat Islam
saat ini. Dengan demikian, kritik nalar di
sini dimaksudkan untuk membebaskan) nalar Arab dari hegemoni turâts, kemudian memulainya lagi dari realitas budaya Arab-Islam itu
sendiri, tanpa harus terbebani dengan perspektif mayoritas/dominan yang telah
mengakar sedemikian lama dalam kesadaran bangsa Arab.[3]
Nalar bayani yang bisa disebut nalar
yang berorientasi pada teks. Nalar adalah metode pemikiran khas Arab yang
menekankan otoritas teks (nash), baik secara lansung atau tidak langsung, dan
justikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi. Artinya memahami
teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu
pemikiran secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan
mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. [4]
Epistemologi Irfani sendiri ialah
pengetahuan yang diperoleh tidak didasarkan atas teks seperti bayani, tetapi
pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. karena
itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetap dengan
olah ruhani, di mana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan
pengetahuan langsung kepadanya. masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian
dikemukakan kepada orang lain secara logis.[5]
Berbeda dengan epistemologi nalar
bayani, kalau bayani kecenderungannya kepada teks suci, sedang burhani sama
sekali tidak bersandarkan kepada teks, dan juga tidak kepada pengalaman,
melainkan burhani menyandarkan diri kepada kekuatan rasio yang dilakukan dengan
dalil-dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang
sesuai dengan logika rasional. Perbandingan epistemologi ini, seperti
dijelaskan oleh al-Jabiri, nalar bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogi
realitas non fisik atas realitas fisik, atau kepada asal, burhani menghasilkan
pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang
telah diyakini kebenarannya.[6]
Pemikiran Hasan Hanafi dan al-Jabiri diatas menunjukan adanya
kesamaan dalam tujuan mereka mendekonstruksi pemikiran klasik Arab. Hassan
Hanafi sendiri dalam paradigma perjalanan pemikirannya memang tersandung dilema.
Diawal karir intelektualnya ia sangat mendukung pergerakan Ikwanul Muslimin
yang pada masa dirinya dipimpin oleh Sayyid Qutb, pergerakan yang berlandaskan
kepada cita-cita mengaktualisasikan nilai-nilai al-Qur’an dan hadits di masyarakat
Islam dengan tetap menyesuaikannya dengan perkembangan pengetahuan modern. Tetapi,
pada akhirnya ia keluar dari Ikwanul Muslimin dan menjadikan pemikirannya
cenderung bersifat utopia (khayalan). Oksidentalis yang menjadi puncak dari
pemikirannya yang digerakkan oleh Ikwanul Muslimin, malah akhirnya ia keluar
dari pergerakan tersebut. Kiri Islam (al-Yassar al-Islami) sebagai
dukungannya terhadap gerakan tersebut juga kandas di tengah jalan, dimana
Hassan Hanafi tidak pernah lagi menggemakan konsep tersebut untuk membela
pergerakan Ikwanul Muslimin. Persoalan inilah yang menjadi kritik tajam akan
pemikiran Hassan Hanafi. Dirinya dinilai gagal dan hanya memberikan
wacana-wacana pembaharuan Islam. Tetapi, ia sendiri tidak yakin terhadap
pemikirannya tersebut.
Berbeda dengan al-Jabiri, ia tetap konsisten dalam pembelaan atas
pemikirannya demi merekonstruksi pemikiran klasik Islam guna membangun kembali
peradaban Islam. Peradaban Islam yang menurutnya tidak harus membangun sebuah
kekuasaan dan ideologi yang besar, namun cukup untuk membangun umat Islam yang
memiliki adab yang tinggi, nilai-nilai rasionalitas yang baik dibanding dengan
peradaban Barat dan mendudukan
prinsip-prinsip norma Islam diatas segala potensi kehidupan umat Islam.
[2]
Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan,
(Jakarta, P3M, 1991), hlm.7
[3] Mohammad Abid al-Jabirî. Formasi Nalar Arab Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme
Wacana Interreligius, Terj. Imam Khoiri, Takwîn al-‘Aql al-Arabî, (Yogyakarta:IRCiSOD, 2003), h. 29
[4]
A. Khudori
Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004),
hlm. 177