Senin, 01 Mei 2017

Rekonsiliasi Pemikiran Hassan Hanafi dan Moh. Abid Al-Jabiri



REKONSILIASI PEMIKIRAN HASSAN HANAFI DAN MUHAMMAD ABID AL-JABIRI

Nama               : Debri Koeswoyo                               Dosen  : Drs. Saleh Nur, MA
NIM                : 11431101321                                    MK      : Oksidentalis
Jurusan/Sem    : Akidah dan Filsafat Islam/VI           Date    : 29 April 2017

            Sejak lama, umat Muslim dihadapkan dengan satu persoalan yang kontroversial dan senantiasa selalu muncul keluar ranah permukaan  pemikiran modern yaitu, sejauh mana umat Islam dibolehkan mengikuti pemikiran yang berada diluar kebudayaan dan ajaran Islam. Pemikiran yang dipersolakan tentunya bukan persoalan yang sepele seperti boleh tidaknya seorang Muslim melakukan interaksi dengan orang-orang yang tidak se-aqidah dengannya, melainkan persoalan pemikiran yang melahirkan beranekaragam ideologi dan produk pemikiran yang sesungguhnya sarat dengan kepentingan terselubung.
            Dari kalangan intelektual dan cendekiawan Muslim sendiri banyak yang memandang dan mengeluarkan pendapatnya mengenai persoalan lawas ini. Sebagian ulama salaf seperti Ibnu Taimiyyah melarang dan mengharamkan adanya pengkolaborasian pemikiran Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan Hadits dengan pemikiran Barat yang sekuler. Walaupun demikian, terlepas dari pendapat Ibnu Taimiyyah tersebut, Hassan Hanafi dan al-Jabiri menjadi sosok Muslim abad 21 yang pandangannya mengenai pemikiran Islam klasik dan pemikiran Barat modern menjelma didalam tulisan-tulisan pemikiran filsafat  perenial saat ini. Tetapi, pemikiran keduanya bukan berarti kita pahami sebagai pemikiran yang sejalan dan beriringan. Disatu sisi, Hassan Hanafi menjadi inspirator didalam pergerakan melawan pemikiran Barat. Namun, disisi yang lain gagasan-gagasannya hanya menjadi wacana yang utopia dan berbanding terbalik dengan sikap dirinya sendiri. Gagasan rekonstruksi formasi nalar Arab Abid al-Jabiri sendiri dipandang oleh pemikir Islam saat ini lebih teraplikasi dibandingkan dengan pemikiran Hassan Hanafi.
            Berkenaan dengan tesis dan antitesis dari pemikiran kedua tokoh pemikir kontemporer Islam tersebut, rekonsiliasi pemikiran keduanya tampak sangat diperlukan untuk memulihkan dan mencari hubungan diantara kedua pemikiran tokoh tersebut.


            Hasan Hanafi lahir pada tanggal 13 Februari 1935 di Kairo adalah sosok pembaharu dalam pemikiran Islam, pokok pikiranya terletak pada bagaimana Islam dapat teraktualisasikan dalam konteks dan kehidupan yang nyata terutama dapat mentranformasikan umat Islam dari keterbelakangan kearah kemajuan.[1] Gagasan awalnya ialah melakukan rekonstruksi teologi tradisional. Teologi tradisional, kata Hanafi, lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman sistem kepercayaan, yakni transendensi Tuhan, diserang oleh wakil-wakil dari sekte-sekte dan budaya lama. Teolo­gi itu dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan untuk memelihara kemurniannya.
            Kita lihat ketika ideologi mu’tazilah dijadikan mazhab negara oleh al-Makmun, semua dimensi agama harus dilihat dri satu kacamata yaitu rasionalitas, ideologi lain dilarang dijadikan acuan dalam berijitihad. Saat ini, ketika suatu mazhab lebih dipahami dan lebih memasyarakat dibanding dengan mazhab lain, maka mazhab lain itu akan terlihat lebih asing, aneh dilihat oleh masyarakat.
            Hanafi menegaskan bahwa rekonstruksi teologi tidak harus membawa implikasi hilangnya tradisi-tradisi lama. Rekonstruksi teologi untuk mengkonfrontasikan ancaman-ancaman baru yang datang ke dunia dengan menggunakan konsep yang terpelihara murni dalam sejarah. Tradisi yang terpelihara itu menentukan lebih banyak lagi pengaktifan untuk dituangkan dalam realitas duniawi yang sekarang. Dialektika harus dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan, bukan hanya terdiri atas konsep-konsep dan argumen-argumen antara individu-individu, melainkan dialektika berbagai masyarakat dan bangsa di antara kepentingan-kepentingan yang bertentangan.[2] Pemerintah atau negara Islam dilihat Hanafi, memiliki pengaruh yang sangat erat dalam memajukan umat Islam tersebut. Negara dapat menjadi mediator dan penegak dari berbagai persoalan yang timbul. Tetapi, pemerintah juga cukup efektif untuk semakin memperkeruh persatuan umat Islam.
            Tidak berbeda jauh dengan Hanafi, ia menawarkan adanya rekonstruksi terhadap pemikiran tradisional Islam. Untuk merekonstruksi pemikiran formasi nalar Arab tradisional tersebut, pemikiran epistemologi yang ditawarkan al-Jabiri bayani, ‘irfani, dan burhani menjadi pemikiran moderat Islam saat ini. Dengan demikian, kritik nalar di sini dimaksudkan untuk membebaskan) nalar Arab dari hegemoni turâts, kemudian memulainya lagi dari realitas budaya Arab-Islam itu sendiri, tanpa harus terbebani dengan perspektif mayoritas/dominan yang telah mengakar sedemikian lama dalam kesadaran bangsa Arab.[3]
Nalar bayani yang bisa disebut nalar yang berorientasi pada teks. Nalar adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash), baik secara lansung atau tidak langsung, dan justikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi. Artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. [4]
            Epistemologi Irfani sendiri ialah pengetahuan yang diperoleh tidak didasarkan atas teks seperti bayani, tetapi pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetap dengan olah ruhani, di mana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis.[5]
Berbeda dengan epistemologi nalar bayani, kalau bayani kecenderungannya kepada teks suci, sedang burhani sama sekali tidak bersandarkan kepada teks, dan juga tidak kepada pengalaman, melainkan burhani menyandarkan diri kepada kekuatan rasio yang dilakukan dengan dalil-dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang sesuai dengan logika rasional. Perbandingan epistemologi ini, seperti dijelaskan oleh al-Jabiri, nalar bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogi realitas non fisik atas realitas fisik, atau kepada asal, burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.[6]
Pemikiran Hasan Hanafi dan al-Jabiri diatas menunjukan adanya kesamaan dalam tujuan mereka mendekonstruksi pemikiran klasik Arab. Hassan Hanafi sendiri dalam paradigma perjalanan pemikirannya memang tersandung dilema. Diawal karir intelektualnya ia sangat mendukung pergerakan Ikwanul Muslimin yang pada masa dirinya dipimpin oleh Sayyid Qutb, pergerakan yang berlandaskan kepada cita-cita mengaktualisasikan nilai-nilai al-Qur’an dan hadits di masyarakat Islam dengan tetap menyesuaikannya dengan perkembangan pengetahuan modern. Tetapi, pada akhirnya ia keluar dari Ikwanul Muslimin dan menjadikan pemikirannya cenderung bersifat utopia (khayalan). Oksidentalis yang menjadi puncak dari pemikirannya yang digerakkan oleh Ikwanul Muslimin, malah akhirnya ia keluar dari pergerakan tersebut. Kiri Islam (al-Yassar al-Islami) sebagai dukungannya terhadap gerakan tersebut juga kandas di tengah jalan, dimana Hassan Hanafi tidak pernah lagi menggemakan konsep tersebut untuk membela pergerakan Ikwanul Muslimin. Persoalan inilah yang menjadi kritik tajam akan pemikiran Hassan Hanafi. Dirinya dinilai gagal dan hanya memberikan wacana-wacana pembaharuan Islam. Tetapi, ia sendiri tidak yakin terhadap pemikirannya tersebut.
Berbeda dengan al-Jabiri, ia tetap konsisten dalam pembelaan atas pemikirannya demi merekonstruksi pemikiran klasik Islam guna membangun kembali peradaban Islam. Peradaban Islam yang menurutnya tidak harus membangun sebuah kekuasaan dan ideologi yang besar, namun cukup untuk membangun umat Islam yang memiliki adab yang tinggi, nilai-nilai rasionalitas yang baik dibanding dengan peradaban Barat dan  mendudukan prinsip-prinsip norma Islam diatas segala potensi kehidupan umat Islam.



[1] Khudori Saleh, Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 157
[2] Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, (Jakarta, P3M, 1991), hlm.7
[3] Mohammad Abid al-Jabirî. Formasi Nalar Arab Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius, Terj. Imam Khoiri, Takwîn al-‘Aql al-Arabî, (Yogyakarta:IRCiSOD, 2003), h. 29
[4] A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 177
[5] Ibid., hlm.223
[6] Ibid., hlm. 219

Memandang Keindahan dalam Kacamata Filsafat



MENYELAMI ESENSI KEINDAHAN DALAM KACAMATA FILSAFAT
Debri Koeswoyo
Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
E-mail:debrikoeswoyo46@gmail.com

Abstrak

            Estetika seringkali ditafsirkan dalam arti yang berbeda-beda, sehingga mempunyai pengertian yang beragam dari berbagai pandangan individu yang memahaminya. Dalam mengartikan estetika, hal yang umum didengar yaitu ungkapan keindahan, perasaan, imajinasi, intuisi dan sebagainya. Secara sederhana, estetika melihat bagaimana suatu keindahan dapat terbentuk dan perasaan orang-orang yang merasakannya. Filosofi dari estetika sendiri ialah nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa. Keindahan menjadi salah satu penilaian dari estetika itu sendiri. Memahami keindahan melalui filsafat estetika, tidak terlepas dari individu dan kesubjektifannya melihat keindahan tersebut. Tulisan ini membahas bagaimana keindahan itu diamati melalui kacamata filsafat, sebagai suatu refleks kritis yang dirasakan oleh indera seorang individu dan penilaiannya terhadap keindahan itu.
Kata Kunci: Keindahan, Akal, Nilai, Teori
Abstract
Aesthetics are often interpreted in a different sense, so as to have a diverse understanding of the various views of individuals who understand it. In interpreting the aesthetic, it is common to hear that expression of beauty, feelings, imagination, intuition, and so on. Simply put, the aesthetic look of how a beauty can be formed and the feelings of people who feel it. The philosophy of its own aesthetic values is sensory, which is sometimes regarded as an assessment of sentiment and taste. The beauty of being one of the aesthetic assessment itself. Understanding the beauty through aesthetic philosophy, is inseparable from the individual and subjective see the beauty of it. This paper discusses how the beauty of it is observed through the lens of philosophy, as a reflex critically perceived by the sense of an individual and the assessment of the beauty of it.
Keywords: Beauty, Reason, Value, Theory
I.         PENDAHULUAN
Manusia pada umumnya menyukai sesuatu yang indah, baik terhadap keindahan alam maupun keindahan seni. Keindahan alam adalah keharmonisan yang menakjubkan dari hukum-hukum alam yang dibukakan untuk mereka yang mempunyai kemampuan untuk menerimanya. Sedangkan keindahan seni adalah keindahan hasil cipta manusia (seniman) yang memiliki bakat untuk menciptakan sesuatu yang indah. Pada umumnya manusia mempunyai perasaan keindahan.[1]
Pokok permasalahan yang dikaji di dunia filsafat khususnya dalam aspek aksiologi mencakup tiga hal yakni apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah (logika), mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (etika), serta apa yang termasuk indah dan apa yang termasuk jelek (estetika).[2]
Estetika adalah merupakan salah satu cabang dari filsafat. Secara sederhana, estetika adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya. Estetika merupakan bagian aksiologi yang membicarakan permasalahan (Russel), pertanyaan (Langer), atau issues (Farber) mengenai keindahan, menyangkut ruang lingkup, nilai, pegalaman, perilaku dan pemikiran seniman, seni, serta persoalan estetika dan seni dalam kehidupan manusia.[3]
Sama halnya dengan cabang ilmu filsafat lainnya, estetika juga dipahami dalam lingkup bidang filsafat dan juga ilmiah. Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah nilai filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa. Sentimen dan rasa keindahan yang ditimbulkan dari estetika itu sendiri, sampai sekarang ini menjadi perdebatan. Apakah Keindahan memang lahir dari objek yang mewujudkan keindahan itu sendiri, atau keindahan itu lahir dari subjektifitas dan pengalaman manusia yang mengamati suatu estetika dari seni atau alam yang diamatinya. Dalam tulisan ini, penulis akan memaparkan bagaimana keindahan itu dilihat sebagai objek akal, nilai-nilai dari keindahan sampai dengan teori-teori yang dipaparkan oleh para ahli dibidang estetika mengenai keindahan tersebut.

II.      PENGERTIAN DAN HAKIKAT KEINDAHAN (ESTETIKA)
Berbicara tentang keindahan (estetika), maka dapat dijelaskan sebagai “the study of nature of beauty in the fine art”,[4] mempelajari tentang hakikat keindahan di dalam seni. Estetika sendiri berasal dari bahasa Yunani yang merupakan cabang filsafat yang berbicara tentang keindahan. Objek dari estetika adalah pengalaman akan keindahan. Sehingga pada dasarnya estetika yang dicari adalah sebuah hakikat dari keindahan, bentuk bentuk pengalaman keindahan (seperti keindahan jasmani dan keindahan rohani, keindahan seni dan keindahan alam), yang diselidiki oleh emosi manusia sebagai reaksi terhadap yang indah, agung, bagus, mengharukan dan sebagainya.[5]
Pengertian mengenai estetika sangat beragam, seperti menurut Kattsoff bahwa estetika merupakan segala sesuatu dan kajian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan seni struktur dan peranan dari keindahan.[6] Estetika merupakan suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan, mempelajari semua aspek yang disebut keindahan.
Estetika merupakan bagian dari tri tunggal, yakni teori tentang kebenaran (epistomologi), kebaikan dan keburukan (etika) dan keindahan itu sendiri. Keindahan erat sekali hubungannya dengan lidah dan selera perasaan. Menurut Thomas Aquinas dan Jacques Miaritain, keindahan adalah realitas indah yang ada pada objek yang kemudian memberikan perasaan enak dan senang pada objek. Keindahan bersifat objektif, sebaliknya menurut George Santyana, indah adalah perasaan nikmat atau suka dari subjek pada suatu objek yang kemudian menganggapnya sebagai milik objek, artinya apa yang disebut indah sangat subjektif.[7]
Dalam sejarah pemikiran Barat, estetika merupakan salah satu cabang fisafat yang berkembang pesat. pernyataan ini bisa dai lihat dari beberapa tokoh filsuf  besar yang melahirkan teori serta pemikiran tentang estetika seperti Immanuel Kant. Kant berpendapat bahwa yang indah adalah yang tanpa konsep dapat diterima sebagai sesuatu yang universal, memuaskan, menyenangkan, tanpa pamrih dan tak berkepentingan.[8]
Contoh dari keindahan sendiri adalah ada sebuah taman yang terlihat rindang dan sejuk. Didalamnya tumbuh beberapa tanaman yang tampak indah, subur dan hijau. Bunga berwarna-warni seakan menambah pesona taman tersebut. Setiap orang yang melalui jalan di samping taman tersebut selalu terpesona melihatnya. Sebagian mereka ada yang sekedar menikmatinya sambil lalu, sebagian lagi berhenti sejenak untuk menenangkan diri.
Semua penjelasan tentang apa keindahan sebenarnya belum menampilkan kebenaran keindahan itu sendiri. Hal ini memang hal wajar di dunia filsafat dimana suatu persoalan filsafat jawabannya pasti beraneka ragam dan semuanya memiliki nilai kebenaran. Salah satu ciri-ciri umum yang ada pada semua benda yang dianggap indah adalah dengan menyamakan ciri-ciri hakiki benda tersebut dengan keindahan. Jadi, keindahan pada dasarnya adalah sejumlah kualitas pokok tertentu yang terdapat pada sesuatu. Kualitas yang sering disebut adalah kesatuan (unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry), keseimbangan (balance), perlawanan (contrast).[9]
III.   KEINDAHAN SEBAGAI OBJEK AKAL
Menurut Jacques Maritain dalam bukunya yang berjudul Art and scholasticism berpendapat bahwa keindahan bukanlah objek perasaan melainkan objek tangkapan akali.
a. Keindahan Menimbulkan Kesenangan Pada Akal
Jacques Maritain tidak mengingkari peranan yang dipunyai oleh alat-alat inderawi, karena akal menangkap sesuatu sekedar dengan jalan melakukan abstraksi dan analisa. Akibatnya, hanya pengetahuan yang diperoleh melalui alat-alat inderawi yang dapat mempunyai sifat khas yang diperlukan untuk menangkap keindahan. Maritain mengatakan bilamana suatu objek dapat menimbulkan kesenangan pada akal, satu-satunya sarana langsung yang dapat ditangkap oleh intuisi jiwa, maka objek tersebut merupakan sesuatu yang indah. Keindahan ialah sesuatu didalam objek yang dapat menimbulkan senangan pada akal, yang semata-mata karena keadaannya sebagai objek tangkapan akali.[10]
Sebenarnya keindahan bukanlah merupakan suatu kualitas objek, melainkan sesuatu yang senantiasa bersangkutan dengan perasaan. Sesungguhnya yang dinamakan warna sebuah objek ialah cara kita memberikan reaksi terhadap suatu rangsangan. Kiranya pasti mudah dimengerti bahwa rasa nikmat atau rasa sakit bersifat subjektif, karena kedua macam rasa tersebut tidak akan dimengerti secara masuk akal sebagai kualitas-kualitas yang terdapat pada objek yang lain. Tetapi orang dapat membayangkan keindahan yang terdapat pada objek yang lain. Artinya orang dapat memproyeksikan perasaannya,karena keindahan bersangkutan dengan rasa nikmat.[11]
b. Akal Tercermin Dalam Keindahan
            Mengapa suatu objek tertentu dapat dapat menimbulkan kesenangan pada akal? Maritain menjawab, karena objek tersebut memiliki kesempurnaan tertentu yang juga dipunyai oleh akal. Akal merasa senang pada sesuatu yang indah, karena didalam sesuatu yang indah ia menemukan kembali dirinya, mengenal dirinya kembali, dan berhubungan dengan pancarannya sendiri. Ciri-ciri khas yang harus dipunyai suatu objek agar dapat dikatakan indah dapat ditemukan dengan jalan memperhatikan apa yang diutamakan oleh akal.[12]
            Akal senantiasa gelisah apabila menyadari bahwa dirinya kurang sempurna. Berdasarkan anggapan tersebut, maka salah satu syarat keindahan ialah harus ada keutuhan atau kesempurnaan,  karena yang dapat disebut indah ialah sesuatu yang manakala ditangkap dapat menimbulkan kesenangan pada akal. Tetapi juga jelas, bahwa akal tidak hanya mengutamakan kesempurnaan, melainkan juga ketertiban. Bukankah ketertiban sesungguhnya merupakan tanda adanya kegiatan akal.[13]
            Pengetahuan senantiasa menyangkut ketertiban barang sesuatu yang diselidiki. Karena itu syarat keindahan , yang kedua ketertiban dan ketunggalan yang terungkap melalui keseimbangan yang cocok. Karena itu, syarat terakhir bagi adanya keindahan adalah kejelasan.          
c. Keindahan Ialah Bentuk
        Yang dinamakan bentuk sesungguhnya ialah halnya sendiri yang diketahui,  pengetahuan yang benar ialah pengetahuan yang diperoleh melalui akal budi yang dapat menjangkau bentuk barang sesuatu. Bentuk juga merupakan prinsip yang mendasari keadaan yang dapat dipahami secara akali. Dalam babak terakhir, keindahan ialah bentuk yang menimbulkan kesenangan pada akal. Untuk mudahnya dapat dikatakan bahwa didalam bentuk yang terpancar pada materi, yang bersifat seimbang, tertib, dan sempurna itulah akal menemukan diri sendiri. [14]
IV.   KEINDAHAN SEBAGAI NILAI
Ada beberapa poin yang dapat menjelaskan bagaimana keindahaan dapat dipandang sebagai suatu nilai, yaitu sebagai berikut:[15]
1.    Nilai Intrinsik
Nilai yang ada didalam seni itu terdapat pada bentuknya. Yang disebut bentuk ialah penyusunan medium inderawi atau permukaan karya seni. Jika demikiran maka pandangan isi dan emosi yang menyertai bentuk tersebut dapat dikatakan tidak relevan. Contoh, dalam lukisan yang menggambarkan keindahan alam, nilai keindahan murni diperoleh dari hubungan warna-warna, garis-garis, dan bentuk-bentuk yang dapat disadari. Sedangkan gambar pohon, gunung merupakan tambahan nilai yang tidak relevan.
2.    Nilai Ekstrinsik
Nilai-nilai dari keindahan merupakan susunan makna dalam bentuk yang ingin ditampilkan serta juga susunan inderawi yang menampung proyeksi dari makna dalam bentuk tersebut.
3.    Nilai Intelektual
Tujuan dari seni ialah menunjukan kebenaran. Kebenaran yang ditunjukan bukanlah sebuah kebenaran sosial dan alami, melainkan kebenaran seni. Keindahan seni menjadi sebuah prinsip universal kedua yang nyata dari sekedar prinsip kebenaran khayal.
4.    Nilai Katalis
Nilai dari sebuah keindahan ialah ketika keindahan itu mampu menjadi sesuatu yang menyebabkan penikmatnya mendapat kepuasaan, kedamaian, perasaan emosional.



V.      TEORI DALAM ESTETIKA
1.         Teori Subjektif dan Objektif
Dalam sejarah estetis menimbulkan 2 kelompok teori yang terkenal, yaitu teori objektif dan subjektif tentang keindahan. Teori objektif dianut oleh Plato, Hegel dan Bernard Bosanquet. Sedangkan teori subjektif didukung oleh Henry Home, dan Edmund Burke.
Teori objektif berpendapat, keindahan atau ciri-ciri yang menciptakan estetis ialah sifat (kualitas) yang telah melekat pada benda indah yang bersangkutan, terlepas dari orang yang mengamatinya. Pengamatan seseorang hanyalah menemukan atau menyingkapkan sifat-sifat indah yang sudah ada pada suatu benda dan sama sekali tidak berpengaruh untuk merubahnya.[16]
Sedangkan teori subjektif adalah menyatakan bahwa ciri-ciri yang menciptakan keindahan pada suatu benda sesungguhnya tidak ada, yang ada hanyalah tanggapan perasaan dalm diri seseorang sendiri yang mengamati suatu benda. Adanya keindahan semata-mata tergantung pada pencerapan dari si pengamat itu. Kalaupun dinyatakan bahwa suatu benda mempunya nilai estetis, hal ini diartikan bahwa seseorang pengamat memperoleh pengalaman estetis sebagai tanggapan terhadap benda itu.[17]
2.         Teori Perimbangan
Teori perimbangan tentang keindahan oleh Wladylaw Tatarkiewicz disebut sebagai Teori agung tentang keindahan (the great theory of beauty) atau dapat juga teori agung mengenai estetis eropa. Teori agung tentang keindahan menjelaskan bahwa, keindahan terdiri atas perimbangan dari bagian-bagian, atau lebih tepat lagi terdiri atas ukuran, persamaan dan jumlah dari bagian-bagian serta hubungannya satu sama lain.[18]





VI.   KESIMPULAN
    Berbicara tentang keindahan (estetika), maka dapat dijelaskan sebagai “the study of nature of beauty in the fine art”, yaitu mempelajari tentang hakikat keindahan di dalam seni. Objek dari estetika adalah pengalaman akan keindahan. Sehingga pada dasarnya estetika yang dicari adalah sebuah hakikat dari keindahan, bentuk bentuk pengalaman keindahan yang dirasakan oleh manusia (seperti keindahan jasmani dan keindahan rohani, keindahan seni dan keindahan alam), yang diselidiki oleh emosi manusia sebagai reaksi terhadap yang indah, agung, bagus, mengharukan dan sebagainya.
     Keindahan merupakan nuansa yang memberikan ketenangan dan kedamaian pada diri dan jiwa manusia. Walaupun nilai dari keindahan itu sendiri adalah subjektifitas, tidak ada kesalahan dalam menilainya. Karena pada hakikatnya pengalaman atau tata cara setiap manusia dalam melihat keindahan adalah berbeda tergantung bagaimana pengetahuannya tentang keindahan, pengalamannya bahkan sampai kepada kondisi emosional orang yang menilai keindahan tersebut.

Pertanyaan:
1.      Bagaimana substansi nilai-nilai keindahan dalam hubungannya dengan objek akal?
2.      Bagaimana gambaran teori mengenai penilaian akan suatu keindahan?














DAFTAR PUSTAKA
Amin, Saidul Amin. Filsafat Barat Abad. Pekanbaru: Asa Riau. 2012
Dharsono. Estetika. Bandung: Rekayasa Sains. 2007
Katsoff, Louis. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1992
Mutahar, Muhammad Dian dkk, Makalah Konsep, Hakekat dan Pandangan Filosof Mengenai Estetika, Malang: Universitas Negeri Malang.  2015
Muslih. Filsafat Umum Dalam Pemahaman Praktis. Yogyakarta: Belukar. 2005
Susanto. Filsafat Ilmu. Jakarta: Bumi Aksara. 2011
Soemargono, Soejono. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2004
Wiramihardja, Sutardjo. Pengantar Filsafat: Sistematika dan Sejarah Filsafat Logika dan Filsafat Ilmu, Metafisika dan Aksiologi. Bandung: Refika Aditama. 2009


[1]  Dikutip pada laman http://www.kompasiana.com pada tanggal 12 Maret 2017
[2]  Saidul Amin, Filsafat Barat Abad, (Pekanbaru: Asa Riau, 2012), hlm. 15
[3] Sutardjo Wiramihardja, Pengantar Filsafat: Sistematika dan Sejarah Filsafat Logika dan Filsafat Ilmu, Metafisika dan Aksiologi, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 173
[4] Dharsono, Estetika, (Bandung: Rekayasa Sains, 2007), hlm. 5
[5] Susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta:  Bumi Aksara, 2011), hlm. 119
[6] Dharsono, Estetika., hlm. 4
[7] Louis Katsoff dan Soejono Soemargono (ed), Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), hlm. 386-388
[8] Muslih, Filsafat Umum Dalam Pemahaman Praktis. (Yogyakarta: Belukar, 2005), hlm. 137
[9] Dharsono, Estetika., hlm. 2
[10] Muhammad Dian Mutahar dkk, Makalah Konsep, Hakekat dan Pandangan Filosof Mengenai Estetika, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2015), hlm. 11. Dikutip dalam laman http://www.academia.edu pada tanggal 23 Febuari 2017
[11] Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat. (Yogyakarta: Tiara Wacana,2004), hlm. 367
[12] Muhammad Dian Mutahar, Makalah Konsep, Hakekat dan Pandangan Filosof Mengenai Estetika.,hlm. 12. Dikutip dalam laman http://www.academia.edu pada tanggal 23 Febuari 2017
[13] Ibid.,hlm. 12
[14] Ibid.,hlm. 13
[15] Ibid.,hlm. 13-15
[16] Dharsono, Estetika., hlm. 10
[17] Ibid
[18] Ibid.

Diabolisme Salman Rushdie dan Ahok

ANTARA SALMAN RUSHDIE DAN AHOK Oleh: Dr. Adian Husaini Tahun 1988, dunia Islam digegerkan oleh seorang bernama Salman Rushdie. Kisahnya ...